1. Gladis bertemu dengan cowok bernama J di bus yang sedang dalam perjalanan pulang ke Cilegon. 2. J ternyata ikut turun di Cilegon karena tersesat dan meminta Gladis untuk mengantarnya. 3. Dengan berat hati Gladis setuju asalkan J yang membayar ongkosnya, tetapi J justru meminta untuk menginap di rumah Gladis karena sedang kabur dari rumah.
1. 1+1 dapat kulupakan
dimana aku lahir
bisa kulupakan
bagaimana rupaku
dapat kulupakan
hartaku, nyawaku dan seluruh hidupku
semuanya dapat kulupakan
tetapi satu yang tidak akan bisa kulupakan
kasih.....
sumber kehidupanku....
Amsal Foje
2. BAB I
Aku memandang bayanganku yang terpantul di kaca mobil sedan
di sebelahku. Aku begitu tampak berantakan dan berkeringat. Mataku
sayu seolah tidak punya harapan hidup. Memang susah punya mata
yang sayu. Belum lagi kulit yang berminyak dan terlihat kusam. Benar-
benar tidak enak dilihat.
Kembali aku melangkahkan kaki menuju terminal bus. Aku
melangkah dengan pasti menuju bus jurusan Merak dengan penuh
harap, semoga ada bangku kosong yang akan tersedia untukku.
Sampai di depan bus aku langsung melongok ke dalam dan
bernafas lega karena ternyata belum banyak penumpang yang naik.
Dengan cepat aku memilih tempat duduk dekat jendela. Aku bernafas
lega karena udara di dalam bus terasa sejuk. Di luar panasnya seperti di
neraka! ( Yah, berlebihan sih).
Aku membetulkan tempat dudukku agar bisa tidur dengan
nyaman. Tugas yang semalaman kuselesaikan benar-benar menguras
tenagaku. Jadi, sekarang aku bisa memulihkan tenaga dengan tidur
sepanjang perjalan pulang tanpa harus memikirkan angka-angka dan
teori-teori yang hampir membuatku ingin gantung diri.
GUBRAK!!!
Aku tersentak saat sebuah tas melayang dan jatuh di bangku
sebelahku. Aku menoleh ke arah asal tas itu dilemparkan dan disana
berdiri seorang cowo dengan gaya s8ter boy tersenyum lebar padaku.
Dengan ragu-ragu aku membalas senyumnya dan kembali memandang
keluar lewat jendela.
Cowo itu membanting tubuhnya dengan seenaknya ke atas
bangku. Ia melepas kacamatanya dan mengeluarkan mp4 dari dalam
tasnya. Tanpa mau menoleh aku terus melirik apa yang diperbuatnya.
Ia mengenakan earphone di kedua telinganya dan mulai
mendengarkan sebuah lagu. Entah lagu apa yang didengarkannya tapi
tiba-tiba ia bergerak-gerak keras sambil mengikuti gaya pemain drum.
Ia menoleh padaku sesaat dan tersenyum lagi kemudian ia
kembali asyik mendengarkan lagunya. Aku terdiam beberapa saat
melihat wajahnya...
2
3. Aku seperti mengenal wajahnya tapi entah dimana...sepertinya
aku sudah sangat lama mengenalnya. Lama aku terdiam dan berusaha
mengingat...karena tiba-tiba dadaku menjadi sesak saat menatapnya.
Rasanya sudah lama sekali mengenalnya....
Tapi sepertinya tidak juga karena...aku tidak pernah mengenal
orang norak seperti dia,,,,
Aku berusaha tidak peduli tapi cara ia menikmati lagunya benar-
benar sangat mengganggu. Tangannya ia lemparkan ke mana-mana
bahkan sampai terkena wajahku tapi ia tetap tidak merasa.
Rasa-rasanya aku tidak akan tidur tenang.
“ Get Reaaaaaadyyyyyyyy!!! Readyyyy!!! I will Rock you,
Babe!!!”
Kali ini ia bernyanyi dengan sangat keras hingga semua
penumpang yang lain menoleh dan mengerutkan wajah mereka karena
suara cowo ini sangat mengganggu.
“ Ma..maaf.” Aku memanggilnya untuk mengatakan kalau
suaranya sangat mengganggu. Tapi yang kuterima malah tangan yang
melayang dan...
JDUGGG!!!
Tangannya mengenai tulang hidungku. Spontan aku menjerit dan
membalasnya dengan memukulnya keras-keras.
Buk! Kupukul wajahnya dengan tinjuku walau tidak terlalu kuat
tapi sepertinya cukup untuk membuatnya merasa kesakitan. Ujung
hidungnya memerah.
Ia langsung menoleh dan memandangku dengan marah.
“ Apa-apaan nih!!” tanyanya dengan tidak terima. Ia melotot dan
memandangku dengan tajam seolah aku telah mengambil seluruh harta
warisan bapaknya.
Aku ingin membalas marah tapi tidak bisa. Akhirnya aku hanya
bisa menunjuk hidungku dan memandangnya dengan kesal.
“ Kamu memukul hidungku, tahu!” ujarku dengan nada kesal
sambil terus mengusap-usap ujung hidungku yang memerah. Mataku
sampai berkaca-kaca karena rasa sakitnya.
“ Gua ngga ngapa-ngapain kok. Kenapa bisa kena hidung lo!”
Dengan gemas aku menunjuk Mp4nya dan menirukan gayanya.
Lalu....
3
4. Jduk!!!
Dengan pelan aku memukul hidungnya lagi.
“ Suara lo keras banget. Semua penumpang keganggu gara-gara
suara cempreng lo. Lo bukan pengamen `kan?”
Cowo itu mengusap-ngusap hidungnya yang tadi kupukul dan
mulai melihat sekeliling. Sepertinya sekarang dia sudah merasakan
tatapan semua orang. Ia mengutak-atik Mp4nya dan mulai
bersenandung lagi dan menirukan drumer tapi kali ini dengan lebih
tenang.
Aku menarik nafas lega karena aku rasa aku sudah bisa istirahat
dengan tenang. Aku membetulkan tempat dudukku dan mulai
memejamkan mata.
“ Nama gua `J`. Kepanjangan dari Jacob. Kayak nama biskuit
`kan? Hehehehe...Nama lo siapa?”
Aku menoleh untuk menjawab pertanyaannya supaya ia cepat
diam. Aku ingin cepat-cepat tidur.
“ Nama gua Gladis. Salam kenal.” Ujarku sambil tersenyum
ramah lalu kembali melihat ke jendela lagi. Beberapa saat keadaan
sunyi. Aku pikir dia akan bertanya lagi. Aku menoleh padanya dan
ternyata dia sedang memandangiku dengan tatapan penasaran.
Apa sih yang dia lihat? Aku membalas tatapannya dengan garang
dan ia langsung menyeringai.
“ Pulang ke Merak sendirian? Eh, ngomong-ngomong pulang
atau mau jalan-jalan? Kalo gua sih lagi ada bisnis.”
“ Gua pulang ke Cilegon bukan ke Merak.” Jawabku dingin dan
dengan cepat kembali memandang ke jendela.
“ Oooo...Sama dong kalo gitu. Nanti turun barengan ya? Gua
belum tahu banyak soal Cilegon. Lo mau bantuin gua ngga?”
“ Kalo ngga susah, gua mau bantu.”
`J` tidak melanjutkan pertanyaannya. Ia malah berusaha melihat
wajahku. Aku terus menyembunyikan wajahku ke arah jendela tetapi ia
malah ngotot ingin melihat. Ia terus mengejar wajahku.
“ Kamu tidur ya?” tanyanya dengan wajah polos dan tanpa rasa
bersalah.
Aku tersenyum lebar dan mengangguk. Ia membalas tersenyum
dan menunjukkan senyum yang menurutku cukup manis. Yeah, tetapi
4
5. tetap saja aku berharap ia tidak menggangguku lagi. Aku butuh tidur
karena aku sangat kelelahan.
“ Jangan tidur dong! Temenin gua ngobrol!”
Aku menggretakkan gigiku dengan keras lalu menoleh padanya.
Ia tersenyum senang dan sangat manis. Akan lebih manis kalau dia
mingkem, nutup mata terus tidur.
“ Mau ngobrol apa?”
“ Apa aja. Misalnya kamu kuliah dimana?”
“ Gua kuliah di Universitas KK jurusan Psikologi angkatan
2004.”
“ Universitas KK? Dimana tuh. Gua kagak pernah denger.”
“ Yang deket Universitas TA.”
“ Oh, yang gedungnya kecil banget itu ya? Kok mau kuliah di
situ?”
Aku tersenyum dan melotot padanya. Berani-beraninya dia
menghina kampusku. Biar begitu aku bangga kuliah di sana.
“ Iya, gua mau. Biar ngga pusing ngeliat orang-orang aneh...”
`Kayak elo..` bisikku pelan.
“ Apa?” tanyanya berusaha mendengar kata-kata terakhirku.
“ Ngga ada apa-apa kok. Cuma tadi ada kambing rese.”
“ Ha?...Kenapa pilih jurusan psikologi?”
“ Mau bantuin orang biar ngga salah arah aja.”
“ Maksudnya?”
“ Yaaa....gitu dehhh!”
“ Tanya gua dong. Gua kuliah dimana gitu.”
“ Hai...lo kuliah dimana?”
“ Gua kuliah di Universitas SI. Jurusan seni musik.”
“ Oooo...”
“ Kok cuma Ooo doang?! Biasanya orang pasti bilang hebat.”
`Gua bilang hebat kalo lo ngga ganggu gua.` bisikku lagi.
Untungnya kali ini dia tidak mendengarku.
“ Hebat...”
“ Ih, datar banget! Lo cewe aneh ya?!”
“ Lo cowo aneh ya!?” aku membalas pertanyaannya dengan
semangat. Sudah dari tadi aku ingin mengatakannya.
“ Emang gua aneh ya?!”
5
6. “ Bangettttt!”
“ Tapi cewe-cewe kenalan gua bilang gua keren loh.”
` Siapa peduli. Palingan mereka buta atau minimal picek.`
“ Oh, ya?”
“ Iya. Banyak cewe-cewe yang ngejar-ngejar gua.”
Rasanya aku mau muntaaaaaaahhhhhhhhhhh!!! Kayaknya dia
ngga pernah ngaca deh.
“ Capek dong dikejar terus.”
“ Ya, gitu deh.”
“ Kenapa mereka ngga ngejar kambing aja ya?”
“ Hah?”
“ Hah apanya?”
“ Tadi lo bilang apa?”
“ Emang gua bilang apa?”
“ Oh, gua salah denger ya?”
Heheheehe...lo ngga salah denger. Emang mendingan ngejar
kambing dari pada ngejar cowo yang ribut kayak elo.
“ Lama ya. Kapan nyampenya sih?”
“ Lima jam lagi.”
“ Hah!? Yang bener? Temen gua bilang cuma 2 jam.”
“ Temen lo salah kali.”
“ Dia `kan tinggal di Cilegon juga. Gimana bisa salah?”
“ Oh...lupa kali.”
“ Masak sih?”
“ Yaaa...giiiiiiiituuuu...deeeehhhhhh!!!”
Siapa suruh ganggu gua. Makan tuh 5 jam.
Setelah mengetahui perjalanan menuju Cilegon butuh 5 jam, `J`
menjadi lebih tenang dan mulai mendengarkan Mp4nya. Lama-lama ia
mulai tertidur.
Akhirnya, aku bisa tidur dengan tenang. Semoga ia tidak bangun
sampai bus ini tiba di Merak. Biar saja dia kesasar.
Jahat? Memang.
***
Aku mengerutkan keningku dan menarik nafas dalam-dalam
karena kesal. Sepertinya cowo ini benar-benar harus mengekor di
6
7. belakangku. Sepertinya Tuhan marah karena aku telah membohongi
cowo ini. Sekarang aku kena batunya.
“ Lo mau pulang ke Cilegon juga? Kita sama-sama kesasar nih.
Lo anterin gua sampe cilegon ya?”
“ Boleh sih... tapi masalahnya ongkos gua pas-pasan. Gua ngga
tahu bisa nganter lo atau ngga.”
“ Biar gua yang ongkosin deh.”
Aku terdiam dan ingin cepat-cepat menolak tawarannya tapi
kalau aku tolak mungkin aku tidak akan bisa sampai rumah dengan
selamat. Yah mungkin selamat tapi kaki gempor karena jalan kaki.
Duuuhhhhhhhhh, kenapa aku pakai acara ketiduran di bus segala
sih?!!!!
“ Gimana Gladis? Mau bantu gua ngga?”
Dengan terpaksa aku mengangguk mengiyakan permintaan `J`.
Semoga dia tidak menyusahkan aku.
“ Wah, makasih! Lo emang temen yang baik!”
Siapa yang temen lo? Sejak kapan lo jadi temen gua?!
“ Ayo kita berangkaaaaaaaaaatttttt!!!!”
Tanpa tanya-tanya dulu `J` langsung menarik dan menggandeng
tanganku tapi aku langsung menghempaskannya. Ia tampak sangat
terkejut.
“ Sori, gua ngga biasa digandeng cowo.”
“ Oh, sori. Gua ngga tahu. Kita berangkat?”
Aku melangkah mendahuluinya dan naik ke atas angkutan kota
menuju Cilegon.
Di angkutan `J` terus bersenandung dan mengajak supir
mengobrol. Dia sampai tukeran nomor ponsel dengan supir angkutan
itu. Ada saja yang ia obrolkan dengan supir angkutan itu. Tidak ada
habis-habisnya. Aku yang mendengarkannya saja pusing.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 1,5 jam kami sampai di
depan Matahari Departemen Store dan turun di sana.
“ Kita kemana sekarang?” tanya ` J` penuh semangat.
“ Lo mau kemana emangnya? Kalau gua sih mau pulang ke arah
sana.”
Aku menunjuk ke arah belokkan sebelah kiri di perempatan.
Moga-moga sampai di sini `J` mencari jalan tujuannya sendiri.
7
8. “ Mmmm, gua boleh nginep di tempat lo ngga?”
Haaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh!!!!!!!!!!!!!!
“ Apa lo bilang!?”
“ Gua boleh nginep di tempat lo ngga?”
“ Ha-Ha-Ha...lo jangan bercanda dong.”
“ Gua ngga bercanda. Gua ngga tahu harus kemana. Sejujurnya
gua...lagi kabur dari rumah.”
“ HAAAAAAAHHHH...Lo jangan bercanda dong. Kalau mau
kabur ke tempat lain aja! Gua ngga mau nyembunyiin lo!”
Aku bergegas berlari ke arah pangkalan tukang ojek dan menaiki
salah satu motor yang sudah siap memberikan jasanya.
Entah mimpi apa aku semalam. Kenapa bisa bermasalah dengan
orang macam dia. Semoga aku tidak akan pernah melihatnya lagi.
Aku memang kejam dan berdarah dingin. Mau bagaimana lagi.
Aku tidak bisa memasukkan orang yang baru aku kenal ke dalam
rumah. Siapa yang tahu kalau-kalau ternyata dia teroris atau buronan
yang sedang dikejar polisi. Aku tidak mau bermasalah dengan
kriminal.
Sampai di rumah aku langsung turun dan membayar ojek.
Ternyata di depan rumah Mama sedang membakar sampah. Beliau
tersenyum dengan hangat dan perlahan menghampiriku.
“ Sudah pulang? Kok keliatan capek sekali kamu, Sayang.”
Aku menghampiri Mama dan memeluknya dengan hangat. Kami
masuk ke rumah sambil aku menceritakan kejadian yang terjadi di
perjalanan.
PRANNGGGG!!!
Aku dan Mama langsung menoleh ke belakang saat mendengar
suara barang pecah. Dan aku melihat dia di sana dengan papan
skateboardnya.
“ Halo Tante!!!” seru `J` dengan senyum lebarnya sambil
mengumpulkan pecahan pot bunga Mama.
Mama menghampirinya dan tersenyum hangat.
“ Udah biarin aja. Cari siapa ya De?” tanya Mama dengan
ramah. Dengan kesal aku mengikuti Mama dan bertolak pinggang
melotot melihat ke arah `J`
“ Ternyata Gladis memang anak Tante toh.”
8
9. Mama menoleh ke arahku dan mengerutkan dahinya. Aku juga
jadi ikutan bingung.
“ Memang kamu siapa?” tanya Mama kali ini dengan nada yang
lebih penasaran.
“ Saya Jacob, Tante. Anak Pak Petrus temen sekantornya Om
dulu.”
Mama membulatkan mulutnya tanpa suara. Bergegas ia
membukakan pintu pagar untuk `J`. Aku semaaakin bingung.
“ Sudah besar sekali kamu `J`. Terakhir ketemu kayaknya kamu
masih ngompol di celana deh.” Mama merangkul `J` dengan akrab dan
berjalan masuk ke rumah tanpa mempedulikan diriku.
“ Gladis, bikinin minum buat `J` ya?”
Nah, Looooooohhhhhhhhhhhhh!!! Kenapa sekarang jadi gua
yang disuruh-suruh?
Tuhannnnnnn, apa maksudMu mengirim dia?!!!
****
“ Gladis, dia ini anak bungsu temen Papa waktu tugas di Timor
Timur. Dulu kalian juga pernah main bareng. Waktu kalian umur 5 dan
7 tahun.”
Aku tersenyum kecut mendengar cerita Mama.
“ Mana inget, Ma.”
Tanpa mempedulikan gumamanku Mama mulai ngobrol lagi
dengan `J`. Setiap kali aku berniat pergi meninggalkan mereka, Papa
langsung memanggilku dan mengajak bicara supaya aku ikut
bergabung dengan pembicaraan mereka.
Aku mau gabung kalau makhluk itu sudah keluar dari rumah ini!
“ Gladis, tolong beresin kamar di atas ya? `J` akan tinggal di sini
untuk liburan semester ini. Dia sedang mau liburan katanya.”
BAAAAAAGGGGGGGGGGUUUUUUUUUSSSSS...!!!
Duaniaku semakin HANCUUUUURRRRRR!
Dengan lemas aku naik ke lantai 2. Rasanya aku akan melewati
hari-hari yang menyebalkan. Kenapa aku harus berjodoh dengan dia.
Hiiiiiiiiiiiiieeeeeeehh!!!Kenapa aku harus terganggu dengan
keberadaannya. Aku `kan bisa bersikap biasa saja dan tetap tenang.
Aku tidak mau liburan panjangku menjadi suram hanya karena
pikiranku terganggu dengan hal yang `tidak penting`.
9
10. “ Ok, gua ga akan ngomel-ngomel lagi. Pikiranmu yang
menentukan kebahagiaanmu Gladis. Tetap semangat! Semangat!
Semangat!”
“ Lagi ngapain sih?”
Aku melemparkan bantal guling ke arah `J` dengan spontan. Dia
mengagetkanku. Tiba-tiba dia sudah nongol di pintu. Kayak hantu saja.
“ Ngga liat kalo gua lagi ngapain?”
“ Liat sih. Tapi dari tadi lo ngomong sendiri.”
` J` mengambil salah satu bantal dan menyarunginya. Ia
membantuku membereskan tempat tidurnya. Baguslah kalau dia mau
membantu.
Selesai menyarungi bantal ‘J’ sibuk memandangiku. Ia tidak
mengedipkan matanya sama sekali. Aku menghentikan kegiatanku
memasang seprai dan memandangnya dengan kesal.
“ Apa liat-liat?!” tanyaku, galak. ‘J’ tidak menjawab. Ia hanya
menunduk dan menarik napas dalam. Ia tampak berpikir sangat keras
dan tiba-tiba ia memandangku lagi tetapi kali ini dengan tatapan kesal.
“ Lo bener-bener lupa sama gua, Dis?” tanyanya terdengar putus
asa.
“ Mau lupa gimana? Gua ngga ngerasa kalau kita pernah
ketemu!” ujarku dengan nada sinis. ‘J’ mengatupkan rahangnya dan
terus memandangku.
Dasar cowo aneh! Bodo, ah!
‘J’ terus mengamatiku dan tidak bergeming dari tempatnya sama
sekali. Sampai akhirnya aku selesai melakukan tugasku ia malah
mencegat aku di pintu.
“ Eh, ngomong-ngomong lo benci banget ya sama gua?”
“ Hah?”
“ Kayaknya lo ga suka kalau gua ada di deket lo.”
“ Mmm...gimana ya? Sejujurnya iya.”
“ Kenapa?”
“ Gua ngerasa ngga nyaman aja. Kayaknya ada sesuatu dalam
diri lo yang mengharuskan gua menjauhi elo.”
`J` mengerutkan keningnya dan tersenyum geli. Dia tertawa dan
lama kelamaan tawanya semakin keras membuat kupingku pengang.
“ Gua tahu kenapa lo ga suka gua ada di dekat lo. Hahaha..”
10
11. “ Kenapa?”
“ Lo takut sampe naksir sama gua `kan? Iya ‘kan?”
Ya ampun, dia benar-benar membuatku mual dan muak. Aku ngga
bisa berdebat lagi dengannya. Lebih baik aku pergi.
“ Selamat tidur Mr. Narsis.”
Aku melangkah keluar dari kamar `J` dan meninggalkan cowo itu
yang masih tertawa seolah-olah apa yang dikatakannya tadi benar
adanya.
Dalam mimpi, lo baru boleh mikir kayak gitu!!!
***
“ Gladiiiisssss.....Gladiiiisssss....”
Aku membuka mataku perlahan mendengar namaku dipanggil.
Cahaya silau menerobos masuk ke dalam mataku sehingga aku sulit
untuk melihat. Setelah terbiasa dengan cahaya aku baru bisa melihat
siapa yang memanggilku.
“ HUAAAAAAAAAAAAAAAA........!!! Siapa yang bolehin lo
masuk ke kamar gua!!! PAPA!”
Aku mendorong `J` keluar dari kamarku dan menendang
pantatnya dengan keras hingga ia jatuh terduduk.
Hiiiiiiiiighh.....Dasar cowo ngga punya sopan santun!!!
“ Ada apa Gladis?”
Mama tergopoh-gopoh datang dari dapur dan Papa muncul masih
dengan handuk di pinggangnya.
“ Dia masuk kamarku sembarangan!”
Papa dan Mama langsung melihat ke arah `J`. Cowo itu
menyeringai dan berusaha bangkit berdiri. Ia meringis pelan sambil
mengusap pantatnya yang tadi kutendang.
Biar tahu rasa!
“ Saya cuma mau bangunin Gladis kok Om, Tante. Habisnya anak
perempuan kok masih tidur udah jam segini.”
Aku melihat ke arah jam dinding kamarkua dan menunjukkan
sudah pukul setengah 12 siang. Wajahku terasa panas. Aku merasa
tersindir dan diejek. Tahu apa dia tentang anak perempuan!
“ Boleh aja `J`. Tapi bukan begitu caranya. Di rumah ini laki-laki
dilarang masuk kamar perempuan sembarangan. Kalau mau bangunin
dari luar saja. Bisa `kan ngikutin peraturan ini?”
11
12. “ Bisa sih Om. Sori deh, Dis. Gua `kan ngga tahu.”
“ Makanya tanya-tanya dulu! Ini `kan bukan rumah lo, jadi jangan
sembarangan!”
BRAK!
Aku masuk ke kamar dan membanting pintu keras-keras. Kukunci
pintu kamar dengan kesal. Sepertinya suasana hatiku akan sulit untuk
diubah menjadi senang kalau ada dia terus di rumah ini.
Bodo amat!!! Gua ngga mau mikirin terus!
****
Karen tersenyum memandangku dengan lembut. Semua
kekesalanku pada `J` kuluapkan padanya. Sekarang aku merasa lebih
lega.
“ Gladis, Gladis. Hihihi...lo tuh lucu. Kenapa juga lo pusing
banget sama dia. Gua udah liat dia tadi di depan. Kayaknya orangnya
baik kok. Kenapa kamu pusing banget cuma gara-gara dia narsis. Apa
karena takut predikat narsis lo diambil sama dia?”
“ Yeeeeeeeeee....gua `kan ga senarsis itu `Ren. Gua kesel aja
sama ocehan dia itu. Aduh pokoknya gua ngga suka sama gaya-
gayanya dia yang serampangan itu!”
“ Serampangan gimana? Dia rapih kok.”
“ Maksud gua kebiasaan ngomongnya yang ngga bisa diem itu!
Ada aja yang dia omongin.”
“ Hahaha....Emang dia ngga boleh ngomong ya, Dis? Dia ‘kan
punya mulut kalau ngga dipake kasian dong. Hehehe..”
“ Bukannya gitu juga. Pokoknya kalo denger dia ngomong tuh
pusing banget. Suka seenaknya aja ceplas ceplos. Kagak dipikirin dulu.
Tahu deh tuh buat apa otak dipasang dikepala.”
Karen menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah lakuku
yang tidak biasanya.
Memang aku biasanya tidak seperti ini. Hanya pada 1 makhluk itu
saja aku gampang kesal. Mungkin karena dari pertama dia sudah
memberikan kesan jelek padaku. Karen pasti tahu kalau aku yang saat
ini sedang kesal bukanlah diriku yang sebenarnya.
Karen adalah sahabatku sejak di bangku SMP jadi dia sudah
mengenalku luar dalam. Aku tidak perlu mengatakan apa penyebab aku
marah atau kesal dia akan langsung mengerti.
12
13. TOK!TOK!
“ Masuk!” seruku saat mendengar suara ketukan di pintu kamarku.
Tadinya kupikir yang akan muncul adalah Mama tapi ternyata `J`
sambil membawa sirup jeruk.
“ Nih, minumannya. Lo bisa ngambil sendiri `kan? Kenapa harus
nyokap lo yang nyiapin sih? Manja banget.”
Kupingku mulai memanas lagi mendengar kata-kata `J`. Aku
belum pernah ditegur dengan cara seperti itu. Dia berbicara seolah-olah
itu adalah hal yang biasa. Padahal ditegur di depan orang lain
merupakan hal yang paling memalukan bagiku.
Karen memandangku memberi tanda agar aku bersabar. Aku
menarik nafasku dalam-dalam dan tidak membalas ucapan `J`.
`J` memandangku beberapa saat lalu tersenyum pada Karen.
“ Kalau perlu yang lain bilang aja ya? Gua ada di dapur bantuin
Tante bikin cookies. Ntar gua bawain, lo pasti suka deh. Resepnya dari
gua lohh! Tunggu ya!”
Saat `J` menghilang di balik pintu aku mencibirkan bibirku.
“ Siapa yang butuh kuenya?! Palingan nanti aku keracunan!”
“ Gladis...Kayaknya dia ngga kayak yang lo kira deh. Dia emang
`cerewet` tapi selain itu dia kelihatan baik banget.”
“ Lo jangan tertipu dengan tampangnya yang cute itu. Liat aja cara
dia yang nyerocos tanpa jeda n ngga dipikirin.”
“ Iya sih. Tapi semuanya yang dia bilangin itu bener kan, Dis.”
“ Maksud lo, gua yang salah?!”
“ Nggg......gimana ya , Dis.”
“ Iya juga sih. Emang gua yang salah. Tapi `kan caranya bisa
dengan cara yang lebih baik. Gua malu ditegor di depan lo, Ren.”
“ Yah, di depan gua ini, Dis.”
“ Tetep aja! Buat gua dia tetep nyebelin.”
***
“ Jangan bilang-bilang ya, Ren. Ini rahasia.”
Karen terkikik memandangku. Ia melihat ke arah kantong plastik
kue yang sudah kosong. Buat dia memang lucu karena aku
menghabiskan cookies buatan `J`. Tapi buatku itu tidak lucu. Kuenya
memang enak tapi aku memakannya sebagai pelampiasan.
13
14. Nggg....sebenarnya setengah pelampiasan karena kuenya memang
benar-benar enak.
“ Yuk, kita berangkat!”
Aku dan Karen berencana pergi untuk reunian dengan teman-
teman SMU kami. Sudah lama kami tidak bertemu dengan mereka.
Jadi kami ingin melepas rindu di SMU kami yang lama. Sekalian
menikmati masakan Ibu Kantin.
“ Gladis, kamu ajak `J` juga dong!”
Langkahku dan Karen langsung terhenti saat mendengar perintah
Mama. Dengan berat aku menoleh dan melihat wajah `malaikat` itu.
“ Papa udah ngasih ijin buat kamu pergi dengan mobil tapi ngajak
`J` dan biar dia yang nyetir.”
Aku bingung mengekspresikan perasaanku sendiri. Apakah aku
harus senang ataukah aku harus sedih karena harus berada 1 mobil
dengan `J`.
Huuuuuuuuuhhhhhhhhhhh...rasanya kesal sekaliiii!!!!
“ Ayo, kita berangkat!”
Aku memutar bola mataku dengan muak mendengar cara `J`yang
sok memimpin.
Kami berangkat dengan menaiki sedan BMW Papa. Papa jarang
memakainya. Biasanya beliau berangkat dengan motor. Sekarang
beliau meminjamkannya pada `J`, ini merupakan suatu keajaiban. Papa
paling sulit diminta meminjamkan mobilnya. Kalau mobil itu tergores
sedikit saja dia bisa marah 1 bulan.
Ternyata `J` pintar mengemudi juga. Dalam 10 menit saja kami
sudah sampai di SMU kami. `J` memarkirkan mobil Papa di tempat
parkir sementara aku dan Karen pergi ke kantin tempat teman-teman
kami sudah berkumpul. Serempak mereka memanggil namaku dan
Karen.
“ Gimana kabar lo, Dis? Tambah cakep aja lo!”
Yuli, salah satu teman dekatku di kelas tiga memelukku dengan
erat. Ia terlihat berbeda sekali. Tubuhnya yang dulu gembrot sekarang
terlihat ramping.
“ Lo sendiri kok bisa nongol dengan badan OK begini?”
Yuli hanya tersenyum tersipu mendengar pujianku. Tak lama
kemudian ia menoleh ke arah sekolah dan tersenyum lebar.
14
15. “ Fans berat lo udah dateng tuh.”
Aku menoleh ke arah pandangan Yuli dan merasakan jantungku
berdegup kencang. Tak jauh dari hadapanku Ryan sedang melangkah
ke arahku. Senyumnya yang dulu masih sama, selalu bisa membuatku
terpaku.
“ Halo Gladis. Apa kabar? Udah lama ngga ketemu ya?”
Ryan mengulurkan tangannya dan aku menyalamnya dengan erat
dan cukup lama. Kami saling berpandangan dan aku merasakan saat itu
seolah-olah hanya kami berdua yang hidup di dunia.
Perlahan aku merasakan kehangatan dari dada sampai ke pipi. Dan
lama-lama wajahku terasa panas. Dia selalu membuatku merasa ngga
karuan seperti ini.
“ Apa kabar? Lo ngga banyak berubah ya?”
“ Lo juga, Dis. Tetap cantik dan hangat.”
Aku tersenyum tersipu mendengar kata-katanya. Kurasakan
rongga dadaku terasa penuh dengan kehangatan. Aku rasa, aku masih
menyukainya.
“ Gua jadi nyesel ha......”
Aku menundukkan kepalaku sebagai tanda agar ia tidak
melanjutkan kata-katanya. Aku tahu dia sangat merasa bersalah dengan
keputusannya sendiri. Memang sangat menyakitkan untukku dan dia.
Tapi aku merasa itulah yang terbaik.
Hubungan kami terputus karena Ryan berpacaran dengan salah
satu adik kelas kami. Aku baru menyadari perasaanku saat Ryan sudah
tidak sendiri lagi. Lalu...kami saling mengungkapkan perasaan kami
saat perpisahan sekolah. Ternyata Ryan memiliki perasaan yang sama
denganku. Tapi semuanya sudah terlambat. Ryan telah memutuskan
untuk terus bersama-sama dengan pacarnya.
Aku tidak bisa protes dong. Ryan memang cinta pertamaku yang
sekaligus sahabat laki-laki terbaikku dan aku ngga pernah menyesal
untuk mencintainya. Aku bangga bisa mengenal pribadinya. Sekalipun
aku tidak bisa memilikinya aku tetap berbahagia untuk hidupnya.
Walaupun terasa sakit dan aku sedikit berharap dia akan kembali
padaku.....
“ Maaf. Gua keceplosan.”
15
16. “ Gua tahu lo cuma mau menghibur gua. Tapi lo kudu inget sama
yayang lo.”
“ Iya. Maaf ya?”
“ Ga apa-apa....Gimana....kabar Olive?”
“ Nggg....ini.”
Ryan merogoh tasnya dan mengelurakan sebuah undangan. Ia
tampak ragu-ragu untuk memberikannya tapi toh, akhirnya aku
menerimanya juga.
“ Tiga minggu lagi gua dan Olive akan tunangan. Orangtua gua
dan Olive pengen kita segera ngeresmiin. Soalnya kita udah lama
banget pacaran. Gua harap lo mau dateng.”
Aku tidak berani membuka undangan yang ada ditanganku. Aku
tahu banget apa isinya. Kata-kata Ryan sudah cukup bagiku.
Tadinya kupikir aku akan baik-baik saja jika suatu saat Ryan
mengantarkan undangan padaku tapi ternyata lebih sakit dari yang
kukira. Ini pun baru undangan pertunangan, bagaimana jika undangan
pernikahan?
Hahahhaha....aku ini memang aneh.
“ Tenang saja! Aku pasti akan datang!”
Aku tersenyum lebar padanya berusaha menutupi perasaanku
yang sesungguhnya. Kebahagiaan Ryan harus bisa menjadi
kebahagiaanku juga. Aku tak mau merusaknya.
Ryan tampak tersenyum lega mendengar jawabanku. Ia mengusap
kepalaku pelan membuatku semakin merasa sakit. Dengan susah payah
kutelan gumpalan besar ditenggorokanku dan ternyata rasanya nyeri
sekali.
“ Gladis, tas kamu ketinggalan nih! Oh ya, tadi foto ini gua temuin
jatuh di jok. Ini pacar lo ya? Cakep juga!”
Aku terlonjak saat `J` sudah berdiri di dekatku. Ia memandang
terkejut pada Ryan dan memandang foto yang ada ditangannya
bergantian.
“ Cakepan aslinya ya?”
Jantungku serasa melorot. Apa yang telah dilakukan `J`!?
Aku menoleh pada Ryan dan ia memandangku dengan pahit. Aku
tidak mau dia memandangku dengan cara seperti itu! Aku tidak butuh
dikasihani!
16
17. Aku merampas foto yang ada di tangan `J` dan segera
meninggalkan sekolah. Aku tidak mau Ryan melihat wajahku.
Kudengar Ryan dan Karen memanggilku dengan keras tapi aku
tidak pedulikan. Aku tidak mau Ryan melihat wajahku dan
menanyakan apa yang seharusnya tidak perlu ditanyakan lagi.
“ Gladis! Gladis! Gladis! Berhenti! Aku mohoon!!”
Ryan terus berseru meneriakiku berusaha untuk menghentikanku
tapi aku tidak mau berhenti sekalipun hatiku ingin. Aku tidak mau
semuanya menjadi lebih berat dari ini. Sudah cukup rasa perih yang
aku rasakan setiap kali melihat Ryan. Aku tidak mau lagi!
Aku....
“ GLADISS AWASSSSSSSSS!!!!!”
BRAAAAAAAAAAAAAAAAAKKKK!!!
***
BAB II
17
18. “ Gladis!! Gladis!! Gladis.....Gladis!”
Aku terpaku memandang cowo itu yang memeluk tubuh Gladis
yang bersimbah darah. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan.
Aku seperti melihat adegan di film-film tapi yang ini kenyataan.
“ Gladis....Huk...huk...Aku mohon! Siapa saja tolong telepon
ambulans!”
Mendengar teriakan cowo itu bergegas aku merogoh ponselku
dan menelepon ambulans. Mungkin masih ada harapan untuk Gladis
tetap hidup.
“ Gladis....”
Karen berdiri gemetar di dekatku dan menahan teriakannya
dengan tangannya. Wajahnya memucat dan sepertinya dia akan jatuh
jika tidak dipegangi. Bergegas aku memegang bahunya agar ia tetap
bertahan.
“ Sebentar lagi ambulans datang. Kamu tenang saja. Dia akan
baik-baik saja.”
Iya, dia pasti akan baik-baik saja. Aku harap.
***
Rumah ini sekarang terasa sangat sepi. Om dan Tante menjaga
Gladis di rumah sakit. Gadis itu sedang mengalami koma dan tidak
tahu kapan akan bangun.
“ Mungkin seharusnya aku tidak membawa foto itu padamu. Aku
memang selalu saja bertindak ceroboh dan tidak memikirkan apa yang
seharusnya tidak kulakukan. Maafkan aku Gladis, aku tidak
bermaksud.”
Selalu begini...Sejak dulu selalu begini. Membawanya dalam
masalah dan akhirnya aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk
menolongnya.
“ Gladis....”
Aku terus memandang foto Gladis yang ada di ruang tengah dan
terus berdoa untuk keselamatannya. Aku tahu dia begitu membenciku
dan dia juga tidak mengingatku sama sekali, aku marah padanya karena
dia melupakanku tapi...
18
19. Gladis, aku memang sakit hati karena kau menyukai cowo lain.
Aku mencoba menutupi perasaanku dengan cara menggodamu
tapi...Aku tidak tahu kalau semuanya akan jadi begini!
Sekarang aku harus bagaimana? Apa yang harus aku lakukan?
Padahal, hanya kau yang bisa menolongku!
“ Padahal aku datang ke sini bukan untuk melihatmu seperti ini.
Aku datang untuk menjemputmu...Bukan mengantarmu...”
TULULUT! TULULULUT!
Telepon di ruang tengah berdering. Bergegas aku ke ruang
tengah dan mengangkatnya. Siapa tahu berita penting dari Om
mengenai Gladis.
“ Halo?”
“ Halo, `J`? Ini Om.”
“ Om, gimana keadaan Gladis?”
“ Belum ada perkembangan. Kamu tenang saja, Om dan Tante
akan menjaganya.”
“ Om, lebih baik Tante tunggu di rumah. Kasihan, pasti
kecapean. Biar gantian dengan saya.”
“ Om sudah membujuknya tapi Tantemu itu tidak mau. `J` tolong
datang ke sini ya? Om mau pulang untuk mengambil baju dan
mengurus beberapa urusan. Tolong kamu jaga Tantemu dulu.”
“ Iya, Om. Saya segera ke sana.”
Tanpa menunggu-nunggu lagi aku segera mengambil kunci
motor Om dan memakai motornya menuju rumah sakit.
Tidak banyak yang bisa aku berikan untuk keluargamu Gladis.
Aku hanya bisa memberikan apa yang keluargamu butuhkan. Mungkin
tampaknya ini sebagai pembayaran atas rasa bersalahku tapi
sebenarnya bukan sekedar itu. Aku benar-benar menyayangi Om dan
Tante. Dan aku menyayangimu. Memang kamu tidak menyadarinya,
bahkan melupakannya...
Gladis, maafkan aku.....
“ `J`! `J`!”
“ Iya?!” aku menoleh saat seseorang memanggilku di belakang.
Tepat ditelingaku.
Ternyata yang ada dibelakangku adalah Gladis. Huh, kupikir
siapa.
19
20. HAH!!!GLADISSSSSS???!!!!
Aku mengerem motorku dengan mendadak dan hampir saja aku
menabrak becak yang ada di depanku.
“ Ngapain lo di sini? Bukannya lo di rumah sakit?!”
“ Aduh `J`, akhirnya ada yang mau dengerin gua! Tolongin gua
`J`! Tuhan nyuruh gua balik ke bumi dan nyelesein tugas gua dulu di
dunia. Tapi Dia kagak ngasih tahu gimana caranya balik ke badan gua
lagi.”
Ap...Apa maksudnya?
Aku berbalik dan memandang Gladis yang mengenakan jubah
putih. Tubuhnya bersinar sangat terang dan wajahnya tampak bening
dan bersih. Ada kehangatan yang aku rasakan dari cahaya itu terutama
saat Gladis tersenyum.
“ Lo harus tolongin gua `J`. Cuma elo yang bisa dengerin gua
berarti cuma elo yang bisa nolong gua.”
Aku semakin tidak mengerti dengan perkataan Gladis. Tapi
firasatku mengatakan ada sesuatu yang tidak beres.
“ Lo ini....sebenarnya sakit atau ngga?” tanyaku ragu-ragu.
Gladis tersenyum geli. Ia tampak senang dan bingung bercampur aduk.
“ Sebenernya gua ngga mau balik ke dunia tapi Tuhan nyuruh
balik. Gua mau gimana lagi? Yang lo liat ini sekarang roh, bukan
tubuh.”
Aku tercenung berusaha mencerna kata-kata Gladis. Roh, bukan
tubuh. Maksudnya dia sudah meninggal?
Bulu kudukku langsung merinding dan bergegas aku menunduk
dan memohon padanya.
“ Gladis......maafin gua!!! Gua ngga bermaksud bikin lo mati
dengan cara kayak gini! Please maafin gua! Tolong jangan ganggu
gua!”
“ Ih, gimana sih! Gua belum mati! Gua cuma ngga tahu gimana
caranya balik ke tubuh gua lagi. Makanya gua minta bantuan lo!”
Aku mengangkat kepalaku dan memandang Gladis dengan
seksama. Dia tidak bohong. Aku mengangkat kepalaku dan menarik
napas lega.
“ Oh, gua kira lo udah mati!”
20
21. Gladis menggertakkan giginya gemas. Ekspresi wajahnya
membuatku teringat pada Gladis yang selalu merasa kesal setiap kali
kuganggu waktu kecil. Dia tidak berubah sama sekali.
“ Gimanapun gua bukan paranormal. Gimana gua bisa bantu lo
balik?”
“ Gua juga ngga tahu.”
Aku dan Gladis saling terdiam. Aku hanya bisa melihatnya dan
mengagumi cahaya yang melingkupinya. Wajahnya jadi terlihat lebih
cantik daripada biasanya.
“ `J`, gua harus ke rumah sakit. Mungkin kalo gua ketemu tubuh
gua, gua bisa balik lagi.”
“ Ok, ayo berangkat.”
***
Di rumah sakit aku segera menuju tempat Gladis dirawat. Di
depan pintu kamar ternyata Om sedang menunggu dengan gelisah. Di
samping beliau roh Gladis berusaha memeluk dan menghiburnya tapi
tidak bisa. Ia tampak sangat frustasi.
“ Om, maaf terlambat.”
“ Ngga apa-apa. Kamu tunggu di sini ya? Om buru-buru sekali.
Tolong jaga Tante kamu. Kalau mau lihat keadaan Gladis masuk saja
tapi pakai pakaian steril.”
“ Ok, Om tenang aja.”
Dengan menghilangnya Om dari lorong aku bergegas
mengenakan pakaian steril dan menemui Tante yang sedang menjaga
Gladis.
Perlahan aku memasuki ruangan yang berbau obat. Benar-benar
bau khas rumah sakit.
Sementara aku menghampiri Tante, Gladis menghampiri
tubuhnya dan mencoba untuk kembali masuk ke dalamnya.
“ Tante, lebih baik Tante istirahat dulu. Biar saya yang jaga.”
“ Ngga `J`, biar Tante yang jagain Gladis. Tante ngga mau
sampe terjadi sesuatu pada Gladis waktu Tante tidur,”
“ Mama.....”
Gladis berpaling pada Mamanya dan berlutut di kakinya. Ia
mulai menangis dan terisak.
21
22. “ Maafin Gladis, Ma. Selalu saja nyusahin Mama. Mama, Gladis
janji pasti akan sembuh.”
“ Sudah kamu coba belum?” tanyaku pada Gladis.
“ Sudah, tapi ngga bisa.”
“ Trus gimana caranya?”
“ `J` kamu ngomong sama siapa?”
Aku langsung menutup mulutku begitu menyadari kalau Tante
tidak menyadari kehadiran Gladis. Tante pasti mengira aku ngomong
sendiri.
Berarti waktu tadi di jalan.........
Waduh, turun deh pasaran gua!! Cakep begini bisa dibilang gila
gua. Ngomong sendiri kayak orang gila baru.
“`J, gua harus gimana dong?”
Aku tidak bisa menjawab pertanyaan putus asa Gladis.
Bagaimanapun aku memang bukan Tuhan ataupun paranormal yang
bisa membantunya untuk kembali ke tubuhnya.
Pelan-pelan aku meninggalkan ruang ICU dan memberi tanda
pada roh Gladis untuk mengikutiku. Aku ingin bicara dengannya tapi
tanpa harus terlihat bodoh di depan orang lain.
“ Emangnya Tuhan ngga bilang apa-apa waktu lo disuruh balik?”
tanyaku saat kami sudah ada di luar.
Gladis menggeleng dan menundukkan kepalanya.
“ Mungkin ada cara tapi gua ngga tahu apa. Lo tenang aja. Gua
pasti bantu elo.”
Gladis kembali mengangkat wajahnya dan tersenyum penuh rasa
terima kasih. Tak berapa lama kemudian pandangannya beralih ke
belakangku. Aku menoleh dan melihat Ryan yang berjalan bersama
seorang cewe manis.
“ Itu Ryan sama siapa?” tanyaku pada Gladis. Tetapi saat aku
berpaling pada Gladis dia sudah tidak ada. Ternyata dia sudah
menghilang entah kemana.
“ Gladis lo kemana? Jangan ngilang tanpa pamit dong!” bisikku
berharap ia mendengarkanku. Dan sepertinya dia sudah benar-benar
kabur atau bersembunyi.
“ Ngg...kamu...temannya Gladis `kan? Keadaan Gladis gimana?”
22
23. Aku berpaling pada Ryan saat ia mengajakku bicara. Aku
tersenyum lebar padanya dan merasa bingung harus menjawab apa.
“ Ohh, iya. Panggil aja gua `J`.”
“ Salam kenal `J`. Jadi, gimana keadaan Gladis?”
“ Dia baik-baik aja kok. Cuma sekarang gua ngga tahu dimana
tuh anak. Dari tadi gua panggilin ngga nongol-nongol juga.”
Ryan tercenung mendengar penjelasanku. Sepertinya dia tidak
mengerti dengan apa yang kukatakan.
“ `J`, lo jangan bikin dia bingung dong! Dia `kan ngga bisa
ngeliat roh gua!”
Suara Gladis terdengar entah dari mana asalnya mengingatkan
bahwa yang selama ini kutemui adalah rohnya yang `gentayangan`. Ya
ampun, kenapa aku bisa lupa?
“ Gua cuma bercanda. Gladis masih koma dan belum ada
perkembangannya. Yah, kita cuma bisa berdoa sekarang ini.”
Aku berbicara seperti orang yang benar-benar prihatin tapi
sebenarnya tidak. Karena aku mendengar sendiri kalau Gladis akan
baik-baik saja kalau dia sudah kembali ke tubuhnya.
“ Ryan, maaf ya. Seharusnya aku ngga muncul di antara
kalian....”
Cewe yang tadi datang dengan Ryan menghampiri kami dan
memeluk lengan Ryan dengan erat. Ia tampak sangat merasa bersalah.
“ Ngga. Kamu ngga salah Olive. Kamu ngga salah. Aku yang
salah....Aku yang salah...Huk...huk..”
Ryan mulai menangis seperti saat kejadian kecelakaan.
Tangisnya terdengar sangat menyakitkan.
“ Kayaknya sebenarnya gua yang salah deh. Seharusnya `kan gua
ngga perlu nunjukin foto itu. Gladis, lo pasti marah banget sama gua.”
Entah apakah Gladis mendengar bisikanku atau tidak. Tapi aku
bisa mendengar suara isakan tangis Gladis di sebelahku.
Apa yang harus aku lakukan untuk menolongnya? Setidaknya
membantunya mencari jalan untuk bisa kembali ke tubuhnya.
Duuuuuuuuhhhhh.... Kenapa Tuhan kasih yang susah-susah sih?
Kasih petunjuk dong Tuhan! Please!
***
23
24. Aku mondar-mandir di kamarku menunggu Gladis pulang dari
surga. Kami sepakat untuk menanyakan cara-cara balik ke tubuh
manusianya pada Tuhan atau setidaknya malaikat Gabriel.
“ `J`, gua pulang!”
Aku melihat ke langit-langit kamarku dan Gladis muncul dengan
kakinya terlebih dahulu. Ia turun dengan cepat hingga berdiri di
hadapanku.
“ Ada beberapa pesan buat gua. Gua ngga boleh kasih tau siapa
pun tentang roh gua. Tapi kalau ada manusia normal yang bisa denger
dan ngeliat gua, dia bisa nolong gua. Itu elo `J`! Terus buat balik ke
tubuh manusia gua.....gua harus selesain masalah gua dengan orang
yang bermasalah dengan gua. Terus jalan keluar lainnya....harus ada
orang yang bener-bener mau mati buat gua supaya gua hidup lagi.....”
Aku dan Gladis saling pandang, bertambah bingung.
“ Gimana cara nyelesain masalah lo, Dis. Memangnya siapa
yang bermasalah sama elo?”
“ Gua ngga tahu. Rasa-rasanya gua baik-baik aja kok sama siapa
aja.”
“ Berarti ngga ada masalah dong. Kalau di suruh nyari orang
yang mau mati buat lo.....gua bingung siapa....Mungkin Ryan.”
“ Lo jangan bercanda!”
“ Gua ngga bercanda. Ryan pasti rela mati buat elo....Dia
kayaknya sayang banget sama elo.”
Gladis terdiam. Matanya mulai kosong dan pikirannya
menerawang entah kemana.
“ Ryan ngga boleh mati. Dia ngga boleh ninggalin Olive begitu
aja cuma gara-gara gua....dan lagian...gua tahu kok kalau perasaan
Ryan udah ngga kayak dulu lagi. Dia cuma memandang gua sebagai
teman...ngga lebih.”
Sebenarnya aku tidak tahu pasti apa yang Gladis dan Ryan alami
tapi menurutku Gladis sebenarnya bermasalah dengan Ryan dan harus
segera membereskannya.
“ Gladis...kayaknya lo harus ngeberesin masalah lo dengan
Ryan....Ada yang mau lo tanyain sama dia `kan?”
Gladis memandangku sambil terus berpikir. Ia mengerutkan
dahinya seolah berusaha mengeluarkan ingatan dari kepalanya.
24
25. “ Gua....pengen tahu...apa dihatinya masih ada gua...”
Aku menundukkan kepalaku agar tidak melihat ekspresi Gladis
yang begitu tampak sedih. Wajahnya itu...membuat perasaanku
sakit...Tahu dehh kenapa. Dia yang sedih kenapa gua yang sakit?
Aku mengambil pensil dan kertas lalu duduk di depan meja
belajar. Aku mulai melukis ekspresi wajah Gladis yang tampak sedih
tapi...ehmmm..cantik..
“ Lo ngapain `J`?” tanya Gladis sambil mengintip berusaha
melihat apa yang sedang aku lakukan.
“ Gua rasa lo harus tanya apa yang lo rasain itu Gladis. Kalau lo
mau biar gua kirimin surat buat Ryan. Mungkin dengan dijawabnya
pertanyaan lo, lo bakalan balik lagi ke tubuh lo.”
“ Gua ngga yakin.”
“ Kita coba aja dulu. Kita `kan ngga akan tahu kalau ngga
dicoba.”
“ Tapi gua takut `J`. Gua takut kalau-kalau jawaban yang akan
gua terima ngga sesuai dengan harapan gua.”
Aku menghentikan acara melukisku dan berbalik memandang
Gladis yang tampak sangat cemas. Ia menatapku dengan mata besarnya
seolah memohon agar memilih cara lain.
“ Kadang-kadang walaupun ngga sesuai dengan harapan kita apa
yang kita terima itu justru yang terbaik.”
“ Tapi kalau sakit......gua takut ngga sanggup hadapinnya `J`.”
Aku mendekati Gladis dan meraih tangannya. Tidak bisa
kusentuh tetapi aku akan tetap menggenggamnya. Aku ingin dia tetap
merasa aman. Aku ingin dia tahu kalau aku akan selalu ada untuknya
sekalipun mungkin dia tidak akan pernah menghargainya.
“ Gua akan di dekat lo. Gua akan temenin lo sampe lo bisa kuat.
Gua percaya kalau lo bakal kuat. Karena Gladis yang gua kenal adalah
cewe gahar yang ngga mau terganggu sama hal macam apa pun. Bener
ngga gua?”
Gladis tersenyum lembut dan membalas genggaman tanganku
sekalipun yang kurasakan hanyalah udara. Ada binar harapan yang
kulihat dimatanya.
25
26. `J` yang cakep n keren kakakmu tersayang menelepon. Tolong
diangkat dong! `J` yang cakep n keren kakakmu tersayang menelepon.
Tolong diangkat dong!
Wajah Gladis langsung mengernyit geli mendengar ringtone
hpku. Hehehe...dia pasti nganggep gua narsis deh.
Aku menyambar hpku dengan cepat agar suara deringannya yang
memang narsis itu segera berhenti.
“ Iya, ada apa?” tanyaku pada kakak ketigaku. Ia yang
memasang ringtone itu di hpku. Ia juga memasang fotonya sendiri.
Keluargaku memang keluarga narsis.
“ Kamu kemana aja sih?! Kakak-kakakmu kangen tahu!” suara
Kak Hana yang cempreng memekakan telingaku. Sudah lama aku tidak
mendengar suaranya. Kangen juga.
“ Aku lagi di rumah Om Daud. Kakak ngga usah khawatir. Kalau
kangen `kan tinggal telepon atau sms.”
“ Kakak maunya kamu ada di sini! Ribka uring-uringan terus
sejak kamu kabur dari rumah. Pusing denger dia marah-marah terus.”
“ Yah, Kak Ribka kok bisa gitu. Uring-uringannya gara-gara aku
atau gara-gara berantem sama Kak Erik? Biasanya kalau aku ngga ada
dirumah Kak Ribka tenang-tenang aja `kan?”
“ Yah, dua-duanya juga sih. Udah, kamu cepet pulang ya?”
“ Aduh, ngga bisa Kak. Di sini lagi ada masalah yang ngga bisa
aku tinggalin.”
“ Masalah apaan sih? Kayaknya penting banget.”
“ Aku harus bantuin Gladis balik ke tubuhnya.”
“ Hah? Maksudnya?”
“ Eh, maksud aku Gladis lagi di rumah sakit. Dia kecelakaan dan
udah 3 hari ngga siuman juga.”
“ Hah!! Gladis.....Gimana sih? Katanya kamu mau bawa dia ke
sini kenapa sekarang malah jadi koma?”
“ Loh, itu bukan salah aku!!”
“ Pokoknya aturan `kan kamu jagain dia! Kalau kamu ngga mau
dijodohin sama Papa dan Mama kamu harus bawa Gladis ke sini dalam
keadaan selamat. Tanpa kurang suatu apapun juga!”
“ Maunya gitu. Tapi aku `kan ngga tahu bakal kayak gini.
Makanya aku ngga bisa pulang.”
26
27. “ Ya udah, jangan pulang sampai Gladis sembuh! Jagain dia
baik-baik ya?!”
“ Iya...”
“ Bye, De. Jaga diri! Love you! GBU!”
“ Bye.”
Aku menutup telepon sambil menarik nafas pelan. Untunglah
Kak Hana tidak memaksaku pulang kalau tidak entah bagaimana nasib
Gladis.
Aku berbalik untuk menceritakan pada Gladis tentang
pembicaraanku dengan kakakku tapi ternyata ia sudah bertolak
pinggang dan memandangku penuh tanya. Dahinya mengkerut
membuatku merasa dipaksa untuk menceritakan semuanya.
Memang dia dengar semua pembicaraanku di telepon ya?
“ Sebenarnya kamu ini siapa sih `J`?” tanyanya memaksa. Ia
memandangku dari atas ke bawah seakan-akan ia baru menemukanku
dari galian tanah.
“ Kenapa gua harus ikut lo supaya lo ngga ditunangin?
Memangnya gua bisa melakukan apa buat lo?”
Yah, kayaknya gua harus bongkar semuanya deh.
“ Lo emang tega sih, Dis. Gua sama lo `kan udah temenan sejak
lama. Gua udah ngelamar elo waktu umur lo 5 tahun!”
Gladis memandangku dengan wajahnya yang paling heran.
Perlahan tawanya lepas dan ia menunjukku seperti menuduhku gila.
“ Huahahaha...Lo ngaco ya? Lo ngelamar gua waktu umur 5
tahun? Gua aja baru kenal lo beberapa hari yang lalu. Hahaha..Itu juga
gua mendapat kesan yang buruk dari lo.”
“ Yah, waktu itu lo masih kecil banget sih. Gua `kan berumur 7
tahun waktu ngelamar lo, jadi gua inget banget. Pokoknya waktu itu lo
seneng banget dan langsung bilang iya. Pake nyium pipi gua lagi.”
“ Hieeeeeeeee...amit-amit!”
“ Gua ngga bercanda. Sebulan yang lalu BoNyok mau jodohin
gua dengan anak rekan kerja bokap tapi gua ngga mau. Gua inget sama
lo dan elo gua jadiin alasan buat nolak pertunangan itu. BoNyok
nyuruh gua ngebawa lo ke hadapan mereka baru mereka mau
ngebatalin pertunangan itu. Kakak-kakak gua sih seneng lo yang jadi
ipar mereka. Dulu `kan mereka sayang banget sama lo.”
27
28. “ Jadi maksud lo, lo minta gua ikut sama lo buat ngebatalin
pertunangan lo?”
“ Iya, cuma sampe gua bener-bener dapet cewe yang tepat.”
“ Yeeee....Kenapa juuuga gua yang jadi susah?”
“ Cuma 1 tahun kok, Dis! Gua dah komitmen soalnya buat ngga
pacaran sebelum dapet kerja! Satu tahun lagi `kan gua lulus.”
“ Iya, kalau lulus tapi belum dapet kerja gimana?”
“ Ya....sampe dapetlah!”
“ Gua ngga mau!!”
Gladis membuang mukanya. Ia membuatku kesal juga.
Kepalanya keras banget, lebih-lebih hatinya.
Gimana caranya supaya dia mau ya? Hmmm.....hehehehe....Dia
butuh, gua juga butuh. Kita negosiasi aja.
“ Gladis gini aja deh. Gua bantu elo dan elo bantu gua.”
“ Apaan? Siapa yang mau bantu elo?”
“ Kalau gitu bye.bye! Ngga usah balik ke badan lo ya?”
Gladis terpaku mendengar kata-kataku. Ia menoleh dan
memandangku dengan tidak terima.
“ Kalau lo janji mau bantu gua, gua pasti akan bantu elo.”
Gladis memonyongkan mulutnya karena kesal. Ia berpikir
beberapa saat dan akhirnya mengangguk dengan berat.
“ Hanya sampai lo bekerja!”
“ Ok! Thanks ya! Hehehe...”
Setidaknya aku tertolong. Masalah siapa yang rugi belakangan
saja.
***
28
29. BAB III
Ryan memandangku penuh tanya. Selain itu ia tampak curiga
padaku.
“ Untuk apa kamu tanyakan hal itu? Masalah itu sangat pribadi
sekali buat saya. Saya tidak bisa mengatakannya sembarangan.”
“ Ini demi Gladis. Kalau kamu mau mengatakan perasaanmu
padanya mungkin dia mau sembuh dan bangun dari tidurnya.”
Ryan semakin mengerutkan dahinya. Mungkin dia
menganggapku aneh. Habisnya aku tidak punya cara lain.
“ Maksud kamu, sebenarnya Gladis bisa sembuh asalkan saya
mau mengatakan perasaan saya padanya?”
Aku mengangguk mantap. Dalam hati aku berdoa Ryan akan
mengiyakan permintaanku. Disebelahku roh Gladis pun memanjatkan
doa dengan ragu-ragu. Sepertinya ia sangat ketakutan.
“ Saya mau melakukannya. Asalkan Gladis bisa sembuh.”
Aku dan Gladis saling berpandangan karena merasa senang dan
lega. Tapi senyum Gladis menghilang tiba-tiba. Ekspresinya
menunjukkan ketakutan yang lebih kuat.
“ Kalau begitu kita coba sekarang.” Pintaku.
Ryan mengangguk mantap dan langsung mengikutiku menuju
ruang ICU.
Di ruangan itu tubuh Gladis masih terbaring lemah. Wajahnya
tampak pucat dan kurus. Selang dan kabel yang menolongnya untuk
tetap bertahan benar-benar tidak cocok untuknya.
Ryan duduk di samping tempat tidur dan menggenggam tangan
kiri Gladis. Ia menatap Gladis dalam-dalam. Ia menoleh padaku dan
aku memberinya tanda untuk segera mengatakan perasaannya.
Mumpung Om dan Tante belum datang.
“ Gladis....Ada yang harus aku katakan padamu...”
Gladis berdiri tepat di depan Ryan. Ia memandang ekspresi Ryan
dengan seksama seolah mencari kebenaran.
29
30. “ Selama ini aku masih sayang kamu. Aku menyesal kalau kita
tidak bisa sama-sama. Gladis.....aku pengen kamu sembuh dan kita bisa
memperbaiki hubungan kita.”
Ryan mengecup tangan Gladis dengan lembut. Lalu ia bangkit
berdiri dan mengecup kening Gladis. Setelah itu diam beberapa saat
entah berpikir entah menahan tangis. Tak lama kemudian dia berpaling
padaku dan tersenyum lemah.
“ Aku berharap ia segera bangun...” bisiknya pahit.
Aku melirik Gladis. Ia tampak sangat terluka. Ia menangis
kecewa dan sakit. Ia memandangku seolah meminta tolong. Dan ia
berbisik,
“ Dia bohong. Dia bohong....Dia sudah melupakanku...”
Aku memandang Ryan lagi dan aku tidak bisa mengatakan apa-
apa. Tidak mungkin aku mengatakan padanya kalau Gladis merasa
semua yang ia katakan itu bohong.
“ `J`, aku tahu Gladis pasti sangat membenciku. Aku tidak
pernah bisa membahagiakannya. Tapi kalau dia meminta aku
meninggalkan Olive, aku akan meninggalkannya.”
“ Aku tidak akan pernah meminta hal sebodoh itu! Kamu pikir
aku anak kecil yang akan menangis jika kamu tinggalkan! Jangan
bohongi aku! Hik..hik..kalau kamu memang sudah lupa padaku jangan
pernah berbohong untuk menghibur aku! Aku tidak butuh omong
kosongmu! Keluar dari sini! Keluar! Keluar!”
Gladis berusaha mendorong Ryan untuk keluar tapi cowo itu
tidak berkutik. Roh Gladis tidak dapat menyentuhnya sama sekali.
“ `J`, keluarkan dia dari sini! Aku ngga mau melihat mukanya!”
Ragu-ragu aku mendekati Ryan dan memintanya untuk keluar.
Semula Ryan tampak bingung tapi akhirnya dia ikut keluar juga.
“ Menurutmu Gladis akan segera sembuh?” tanya Ryan penuh
harap.
“ Ya, kalau itu perasaanmu yang sesungguhnya.”
Ryan terdiam beberapa saat. Kupikir tadinya dia akan
mengatakan perasaannya yang sesungguhnya tapi ternyata dia malah
pergi dengan langkah lemah tanpa berkata apapun padaku.
Kenapa Gladis bisa menyukai orang macam dia ya?
30
31. Setelah melihat Ryan menghilang di balik lorong rumah sakit,
aku kembali masuk ke dalam ruang ICU. Di sana Gladis terus
memandangi tubuhnya tanpa ada niat untuk kembali.
“ Bagaimana? Apa lo bisa balik ke badan lo?”
Gladis menggeleng. Ia tertunduk dan mulai terisak lagi.
Bergegas aku menghampirinya dan mencoba untuk
merangkulnya tapi tidak berhasil. Yang kusentuh hanyalah udara. Aku
terpaku memandangnya yang terus menunduk menangis dengan bahu
yang terguncang.
Apa yang bisa aku lakukan untuknya? Gladis...
Aku memandang tubuh Gladis dan terlintas ide di kepalaku.
Mungkin kalau aku menyentuh tubuhnya Gladis akan merasakannya.
Kudekati tubuh Gladis dan meraih tangan kanannya. Kugenggam
erat-erat agar ia bisa tenang. Gladis menoleh padaku dengan masih
terisak dan melihat apa yang sedang kulakukan.
“ Gua ngga bisa menenangkan perasaan lo dengan cara
sewajarnya tapi gua harap ini cukup buat lo.”
Gladis menghampiriku dan tersenyum tapi air matanya terus
mengalir. Aku mencoba mengusap air matanya tapi air mata itu terus
mengalir. Aku melihat pada wajah Gladis yang tertidur. Wajah itu
meneteskan air mata juga. Aku mengusapnya perlahan dan airmatanya
semakin deras mengalir.
“ `J`, ternyata lebih sakit dari yang gua duga...huk...huk...”
“ Menangislah kalau ingin menangis. Gua ngerti dengan apa
yang lo rasain. Yang gua minta cuma 1, lo tetap bertahan sesakit apa
pun perasaan lo. Karena...lo masih punya 1 janji sama gua. Lo masih
tetep mau hidup kan, Dis?”
Gladis mencoba mencubitku tapi tidak berhasil. Ia tertawa
sambil menangis. Kurasakaan jemarinya bereaksi bersamaan dengan
rohnya mencoba mencubitku.
“ Dasar egois!”
“ Kalau ngga kayak gitu ntar lo malah pengen mati. Bener ngga
gua?”
Gladis tersenyum sekilas dan mulai mengusap air matanya
dengan kesal. Sepertinya manusia normalnya sudah kembali. Aku
31
32. menarik napas pelan dan memandangnya dengan lembut. Aku tidak
ingin melihatnya menangis lagi.
“ Gua ngga mau jadi cewe cengeng. Gua masih bisa hidup
walapun dia ngga sayang lagi sama gua!”
Aku tersenyum geli melihat caranya mengusap air mata. Seperti
anak kecil yang baru menangis karena bertengkar dengan temannya.
Cara dia menghibur diri pun cukup lucu. Sangat simple dan cuek.
“ Iya, kan masih ada gua, Dis. Lo ngga akan rugi-rugi amat.”
“ Masa-masa gua bareng lo bakal jadi masa-masa seperti di
penjara buat gua.”
“ Segitunya. Palingan ntar lo juga jadi cinlok sama gua.”
“ Hiiiiiiiii....amit-amit! Udah, mendingan lo mikirin tentang jalan
keluar lainnya. Eh, pegang-pegang tangan gua udah cukup! Jangan aji
mumpung ya?!”
Hie, tante galaknya sudah balik lagi. Kayaknya patah hati malah
bikin galaknya tambah parah. Hahaha...Tak apalah. Yang terpenting ia
bisa tersenyum lagi.
“ Cara lain supaya lo bisa balik tinggal cuma nyari orang yang
mau mati buat lo.”
Aku meletakkan tangan Gladis di balik selimut dan membetulkan
posisi bantalnya perlahan. Gladis mengamatiku tanpa berkutik dan
lama kelamaan pikirannya menerawang entah kemana.
“ Oi, dengerin apa kata gua ngga sih?” tanyaku sambil mengibas-
ngibaskan tanganku di depannya.
“ Iya, gua denger. Cari orang yang mau mati buat gua dimana?
Gimana gua tahu dia mau mati buat gua atau ngga. Kalau ditanya
doang kemungkinan ngga bakal terjamin.”
“ Jadi maksud lo, orang itu harus bener-bener ngorbanin
nyawanya buat elo?”
“ Yaaaa, ngga juga sih.”
“ Trus gimana dong?”
“ Nggg....gua kira elo yang bakal ngasih tau gua jalan
keluarnya.”
“ Masalahnya otak gua juga buntu!”
“PSSSSSSSSTTTT!”
32
33. Tiba-tiba saja suara bisikan yang keras memanggil kami. Aku
melihat sekeliling ruangan dan ternyata tidak ada siapa-siapa.
“ Di atas sini!”
Serempak aku dan Gladis menoleh ke atas. Aku langsung
memicingkan mataku saat melihat sosok cahaya yang terang benderang
menjulurkan kepalanya dari balik langit-langit kamar. Aku bisa melihat
pemandangan di belakang sosok itu. Ada banyak gumpalan awan dan
di sana juga ada sungai emas dan jalan yang berlapis berlian. Tempat
apa itu?
Ada suara tawa gembira dan nyanyian-nyanyian merdu yang
membuat perasaan tenang dan senang. Aku belum pernah melihat
tempat seperti itu. Entah kenapa hatiku memaksa untuk menyusup ke
sana.
“ Gladis, ini ada catatan tambahan untukmu. Semoga sukses.
Tuhan selalu menyertaimu.”
Setelah memberikan secarik kertas berwarna perak sosok itu
menghilang di balik langit-langit kamar dan ruangan itu kembali gelap.
“ Ya ampun!”
Gladis menjatuhkan kertas itu setelah membacanya. Wajahnya
tampak menjadi pucat, lebih pucat daripada tubuhnya. Ia
memandangku dengan ngeri dan ketakutan.
Perasaanku jadi tidak enak melihatnya. Pasti ada sesuatu yang
buruk. Kupungut kertas yang silau itu dan membacanya.
Gladis, waktumu tinggal sampai besok jam 6 pagi. Kalau kamu
tidak segera kembali ke tubuhmu, malaikat kematian akan segera
menjemputmu.
“ Ini bercanda `kan?” tanyaku. Kali ini aku yang ketakutan. Aku
tidak bisa membiarkan Gladis mati begitu saja.
“ Aku harus bagaimana?”
Bagaimana aku harus menjawab pertanyaan Gladis sedangkan
pertanyaan yang sama berkecamuk di kepalaku. Aku tidak tahu kalau
ternyata ada batasan waktunya. Sekarang waktu yang ada benar-benar
mepet. Kami harus mencari kemana orang yang mau mati buat Gladis?
Kami harus segera mencarinya! Gladis harus tetap hidup! Aku
tidak mau kehilangan dia lagi!
“ Lebih baik aku menyerah. Memang sudah nasibku...!”
33
34. “ Ngga! Lo ngga boleh nyerah! Lo udah janji sama gua, Dis!”
“ Tapi waktunya udah ngga mungkin lagi `J`!”
“ Selama masih ada waktu pasti masih ada cara! Gua akan
hubungin semua orang yang kenal lo dan tanya sama mereka apa
mereka rela mati buat lo.”
Bergegas aku mengambil ponsel Gladis yang ada di meja dan
menghubungi beberapa orang yang menurut Gladis dekat dengannya.
Aku ngotot sekali karena aku memang tidak bisa diam melihat nyawa
Gladis akan diambil. Aku belum mengatakan isi hatiku!
“ Halo? Karen? Ini gua `J`!”
“ `J`! Gua kira Gladis! Gimana kabar Gladis? Lo ngga bawa
kabar buruk `kan?”
“ Ren, gua mau tanya. Lo mau ngga mati demi Gladis?”
“ Lo ngomong apa sih `J`?”
“ Jawab aja. Lo mau mati ngga buat Gladis?”
“ Iya, gua mau. Karena dia teman terbaik gua.”
Aku tersenyum mendengar jawaban Karen dan memandang ke
arah Gladis. Tak kupedulikan suara Karen yang memanggil namaku
dari sebrang sana. Aku malahan menutupnya. Aku tidak ingin
melewatkan moment saat Gladis kembali ke tubuhnya.
Gladis terus memandang tubuhnya menunggu sesuatu terjadi.
Begitupun aku, aku memandang roh Gladis dan tubuhnya bergantian
menunggu sesuatu yang ajaib terjadi. Tapi lama kami menunggu tidak
terjadi apa-apa. Perasaanku semakin tidak enak.
“ Gladis?” panggilku dengan berbisisk. Gladis hanya
menggeleng dengan putus asa.
Apanya yang salah? Bukankah syaratnya adalah orang yang mau
mati buat Gladis tapi kenapa?
“ Mungkin harus banyak orang!”
Aku menelepon beberapa orang lagi dan menanyakan hal yang
sama. Mereka semua menjawab mau. Tetapi tetap tidak terjadi apa-apa.
Aku dan Gladis berpandangan tanpa bisa bicara lagi. Aku
terduduk lemas di bangku. Aku tidak sanggup melihat wajah Gladis.
Aku tidak bisa menepati janjiku untuk menolongnya. Aku benar-benar
tidak berguna!
34
35. “ `J`, gua ngga kenapa-napa kok. Toh mati ngga ada ruginya.
Gua yakin kok kalau gua akan ke surga.”
Aku tak menjawab kata-kata Gladis. Hatiku terasa sesak karena
marah, takut dan sedih. Aku tidak bisa melakukan apapun. Apappun....
“ Jangan berwajah seperti itu `J`. Setidaknya hibur gua di saat-
saat terakhir gua. Kita keluar yuk!”
“ Mau kemana?” tanyaku dengan dingin. Rasanya aku tidak bisa
bercanda, tertawa atau bahkan berkata-kata dengan hangat.
“ Gua mau nulis surat buat Ryan. Lo bisa bantuin gua nulis
`kan?”
Beberapa lama aku tidak menjawab. Dadaku terasa sesak
mendengar rencana Gladis. Di saat-saat seperti ini Gladis masih sempat
memikirkan Ryan. Bukannya malah memikirkan nyawanya.
“ Ayo!”
Kusambar jaketku dengan cepat dan keluar dari ruang ICU.
Kebetulan di luar Om dan Tante sudah sampai jadi aku bisa keluar
tanpa harus mencemaskan tubuh Gladis.
“ `J`, jangan marah ya? Kalau gua ngga nepatin janji.”
“ Gua ngga marah kok.”
Kami berdua menaiki motor milik Om dan pergi menuju toko
buku untuk membeli kertas surat. Sepanjang perjalanan kami hanya
bisa terdiam. Rasanya kalau kami bicara semuanya hanya akan
meledak. Mungkin aku akan marah-marah dan memaki Gladis yang
hanya memikirkan Ryan.
Di saat terakhirnya memang sebaiknya aku menuruti
keinginannya. Aku tidak ingin menyesal dikemudian hari.
Apapun akan kulakukan agar Gladis senang...Di saat terakhir
kami bersama.
***
35
36. BAB IV
Aku dan `J` memutuskan untuk pergi ke pasar malam yang tidak
sengaja kami lewati. Seandainya aku bukan roh sudah banyak
permainan yang akan aku ikuti.
`J`menyodorkan kembang gula padaku dan dengan bersemangat
aku menerimanya tapi kembang gula itu tidak dapat kugenggam. Aku
dan `J` berpandangan teringat kalau aku tidak bisa menyentuh apapun.
Sekilas ada binar pedih di mata ‘J’ tetapi tiba-tiba saja `J` tertawa
geli. Ia mengambil kembali kembang gulanya dan memakannya
sendiri. Sambil makan ia memandangku berusaha memanas-manasiku.
Yah, aku cuma bisa memasang wajah cemberut dan tidak bisa bicara
apa-apa lagi. Binar mata ‘J’ tadi seolah menggores sedikit luka di
hatiku.
Sepertinya aku telah melupakan ‘J’. Tidak ada 1 kenangan pun
yang melekat di ingatanku tentang ‘J’ dan sekarang, saat kami bertemu
lagi ternyata waktu kami hanya sebentar. ‘J’ maafkan aku....
“ Kita ngapain lagi nih?” tanya `J` sambil melihat sekeliling
pasar malam.
Dengan mupeng aku menoleh pada kios permainan lempar bola.
Hadiah-hadiahnya sangat menarik.
Tiba-tiba tanpa kuminta `J` mendekati kios dan menyewa
beberapa bola. Ia mulai melemparkan bola-bolanya dan gagal berkali-
36
37. kali. Aku hanya bisa tertawa melihatnya. Ternyata lemparannya payah
juga.
“ Gimana sih? Segitu saja tidak bisa!” ledekku di sela-sela
tawaku. `J` hanya mencibirkan bibirnya dan wajahnya tampak
memerah. Sebenarnya itu yang membuat aku tertawa. Yang semula
merah kupingnya dan lama-lama wajahnya merona. Lucu
sekali..hahaha..haha..
“ Tertawa saja sepuasnya. Kalo soal main kayak gitu gua
memang payah. Tapi kalau yang lain gua jago.” `J` berusaha
menaikkan harga dirinya.
Aku tetap tertawa malah semakin terbahak. Ia hanya bisa angkat
bahu melihatku tertawa terus.
“ Kita ke sana yuk!”
Dengan cepat `J` pergi ke sebuah kios foto box. Sekilas aku
merasakan `J` mencoba menggandeng tanganku tapi tangannya
melewati rohku dan ia tidak mendapatkan tanganku. Entah kenapa itu
membuat hatiku semakin terasa sesak.
“ Mau ngapain?” tanyaku dengan bingung karena `J` masuk ke
fotobox begitu saja.
Aku masuk ke dalam box dan ia menyuruhku duduk di
sebelahnya. Dengan bingung aku menurut. Di layar ada gambarku. Aku
bingung sendiri. Beberapa kali kami berfoto dan aku hanya bisa
tersenyum geli melihat senyum `J` yang lebar dan aneh.
Selesai berfoto `J` keluar dengan penuh semangat untuk
mengambil hasil foto. Aku pun tidak sabar untuk melihatnya.
“ Gimana hasilnya?” tanyaku dengan bersemangat.
`J` tidak menjawab. Ia malah hanya berdiri terpaku dan tampak
kecewa.
Aku melihat hasil foto itu dan di sana `J` tersenyum sendirian. Ia
seperti berfoto dengan seseorang tapi di sebelahnya tidak ada siapa
pun.
“ Hehehe...namanya juga foto dengan roh, ngga mungkin ada
gambarnyalah. Lo jangan sedih gitu dong.” Aku berusaha menghibur
`J`. Cowo itu cuma membalas dengan senyum kecutnya.
“ Gua cuma pengen punya kenang-kenangan bareng lo kok. Tapi
kayaknya gua telat.”
37
38. Aku terdiam seribu bahasa. Entah siapa yang lebih sedih dengan
kematianku. Aku sendiri atau `J`.
“ Seharusnya gua datang lebih cepat. Kenapa harus waktu
BoNyok gua jodohin gua dengan orang lain. Rasanya waktu gua buat
menunggu terbuang percuma. Janji gua yang dulu ngga bisa gua
tepatin. Gua emang kurang gentle.”
Aku tidak berani bicara. Yang kulihat hanya punggung `J` yang
bidang. Ia tertunduk dan berjalan dengan lemah.
Aku mengejarnya dan memandangnya sambil tersenyum lebar
sekalipun hatikupun merasa sakit. Aku ingin meninggalkan kenangan
yang indah untuk `J` yang baik hati. Kalau dia sedih sudah seharusnya
aku menghiburnya. Aku tidak ingin dia tahu kalau aku pun merasa
tidak rela dengan kematianku.
“ `J` lo jelek tahu kalau kayak gitu. Gini, gua pengen lo bisa
menangin satu games n hadiahnya buat gua. Ntar di hadiah itu lo tulis
nama gua. Trus lo simpen tuh hadiah di tempat lo yang paling
berharga. Ok? Jadi lo punya kenang-kenangan dari gua. Mau ngga?”
`J` memandangku tanpa ekspresi mendengar ideku. Ia
menegakkan tubuhnya dan perlahan senyumnya muncul kembali.
“ OK! Lo mau hadiah yang mana? Yuk, kita cari kiosnya!”
Aku dan `J` pergi dari satu kios ke kios yang lain tapi tidak
menemukan hadiah yang benar-benar aku suka. Aku mengatakan
padanya kalau hadiah apa saja aku terima tapi dia ngotot harus yang
benar-benar aku suka.
“ `J`, yang itu!”
Di kios terakhir dan sepi aku melihat sebuah kalung dengan
liontin berbentuk kristal salju yang kecil. Kalung itu berkilau
menggodaku. Baru kali ini aku begitu menginginkan sebuah kalung.
Padahal aku tidak begitu suka perhiasan.
`J` segera menyewa beberapa gelang dan mulai mencoba
mendapatkan kalung tersebut. Sepertinya untuk permainan seperti ini ia
sering gagal. Ok, keseluruhan tidak karena beberapa gelangnya
mendapatkan hadiah lain tapi kalung itu begitu sulitnya ia dapat.
`J` terus mencoba sampai-sampai ia beberapa kali ia menyewa
gelang. Aku sendiri sampai putus asa. Aku ingin menghentikannya tapi
kulihat ia begitu gigihnya sampai keringatnya bercucuran.
38
39. “ `J` udah cukup. Cari hadiah lain saja.”
“ Ngga! Lo mau dapet ini, gua kasih yang ini. Lo liat
aj....KENAAA!! WOHOOO..!!BERHASIL!!”
Aku tertegun melihat kalung yang dilingkari gelang permainan.
Penjaga kios mengambil kalung itu dan memasukkannya ke dalam
kotak beludru. `J` menerimanya dengan penuh semangat. Ia tertawa
dan berseru-seru seperti pemenang undian 1 milyar. Kotak itu ia
pamerkan padaku tanpa mempedulikan pandangan heran orang
sekeliling yang melihatnya.
“ Liat, akhirnya nih kalung gua dapetin. Mau gua
pake...i....n...Sori.... gua lupa.”
Aku tersenyum kaku saat ‘J’ terpaku menyadari kebodohannya.
Aku menundukkan kepalaku tidak berani memandang wajahnya dan ‘J’
sendiri langsung membalikkan tubuhnya. Ia tampak begitu jauh
walaupun ia berdiri hanya beberapa senti dariku.
‘J’ memasukkan kotak kalung itu ke dalam sakunya dan kami
pun berjalan meninggalkan kios tersebut. Kami berjalan sampai ke
bawah pohon dan duduk di bangku yang ada di bawahnya.
“ Hari yang melelahkan ya?” tanyaku mencoba membuka
pembicaraan karena `J` diam saja dari tadi. Ia seperti berpikir keras dan
aku tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan.
`J` tidak menjawab pertanyaanku. Ia tetap diam dan memandang
lurus ke arah anak-anak kecil yang ribut mengelilingi seorang
pedagang balon.
“ Dis, kalo lo jadi nikah sama gua...anak kita bakal kayak apa
ya?”
DEG! Hahaha! Bercanda aja nih orang! Punya anak bareng dia?
Dia kesambet apaan sih? Apa karena terlalu banyak ngomong sama
roh?
“ Jawab dong, Dis!”
Aku terlonjak saat `J` menoleh padaku dan matanya menuntut
jawaban dariku. Jantungku sampai mau copot karena takut sekaligus
grogi dan bingung harus jawab apa. Aku `kan ngga pernah diajak
ngomong kayak gini sama cowo mana pun.
39
40. “ Hah...ng...yah..Kayak gimana ya? Ng...yang pasti agak error
kali ya? Soalnya elo error.” Aku tertawa garing mendengar jawabanku
sendiri. Di saat begini aku masih bisa bercanda.
`J` tertawa kecil dan mengangguk setuju. Ia menoleh padaku dan
kali ini dengan senyumannya yang seperti biasa. Ada sedikit kelegaan
kurasakan begitu melihat senyumnya.
“ Dari kecil lo memang ngga berubah. Selalu ngomong apa
adanya. Itu yang gua suka dari lo. Inget ngga waktu gua minta lo
bohong sama Bokap supaya gua ngga dihukum? Lo malah ngomong
dengan jujur kalau gua yang mecahin pot Nyokap lo dan lo ngasih tahu
kalau gua sangat nyesel n takut dimarahin? Hasilnya Bokap gua ngga
hukum gua. Sejak itu gua suka sama lo....Sampai saat ini gua ngga
nemuin orang kayak lo...”
Aku tercenung mendengar cerita `J`. Aku tidak pernah tahu kalau
ada kejadian seperti itu. Aku tidak ingat sama sekali.
“ Waktu gua ngelamar lo...heehehehe...Gua ngga tahu lo masih
simpen cincin itu atau ngga. Yang pasti gua seneng banget waktu lo
bilang `ya`. Gua langsung catat di buku agenda gua. Gua kasih tahu
deh, itu cincin sebenarnya cincin pernikahan Nyokap
gua...hahaha...Nekat ya gua?! Makanya gua abis dimarahin sama
Bokap.”
Sebaiknya tertawa atau marah aku jadi bingung karena yang ia
ceritakan aku pun tidak ingat sama sekali. Ceritanya pun aneh dan
memang lucu. Sebegitunya `J` kecil suka padaku sampai mengambil
cincin pernikahan Nyokapnya.
Tapi tunnggu dulu. Aku memang punya sebuah cincin yang
kebesaran. Cincin itu seperti cincin pernikahan. Aku tidak tahu kapan
mendapatkan cincin itu. Berarti cincin itu pemberian dari ‘J’..
“ Gua juga masih inget waktu lo hampir digigit anjing akhirnya
malah gua juga yang digigit. Padahal gua takut sama anjing gede. Sejak
itu kakak-kakak gua ngejekkin gua. Mereka selalu menyanyikan lagu
tentang kita berdua untuk menggoda gua.
Trus.....waktu gua harus pulang...lo ngasih gua foto kita berdua.
Itu foto satu-satunya karena klisenya rusak. Lo mau liat?”
`J` mengeluarkan dompetnya dan memperlihatkann foto 2 anak
kecil. Yang cowo sekitar umur 7 tahun, lehernya dipeluk gadis kecil
40
41. sekitar berusia 5 tahun. Dan gadis kecil itu adalah aku. Gigi `J` ompong
dan senyumnya terlihat lucu sekali. Dari belakang aku memeluknya
dengan penuh kasih sayang. Foto yang sangat ceria dan hangat.
Aku menoleh pada `J` yang memandang foto itu dengan wajah
yang sangat lembut.
Aku tidak pernah tahu kalau ada orang yang begitu
menyayangiku dari sejak aku kecil selain kedua orang tuaku. Aku tidak
tahu apakah pantas untukku disayangi sementara hatiku mengejar
sosok yang lain.
`J`, seharusnya kamu menyayangi gadis lain.....
“ Dis, masa lalu boleh kamu lupakan tapi gua pengen lo janji
....jangan lupakan yang sekarang....”
Dadaku terasa sesak melihat matanya yang memohon padaku.
Aku merasa tidak pantas mendapatkan kasih sayang sebesar ini.
Seandainya aku bisa mendapat waktu tambahan untuk memberikan
kenangan yang manis pada `J`. Aku pun tidak ingin melupakan
kenangan saat ini. Saat-saat aku bisa merasakan bahwa ada orang yang
menganggapku sebagai orang yang sangat berarti.
“ Mau ke pantai?” tawar ‘J’. Tanpa menunggu jawabanku `J`
bangkit dari tempat duduknya dan pergi ke tempat parkir motor. Tak
lama kemudian kami sudah melaju menyusuri jalan raya yang mulai
sepi menuju pantai Anyer.
`J`....maafin gua.
***
41
42. BAB V
Semalaman aku dan Gladis berjalan-jalan mengelilingi kota
Cilegon. Aku banyak makan makanan kesukaannya untuk
mewakilinya. Aku juga menuliskan surat darinya untuk Ryan yang
meminta Ryan untuk tidak melakukan sesuatu hanya karena merasa
bersalah.
Aku tidak tahu harus merasa sedih atau merasa senang.
Semalaman aku merasa senang karena bisa banyak bercerita
dengannya. Mengingatkannya tentang masa-masa kecil yang sudah ia
lupakan. Tapi di sisi lain aku merasa takut, sedih dan sesak karena 1
jam lagi aku harus berpisah darinya.
Sekarang kami berdiri di tepi pantai Anyer dan menikmati angin
laut yang bertiup kencang. Kami berdua melangkah di atas pasir tetapi
hanya 1 jejak yang tertinggal.
“ Kalau nanti lo udah dijemput, kita masih bisa ketemu lagi
ngga?” tanyaku penuh harap.
Gladis tertawa geli dan berjalan mendahuluiku. Ia berbalik
menghadapku dan melangkah mundur.
“ Kalau masalah itu cuma Tuhan di surga yang tahu. Tapi
sebaiknya sih ngga. Kalau pun lo ketemu gua, itu perlu dipertanyakan.
Beneran gua atau ngga tuh.”
“ Kira-kira waktu sampai surga lo bakalan dapet mahkota apa?”
“ Semoga bukan mahkota kayu. Gua mau mahkota emas. Tapi
tergantung Tuhan menilai pelayanan gua di Gereja selama ini. Gua
sendiri masih suka ngedumel....Mmmm `J`...”
“ Ya?”
“ Maaf.....karena gua ngga inget semua kenangan kita waktu
kecil dan...sikap gua waktu di bus dan semua-semuanya. Memang sih
42
43. kita baru kenal sebentar....Tapi lo emang orang baik. Sebenarnya gua
masih pengen bisa ngobrol banyak dengan lo tapi.......Gua harap lo mau
maafin gua.”
Aku hanya bisa terdiam mendengar kata-kata Gladis. Kutarik
napasku dalam-dalam untuk menahan tangisku. Aku tidak ingin Gladis
pergi dengan perasaan galau.
“ Lo tenang aja. Gua bukan tipe pendendam. Apalagi sama lo. “
Gladis menghentikan langkahnya dan tersenyum kaku. Sangat
terlihat jelas kalau dia menahan tangis.
“ Tolong jaga BoNyok gua. Jagain Karen ya `J`?”
“ Gladis...”
“ Oh ya...lo hebat bisa masuk jurusan musik di SI. Dan sekarang
gua baru ngerti kenapa banyak cewe yang ngejar-ngejar
elo....hehehe...hik...hik...”
“ Ngga, Dis...Gua bukan anak SI jurusan musik, Dis. Gua anak
Universitas TA jurusan desain komunikasi visual. Waktu itu gua asbun
karena gua liat lo dingin banget. Tapi...klo masalah cewe-cewe
itu...emang banyak yang ngejar gua...makanya gua kurus kayak
gini...hehehehe...cape dikejar terus...Sekali-kali gua `kan juga mau
ngejar....Tapi cewe yang mau gua kejar keburu pergi duluan.....”
Gladis mengatupkan rahangnya dan menarik nafas dalam-dalam
mendengar kata-kataku. Aku pun melakukan hal yang sama.
Perpisahan ini terasa begitu berat.
Perlahan aku mendekatinya dan memandang matanya dalam-
dalam. Untuk yang terakhir kalinya, aku ingin terus mengingat
wajahnya. Kusentuh wajahnya yang tidak bisa kusentuh.
Gladis...Seharusnya ngga kayak gini! Seharusnya aku bisa
menyentuh kamu!
“ Terima kasih, ‘J’” Gladis merentangkan tangannya dan
memelukku sekalipun yang akhirnya kurasakan hanyalah angin yang
berhembus. Tidak ada kehangatan dan tidak ada sentuhan.
Gladis memandangku lagi dan tersenyum pahit.
“ Udah waktunya `J`.” Bisik Gladis sambil memandang ke arah
belakangku.
43
44. Aku menoleh dan melihat seorang malaikat berpakaian serba
putih mendekati kami. Ia tersenyum hangat pada Gladis. Gladis
membalas senyumannya dan melangkah mendekatinya.
Tunggu dulu! Kenapa Gladis dengan entengnya mengikuti dia?!
“ Gladis! Tunggu!”
Gladis tidak mendengarkanku ia malah terus berjalan tanpa
mempedulikanku.
“Gladis!”
Gladis mengulurkan tangannya untuk menerima uluran tangan
malaikat itu. Rasa-rasanya aku tidak bisa menerimanya. Ini belum
waktunya Gladis pergi! Gladis belum boleh pergi!
Dengan cepat aku melangkah dan menyusup diantara malaikat
itu dan Gladis. Aku menatap malaikat itu dengan tajam dan malaikat
itu membalas dengan tatapan lembut.
“ Ambil nyawaku saja.” Bisikku dengan dalam. Malaikat itu
tersenyum dengan hangat seolah mengerti perasaanku. Sementara
Gladis memandangku bingung.
“ Ambil nyawaku saja!” ulangku dengan suara yang lebih
memaksa dan tanpa kusadari rasa sesak yang ada dihatiku meledak dan
menghancurkan bendungan air mataku. Aku tidak ingin kehilangan
Gladis....Aku tidak mau!
“ Kau yakin?” tanya malaikat itu dengan suara yang begitu
menenangkan jiwa. Aku mengangguk mantap.
“ `J`...`J`...lo mau ngapain? Lo jangan bercanda! Gua ngga
suka!”
Tanya Gladis panik. Ia mulai ketakutan. Ia tampak gemetar dan
ngeri.
“ Kalau begitu ikut aku.”
Malaikat itu mengulurkan tangannya dan aku segera
menyambutnya. Seketika itu aku merasa diriku ditarik dengan keras
dari lubang yang dalam. Tak lama kemudian kulihat tubuhku jatuh
berbaring di atas pasir. Aku merasakan diriku melayang.
“ `J`...JANGAAAANNNN!! `J` JANGAAAAN!!”
Gladis memandangku dan menjerit histeris. Ia melihat ke arahku
dan tubuhku bergantian. Tangisnya bergetar dan begitu ketakutan.
“ Jangan lakukan itu! `J`! Jangan `J`!”
44
45. Aku memandang Gladis dengan tenang dan teringat satu hal
yang belum kulakukan untuknya. Semua orang sudah mengatakannya
tapi aku belum mengatakannya. Kalau begitu aku yang akan
melakukannya.
“ Gladis, semua orang bilang mau mati buat lo tapi mereka
belum melakukan apa-apa. Karena itu, gua ngga perlu ngomong....gua
mau buktiin kalau gua mau mati buat lo. Karena gua tahu...hari ini
belum waktunya lo mati. Tugas lo buat keluarga dan teman-teman lo
masih banyak. Lo harus selesaikan semua itu.”
“ Jangan ngomong sembarangan! Lo sendiri gimana?! Lo pikir
ini waktunya lo mati? `J` gua mohon jangan lakukan itu!”
Aku tak mendengarkan kata-kata Gladis lagi. Aku kembali
menghadap ke arah malaikat dan ia mengulurkan tangannya ke arah
Gladis. Kulihat Gladis memejamkan matanya dan perlahan ia
menghilang. Aku percaya sekarang Gladis akan membuka matanya dan
bertemu dengan orang-orang yang ia cintai.
Setelah itu aku dan malaikat itu saling berhadapan. Ia tersenyum
begitu hangat membuat rasa takutku hilang.
“ Kupikir malaikat kematian memakai jubah hitam dan
membawa sabit hitam.”
“ Itu `kan khayalan manusia saja.”
“ Jadi....?”
“ Kenapa kau ingin mati buat Gladis?”
“ Hahaha...kalau ditanya begitu aku juga bingung. Aku hanya
merasa kalau belum waktunya dia mati. Dia masih punya banyak tugas
dan yang aku lihat dia banyak membahagiakan orang. Sekalipun
kadang-kadang dia galak dan judes.”
“ Tidak adakah alasan lain?”
Aku terdiam beberapa saat dan menatap mata malaikat itu
dengan tajam.
“ Ya......aku menyayanginya. Mungkin tidak sebesar cinta Tuhan
padanya.”
Malaikat itu tersenyum dan mengangguk pelan. Beberapa saat ia
menutupi salah satu kupingnya dan manggut-manggut seperti orang
yang mendengarkan sesuatu.
Tak berapa lama ia kembali menegakkan kepalanya.
45
46. “ Tuhan menitipkan salam. Dia bangga padamu. Teruskan
pelayananmu dan masalah tentang orang tuamu ia minta supaya kamu
tidak memakai kekuatan sendiri. Tuhan yang akan menyelesaikannya.”
Mendengar kata-kata malaikat itu entah kenapa hatiku menjadi
penuh dengan perasaan haru dan senang hingga tanpa sadar aku
menangis.
Ya...Karena aku belum pernah mendapat pesan langsung dari
Tuhan. Rasanya aku mau meledak karena terlalu senang. Kalau bisa
aku cepat-cepat dibawa pergi.
Tapi tunggu...Kenapa tadi Tuhan pake acara titip salam?
Bukannya aku mau dibawa ke surga? Atau jangan-jangan.....
“ Jangan berpikir yang tidak-tidak. Pejamkan matamu...Kau akan
melupakan semua ini...lupakan....”
Bersamaan dengan suara malaikat yang semakin pelan mataku
semakin berat dan akupun tertidur lelap sekali. Sangat lelap hingga aku
tidak menyadari keadaan sekelilingkku....Hmmm...apa aku sudah ada
di surga?***
BAB VI
Aku membuka mataku dan tertegun melihat sekelilingku. Aku
berada di tempat yang tidak kukenal sama sekali. Tercium dengan jelas
sekali bau obat yang menyengat.
Aku berusaha bangkit dari tempat tidur tapi selang yang ada di
seluruh tubuhku membuatku sulit bergerak. Selain itu tubuhku terasa
lemah sekali dan beberapa bagian tubuhku terasa sangat sakit.
46
47. Aku kembali berbaring dan menatap langit-langit.
Kuperkirakan aku berada di rumah sakit. Iya, sepertinya begitu.
Tempat yang bau obat dan memasang banyak selang pada tubuh orang
`kan hanya rumah sakit.
Kenapa aku bisa sampai di sini? Oh iya, aku menabrak mobil.
Bukan, bukan! Mobil itu yang menabrak aku.
Aku masih hidup ya? Kupikir aku sudah mati. Thank You God!
Aku melihat sekeliling ruangan dan keadaanya sepi. Tidak ada
siapa pun. Masa tidak ada yang menjagaku sih? Aku mau tahu sudah
berapa lama aku di rumah sakit. Jangan-jangan sudah mulai masuk
kuliah.
“ Papa jangan ngomong sembarangan dong! Gladis pasti
sembuh. Mama yak...”
Langkah dan kata-kata Mama terputus di depan pintu. Matanya
terpaku padaku dan lama-kelamaan matanya berkaca-kaca.
Aku tidak tahu apa yang salah dan akhirnya aku hanya bisa
tersenyum dan memanggil Mama dengan berbisik.
“ Mama....”
“ Gladis....Gladis....Anak Mama!!!”
Mama langsung memelukku dengan erat dan menangis tersedu-
sedu. Sementara Papa hanya melihat dan tersenyum. Sepintas aku
melihat Papa menangis juga.
Hi..hihi...jarang-jarang lihat Papa menangis.
“ Ma, Gladis udah di sini berapa lama?” tanyaku dengan lemah.
Keadaan tubuhku memang tidak fit. Rasanya mengantuk dan lemas
sekali.
“ Kamu sudah dirawat selama 2 minggu sayang. Selama itu
kamu ngga sadar-sadar. Mama sama Papa sampai ketakutan.”
Aku tersenyum lemah dan memandang Mama dan Papa dengan
penuh permohonan maaf karena sudah membuat mereka khawatir.
Mama terus menceritakan kekhawatiran Papa dan Mama waktu
aku dirawat sementara perasaanku terus mencari-cari sesuatu. Entah
apa. Tapi sesuatu yang sangat penting.
Aku terus memandang sekelilingku, ke arah Mama, ke arah
Papa tapi tidak menemukan jawabannya. Rasanya benar-benar penting.
Dan jika aku tidak bisa menemukannya aku bisa menangis.
47
48. Aku terus mencari di sekelilingku dan tetap tidak
menemukannya.
Sebelum aku meledak karena putus asa kuputuskan untuk tidak
menghiraukan perasaan itu. Sekalipun perasaan itu begitu kuat
kurasakan.
***
“ Nah, Gladis. Kamu harus banyak istirahat. Mama ngga mau
kamu mikirin yang berat-berat dulu. Nanti Mama bawain susu ya?”
Aku tersenyum lemah pada Mama dan menarik nafas pelan saat
ia menghilang di balik pintu. Dari hari pertama aku siuman Mama terus
mengomel dan menasehatiku untuk banyak makan. Kepalaku sampai
mau meledak mendengar daftar hal-hal yang harus aku hindari. Ngga
boleh ini, ngga boleh itu. Bisa-bisa aku hanya berbaring di tempat
tidur.
Kamarku tidak banyak berubah. Sepertinya Mama
membersihkannya setiap hari.
Aku melangkah ke arah meja belajarku dan mengelus laptop
kesayanganku. Sudah lama aku tidak menulis cerita.
Hei, gambar siapa ini?
Aku mengambil secarik kertas bergambar wajah.
Wajahku.....tampak sedih dan putus asa.
Rasanya aku tidak pernah menggambar seperti ini. Aku tampak
cantik dan berkilau di gambar itu. Boleh juga!
Tapi siapa yang menggambarnya?
Aku membalik gambar itu dan menemukan sebuah huruf `J`
yang ditulis dengan sangat khas. Di sana juga ada pesan ` Gladis,....Just
smile. It will make you more beautifull!`
Aku tersenyum geli dan kurasakan hatiku tergelitik. Aku baru
ingat kalau si `bocah rese` menginap di rumahku. Kemana dia? Sejak
aku siuman aku tidak melihatnya.
Kenapa rasanya kangen ya?
Aku keluar dari kamar dan diam-diam naik ke lantai 2.
Kudekati kamar `J` perlahan-lahan dan mengetuknya dengan sangat
hati-hati. Tidak ada yang menjawab.
Aku mengetuk lebih keras. Tetap tidak ada yang menjawab.
Kuketuk lebih keras lagi dan tidak terdengar suara sedikit pun.
48
49. Akhirnya kuputuskan untuk membuka pintu. Pelan sekali aku
membukanya dan melihat ke dalam ruangan. Tidak ada siapa-siapa.
Bahkan kamar itu seperti tidak pernah ditinggali.
Aku masuk dan memeriksa setiap bagian kamar, siapa tahu ada
bekas jejak kalau `J` pernah tinggal di kamar ini. Aku terus
membongkar setiap bagian kamar tapi tidak ada satu pun barang yang
menunjukkan kalau `J` pernah tinggal di kamar ini.
Mungkin Mama tahu sesuatu.
Dengan langkah terburu-buru aku pergi ke dapur. Sampai di
dapur nafasku ngos-ngosan karena aku belum terlalu kuat untuk
banyak gerak. Mama mulai mengomel melihat aku yang ngos-ngosan
tapi aku tidak bisa mendengar omelannya lagi. Yang aku inginkan saat
ini mengetahui keberadaan `J`.
“ Ma, `J` kemana?” tanyaku dengan memaksa. Tapi Mama
malah terdiam.
Aku terus memandang Mama untuk meminta jawaban dan
akhirnya Mama mau bicara.
“ Sehari sebelum kamu siuman `J` mengalami kecelakan dan
orang tuanya langsung menjemputnya. Sekarang dia dirawat di rumah
sakit di Jakarta. Mama belum tahu perkembangan keadaannya.”
Jantungku terasa ingin meledak mendengar berita dari Mama.
Bagaimana mungkin `J` bisa kecelakaan. Orang seperti dia...Kenapa?
Kenapa aku merasa sesakit ini mendengar keadaannya? Aku ingin
melihatnya! Aku ingin melihat keadaannya!
“ Ma, Gladis mau ketemu `J`! Ma, kita ke Jakarta sekarang!
Ayo Ma!”
“ Sayang kamu `kan masih lemah. Kamu harus banyak
istirahat.”
“ Gladis kuat kok! Ma, ayo Ma!”
“ Sayang, kemarin `J` baru saja dibawa ke Amerika untuk
dioperasi. Kita ngga bisa nyusul `kan. Kita cuma bisa nunggu
kabarnya.”
Kakiku terasa lemah mendengar kata-kata Mama.
Amerika...Kenapa di Amerika?! Amerika terlalu jauh. Bagaimana aku
menyusulnya. Bagaimana.......
49
50. Tanpa sadar aku meneteskan air mata dan menangis terisak-
isak. Aku tidak tahu kenapa aku harus menangisinya. Setahuku aku
begitu membencinya tapi kenapa mendengar kalau dia kecelakaan
begitu mengguncangku hingga aku tidak dapat mengendalikan
perasaanku yang begitu sakit dan ketakutan.
Mama memelukku agar aku lebih tenang tapi perasaanku
malah bertambah kacau. Aku ingin bertemu dengannya! Hari ini dan
saat ini juga!! Aku ingin memastikan kalau dia baik-baik saja!
`J`.....Jangan mati! Jangan mati!
***
BAB VII
Aku mengamati lukisanku dengan seksama. Rasanya ada yang
kurang tapi aku tidak tahu apa.
TOK! TOK!
“ Masuk.”
Tanpa perlu menoleh aku tahu siapa yang masuk. Julian,
tunanganku yang sama sekali tidak aku harapkan menjadi tunanganku.
Dia membawakan biskuit dan susu yang kupesankan pada Bi Atul. Dia
meletakkannya di dekat meja kerjaku setelah itu ia berdiri diam di
sebelah kiriku.
Lama aku tidak mempedulikannya dan hanya sibuk pada
pekerjaanku. Aku tidak menggubrisanya karena aku memang benar-
benar sibuk.
Dia tidak bergeming sama sekali aku sampai merasa kasihan.
Aku menoleh padanya dan ia membalas tatapanku dengan senyum
lembutnya.
“ Ada apa? Gua lagi sibuk banget nih. Lo ngga cape berdiri
disitu terus?” tanyaku dengan dingin.
Julian menggeleng pelan. Ia malah tersenyum senang seperti
anak kecil yang baru diberi permen lolipop.
50
51. “ Om nyuruh aku ngajakin kamu nonton karena dari pagi kamu
ngga keluar kamar.”
Aku menarik nafas kesal dan kembali menghadap ke arah meja
kerjaku dengan mood yang rusak. Papa terlalu banyak ikut campur
urusan pribadiku. Kenapa dia nyuruh Julian ngajak gua nonton. Dia
`kan cewe! Adanya juga gua yang ngajak. Yah, walaupun memang gua
pasti akan menolak kalau disuruh mengajak Julian nonton. Tapi tetep
aja buat gua ngga etis! Dikiranya gua ngga gentle apa?!
“ Memangnya lo mau nonton apa?” tanyaku tanpa minat.
Julian menarik nafasnya karena bersemangat. Matanya
berbinar-binar seolah melihat berlian sebesar batok kelapa.
“ Kita nonton film romantis ya?” serunya terlalu antusias.
“ Ngga! Gua ngga suka film kayak gitu. Film lain aja.”
“ Terus mau nonton apa?” tanyanya pelan. Semangatnya jadi
menurun.
Yeah, gimana pun gua males nonton film kayak gitu. Tapi nih
anak kayaknya bakal bawel kalau ngga nonton tuh film. Terserahlah!
“ Ya udah. Nonton itu! Keluar sana! Gua mau ganti baju.”
Julian memekik riang dan dengan cepat ia pergi keluar.
Heeeehh, sepertinya aku menjadi pengasuh anak.
Setelah ganti pakaian aku turun ke bawah dan menemui Julian
yang ditemani Papa dan Mama. Dua orang tuaku itu tersenyum puas
menatapku.
SEBELLL!!!!
“ Selamat bersenang-senang ya?” ujar Papa sambil memberikan
tangan Julian padaku agar kugandeng. Aku meraihnya dan
menggandengnya dengan senyuman terpaksaku.
Papa dan Mama mengantarku sampai di pintu. Aku menaiki
mobil Honda Jazz biruku dan langsung melaju begitu Julian menutup
pintu. Gadis itu sampai terkejut karena aku terlalu cepat mengemudi.
“ `J`, kamu marah ya?” tanya Julian dengan nada ketakutan.
Aku jadi merasa bersalah. Tidak seharusnya Julian jadi
pelampiasan amarahku. Ini kebiasaan burukku.
“ Ngga, gua ngga marah kok. Sori ya kalo bikin lo ketakutan.”
Julian mengangguk mengerti dan mulai tenang. Wajahnya
kembali berbinar cerah.
51
52. Sementara itu aku memelankan laju mobilku dan
mengendarainya dengan tenang. Dalam hati aku berdoa meminta kasih
karunia Tuhan agar Ia memberikanku hati yang sabar. Semuanya pasti
ada maksudnya kenapa aku harus melewati masalah ini.
Yeah, bagiku ditunangkan dengan Julian merupakan suatu
masalah. Sekalipun Julian cantik tapi hatiku tetap tidak bisa
menerimanya. Entahlah kenapa. Pokoknya tidak bisa.
Sampai di mall aku dan Julian segera turun setelah
memarkirkan mobil. Kami langsung menuju bioskop karena sebentar
lagi film yang akan kami tonton akan segera dimulai.
“ Kamu yang beli tiketnya ya?” pintaku pada Julian. Dengan
mantap Julian segera pergi membeli tiket sementara aku membeli
popcorn dan soft drink untuk kami berdua.
`J`!
Aku menoleh saat kudengar seseorang memanggilku. Kulihat
sekeliling bioskop dan tidak ada seorang pun yang aku kenal. Mungkin
aku berhalusinasi. Kukeluarkan dompetku dan membayar semua
belanjaanku.
`J`!
Aku menghentikan gerakanku dan mendengarkan dengan
seksama. Memang ada yang memanggilku. Aku menoleh ke belakang
lagi tapi tidak ada satu pun yang aku kenali.
“ `J`, ini tiketnya.”
Aku terlonjak saat Julian menepuk bahuku. Aku berbalik dan
melotot padanya. Julian sendiri terkejut melihat reaksiku sampai ia
melangkah mundur seolah-olah aku adalah makhluk buas yang siap
menerkamnya.
Sepertinya aku melakukan kebodohan lagi.
“ Maaf.”
Dengan linglung aku membayar belanjaanku dan pergi menuju
studio tempat kami harus nonton. Aku sama sekali tidak mempedulikan
Julian yang masih shock. Tapi akhirnya dia menyusul karena aku tidak
bisa masuk tanpa tiket yang ada di tangannya.
Film sudah dimulai. Aku dan Julian duduk di depan sepasang
cewe cowo. Aku rasa Julian salah ambil tempat duduk. Sepanjang film
berjalan dua pasangan ini membuat film sendiri. Si cowo ngebet banget
52
53. pengen merangkul cewenya sementara si cewe terus berusaha
menghindari rangkulan cowo itu. Hahaha...pemandangan yang jarang-
jarang `kan?
Cowo itu terus berusaha mendekati cewe itu dan cewe itu terus
berusaha menghindari cowo itu. Aku melemparkan beberapa popcorn
ke arah si cowo dan ia langsung menoleh sementara aku berpura-pura
menonton dengan serius. Beberapa kali aku melakukannya dan cowo
itu mulai gusar.
Tampaknya kegusarannya semakin membuatnya nekat. Tak
lama setelah aku melemparkan popcorn cowo itu langsung nyosor dan
memaksa cewe itu agar mau dicium.
PLETAKKKK!!! BAK BUK! JDUK!!
Spontan cewe itu menamparnya dan memukulnya berkali-kali.
Terakhir dia mendaratkan tinjunya di rahang cowo itu. Tanpa bicara
apa-apa lagi si cewe langsung keluar dari studio.
Tanpa bisa menahan tawaku aku terbahak melihat cowo itu
mengelus-elus pipinya. Kudengar ia mengumpat ke arahku dan segera
ia menyusul si cewe.
Nggg...rasa-rasanya aku punya firasat buruk tentang dua orang
itu. Mungkin aku harus membututi mereka.
“ Jul, tunggu di sini ya? Gua mau ke toilet.”
Aku menyerahkan popcorn dan softdrinkku pada Julian dan
bergegas menyusul pasangan aneh tadi.
Bukannya mau ikut campur tapi firasatku buruk tentang
mereka. Jangan-jangan cowo itu mau berbuat gila.
Aku mengikuti cowo itu dari jarak jauh. Dari postur tubuhnya
cowo itu termasuk ok. Kayaknya dia suka fitnes karena badannya
lumayan berotot.
Mana cewenya ya?
BRAK!!
Karena terlalu berkonsentrasi mengikuti cowo itu aku tidak
melihat sekelilingku dan hasilnya aku menabrak seorang cewe. Tapi
aku tidak mempedulikannya. Aku langsung pergi saja dan segera
mencari sosok cowo gatel itu lagi.
53
54. Ia masuk ke area parkir yang sepi. Ia masih terus menguntit
cewe itu dan tiba-tiba ia mengejar cewe itu. Cewe itu terus berlari
menghindar tapi akhirnya ia tertangkap.
Cowo itu membekap mulutnya dan menariknya ke sela-sela
mobil yang diparkir.
Aku bergegas berdiri untuk menolong cewe itu
tapi...BRAKKK!!!
Aku menabrak orang lagi tapi kali ini kepala kami saling
berbenturan. Spontan aku mengaduh dengan keras.
Suaraku mengagetkan cowo mesum itu dan ia langsung kabur.
Tanpa mempedulikan kepalaku yang sakit aku segera mengejarnya dan
aku melompat untuk menangkapnya. Lalu....
GUBRAAAAAKKKK...!!
Aku dan dia mendarat di tanah. Cepat-cepat aku membelit kaki
dan tangannya agar ia tidak kabur.
“ Panggil keamanan!! Cepat!!” aku berteriak dengan keras pada
cewe yang tadi dikejar dan ia pun berteriak-teriak meminta tolong.
Tak lama kemudian beberapa satpam muncul dan
melepaskanku lalu memborgolku...Loh!!!
“ Pak! Pak salah! Yang satu lagi! Dia mau memperkosa saya!
Kalu dia malah mau menolong saya.” Cewe tadi langsung menarik
satpam itu dan menunjuk cowo gila tadi.
Piuhhhh....untung saja. Satpam-satpam itu langsung melepaskan
aku dan menangkap tersangka yang sudah berniat kabur.
“ Kenapa ngga bilang dari tadi Mas?” ujar satpam yang
berkumis tebal sambil tersenyum lebar padaku. Aku hanya bisa tertawa
geli melihat senyumnya yang aneh.
“ Kalau gitu kami tahan dia dulu sambil menunggu polisi
datang. Kalian bisa jadi saksi `kan?”
Aku dan cewe tadi manggut-manggut bersamaan.
Kedua satpam itu membawa cowo itu ke pos mereka dan
sementara aku mulai merasakan sakit dikepalaku karena bekas tadi
berbenturan dengan kepala orang lain. Siapa ya tuh orang, gua harus
minta maaf.
“ Makasih ya atas pertolongannya. Kalau ngga gua ngga tahu
udah kayak apa.” Cewe tadi menghampiriku dan menjabat tanganku
54
55. dengan sangat erat. Matanya berbinar memberikan tanda kalau ia
sangat terkesan padaku. Aku hanya bisa tersenyum membalas
tatapannya.
Ia terus menatapku seperti terpesona....Sudah biasa!
“ Kenalin, gua Fransisca. Panggil aja Sisca.”
“ Gua Jacob. Panggil aja `J`.”
Aku dan Sisca bersalaman sangat lama sekali sampai tanganku
pegal. Sepertinya Sisca benar-benar terpesona padaku. Bukannya ge-er
tapi kenyataan!
“ Aduuuuhhh....!”
Tiba-tiba terdengar suara erangan seorang cewe. Aku dan Sisca
langsung menoleh ke asal suara dan menyusuri tempat parkir untuk
mencari orangnya.
Ternyata seorang cewe yang sedang terduduk sambil
memegang kening dan belakang kepalanya. Ia menangis menahan
sakit.
“ Gladis?! Kenapa lo?”
Cewe itu menoleh mendengar Sisca memanggilnya dan aku
hanya bisa terdiam memandangnya.
Mendengar namanya saja jantungku sudah berhenti sekarang
melihat wajahnya aku merasa dadaku kosong melompong. Ada rasa
senang dan rindu tapi juga ada takut dan sakit. Jantungku seperti jatuh
ke perutku.
Aku terus terpaku melihat ke arah Gladis yang sibuk
menceritakan tentang cowo menyebalkan yang menabraknya dan
malah meninggalkannya tanpa meminta maaf sama sekali.
Sepertinya yang sedang dia bicarakan itu aku.
“ Maaf...” bisikku pelan tapi cukup keras untuk didengar
Gladis. Gladis tidak langsung menoleh.Sesaat ia hanya terpaku karena
terkejut. Lalu perlahan ia menoleh padaku.
Kami saling memandang tanpa bicara sama sekali. Kepalaku
terasa begitu penuh. Dia tidak berubah sama sekali. Ada perasaan yang
begitu kuat yang memaksaku untuk menghampirinya dan memeluknya.
Kenapa aku merasakan hal ini? Kenapa rasanya ada perasaan senang,
rindu dan lega yang membuat hatiku terasa diaduk-aduk....Ada apa ini?
55