SlideShare a Scribd company logo
1 of 3
Jawa Pos 
Minggu, 23 Desember 2007 
Ibu Meninggal 
Cerpen: Hudan Hidayat 
HINGGA hari ini aku masih belum percaya ibu telah meninggal. Keluargaku memang 
belum pernah kehilangan. Kini aku begitu merindukan ibu. Menyesal belum sempat 
membuat ibu bahagia. 
Kehilangan itu membuatku begitu hampa. Segalanya seolah menjadi tak berjiwa. Aku 
seakan tak mendengar bunyi apa pun, saat pulang ke rumah dan mengepak barang yang 
akan kubawa. Anak-anak dan istriku sudah siap dengan bawaan mereka. Tapi aku seolah 
kehilangan pijakan. Kedua kakiku rasanya melayang. Aku seolah meluncur ke dalam 
lubang yang tak bisa kuhentikan. 
Semua kenangan masa kecilku kuingat kembali. Waktu muda dan saat aku masih kecil, ibu 
begitu cantik. Lembut, meski keras dalam sikap. Aku bangga punya ibu seperti ibuku. 
Waktu ayah miskin aku membantu ibu jualan beras di Pasar Enam Belas. Aku juga sering 
menagih orang yang kredit dengan ibuku. Semua tugas itu hanya aku yang melakukannya. 
Entah mengapa ibu tidak pernah menyuruh kakak atau adik-adikku. Tapi justru itu yang 
membuat aku dekat dengan ibu. Waktu ibu sakit aku kasihan sekali. Aku ingin 
membantunya tapi tidak bisa: sakit ibu sudah parah. Aku tidak pernah acuh pada ibu. 
Memang kuakui aku tumbuh dengan pikiranku sendiri dan sibuk dengan diriku sendiri. 
Mungkin ibu berpikir aku seolah tidak peduli. Padahal dalam hati aku selalu sayang ibu. 
Selalu mengingatnya. Kini ibu sudah tiada. Sudah benar-benar hilang dari keluarganya. 
Lain sekali rasanya kematian itu. Sore itu kami mengaji di makam ibu. Ada bentangan daun 
dan kembang. Juga bunga yang ditabur di makam. Sejam yang lalu aku ikut turun ke liang 
itu, membaringkan tubuh ibu. Meletakkan wajahnya ke dalam lubang yang tepinya digali 
lagi, membentuk kedalaman sendiri. Lubang yang miring. Entah mengapa saat itu aku 
teringat sebuah kisah: lubang dalam lubang, yang tadinya aku belum begitu mengerti 
maknanya. Tapi, menghadapi lubang kubur ibu, serta lubang yang digali lagi dalam lubang 
kubur ibu, aku jadi benar-benar mengerti kisah itu: lubang cahaya. Ya, kurasakan lubang 
ibu adalah lubang cahaya. Tempat di mana seorang perempuan yang baik budi semasa 
hidupnya terkubur di sana. Wajahnya terbenam dalam lubang itu, masuk ke dalam liang 
yang aku sendiri ikut menggali dan menanam tanah penyangga tubuhnya. Aku juga 
membukakan tali-tali yang mengikat kepala ibu, tubuh, dan kaki ibu. Kubuka ikatan-ikatan 
tali itu. Seolah membuka ikatan masa lalu, di mana aku terbenam di dalamnya. Sejenak 
melintas saat aku menghentak-hentakkan kaki, maju mundur meminta uang pada ibu di 
jalan. Ibu marah dengan sayang. Wajahnya merajuk lalu tersenyum. Diraihnya tubuhku dan 
diciumnya kepala dan mukaku. Anakku sayang,anakku sayang, kata ibu. Hanya itulah yang 
keluar dari mulut ibu. Ia memandangi anaknya. Seolah Tuhan memandangi dunia. Duh, 
perempuan yang baik hati, kini kau telah pergi. Telah benar-benar meninggalkan kami. 
Kini aku hanya memiliki seorang ayah. Aku harap ayahku selalu sehat dan kuat. Tidak 
sakit-sakitan seperti ibu. Aku sayang sekali denan ayahku. Ayahlah yang mendidikku 
dalam banyak hal. Caranya mendidikku luar biasa: aku dibiarkannya melakukan apa saja 
yang aku suka, tidak pernah melarang. Dulu aku memimpikan ayahku dua kali: ayah begitu 
marah padaku dan meninggal dalam mimpiku. Aku begitu sedih sampai terbangun. 
Tercekam dengan mimpiku. Masih tersisa wajah ayah yang marah. Aku tidak begitu 
mengerti apa yang membuat ayah sangat marah. Tetapi lelaki tegas dan gagah itu 
memandangku dengan raut membesi. Jiwaku menggigil melihatnya. Ayah, apa salahku 
sampai kau marah begitu? Ini anakmu, yang sangat sedih karena bermimpi ayah telah mati.
Tapi ayah tetap diam. Wajahnya sukar dilukiskan: terpaku di tempatnya, matanya seakan 
mengeluarkan api. Membakar tubuh dan jiwaku. Membuat aku putus asa, sedih dan 
berduka. Ada apa Ayah? Mengapa kau demikian marah padaku? Apakah salah anakmu ini? 
Entah mengapa aku mengenang mimpi itu, saat adik perempuanku menelepon, 
mengabarkan ayah sakit di Tanjung Balai Asahan. Dalam telepon adikku menangis. 
Suaranya terbatabata. Ayah sakit keras. Dibawa naik kapal dari India. Hanya ditemani 
seorang kawannya. Aku terdiam. Segera kuingat kelompok jamaah kawan-kawan ayah 
yang kuantar ke bandara. Terngiang-ngiang kata-kata ayahku. Ayah akan empat bulan di 
luar negeri, berkeliling dari masjid ke masjid di Malaysia, India, dan kalau mungkin, 
Banglades. Hidup berdasarkan pemberian orang. Makan dan tidur di masjid. Kami tamu di 
sana. Setelah tiga hari sang tuan rumah boleh tidak menganggap tamu lagi. Artinya sang 
tamu harus pergi. Akan mencari masjid lain. Begitulah akan terjadi selama empat bulan. 
Ayah dan kawan-kawannya akan melalukan syiar agama dari masjid ke masjid di sana. 
Suara adikku terdengar lagi. Adek sudah menuju bandara. Kita bertemu di bandara dan 
berangkat dengan pesawat pertama. 
Aku merasa dia sudah mengendalikan diri. Agak tenang. Tetapi justru aku yang mulai tidak 
tenang. Penuh tekanan saat aku berusaha mengatakan sesuatu padanya. Seolah segala suka-duka 
keluargaku masuk ke dalam tekanan itu. Segera kukabarkan keluargaku yang lain. 
Kutelepon kakakku. Dia termenung mendengar kabar dariku. Bertanya. Lalu diam. Aku 
menyadarkannya kembali. Sebaiknya kita berangkat bersama. Ada pesawat Garuda pukul 
14 siang ini. Aku menelepon lagi. Ayah sakit kritis, Jen. Beriap-siaplah. Kami yang di 
Jakarta akan berangkat segera ke Medan. Kalian yang dari luar kota sebaiknya berkumpul 
di Jakarta. Setidaknya menunggu kabar dari kami. 
Seperti aku pertama kali mendengar kabar sakitnya ayah, adikku pun diam tak berkata-kata. 
Aku hanya mendengar nada kosong dalam telepon. Lalu suaranya yang sangat pelan. Aku 
berangkat hari ini juga. Jalan darat ke Jakarta. 
Sebuah SMS masuk ke dalam teleponku.Aku membukanya sambil mengemudi. Aku tak 
mau melihat pengirimnya lagi. Pasti kabar tentang ayah. Mobilku tertahan di lampu merah 
di bawah jembatan flyover Kebayaron Lama. Aku membaca SMS itu, saat wajah seorang 
lelaki yang muncul tiba-tiba dari kaca kanan mobilku. Aku masih sempat membaca kalimat 
pertama. 
Assalamualaikum. Nama saya Abdullah. Jemaah Majelis Tabligh dari Aceh... 
Aku menyimak lelaki itu. Kehadirannya yang begitu mendadak membuatku kaget. Aku 
melihat tonjolan-tonjolan daging di sekujur tubuhnya. Kulit lelaki tua itu keriput dan 
menghitam. Penyakit kulit membuat tubuhnya rusak dan nampak mengerikan. Lidahnya 
terjulur di antara mulutnya yang lebar, membuatku merasa seolah lelaki itu bukan manusia. 
Tetapi ia adalah manusia. Hanya kehidupan telah mengalahkannya. 
Lelaki itu tidak menunjukkan isyarat apa pun. Diam dan mematung di balik kaca mobilku. 
Matahari menusuknya. Tonjolan-tonjolan daging di tubuhnya melepuh dan mengeluarkan 
minyak. Ia tampak putus asa dengan keadaannya. Sorot matanya kosong tak menunjukkan 
keinginan. Seolah kehadirannya di tengah jalan itu hanya mekanis, dari sebuah pekerjaan 
rutin untuk meneruskan hidup. Aku merasa tidak nyaman dengan kehadirannya. Sikapnya 
yang memilukan itu membuatku tak sampai hati. Bagaimana menolong lelaki ini? Aku 
mulai menggenggam uang seratus ribu, sambil memikirkan lelaki itu. Aku kira lelaki 
seusianya sudah tidak pantas lagi di jalan raya. Tapi toh lelaki ini tetap di jalan raya. Ke 
manakah keluarganya, pikirku. Aku jadi teringat ayahku. Siapakah yang menolong ayah
waktu sakit di luar negeri? Pasti berat sekali, ayah membawa tubuhnya sendiri. 
Aku sangat menyesal, karena lampu hijau membuat aku harus meninggalkannya. Aku 
belum sempat memberikan uang seratus ribu itu. Mestinya aku tadi tidak sibuk berpikir. 
Tetapi aku telah berpikir dan uang itu tetap di tanganku. 
Benarkah ini nomor Bapak Hudan, putera dari Bapak Jemat. Semoga benar. Saya sudah 
mengontak nomor-nomor di HP ayah kalian. Seseorang yang saya kontak menyebutkan 
antara lain nama Bapak... 
Jadi, seseorang di Tanjung Balai telah menolong ayahku, dengan mengontak segala nomor 
yang ada di telepon seluler ayah. 
Bapak Jemat sakit keras. Ayah kalian terbaring di klinik sederhana di Tanjung Balai. 
Segeralah ke sana sebelum semuanya terlambat. 
Kalimat-kalimat akhir SMS itu bergaung dalam jiwaku. SMS itu mengingatkanku berita 
kematian ibu. Pagi itu aku sudah berada di mobil dengan istriku, menuju kantor. SMS itu 
masuk, hanya gabungan kata-kata, yang kalau kita hilangkan bagian-bagiannya tak 
memiliki arti apa pun. Hari-hariku sering disibukkan dengan memenggal-memenggalnya. 
Mengujinya apakah artinya masih dalam maknanya. Sering aku menghadapi gabungan kata 
"kematian" dalam kesepian kamar kerjaku di waktu malam. Saat istri dan anak-anaku sudah 
tertidur, aku naik ke atas dan masuk ke kamar kerjaku.?Di sanalah aku. Menguji kata atau 
kalimat yang kusukai untuk diriku. Kematian tidak menakutkan. Tidak lebih dari ujung 
sebuah perjalanan, di mana kita berhenti di suatu tempat. Perjalanan itulah kehidupan. 
Perhentian itulah kematian. Begitulah kalimat yang terbentang di meja kerjaku. Kalimat 
yang kusukai. Lalu aku memenggal-menggalnya. Kupisahkan katakata itu dan aku kini 
hanya menghadapi sebuah penggalan kata "kematian", "perhentian", dan "kehidupan". 
Gabungan huruf yang masih bermakna. Lalu kupenggal lagi. Kuhilangkan lagi sampai dia 
menjadi huruf-huruf mati dan hurufhidup. Terbentang di mejaku sesuatu yang tidak 
bermakna sama sekali. K, P, K, huruf dari sebuah awal yang bisa apa saja. Yang jelas sudah 
tidak menunjuk lagi fakta tentang kehidupan yang berhenti. Huruf atau kata yang 
terpenggal ini di mana menakutkannya? Tidak ada. Kita bisa santai menghadapinya. Kita 
bisa bermainmain dengannya. Mengisinya sesuka hati. 
Tapi, pagi itu, aku diharu-biru oleh gabungankata-kata itu. Seakan kata-kata yang 
kupenggal itu seolah marah, seolah-olah dia makhluk bernyawa di mana penggalan yang 
kulakukan seakan telah membunuhnya. Menghisap darahnya, sehingga ia menggelepar tak 
berdaya. Dan, kini semua kata yang sering kupenggal itu bangkit menunjukkan dirinya. 
Menghantam tepat di pusat kesadaran jiwaku. Membuatku luluh-lantak. Begitulah 
kudengar berita kematian ibu melalui SMS itu. Aku seolah bermimpi. Seakan tak percaya 
kalimat-kalimat dalam SMS itu. Ibu kita telah tiada. Beliau menghembuskan napas 
terakhirnya di Rumah Sakit Umum Bengkulu... 
Aku meledak dalam tangis yang mencekam. Aku sudah berusaha menahannya tapi tangis 
itu seolah makhluk bernyawa yang tak bisa kuhentikan. Aku memutar mobilku sambil 
menangis. Istriku menyabarkanku tapi tak lama kemudian dia pun ikut menangis. Anakku 
yang baru berusia 3 tahun mungkin menangkap dengan batinnya. Dia mengucapkan kata-kata 
dengan wajah anak yang tak mengerti. Ada apa Papa. Mana penjahatnya. Mari kita 
tembak penjahatnya. Istriku mengelus-elus kepala anakku. Dia belum tahu permainan orang 
dewasa dengan tangisnya. Tangis yang menyimpan riwayat kesalahan dan dendam. Tangis 
dari sebuah kehidupan yang tiba-tiba terputus. *** 
(Kenangan untuk ibuku)

More Related Content

What's hot

What's hot (19)

Angin dari gunung
Angin dari gunungAngin dari gunung
Angin dari gunung
 
Cerita
CeritaCerita
Cerita
 
Perihal kisah kita
Perihal kisah  kitaPerihal kisah  kita
Perihal kisah kita
 
Terjalnya jalan hidupku
Terjalnya  jalan hidupkuTerjalnya  jalan hidupku
Terjalnya jalan hidupku
 
Hujan di bulan desember
Hujan di bulan desemberHujan di bulan desember
Hujan di bulan desember
 
日本文学
日本文学日本文学
日本文学
 
Kumpulan Cerpen oleh Fajar Sany edisi Juni 2016
Kumpulan Cerpen oleh Fajar Sany edisi Juni 2016Kumpulan Cerpen oleh Fajar Sany edisi Juni 2016
Kumpulan Cerpen oleh Fajar Sany edisi Juni 2016
 
Deja Vu
Deja VuDeja Vu
Deja Vu
 
Kumpulan Cerpen Fajar Sany: Desember 2014 - Mei 2015
Kumpulan Cerpen Fajar Sany: Desember 2014 - Mei 2015Kumpulan Cerpen Fajar Sany: Desember 2014 - Mei 2015
Kumpulan Cerpen Fajar Sany: Desember 2014 - Mei 2015
 
002.dewi penyebarmaut
002.dewi penyebarmaut002.dewi penyebarmaut
002.dewi penyebarmaut
 
Cinta dan tahajud terakhir
Cinta dan tahajud terakhirCinta dan tahajud terakhir
Cinta dan tahajud terakhir
 
Naskah Talent Show SU(Swara Unsada)//Jurnalistik//
Naskah Talent Show SU(Swara Unsada)//Jurnalistik//Naskah Talent Show SU(Swara Unsada)//Jurnalistik//
Naskah Talent Show SU(Swara Unsada)//Jurnalistik//
 
Aku terpaksa-menikahinya
Aku terpaksa-menikahinyaAku terpaksa-menikahinya
Aku terpaksa-menikahinya
 
Timbunan sampah (edi supardi emon)
Timbunan sampah (edi supardi emon)Timbunan sampah (edi supardi emon)
Timbunan sampah (edi supardi emon)
 
#Tiga
#Tiga#Tiga
#Tiga
 
Tersayat cinta
Tersayat cintaTersayat cinta
Tersayat cinta
 
Cerpen akhir sebuah penantian
Cerpen akhir sebuah penantianCerpen akhir sebuah penantian
Cerpen akhir sebuah penantian
 
Hyrftu
HyrftuHyrftu
Hyrftu
 
Perjalanan terindah
Perjalanan terindahPerjalanan terindah
Perjalanan terindah
 

Viewers also liked

PERIYAR EVR COLLEGE ,TIRUCHI Ugc seminar
PERIYAR EVR COLLEGE ,TIRUCHI Ugc seminarPERIYAR EVR COLLEGE ,TIRUCHI Ugc seminar
PERIYAR EVR COLLEGE ,TIRUCHI Ugc seminarchelliah paramasivan
 
портфолио мыща с. н.
портфолио мыща с. н.портфолио мыща с. н.
портфолио мыща с. н.Diana Fedinishinets
 
молодь обирає дію
молодь обирає діюмолодь обирає дію
молодь обирає діюDiana Fedinishinets
 
творча обларованість копия
творча обларованість   копиятворча обларованість   копия
творча обларованість копияDiana Fedinishinets
 
учнівське самоврядування, 5 клас (2)
учнівське самоврядування, 5 клас (2)учнівське самоврядування, 5 клас (2)
учнівське самоврядування, 5 клас (2)Diana Fedinishinets
 
творчий проект, 5 клас
творчий проект, 5 кластворчий проект, 5 клас
творчий проект, 5 класDiana Fedinishinets
 

Viewers also liked (11)

Perempuan kedua (labibah zain)
Perempuan kedua (labibah zain)Perempuan kedua (labibah zain)
Perempuan kedua (labibah zain)
 
літопис
літопис літопис
літопис
 
PERIYAR EVR COLLEGE ,TIRUCHI Ugc seminar
PERIYAR EVR COLLEGE ,TIRUCHI Ugc seminarPERIYAR EVR COLLEGE ,TIRUCHI Ugc seminar
PERIYAR EVR COLLEGE ,TIRUCHI Ugc seminar
 
портфолио мыща с. н.
портфолио мыща с. н.портфолио мыща с. н.
портфолио мыща с. н.
 
літопис
літопис літопис
літопис
 
молодь обирає дію
молодь обирає діюмолодь обирає дію
молодь обирає дію
 
колектив 8 класу
колектив 8 класуколектив 8 класу
колектив 8 класу
 
самоврядування
самоврядуваннясамоврядування
самоврядування
 
творча обларованість копия
творча обларованість   копиятворча обларованість   копия
творча обларованість копия
 
учнівське самоврядування, 5 клас (2)
учнівське самоврядування, 5 клас (2)учнівське самоврядування, 5 клас (2)
учнівське самоврядування, 5 клас (2)
 
творчий проект, 5 клас
творчий проект, 5 кластворчий проект, 5 клас
творчий проект, 5 клас
 

Similar to Ibu meninggal (hudan hidayat)

Similar to Ibu meninggal (hudan hidayat) (20)

cerpen karangan sendiri
cerpen karangan sendiricerpen karangan sendiri
cerpen karangan sendiri
 
Aku mencintaimu
Aku mencintaimuAku mencintaimu
Aku mencintaimu
 
Cerita ceweksma dalamduniagemerlap
Cerita ceweksma dalamduniagemerlapCerita ceweksma dalamduniagemerlap
Cerita ceweksma dalamduniagemerlap
 
Monolog kasir kita.docx
Monolog kasir kita.docxMonolog kasir kita.docx
Monolog kasir kita.docx
 
Kabut jingga
Kabut jinggaKabut jingga
Kabut jingga
 
Tentang aku
Tentang akuTentang aku
Tentang aku
 
Kereta malam
Kereta malamKereta malam
Kereta malam
 
Post 1
Post 1Post 1
Post 1
 
Aku mencintaimu suamiku
Aku mencintaimu suamikuAku mencintaimu suamiku
Aku mencintaimu suamiku
 
Menebus Dosa Di Jalanku
Menebus Dosa Di JalankuMenebus Dosa Di Jalanku
Menebus Dosa Di Jalanku
 
Seorang ibu menunggu (an. ismanto)
Seorang ibu menunggu (an. ismanto)Seorang ibu menunggu (an. ismanto)
Seorang ibu menunggu (an. ismanto)
 
Memandang lebih dalam (sendiri)
Memandang lebih dalam (sendiri)Memandang lebih dalam (sendiri)
Memandang lebih dalam (sendiri)
 
Wangi+kaki+ibu
Wangi+kaki+ibuWangi+kaki+ibu
Wangi+kaki+ibu
 
Sebuah pilihan (shelvin gunawan)
Sebuah pilihan (shelvin gunawan)Sebuah pilihan (shelvin gunawan)
Sebuah pilihan (shelvin gunawan)
 
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)
 
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)
 
Dalam rindu (hembang tambun)
Dalam rindu (hembang tambun)Dalam rindu (hembang tambun)
Dalam rindu (hembang tambun)
 
Banyuwangi jenggirat tangi
Banyuwangi jenggirat tangiBanyuwangi jenggirat tangi
Banyuwangi jenggirat tangi
 
Aq mencintai suaimi ku
Aq mencintai suaimi kuAq mencintai suaimi ku
Aq mencintai suaimi ku
 
Uang jemputan (farizal sikumbang)
Uang jemputan (farizal sikumbang)Uang jemputan (farizal sikumbang)
Uang jemputan (farizal sikumbang)
 

More from Arvinoor Siregar SH MH (20)

Unschooling your-child-212
Unschooling your-child-212Unschooling your-child-212
Unschooling your-child-212
 
Montessori homeschooling-223
Montessori homeschooling-223Montessori homeschooling-223
Montessori homeschooling-223
 
Homeschooling the-darker-side-501
Homeschooling the-darker-side-501Homeschooling the-darker-side-501
Homeschooling the-darker-side-501
 
Homeschooling the teenager-225
Homeschooling the teenager-225Homeschooling the teenager-225
Homeschooling the teenager-225
 
Homeschooling methods-572
Homeschooling methods-572Homeschooling methods-572
Homeschooling methods-572
 
Homeschooling and-college-223
Homeschooling and-college-223Homeschooling and-college-223
Homeschooling and-college-223
 
Homeschool field-trips-184
Homeschool field-trips-184Homeschool field-trips-184
Homeschool field-trips-184
 
Homeschool burnout-223
Homeschool burnout-223Homeschool burnout-223
Homeschool burnout-223
 
Financing homeschooling-433
Financing homeschooling-433Financing homeschooling-433
Financing homeschooling-433
 
Thurgood marshall
Thurgood marshallThurgood marshall
Thurgood marshall
 
The rainbow coalition
The rainbow coalitionThe rainbow coalition
The rainbow coalition
 
The halls of power
The halls of powerThe halls of power
The halls of power
 
The dred scott decision
The dred scott decisionThe dred scott decision
The dred scott decision
 
Slavery
SlaverySlavery
Slavery
 
Rosa parks
Rosa parksRosa parks
Rosa parks
 
Martin luther king's dream
Martin luther king's dreamMartin luther king's dream
Martin luther king's dream
 
Martin luther king, jr.
Martin luther king, jr.Martin luther king, jr.
Martin luther king, jr.
 
Jordon and ali
Jordon and aliJordon and ali
Jordon and ali
 
Jackie robinson
Jackie robinsonJackie robinson
Jackie robinson
 
Harriet tubman
Harriet tubmanHarriet tubman
Harriet tubman
 

Recently uploaded

Sakai99 : Daftar Situs Judi Slot Online Gacor Terpercaya Gampang Maxwin
Sakai99 : Daftar Situs Judi Slot Online Gacor Terpercaya Gampang MaxwinSakai99 : Daftar Situs Judi Slot Online Gacor Terpercaya Gampang Maxwin
Sakai99 : Daftar Situs Judi Slot Online Gacor Terpercaya Gampang MaxwinSakai99
 
Sizi99 : Situs Judi Slot Online Gacor Terpercaya & Slot Terbaik Hari Ini
Sizi99 : Situs Judi Slot Online Gacor Terpercaya & Slot Terbaik Hari IniSizi99 : Situs Judi Slot Online Gacor Terpercaya & Slot Terbaik Hari Ini
Sizi99 : Situs Judi Slot Online Gacor Terpercaya & Slot Terbaik Hari IniSizi99
 
Jasatoto99 : Daftar Situs Slot Gacor Maxwin & Situs Slot Terbaru Hari Ini
Jasatoto99 : Daftar Situs Slot Gacor Maxwin & Situs Slot Terbaru Hari IniJasatoto99 : Daftar Situs Slot Gacor Maxwin & Situs Slot Terbaru Hari Ini
Jasatoto99 : Daftar Situs Slot Gacor Maxwin & Situs Slot Terbaru Hari IniJasatoto99
 
IDMPO : SITUS GAME SLOT GACOR & BONUS SLOT 100%, JACKPOT
IDMPO : SITUS GAME SLOT GACOR & BONUS SLOT 100%, JACKPOTIDMPO : SITUS GAME SLOT GACOR & BONUS SLOT 100%, JACKPOT
IDMPO : SITUS GAME SLOT GACOR & BONUS SLOT 100%, JACKPOTNeta
 
PEDOMAN PENYELENGGARAAN BEASISWA LPPD JATIM - 2024.pdf
PEDOMAN PENYELENGGARAAN BEASISWA LPPD JATIM - 2024.pdfPEDOMAN PENYELENGGARAAN BEASISWA LPPD JATIM - 2024.pdf
PEDOMAN PENYELENGGARAAN BEASISWA LPPD JATIM - 2024.pdfachsofyan1
 
IDMPO : SLOT BONUS REBATE MINGGUAN MENGUNTUNGKAN
IDMPO : SLOT BONUS REBATE MINGGUAN MENGUNTUNGKANIDMPO : SLOT BONUS REBATE MINGGUAN MENGUNTUNGKAN
IDMPO : SLOT BONUS REBATE MINGGUAN MENGUNTUNGKANNeta
 
Bento88slot : Situs Judi Slot Online Gacor Hari Ini Viral Gampang Maxwin
Bento88slot : Situs Judi Slot Online Gacor Hari Ini Viral Gampang MaxwinBento88slot : Situs Judi Slot Online Gacor Hari Ini Viral Gampang Maxwin
Bento88slot : Situs Judi Slot Online Gacor Hari Ini Viral Gampang MaxwinBento88slot
 

Recently uploaded (7)

Sakai99 : Daftar Situs Judi Slot Online Gacor Terpercaya Gampang Maxwin
Sakai99 : Daftar Situs Judi Slot Online Gacor Terpercaya Gampang MaxwinSakai99 : Daftar Situs Judi Slot Online Gacor Terpercaya Gampang Maxwin
Sakai99 : Daftar Situs Judi Slot Online Gacor Terpercaya Gampang Maxwin
 
Sizi99 : Situs Judi Slot Online Gacor Terpercaya & Slot Terbaik Hari Ini
Sizi99 : Situs Judi Slot Online Gacor Terpercaya & Slot Terbaik Hari IniSizi99 : Situs Judi Slot Online Gacor Terpercaya & Slot Terbaik Hari Ini
Sizi99 : Situs Judi Slot Online Gacor Terpercaya & Slot Terbaik Hari Ini
 
Jasatoto99 : Daftar Situs Slot Gacor Maxwin & Situs Slot Terbaru Hari Ini
Jasatoto99 : Daftar Situs Slot Gacor Maxwin & Situs Slot Terbaru Hari IniJasatoto99 : Daftar Situs Slot Gacor Maxwin & Situs Slot Terbaru Hari Ini
Jasatoto99 : Daftar Situs Slot Gacor Maxwin & Situs Slot Terbaru Hari Ini
 
IDMPO : SITUS GAME SLOT GACOR & BONUS SLOT 100%, JACKPOT
IDMPO : SITUS GAME SLOT GACOR & BONUS SLOT 100%, JACKPOTIDMPO : SITUS GAME SLOT GACOR & BONUS SLOT 100%, JACKPOT
IDMPO : SITUS GAME SLOT GACOR & BONUS SLOT 100%, JACKPOT
 
PEDOMAN PENYELENGGARAAN BEASISWA LPPD JATIM - 2024.pdf
PEDOMAN PENYELENGGARAAN BEASISWA LPPD JATIM - 2024.pdfPEDOMAN PENYELENGGARAAN BEASISWA LPPD JATIM - 2024.pdf
PEDOMAN PENYELENGGARAAN BEASISWA LPPD JATIM - 2024.pdf
 
IDMPO : SLOT BONUS REBATE MINGGUAN MENGUNTUNGKAN
IDMPO : SLOT BONUS REBATE MINGGUAN MENGUNTUNGKANIDMPO : SLOT BONUS REBATE MINGGUAN MENGUNTUNGKAN
IDMPO : SLOT BONUS REBATE MINGGUAN MENGUNTUNGKAN
 
Bento88slot : Situs Judi Slot Online Gacor Hari Ini Viral Gampang Maxwin
Bento88slot : Situs Judi Slot Online Gacor Hari Ini Viral Gampang MaxwinBento88slot : Situs Judi Slot Online Gacor Hari Ini Viral Gampang Maxwin
Bento88slot : Situs Judi Slot Online Gacor Hari Ini Viral Gampang Maxwin
 

Ibu meninggal (hudan hidayat)

  • 1. Jawa Pos Minggu, 23 Desember 2007 Ibu Meninggal Cerpen: Hudan Hidayat HINGGA hari ini aku masih belum percaya ibu telah meninggal. Keluargaku memang belum pernah kehilangan. Kini aku begitu merindukan ibu. Menyesal belum sempat membuat ibu bahagia. Kehilangan itu membuatku begitu hampa. Segalanya seolah menjadi tak berjiwa. Aku seakan tak mendengar bunyi apa pun, saat pulang ke rumah dan mengepak barang yang akan kubawa. Anak-anak dan istriku sudah siap dengan bawaan mereka. Tapi aku seolah kehilangan pijakan. Kedua kakiku rasanya melayang. Aku seolah meluncur ke dalam lubang yang tak bisa kuhentikan. Semua kenangan masa kecilku kuingat kembali. Waktu muda dan saat aku masih kecil, ibu begitu cantik. Lembut, meski keras dalam sikap. Aku bangga punya ibu seperti ibuku. Waktu ayah miskin aku membantu ibu jualan beras di Pasar Enam Belas. Aku juga sering menagih orang yang kredit dengan ibuku. Semua tugas itu hanya aku yang melakukannya. Entah mengapa ibu tidak pernah menyuruh kakak atau adik-adikku. Tapi justru itu yang membuat aku dekat dengan ibu. Waktu ibu sakit aku kasihan sekali. Aku ingin membantunya tapi tidak bisa: sakit ibu sudah parah. Aku tidak pernah acuh pada ibu. Memang kuakui aku tumbuh dengan pikiranku sendiri dan sibuk dengan diriku sendiri. Mungkin ibu berpikir aku seolah tidak peduli. Padahal dalam hati aku selalu sayang ibu. Selalu mengingatnya. Kini ibu sudah tiada. Sudah benar-benar hilang dari keluarganya. Lain sekali rasanya kematian itu. Sore itu kami mengaji di makam ibu. Ada bentangan daun dan kembang. Juga bunga yang ditabur di makam. Sejam yang lalu aku ikut turun ke liang itu, membaringkan tubuh ibu. Meletakkan wajahnya ke dalam lubang yang tepinya digali lagi, membentuk kedalaman sendiri. Lubang yang miring. Entah mengapa saat itu aku teringat sebuah kisah: lubang dalam lubang, yang tadinya aku belum begitu mengerti maknanya. Tapi, menghadapi lubang kubur ibu, serta lubang yang digali lagi dalam lubang kubur ibu, aku jadi benar-benar mengerti kisah itu: lubang cahaya. Ya, kurasakan lubang ibu adalah lubang cahaya. Tempat di mana seorang perempuan yang baik budi semasa hidupnya terkubur di sana. Wajahnya terbenam dalam lubang itu, masuk ke dalam liang yang aku sendiri ikut menggali dan menanam tanah penyangga tubuhnya. Aku juga membukakan tali-tali yang mengikat kepala ibu, tubuh, dan kaki ibu. Kubuka ikatan-ikatan tali itu. Seolah membuka ikatan masa lalu, di mana aku terbenam di dalamnya. Sejenak melintas saat aku menghentak-hentakkan kaki, maju mundur meminta uang pada ibu di jalan. Ibu marah dengan sayang. Wajahnya merajuk lalu tersenyum. Diraihnya tubuhku dan diciumnya kepala dan mukaku. Anakku sayang,anakku sayang, kata ibu. Hanya itulah yang keluar dari mulut ibu. Ia memandangi anaknya. Seolah Tuhan memandangi dunia. Duh, perempuan yang baik hati, kini kau telah pergi. Telah benar-benar meninggalkan kami. Kini aku hanya memiliki seorang ayah. Aku harap ayahku selalu sehat dan kuat. Tidak sakit-sakitan seperti ibu. Aku sayang sekali denan ayahku. Ayahlah yang mendidikku dalam banyak hal. Caranya mendidikku luar biasa: aku dibiarkannya melakukan apa saja yang aku suka, tidak pernah melarang. Dulu aku memimpikan ayahku dua kali: ayah begitu marah padaku dan meninggal dalam mimpiku. Aku begitu sedih sampai terbangun. Tercekam dengan mimpiku. Masih tersisa wajah ayah yang marah. Aku tidak begitu mengerti apa yang membuat ayah sangat marah. Tetapi lelaki tegas dan gagah itu memandangku dengan raut membesi. Jiwaku menggigil melihatnya. Ayah, apa salahku sampai kau marah begitu? Ini anakmu, yang sangat sedih karena bermimpi ayah telah mati.
  • 2. Tapi ayah tetap diam. Wajahnya sukar dilukiskan: terpaku di tempatnya, matanya seakan mengeluarkan api. Membakar tubuh dan jiwaku. Membuat aku putus asa, sedih dan berduka. Ada apa Ayah? Mengapa kau demikian marah padaku? Apakah salah anakmu ini? Entah mengapa aku mengenang mimpi itu, saat adik perempuanku menelepon, mengabarkan ayah sakit di Tanjung Balai Asahan. Dalam telepon adikku menangis. Suaranya terbatabata. Ayah sakit keras. Dibawa naik kapal dari India. Hanya ditemani seorang kawannya. Aku terdiam. Segera kuingat kelompok jamaah kawan-kawan ayah yang kuantar ke bandara. Terngiang-ngiang kata-kata ayahku. Ayah akan empat bulan di luar negeri, berkeliling dari masjid ke masjid di Malaysia, India, dan kalau mungkin, Banglades. Hidup berdasarkan pemberian orang. Makan dan tidur di masjid. Kami tamu di sana. Setelah tiga hari sang tuan rumah boleh tidak menganggap tamu lagi. Artinya sang tamu harus pergi. Akan mencari masjid lain. Begitulah akan terjadi selama empat bulan. Ayah dan kawan-kawannya akan melalukan syiar agama dari masjid ke masjid di sana. Suara adikku terdengar lagi. Adek sudah menuju bandara. Kita bertemu di bandara dan berangkat dengan pesawat pertama. Aku merasa dia sudah mengendalikan diri. Agak tenang. Tetapi justru aku yang mulai tidak tenang. Penuh tekanan saat aku berusaha mengatakan sesuatu padanya. Seolah segala suka-duka keluargaku masuk ke dalam tekanan itu. Segera kukabarkan keluargaku yang lain. Kutelepon kakakku. Dia termenung mendengar kabar dariku. Bertanya. Lalu diam. Aku menyadarkannya kembali. Sebaiknya kita berangkat bersama. Ada pesawat Garuda pukul 14 siang ini. Aku menelepon lagi. Ayah sakit kritis, Jen. Beriap-siaplah. Kami yang di Jakarta akan berangkat segera ke Medan. Kalian yang dari luar kota sebaiknya berkumpul di Jakarta. Setidaknya menunggu kabar dari kami. Seperti aku pertama kali mendengar kabar sakitnya ayah, adikku pun diam tak berkata-kata. Aku hanya mendengar nada kosong dalam telepon. Lalu suaranya yang sangat pelan. Aku berangkat hari ini juga. Jalan darat ke Jakarta. Sebuah SMS masuk ke dalam teleponku.Aku membukanya sambil mengemudi. Aku tak mau melihat pengirimnya lagi. Pasti kabar tentang ayah. Mobilku tertahan di lampu merah di bawah jembatan flyover Kebayaron Lama. Aku membaca SMS itu, saat wajah seorang lelaki yang muncul tiba-tiba dari kaca kanan mobilku. Aku masih sempat membaca kalimat pertama. Assalamualaikum. Nama saya Abdullah. Jemaah Majelis Tabligh dari Aceh... Aku menyimak lelaki itu. Kehadirannya yang begitu mendadak membuatku kaget. Aku melihat tonjolan-tonjolan daging di sekujur tubuhnya. Kulit lelaki tua itu keriput dan menghitam. Penyakit kulit membuat tubuhnya rusak dan nampak mengerikan. Lidahnya terjulur di antara mulutnya yang lebar, membuatku merasa seolah lelaki itu bukan manusia. Tetapi ia adalah manusia. Hanya kehidupan telah mengalahkannya. Lelaki itu tidak menunjukkan isyarat apa pun. Diam dan mematung di balik kaca mobilku. Matahari menusuknya. Tonjolan-tonjolan daging di tubuhnya melepuh dan mengeluarkan minyak. Ia tampak putus asa dengan keadaannya. Sorot matanya kosong tak menunjukkan keinginan. Seolah kehadirannya di tengah jalan itu hanya mekanis, dari sebuah pekerjaan rutin untuk meneruskan hidup. Aku merasa tidak nyaman dengan kehadirannya. Sikapnya yang memilukan itu membuatku tak sampai hati. Bagaimana menolong lelaki ini? Aku mulai menggenggam uang seratus ribu, sambil memikirkan lelaki itu. Aku kira lelaki seusianya sudah tidak pantas lagi di jalan raya. Tapi toh lelaki ini tetap di jalan raya. Ke manakah keluarganya, pikirku. Aku jadi teringat ayahku. Siapakah yang menolong ayah
  • 3. waktu sakit di luar negeri? Pasti berat sekali, ayah membawa tubuhnya sendiri. Aku sangat menyesal, karena lampu hijau membuat aku harus meninggalkannya. Aku belum sempat memberikan uang seratus ribu itu. Mestinya aku tadi tidak sibuk berpikir. Tetapi aku telah berpikir dan uang itu tetap di tanganku. Benarkah ini nomor Bapak Hudan, putera dari Bapak Jemat. Semoga benar. Saya sudah mengontak nomor-nomor di HP ayah kalian. Seseorang yang saya kontak menyebutkan antara lain nama Bapak... Jadi, seseorang di Tanjung Balai telah menolong ayahku, dengan mengontak segala nomor yang ada di telepon seluler ayah. Bapak Jemat sakit keras. Ayah kalian terbaring di klinik sederhana di Tanjung Balai. Segeralah ke sana sebelum semuanya terlambat. Kalimat-kalimat akhir SMS itu bergaung dalam jiwaku. SMS itu mengingatkanku berita kematian ibu. Pagi itu aku sudah berada di mobil dengan istriku, menuju kantor. SMS itu masuk, hanya gabungan kata-kata, yang kalau kita hilangkan bagian-bagiannya tak memiliki arti apa pun. Hari-hariku sering disibukkan dengan memenggal-memenggalnya. Mengujinya apakah artinya masih dalam maknanya. Sering aku menghadapi gabungan kata "kematian" dalam kesepian kamar kerjaku di waktu malam. Saat istri dan anak-anaku sudah tertidur, aku naik ke atas dan masuk ke kamar kerjaku.?Di sanalah aku. Menguji kata atau kalimat yang kusukai untuk diriku. Kematian tidak menakutkan. Tidak lebih dari ujung sebuah perjalanan, di mana kita berhenti di suatu tempat. Perjalanan itulah kehidupan. Perhentian itulah kematian. Begitulah kalimat yang terbentang di meja kerjaku. Kalimat yang kusukai. Lalu aku memenggal-menggalnya. Kupisahkan katakata itu dan aku kini hanya menghadapi sebuah penggalan kata "kematian", "perhentian", dan "kehidupan". Gabungan huruf yang masih bermakna. Lalu kupenggal lagi. Kuhilangkan lagi sampai dia menjadi huruf-huruf mati dan hurufhidup. Terbentang di mejaku sesuatu yang tidak bermakna sama sekali. K, P, K, huruf dari sebuah awal yang bisa apa saja. Yang jelas sudah tidak menunjuk lagi fakta tentang kehidupan yang berhenti. Huruf atau kata yang terpenggal ini di mana menakutkannya? Tidak ada. Kita bisa santai menghadapinya. Kita bisa bermainmain dengannya. Mengisinya sesuka hati. Tapi, pagi itu, aku diharu-biru oleh gabungankata-kata itu. Seakan kata-kata yang kupenggal itu seolah marah, seolah-olah dia makhluk bernyawa di mana penggalan yang kulakukan seakan telah membunuhnya. Menghisap darahnya, sehingga ia menggelepar tak berdaya. Dan, kini semua kata yang sering kupenggal itu bangkit menunjukkan dirinya. Menghantam tepat di pusat kesadaran jiwaku. Membuatku luluh-lantak. Begitulah kudengar berita kematian ibu melalui SMS itu. Aku seolah bermimpi. Seakan tak percaya kalimat-kalimat dalam SMS itu. Ibu kita telah tiada. Beliau menghembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Umum Bengkulu... Aku meledak dalam tangis yang mencekam. Aku sudah berusaha menahannya tapi tangis itu seolah makhluk bernyawa yang tak bisa kuhentikan. Aku memutar mobilku sambil menangis. Istriku menyabarkanku tapi tak lama kemudian dia pun ikut menangis. Anakku yang baru berusia 3 tahun mungkin menangkap dengan batinnya. Dia mengucapkan kata-kata dengan wajah anak yang tak mengerti. Ada apa Papa. Mana penjahatnya. Mari kita tembak penjahatnya. Istriku mengelus-elus kepala anakku. Dia belum tahu permainan orang dewasa dengan tangisnya. Tangis yang menyimpan riwayat kesalahan dan dendam. Tangis dari sebuah kehidupan yang tiba-tiba terputus. *** (Kenangan untuk ibuku)