Melanie mengalami mimpi buruk yang sama selama dua minggu tentang Rainald, cowok yang disukainya, tertabrak mobil dan meninggal. Pagi itu di perpustakaan, Melanie bertemu Rainald dan berbicara untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun.
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
Mimpi Berkabung
1. DEJA VU
Hujan deras mewarnai pagi ini. Aku menuruni mobil sambil menutupi kepalaku dengan telapak tangan
kiriku. Aku berlari menerobos hujan, sampai tiba di lobi sekolah. Kulihat parkiran motor dan mobil masih
sepi. Beginilah jika hujan deras datang. Rasanya malas sekali keluar rumah, apalagi ke sekolah. Huh,
lebih enak tidur daripada keluar rumah. Aku, sih inginnya seperti itu. Tapi, aku sudah bertekad tidak
akan malas sekolah, apalagi aku sudah duduk di kelas 12 IPA. Kelas yang paling memusingkan, yang
kelak akan menyambut Ujian Nasional yang sangat mengerikan itu. Selain alasan itu, hari ini ada ulangan
fisika. Daripada remedial atau ulangan susulan, mendingan ikut ulangan sekarang saja. Aku tiba di depan
kelas 12 IPA 1, kelasku. Aku memasuki kelas, dan terperanjat. Oh My God ! Entah ini sesuatu yang
terbaik atau terburuk bagiku, yang pasti kini di kelas hanya ada aku, dan sesosok cowok yang paliiing
manis dan paliiiing keren, yang kukenal sepanjang hidupku. Ia duduk di depan bangku yang
kutempati,dan berjarak dua bangku. Tidak kusangka, pagi ini hanya ada aku dan Rainald, cowok terkeren
dan terpintar di kelasku. Wonderfull time ! Aku menundukkan kepala saat lewat di samping Rainald, dan
sepertinya ia tidak melirikku sedikitpun. Bahkan sampai aku meletakkan tas di atas meja dengan cara
membanting tasku, cowok itu tidak bergeming. Aku menopang dagu, sambil menatap punggung Rainald
dari belakang. Huff… sudah tiga tahun aku dan Rainald sekelas, mulai dari kelas 10 sampai kelas 12.
Tapi… rasanya aku dan Rainald tidak pernah berinteraksi sedikitpun, seolah ia sekolah di bulan dan aku
di bumi. Aku masih menatap punggungnya. Tangannya sibuk menulis di kertas coretan. Sepertinya ia
sedang mempelajari bab fisika yang nanti akan dijadikan ulangan. Hmmp… aku ingin menyapa dia pagi
ini. Tapi bagaimana caranya ? Aku bukan Citra, anak kelas 11 IPA, sekaligus komandan geng cewek –
cewek centil, yang selalu punya waktu luang untuk menemani Rainald main basket. Aku juga bukan Erin,
yang boleh keluar pada malam hari hanya untuk menonton Rainald latihan band. Aku juga bukan Jany,
cewek culun se-SMU yang punya otak cerdas, dan selalu menjadi “guru privat” Rainald. Aku bukan siapa
– siapa. Aku adalah aku, yang tubuhnya kurus dan tinggi seperti tiang listrik. Wajahku biasa saja. Hanya
hidung mancungku yang terlihat sempurna dari wajahku. Alisku melengkung, mataku agak sipit dan
bibirku tebal. Kulitku putih, seperti anak – anak China, tapi aku tidak secantik Citra atau Erin, yang
wajahnya menawan dan mempunyai lekuk tubuh yang sempurna. Rambutku hitam kecoklatan, yang
tergerai panjang sampai punggung. Yaah, memang aku tidak secantik Asmirandah. Aku juga tidak
sepintar Einstein. Aku tidak seperti Aura Kasih, yang tubuhnya sangat sempurna. Aku adalah Melanie,
seseorang yang bangga akan dirinya sendiri. Be your self, itu adalah mottoku. Tanpa kusadari, Rainald
dengan spontan menoleh dan menatap mataku yang sedang memandangnya saat itu. Aku sedikit kaget.
Aku pura – pura mencari buku dalam tasku ketika menyadari ia menatapku. Aduuuh, tengsin banget !
Sumpah ! Aku tidak tahu, wajahku seperti apa pada saat ini. Mungkin seperti kepiting rebus ? Atau
apalah… yang penting aku malu banget. Ketika memandang ke depanku lagi, Rainald sudah tidak
menatapku. Ia membalikkan badan ke depan, dan sibuk menghitung soal – soal fisika. Aku memaki diriku
sendiri. Aku sangat bodoh. Mencintainya sejak dua tahun lalu, tapi tidak bisa kukatakan isi hatiku hingga
sekarang. Aku ingin mengajaknya bicara pagi ini, mumpung kita hanya berdua di dalam kelas. Kira – kira
bicara apa, ya ? “ Pagi, Rainald “ uhm… terlalu sederhana. Atau seperti ini ? “ Rainald, pinjam bolpoin,
dong “ Iiih, kata – kata itu sepertinya kurang pas, deh. Malah mungkin Rainald menganggapku sebagai
cewek nggak modal alat sekolah. Or…meybe like this.. “ Rainald, ntar sore latihan basket, ya ? Boleh aku
2. temani ? “ boleh juga. Atau… “ Rainald, nanti malam aku lihat latihan bandmu dong “ hmm… atau lebih
nekatnya lagi.. “ Eh, nanti malam ada film keren, loh di bioskop. Nonton, yuk “ Aku meringis. Tidak ada
kata yang pas untuk kuucapkan pagi ini. Bukan ! Aku meralat isi hatiku. Kata- kata itu sebenarnya pantas
untuk kuucapkan, hanya saja tak ada keberanian di hatiku. Hanya tatapan mata yang bisa kuberikan
untuk Rainald. Tatapan mata penuh cinta dan kasih sayang. Hanya itu keberanianku yang timbul pagi ini.
Tapi, tatapan itu kini pudar sudah, ketika Citra, Erin dan cewek – cewek centil lainnya masuk ke kelas 12
IPA 1. Rainald menyambut kedatangan mereka dengan senyum yang sepertinya terasa hambar itu. Aku
menghembuskan nafas. Uuuh… sebel banget lihat cewek – cewek itu duduk di dekat Rainald sambil
tertawa dibuat – buat dan gaya jaim yang sangat memuakkan. Walaupun hal itu terlihat sempurna di
mata cowok, sayangnya, aku tidak bisa berperilaku seperti mereka, apalagi di depan Rainald Huff… aku
menghembuskan nafas dengan nada kecewa. *** Aku menggendong Miau, kucing anggoraku yang
sangat lucu. Entah aku berada di mana saat ini. Rasanya, tempat ini belum pernah kulihat. Perumahan
yang rata – rata warna rumahnya hijau pastel. Aku menyukai tempat ini, meski diriku sendiri tak tahu
aku berada di mana. Kakiku berjalan menyusuri trotoar kecil di pinggir jalan. Perumahan jalan itu begitu
besar. Mungkin dua mobil yang berdampingan dapat berjalan di jalan beraspal di kompleks perumahan
ini. Kakiku terasa letih untuk berjalan kembali, dan betapa girangnya aku melihat sebuah pohon mahoni.
Di bawah pohon mahoni terletak sebuah batu yang bisa kujadikan sebagai tempat duduk. Aku duduk di
bawah pohon mahoni sambil tetap menggendong Miau. Aku menghembuskan nafas, menikmati
pemandangan di sekitarku. Entah mengapa, jalan di perumahan ini rasanya sepi, padahal waktu masih
menunjukkan siang hari. Aku mengamati ke sekelilingku. Sepi. Sunyi. Tapi memang beginilah kondisi
perumahan orang – orang kaya. Sepi. Aku mengelus kepala Miau. “ Meoooong !!! “ Miau mengeong
dengan keras. Aku menyipitkan mataku menatap Miau. Ia mengeong dengan sangat keras. Matanya
tertuju pada jalan aspal di depannya. Aku mengerutkan kening dan menatap jalan aspal itu. Ugh… aku
terpana. Jika mataku tidak salah, Rainald berdiri di seberang jalan. Sendirian. Ia menatapku dengan
tatapan mata yang tajam, lalu mengembangkan senyumannya, yang bagiku adalah senyum manis.
Bukan senyum hambar saat bertemu dengan cewek – cewek centil di sekolah. Mau tak mau, aku
membalas senyumannya. Mataku lebih terbelalak lagi, saat Rainald menyeberang jalan, setelah
memberi isyarat bahwa ia akan menyeberang jalan dan menuju ke arahku. Aku senang sekali. Mungkin
di detik ini, aku bisa mendengar suara lembut Rainald yang berbicara langsung padaku, menyapaku dan
tertawa di depanku. Saat pertama aku berbicara dengannya setelah hampir tiga tahun memendam
perasaanku. Ini adalah saat yang kutunggu ! Rainald menyeberang jalan, tanpa tahu ada sebuah mobil
Honda Jazz hitam melaju di pinggir jalan. Aku juga tidak tahu akan kehadiran mobil itu. Rainald
menatapku dengan tatapan matanya yang sejuk. Aku membalas menatapnya. “ Meoooong !!! “ Miau
mengeong dengan keras. Aku tersentak dan menatap Miau. Ada apa ? Mengapa ia mengeong ? Dan
baru detik itu pula, aku mendengar suara sesuatu di tengah jalan, dan aku terpekik dengan keras.
Rainald tertabrak mobil !!! Miau terlepas dari pelukanku, dan mengeong dengan keras. “ RAINAAAALD
!!!!! “ seruku dengan keras, dan tanpa sadar aku membuka mataku. Astaga ! Ternyata hanya mimpi.
Keringat dingin membasahi seluruh tubuhku. Wajahku penuh dengan keringat, meskipun AC telah
kupasang dengan suhu yang paling rendah, namun tetap berkeringat. Aku melihat jam dinding. Astaga !!
Setengah enam ! Aku harus mandi dan cepat ke sekolah. Aku melangkah ke kamar mandi untuk cepat –
cepat mandi. *** Baru kali ini kutatap mata Rainald. Tatapan mata yang sejuk, membuat terhipnotis. Dia
begitu tampan, dan hal itu membuatku duduk di atas batu selayaknya seorang patung. “ Meoooong !!! “
3. Miau mengeong. Ia terlepas dari pelukanku. “ Miau, kenapa ? “ tanyaku. Aku memperhatikan Miau, dan
tak lama kemudian…… “ RAINAAAALD !!!!!! “ aku berseru. Tubuh Rainald terguling di jalan raya.
Keningnya basah oleh tetesan darah, membuatku membuka mata kembali. Ugh… mimpi lagi ! Kenapa,
sih mimpi buruk itu menghantuiku selama tiga hari ? Apakah hal itu akan benar – benar terjadi ? Ugh…
cepat kubuang pikiran buruk itu. Aku melihat jam dinding. Pukul 5. Aku memutuskan untuk segera
Shalat Subuh, agar melupakan masalah itu dengan cepat. *** “ Meooong !!! “ Miau mengeong dengan
keras. Aku menatap kucing peliharaanku itu, karena Miau telah melepaskan diri dari pelukanku. Ketika
hendak berlari mengejar Miau, sebuah Honda Jazz berwarna hitam, tanpa di ketahui siapa
pengemudinya, menghantam tubuh Rainald dengan keras, menyisakan darah yang keluar dari tubuh
Rainald. Mobil Honda Jazz hitam itu, dengan kaca pengemudi tertutup rapat, tidak meninggalkan
tempat. Mobil itu hanya terdiam di depan mayat Rainald, membuatku tak kuasa untuk tidak berteriak. “
RAINAAAAALD !!!! “ seruku lantang, dan kembali lagi aku bangun dari tidurku. Aku mengusap keringat di
wajahku. Astaga, mimpi ini telah hadir selama dua minggu. Kenapa… dua minggu ini aku semakin jelas
melihat jalannya kematian Rainald ? Apakah ini deja vu ? Uups.. aku membuang pikiran itu. Mungkin
karena aku terlalu banyak nonton film, jadinya mimpi seperti ini. Tapi… kenapa mimpi ini selalu hadir
selama dua minggu ? Apakah ini akan menjadi kenyataan ? “ Tidak, Rainald tidak boleh mati “ aku
bergumam sambil menendang selimut yang menutupi tubuhku sampai batasan pinggul. Aku harus
memberitahukan hal ini pada Rainald ! Harus ! Pagi ini juga, aku akan berkata hal itu pada Rainald ! ***
Perpustakaan dipenuhi murid – murid berseragam abu – abu putih saat istirahat. Aku masuk ke dalam
perpustakaan untuk mencari buku fisika. Ketika aku mencari buku fisika latihan soal di rak buku Sains,
seseorang yang sangat kucintai, namun kehadirannya tidak kuinginkan, hadir di sebelahku. Ia muncul
secara tiba – tiba, dan menarik sebuah buku yang ada di rak buku Sains. Ia membuka – buka buku itu,
dan menatap isi buku itu dengan serius. Aku ingin menjauh darinya saat itu juga. Ketika badanku akan
berbalik, aku teringat. Teringat mimpiku yang menghantuiku selama dua minggu ini. Saat yang tepat
untuk berkata dengan Rainald, karena saat ini Rainald sedang sendiri di perpustakaan. Tidak ada
gengnya Citra yang suka mengikutinya kemanapun Rainald pergi, tidak ada teman band atau teman
basket Rainald. Hanya ada aku dan Rainald di perpustakaan. Yap… aku harus mengatakannya pada
Rainald. Satu… dua… tiga… ! “ Ehm… Rainald “ panggilku. Tiba – tiba hatiku menciut. Bodoh, buat apa
aku memanggil namanya ? Ugh… aku cewek bodoh sedunia. Rainald menoleh ke arahku dan tersenyum.
“ Kenapa, Melanie ? “ tanya Rainald ramah. Seketika, nyaliku untuk berkata pada Rainald kini telah
menghilang. “ Ehm… aku mau pinjam buku itu “ tanpa pikir panjang, kata – kata itu telah keluar dari
mulutku, menunjuk buku yang sedang di genggam Rainald. Rainald menatap bukunya dan tersenyum,
senyum manis yang kulihat seperti di mimpiku. “ Ambil aja. Aku hanya mau lihat – lihat buku aja, kok “
ucap Rainald sambil menyerahkan buku itu ke arahku. Aku membalas senyumannya, dan membalikkan
badan, menjauh dari perpustakaan. Aku tercengang. Hari ini, adalah hari pertamaku berbicara dengan
RAINALD !! Perasaanku lega campur gelisah. Lega, karena sudah mendengar suara lembut Rainald yang
ditujukannya padaku untuk pertama kalinya. Dan gelisah, karena tidak mengungkapkan sesuatu yang
menghantuiku selama ini. *** Esok harinya…. Aku berdecak saat mobil belum datang. Aku menunggu di
depan gerbang sekolah, sambil mengetik SMS ke Kak Marsya, kakakku yang telah kuliah di bidang
biokimia, untuk menjemputku saat ini juga. Karena SMS tidak kunjung di balas, aku memencet nomor
HP Kak Marsya untuk meneleponnya. “ Halo, Kak Marysa ?! Kakak di mana ? Kok nggak nongol – nongol,
sih ?! Melanie capek, nih nunggu Kak Marsya “ ucapku manja sambil memonyongkan bibir. “ Aduuh…
4. Melanie. Kakak lagi makan siang, nih di kampus. Lima belas menit lagi, deh kakak ke sana “ ucap Kak
Marsya. “ Iya, iya. Cepet, ya. Nggak pake lama “ ucapku sambil mematikan telepon. Dasar Kak Masrya !
Molor terus, nih kerjaannya. “ Hai “ sapa seseorang dari belakangku. Aku menoleh ke belakang dan……..
astaga !! Rainald ! Tidak, tidak… aku gugup sekali saat ini. Hatiku deg – degan saat berhadapan dengan
sosok Rainald saat ini. “ Ehm… hai juga “ mau tak mau aku harus membalas perkataannya. Jantungku
berdetak dengan kencang. “ Nunggu jemputan ? “ tanya Rainald ramah. Kedua tangannya
menggenggam tali ranselnya, sedangkan wajahnya menatapku dengan ramah. Aku mengangguk. “ Iya “
aku hanya menjawab sekenanya. Sungguh ingin melayang ke langit ketujuh, saat ini, saat Rainald
mengajakku bicara !! Apalagi sekarang kita berdua berdiri di depan pagar. Berdua saja ! Citra, Erin,
cewek – cewek sepopuler apapun di SMUku, tidak pernah mengalami saat indah sepertiku ini. Aku
merasa beruntung. Tiba – tiba, aku teringat soal mimpiku yang menghantuiku semalam. Tapi, rasanya
malu sekali jika berbicara pada Rainald. Kami berdua diam agak lama, dan akhirnya…. “ Eh, itu
jemputanku udah datang. Duluan, ya Melanie “ ucap Rainald dan berlari ke arah mobil Jaguar yang
menjemputnya. Aku balas melambaikan tangan pada Rainald. Yaah… aku memang pemalu. Dan aku
yakin, sampai matipun aku tidak akan bisa berkata tentang mimpiku, apalagi perasaanku pada Rainald.
*** “ Buruan, deh Mel ! Cepet ! Kakak butuh ! “ seru Kak Marsya dari telepon. Aku yang sedang makan
siang, cemberut mendengar kata – kata Kak Marsya. “ Yeeeh, makanya lain kali makalahnya jangan
ditinggal di rumah, dong “ sahutku. “ Mel, kan selama ini kalau buku PR kamu ketinggalan, kakak yang
antar. Sekarang, kamu yang antar, dong “ gerutu Kak Marsya. “ Iya, iya ! Bawel ! Harus kuantar ke mana,
nih ? “ tanyaku. “ Ke rumahnya Awit, temanku. Nanti kakak SMS alamatnya Awit, deh “ ucap Kak
Marsya. “ Oke. Tapi Melanie ke sana naik apa, nih ? “ tanyaku. “ Mobilnya Mama. Cepet, ya ! Gak pake
lama “ ucap Kak Marsya, lalu mematikan telepon. Aku tersenyum girang. Yess !! Akhirnya, aku boleh
juga naik mobil baru Mama. Haha… senang juga boleh mengendarai mobil, meskipun belum buat SIM.
Aku mengambil makalah Kak Marsya di kamarnya, lalu mengambil sandalku di rak sepatu. Kupakai
sandal itu, lalu mengambil kunci mobil yang di gantung di paku dekat pintu masuk. Lalu menuju garasi
dan menyalakan mesin mobil. Setelah menggerakkan tongkat porsneling, kuinjak gas dan mobil melaju
dengan kencang. “ Hmmm… jalan Dieng.. jalan Dieng “ aku bergumam ketika melihat SMS dari Kak
Marsya yang menunjukkan alamat rumah temannya. Aku menjalankan mobil dengan hati – hati ketika
memasuki Jalan Dieng, karena sebelumnya aku belum pernah memasuki tempat ini. Meskipun sejak
SMP aku tinggal di kota ini, sayangnya aku belum tahu di mana letaknya jalan Dieng. Makanya aku buta
arah jika memasuki kawasan jalan Dieng. “ Belok kanan… terus cari perumahan Green Diamond. Rumah
Awit adalah rumah nomor 6. Di depan rumahnya ada pohon mahoni “ aku membaca deskripsi rumah
teman Kak Marsya. Aku membelokkan mobil ke tikungan kanan. Uhh… pantas perumahan ini di beri
nama Green Diamond. Rumahnya rata – rata bercat hijau pastel, sih. Tiba – tiba aku tersentak.
Sepertinya…… aku pernah ke tempat ini. Tapi sama siapa ? Aku terperanjat. Tanganku yang memegang
setir, semakin dingin saat menyadari bahwa mobil yang kubawa adalah mobil Honda Jazz. Honda Jazz
hitam !! Dan ini adalah perumahan yang pernah hadir di dalam mimpiku ! Iya, benar ! Saat itu, aku
menggendong Miau dan mengajaknya jalan – jalan di daerah yang ciri khasnya sama dengan jalan Dieng
yang kudatangi saat ini, tempat yang baru pertama kali kulihat secara nyata, bukan secara abstrak.
Namun, aku berdoa, semoga kejadian dalam mimpiku tidak benar – benar terjadi. Sayangnya, aku salah
duga. Di seberang jalan, Rainald yang memakai jaket putih sedang menyeberang jalan, tanpa melihat
kanan kiri. Aku kaget. “ RAINAAAALD !!!! “ aku berseru. Aku mencoba menginjak rem dan….. rem
5. mobilnya blong !!! Aku menekan klakson, namun terlambat. Mobil sudah terlalu dekat dengan Rainald.
Tak ada jalan lain. Aku membanting setir mobil ke kiri dan mobilku berhadapan langsung dengan pohon
mahoni, pohon yang kutempati sebelum melihat mayat Rainald dalam mimpiku. Dan kejadian buruk itu
menimpaku. Mobilku menabrak pohon mahoni. Kepalaku membentur setir. Kurasakan ada sesuatu yang
dingin mengalir di keningku. Entah… sepertinya darah. Aku hanya bisa menangis dalam hati. Seharusnya,
Rainald tahu akan mimpiku sejak lama. Seandainya aku bisa berkata secepatnya dengan Rainald.
Seandainya aku berani berkata semuanya pada Rainald….. Seandainya Rainald tahu tentang semua yang
ia tidak tahu…..