Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Metode Enam Topi Berpikir digunakan untuk mendorong siswa berpikir tingkat tinggi dan mandiri.
2. Siswa dibagi menjadi kelompok dan bergiliran menggunakan enam topi berbeda warna untuk menyelesaikan tugas.
3. Metode ini efektif meningkatkan partisipasi dan kreativitas siswa dalam memahami materi.
1. Belajar dengan Enam Topi Berpikir (The Six Thinking Hats)
*Rendra Prihandono, S.Sos
Salah satu problem yang saya hadapi ketika masih mengajar di kelas 7 sekolah
menengah pertama adalah bagaimana mendorong para siswa untuk lebih
mendayagunakan high order thinking (pola berpikir tingkat tinggi), di mana mereka
benar-benar berpikir dan bukan hanya menghafal atau sekedar tahu informasi (level
knowledge dalam taksonomi Bloom). Berdasarkan beberapa referensi, terutama yang
ditulis Dr. Edward De Bono, maka saya menggunakan salah satu teknik beliau yang
terkenal, yaitu Enam Topi Berpikir (The Six Thinking Hats).
Secara prinsip, teknik ini mendorong siswa untuk berpikir sesuai dengan topi yang
dipakai, di mana saya menyediakan enam topi yang berbeda warna yaitu Putih, Kuning,
Hitam, Merah, Hijau dan Biru. Saat bertopi putih, siswa diminta mendiskusikan atau
mencari informasi dan fakta mengenai topik tersebut. Dengan topi kuning, siswa berpikir
dan mendiskusikan apa dampak positif suatu fenomena. Dengan topi hitam, siswa
berpikir dan mendiskusikan apa dampak negatif suatu fenomena. Dengan topi merah,
siswa mengekspresikan perasaannya terhadap fenomena tersebut. Topi hijau
menggerakkan siswa untuk kreatif dan mencari alternatif dalam melihat suatu fenomena.
Sedangkan topi biru mendorong siswa membuat suatu kesimpulan. Keenam topi tersebut
membuat siswa lebih aktif karena topi mereka menginstruksikan benak para siswa untuk
“berperilaku” sesuai wadahnya.
Sebagai contoh, saya menggunakan teknik ini saat membahas tentang tsunami. Saya
membagi kelas saya menjadi lima kelompok. Saya juga membuat simbol enam topi di
kelas yang saya letakkan secara berkeliling. Pada dasarnya, mereka secara kelompok
beraktivitas di kelima simbol topi secara bergantian searah jarum jam per sesinya. Di
setiap sesi masing-masing akan melakukan kegiatan sesuai instruksi topinya. Sekuens
atau urutan topi tidak harus “urut kacang”, tetapi semua topi harus dilewati.
Topi keenam adalah kegiatan whole class, momen di mana seluruh kelompok
melakukan refleksi bersama-sama. Peran saya adalah sebagai fasilitator atau konsultan,
tempat setiap siswa bertanya bila mereka menemui jalan buntu dalam berkegiatan. Saya
tidak memberi jawaban matang, tetapi mengarahkan mereka pada alternatif lain agar
proses mandiri tetap berjalan.
Pada sesi pertama, saya secara singkat memberikan gambaran apa Enam Topi
Berpikir itu dan memberi instruksi aktivitas keenam kelompok selama enam sesi. Untuk
topi putih, saya menyiagakan ruang perpustakaan dan internet di sekolah agar siswa bisa
mencari informasi secara mandiri. Keempat topi lainnya dilakukan di dalam kelas. Untuk
topi hijau, saya mengisntruksikan siswa merancang maket rumah yang menurut mereka
tahan hempasan tsunami atau gempa bumi dengan bahan korek api dan sendok es krim
serta bahan tambahan mereka sendiri. Aktivitas ini harus selesai dalam satu sesi (kira-kira
40 menit).
Ketika kegiatan belajar dimulai mulai dari sesi pertama, saya melihat antusiasme yang
besar dari para siswa. Mereka tampaknya lebih termotivasi karena tidak cuma duduk dan
mendengar di kelas saja. Sebaliknya, mereka harus beradaptasi dan konsisten untuk
berpola pikir sesuai topi, yang ternyata tidak mudah. Contohnya, ketika sampai di topi
kuning, mereka awalnya kesulitan menemukan dampak positif dari tsunami karena setahu
mereka akibat tsunami sangat buruk bagi masyarakat korban. Namun setelah
2. berkonsultasi pada saya sebagai fasilitator, mereka akhirnya girang karena bisa
menemukan bahwa bencana tsunami memberikan pelajaran pentingnya memiliki dan
menguasai teknologi untuk mengantisipasi bencana alam.
Ketika sampai di topi hijau pun saya melihat gairah yang sama. Para siswa antusias
mendiskusikan dan mencoba-coba membuat maket rumah anti tsunami dan gempa bumi.
Saya memberi batas waktu untuk pembuatannya sehingga mereka mau tidak mau
terpaksa untuk kreatif dan bekerja secara efisien (tidak banyak omong dan bercanda
seperti kebiasaan mereka keseharian). Di beberapa topi yang memerlukan konsentrasi
penuh misalnya topi putih, kuning dan hitam, saya memasukkan juga unsur musik
sebagai pengiring. Saya memilih konser pasif (Adi Gunawan, 2003) dengan iringan
musik Barok untuk memberikan atmosfir pendukung agar para siswa lebih fokus berpikir
dan berdiskusi. Hasil diskusi mereka ditulis di kertas CD besar dengan spidol berwarna
dan ditempelkan di sekeliling dinding kelas agar semua orang di kelas bisa melihat.
Setelah kelima topi selesai dijalani, pada sesi keenam saya melakukan kegiatan topi
biru. Saya meminta kelima kelompok untuk berkeliling dan membandingkan hasil
penemuan dan pemikiran mereka serta menambahkan apa-apa saja yang tidak mereka
temukan atau tidak terpikirkan oleh mereka namun dimiliki kelompok lain. Dengan cara
ini, secara tidak sadar sebenarnya para siswa melakukan peer learning, sehingga masing-
masing individu siswa mendapatkan content atau isi materi yang dibutuhkan. Setelah
selesai, maka masing-masing melakukan semacam refleksi atas apa yang telah dilakukan.
Selain memaparkan hasil kegiatan kelima topi, mereka juga mengekspresikan kendala-
kendala apa yang mereka alami selama proses serta cara mereka menghadapinya.
Secara umum saya bisa menyimpulkan bahwa dengan mempergunakan kerangka
Enam Topi Berpikir, para siswa mendapatkan pengalaman belajar lebih. “Lebih” karena
pada dasarnya content atau materi sesuai kurikulum relatif didapatkan siswa mendekati
“yang seharusnya”. Ini memberi jawaban pada kritik rekan-rekan guru saya yang
mengatakan bahwa kegiatan belajar selain klasik/ceramah tidak akan memberi siswa
content yang seharusnya dikuasai siswa guna menghadapi UNAS kelak. Selain
mendapatkan materi UNAS, para siswa mendapatkan pengalaman untuk berpikir lebih
dalam terhadap sesuatu dan juga memiliki life skill untuk mencari tahu atas apa yang ia
ingin tahu secara mandiri (learn how to learn). Selain itu, yang saya lihat, sebagian besar
siswa cenderung termotivasi, aktif, dan tidak punya waktu untuk bermain-main tanpa
alasan yang jelas.
Yang menjadi kendala adalah kegiatan belajar dengan model constructivist seperti
Enam Topi Berpikir ini membutuhkan waktu dalam persiapannya. Guru harus
mempersiapkan kerangka kegiatan dengan matang, serta memberikan alternatif sumber
belajar yang bervariasi. Untuk sekolah dengan akses internet terbatas dan perpustakaan
kurang memadai, mungkin ini menjadi kendala. Namun, yang penting menurut
pengalaman saya adalah kreatifitas dan keinginan untuk memberi yang terbaik pada anak
didik. Karena merekalah generasi penerus kita di masa depan yang akan menentukan
masa depan negeri ini. Kalau generasi kita tidak terbiasa berpikir kritis dan mandiri, saya
tidak bisa membayangkan seperti apa negeri ini di masa depan. Jadi, kenapa takut
mencoba?
*) penulis adalah mantan pendidik di Sekolah Ciputra khususnya dalam bidang Theory of
Knowledge dan kini menjabat sebagai Kepala SMP YPPI 2 Surabaya.