Mahkamah Pidana Internasional (ICC) didirikan pada 1998 melalui Statuta Roma untuk mengadili kejahatan serius seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang. ICC berfungsi sebagai pelengkap yurisdiksi nasional dan hanya dapat mengadili kasus jika suatu negara tidak mampu atau tidak mau mengadilinya. ICC berkedudukan di Den Haag dan terdiri dari 18 hakim serta jak
2. Pengantar
• Tanggal 17 Juli 1998, dilahirkan sebuah statuta yang disebut Statuta Roma untuk
membentuk Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) setelah
melalui Konferensi Diplomatik PBB di Roma, yang telah berlangsung sejak 15 Juni 1998.
Hasil penghitungan suara yaitu 120 mendukung, 7 menentang, dan 21 abstain.
• Mahkamah Pidana Internasional ini akan mengadili tindak kejahatan paling serius yang
menjadi perhatian internasional yaitu genocide (pemusnahan etnis/suku bangsa), crime
against humanity (kejahatan terhadap kemanusiaan), dan war crime (kejahatan perang)
dan kejahatan agresi.
• Statuta ini belum bisa diberlakukan sebelum 60 negara meratifikasinya, sebuah proses
yang bisa memakan waktu bertahun-tahun. Baru berlaku 11 April 2002 dimana hari itu
sepuluh negara meratifikasi Rome Statute for International Criminal Court sekaligus dan
ICC berlaku. Jumlah ini menggenapkan negara yang telah meratifikasi Statuta ICC menjadi
60 negara Negara yang belum meratifikasinya antara lain China, Irak, Amerika, Indonesia,
dsb.
• Statuta ini bisa memutus mata rantai impunity.
3. Sejarah
• Tahun 1474, dibentuk mahkamah untuk mengadili Peter Von
Hagenbach yang melibatkan 28 hakim dari negara2 di bawah
kerajaan Romawi. Tuduhannya dia dianggap melakukan
pembunuhan, pemerkosaan dan kejahatan lain dan melanggar
“hukum Tuhan dan hukum manusia”. Putusannya, Peter dijatuhi
hukuman mati dan dilucuti kebangsawanannya.
• Peradilan Leipzig: dibentuk di akhir PD I. berdasarkan
perjanjian Versailles 1919, Jerman selaku pihak yang kalah dalam
PD Idiwajibkan menyerahkan para tersangka pelaku kejahatan
perang kepada sekutu untuk diadili. Namun alih-alih menyerahkan,
Jerman mengadili sendiri 45 orang tersangka dan menolak
menyerahkan 896 pelaku kejahatan ke sekutu. Dari 45 orang, hanya
12 yang diajukan ke pengadilan. Dari 12 org, hanya 6 yang
dinyatakan bersalah dan dihukum ringan.
4. • Perjanjian Sevres 1920 merupakan perjanjian damai antara
sekutu dengan kekaisaran Usmaniyah Turki. Perjanjian itu
meletakkan kewajiban bagi Turki untuk menyerahkan orang-orang
yang disangka melakukan KTK. Namun melalui Perjanjian
Lausanne1923, para pelaku itu akhirnya mendapat amnesti.
• Mahkamah Nuremberg: setelah pembicaraan2 di London dan
Moskow 1942-1943, akhirnya sekutu menyepakati Piagam London 8
Agustus 1945 yang menjadi dasar pembentukan Mahkamah
Nuremberg yaitu pengadilan untuk mengadili penjahat perang
jerman. Sebanyak 24 tersangka diajukan dan hasilnya 19 orang
dinyatakan bersalah serta dijatuhi hukuman bervariasi dari mulai
10 tahun, seumur hidup dan hukuman mati. Salah satu prinsip
penting bagi perkembangan hukum internasional adalah
“pertanggungjawaban individu” dan tidak dipakainya argumen
“perintah atasan” sebagai cara menghindar dari tanggung jawab
pidana.
• Mahkamah Tokyo: dibentuk dengan model yang hampir sama
dengan Mahk Nuremberg. Sebanyak 25 tersangka diajukan dan
kesemuanya dinyatakan bersalah. Tujuh orang dijatuhi pidana mati.
5. • International Criminal Tribunal for The Former Yugoslavia
(ICTY)
Runtuhnya komunis pada era perang dingin mempengaruhi negara-negara
persekutuan di Blok Timur dan juga bagi Yugoslavia sebiah negara federasi
yang berideologi komunis. Ketika cengkraman komunis melemah, republik-republik
di bawah Yugoslavia yaitu Slovenia, Kroasia, Bosnia Herzegovina
berturut-turut menyatakan memerdekakan diri. Etnik Serbia yang terkuat
di federasi menolak pemisahan diri itu sehingga dimulailah siklus
kekerasan disana.
Kekerasan juga menimpa Kosovo salah satu provinsi yang memiliki etnis
Albania muslim terbesar (90%) dan Serbia (10%). Slobodan Milosevic
melancarkan kampanye ethnic cleansing d wilayah ini.
Kekerasan ini terburuk kedua setelah NAZI, sehingga mendorong PBB
melalui Dewan keamanannya menetapkan konflik tersebut sebagai
mengancam perdamaian dan keamanan dunia. Dikeluarkanlah Resolusi
827/1993 yang membentuk ICTY sebagai lembaga peradilan ad hoc untuk
mengadili pelaku pelanggaran HAM berat di wilayah bekas Yugoslavia.
6. • International Criminal Tribunal for Rwanda
Rwanda adalah negara yang komposisi penduduknya didominasi dua suku
yaitu Hutu (85%) dan Tutsi (14%). Tahun 1959 kelompok mayoritas Hutu
memberontak terhadap penguasa yang didominasi Tutsi dan kemudian
parpol yang didominasi etnis Hutu menjadi penguasa. Tahun 1963,
kekerasan etnis meletus dan memakan korban 20rb etnis Tutsi tewas.
Tahun 1973, Juvenal Habyarimana mengkudeta dan menjadi penguasa
surut namun kekerasan tidak surut. Tahun 1990 Front Patriotic Rwanda
(RPF) melancarkan serangan dari Uganda dan sebanyak 10 rb etnis Tutsi
dan oposisi dijebloskan ke penjara tanpa proses hukum. Ribuan orang
kemudian mati dan mengungsi.
Tahun 1994, pesawat yang ditumpangi presiden Habyarimana dan
Ntaryamira (presiden Burundi) jatuh di Kigali dan menewaskan keduanya.
Hal ini memicu kekerasan di seluruh penjuru negara. RPF dituduh sebagai
dalang. Serangan terhadap suku Tutsi meningkat, ratusan ribu org tewas.
RPF dan tentara Rwanda juga kembali berperang. Tahun 1994, RPF
menyatakan kemenangan atas pasukan Rwanda dan membentuk
pemerintahan. Tahun yang sama, DK PBB membentuk komisi investigasi
dan membuat rekomendasi. Laporan investigasi itu merekomendasikan
dibentuknya Mahkamah kejahatan int untuk mengadili pelaku kejahatan
dan genosida di Rwanda sejak tgl 6 April 1994 dan dibentuklah pada tgl 8
November 1994..
7. Alasan Pembentukan mahkamah-mahkamah tersebut
diatas salah satunya adalah untuk mengakhiri impunitas.
Gagasan mengakhiri impunitas terlihat dari beberapa
peristiwa yaitu:
• permohonan ekstradisi Augusto Pinochet (mantan
pemimpin Chile)
• ekstradisi Richardo Cavallo ke Spanyol (perwira AL
Argentina yang dituduh melakukan genosida ).
• diseretnya Hissene Habre (mantan presiden Chad) ke
hadapan pengadilan Senegal.
• pembentukan pengadilan HAM Timtim.
8. Kejahatan yang ditangani Mahkamah
(yurisdiksi Rationae Materiae)
• Kejahatan terhadap kemanusiaan
• Genosida
• Kejahatan perang
• Kejahatan agresi
9. Perbedaan Pelanggaran HAM yang Berat dengan
kejahatan biasa
• Pelanggaran HAM yang berat merupakan kejahatan yang
menggoncangkan nurani umat manusia (shocking
conciousness of humankind) dan menjadi musuh dari seluruh
umat manusia (hostis humanis generis). Pelanggaran HAM
yang berat (Kejahatan genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan) adalah kejahatan yang luar biasa
(extraordinary crimes) karena dilakukan dengan cara-cara
yang sistematis, meluas yang merupakan kelanjutan dari
kebijakan negara atau organisasi tertentu. Sedangkan
pelanggaran HAM biasa tidak memiliki efek sebesar yang
dihasilkan pelanggaran HAM yang bera
Sumber:
http://www.bantuanhukum.info/?page=detail&cat=B13&sub=B1301&prod=B130102&t=3&ty=2,
diunduh 30 oktober 2009
10. Complementary Principle
• Prinsip dasar Statuta Roma adalah bahwa ICC merupakan
pelengkap (complementary) bagi yurisdiksi pidana nasional”
(Pasal 1). Ini berarti bahwa Mahkamah harus mendahulukan
sistem nasional, kecuali jika sistem nasional yang ada benar-benar
tidak mampu (unable) dan tidak bersedia (unwilling)
untuk melakukan penyelidikan atau menuntut tindak
kejahatan yang terjadi, maka akan diambil alih menjadi
yurisdiksi Mahkamah (Pasal 17).
• Prinsip komplementaritas menggarisbawahi bahwa
Mahkamah tidak dimaksudkan untuk menggantikan sistem
peradilan nasional yang masih berfungsi, melainkan untuk
menyediakan sebuah alternatif untuk mencegah impunity
yang disebabkan karena sistem peradilan yang independen
dan efektif tidak tersedia.
11. Suatu kasus akan dinyatakan dapat diterima oleh ICC
apabila:
1. Ada unwillingness atau inability negara yang
seharusnya memiliki yurisdiksi penyelidikan dan
penuntutan suatu kasus, meskipun prosesnya
masih berjalan di pengadilan.
2. Negara yang memiliki yurisdiksi memutuskan
tidak menuntut tersangka pelaku kejahatan oleh
karena disebabkan unwillingness dan inability
tersebut.
3. Proses pemeriksaan pengadilan dimaksudkan
untuk melindungi tersangka pelaku dari tanggung
jawab pidana.
4. Proses pemeriksaan pengadilanterhadap
tersangka pelaku kejahatan dalam suatu kasus
tidak berlangsung secara independen atau
imparsial.
12. Status Mahkamah Pidana Int
Status hukum institusi internasional 2 aspek yaitu legal personality (personalitas hukum)
dan legal capacity (kapasitas hukum).
legal personality kualita organisasi internasional sebagai subjek hukum.
legal capacity kemampuan organisasi int dalam melakukan tindakan hukum.
ICC memiliki legal personality berdasarkan Statuta Roma memungkinkannya dianggap
sebagai subjek hukum internasional yang punya hak dan kewajiban (legal actor).
ICC memiliki legal capacity yaitu kemampuan melakukan tindakan-tindakan hukum,
misalnya kemampuan membuat perjanjian, kapasitas untuk melakukan proses hukum,
dsb.
Mahkamah ini merupakan pengadilan permanen yang berkedudukan di Kota DenHaag,
Belanda (Pasal 3 ayat 1).
Karena Mahkamah ini diberlakukan atas dasar statuta multilateral, maka ia tidak menjadi
bagian atau organ dari PBB, meskipun kedua organisasi ini mempunyai hubungan yang
formal (Pasal 2).
13. Struktur ICC
1. Lembaga kepresidenan
2. Divisi pra sidang
3. Sidang
4. Banding
5. Kantor Penuntut Umum
6. Kepaniteraan
Organ Non-ofisial Majelis negara-negara pihak
(sangat berpengaruh)
14. Divisi - divisi
• Divisi pra sidang: terdiri dari 6 orang hakim.
Masa jabatan 3 tahun atau sampai kasus selesai.
Majelis hakim terdiri dari 3 orang atau tunggal.
• Divisi sidang: idem diatas. Majelis hakim 3
orang.
• Divisi banding: terdir dari 4 hakim dan presiden
ICC.
15. Hakim
• Mahkamah terdiri dari 18 orang hakim yang
bertugas selama 9 tahun tanpa dapat dipilih
kembali.
• Para hakim dipilih berdasarkan 2/3 (dua pertiga
suara) Majelis Negara Pihak, yang terdiri atas
negara-negara yang telah meratifikasi statuta ini
(Pasal 36 ayat 6 dan 9).
• Separuh dari hakim memiliki kompetensi di bidang
hukum pidana dan acara pidana, sementara paling
tidak lima lainnya mempunyai kompetensi di bidang
hukum internasional, misalnya saja hukum
humaniter internasional, dan hukum HAM
internasional (Pasal 36 ayat 5).
16. • Dalam memilih para hakim, negara pihak
memperhitungkan representasi berdasarkan
prinsip-prinsip sistem legal di dunia,
keseimbangan geografis, dan keseimbangan
jender (Pasal36 ayat 8).
• Para hakim akan “disebar” dalam tiga bagian :
pra-peradilan, peradilan, dan peradilan banding
(Pasal 39).
17. Kantor Penuntut Umum
Mayoritas absolut dari Majelis Negara Pihak akan menetapkan jaksa
penuntut dan satu atau lebih wakil jaksa penuntut dengan masa kerja
sembilan tahun, dan tidak dapat
dipilih kembali (Pasal 42 ayat 4).
Jaksa Penuntut harus memiliki pengalaman praktek yang luas dalam
penuntutan atau penyidangan kasus-kasus pidana (Pasal 42 ayat 3).
Jaksa akan bertindak terhadap suatu peristiwa pelanggaran
HAM apabila:
• Ada penyerahan dari Negara Pihak
• Ada penyerahan dari Dewan Keamanan PBB
• Atas inisiatif jaksa sendiri melakukan penyelidikan
(propio motu).
18. • Propio Motu ini merupakan terobosan bagus karena Dewan Keamanan merupakan sebuah
badan politis yang seringkali dilumpuhkan oleh hak veto para anggota tetapnya. Sementara
para negara seringkali segan untuk mengajukan pengaduan jka berkaitan dengan
kedaulatan negara lain, terutama jika bisa merusak hubungan diplomatik dan ekonomi,
atau jika bisa mengundang pengaduan balasan. Konsekuensinya, jaksa penuntut yang
independen sangat penting artinya jika kasus yang ditangani ada dalam situasi tindak
kriminal yang sangat keji dimana kemauan politik untuk memprosesnya sangatlah kurang.
• Propio motu dibatasi hanya bagi peristiwa yang terjadi di dalam wilayah sebuah negara
yang telah menerima yurisdiksi Mahkamah atau yang dilakukan oleh negara itu sendiri
(Pasal 12 ayat 2). Sebuah negara dinyatakan menerima yurisdiksi Mahkamah jika ia telah
meratifikasi Statuta -- meskipun negara tersebut dapat menunda penerimaannya atas
yurisdiksi kejahatan perang selama tujuh tahun (Pasal 124) --, atau dengan cara
menandatangani deklarasi ad hoc yang menyatakan menerima otoritas Mahkamah.
• Sebaliknya, Dewan Keamanan dapat merujuk sebuah situasi yang melibatkan wilayah atau
bangsa dari suatu negara yang menjadi Pihak dalam Piagam PBB, dan Dewan Keamanan
juga mempunyai otoritas untuk menyelenggarakan pengadilan ad hoc tanpa perlu
mendapatkan persetujuan dari negara yang bersangkutan.
19. Batasan Propio Motu
• Sebelum penuntut memulai inisiatifnya, ia harus
meyakinkan terlebih dahulu hakim bahwa “ada
suatu dasar yang masuk akal untuk melanjutkan
dengan penyelidikan, dan bahwa kasus itu tampak
masuk ke dalam yurisdiksi Mahkamah,” (Pasal 15
ayat 4).
• Jaksa Penuntut juga harus menghormati
penyelidikan yang dilakukan oleh otoritas nasional,
kecuali jika dewan hakim memutuskan bahwa
otoritas yang ada benar-benar tidak berniat atau
tidak mampu melakukan penyelidikan atau
penuntutan (Pasal 17 dan 18).
20. Kepresidenan
• Organ utama ICC
• Terdiri dari seorang presiden dan dua orang
wakil yang dipili dari antara hakim dan oleh
hakim dengan suara mayoritas mutlak.
• Jabatan selama 3 tahun dan dapat dipilih
kembali disesuaikan dengan masa jabatan
sebagai hakim.
• Fungsi: melakukan pengelolaan ICC, kecuali
untuk kantor Penuntut Umum; melakukan
fungsi-fungsi lain yang diberikan statuta.
22. Majelis negara-negara
Pasal 112.2 Statuta Roma 1998, tugas dan wewenang majelis negara adalah:
1. Mempertimbangkan dan bila perlu menerima saran-saran dari preparatory
commission.
2. Menyediakan supervisi manajemen bagi lembaga kepresidenan, panitera dan penuntut
umum dalam pengelolaan mahkamah.
3. Menilai laporan dan aktivitas biro serta mengambil tindakan berkenaan dengan hal
tersebut.
4. Mempertimbangkan dan memutuskan anggaran mahkamah.
5. Menentukan perlu tidaknya mengubah jumlah hakimICC sesuai pasal 36.
6. Mempertimbangkan hal-hal yang menyangkut penolakan kerjasama dari negara pihak
atau negara lain yang memiliki kesepakatan dengan mahkamah sesuai artikel 87 ayat 5
dan 7.
7. Menjalankan fungsi lain yang sejalan dengan statuta Roma dan aturan tentang prosedur
dan pembuktian.
8. Wewenang menerima aturan mengenai unsur-unsur tindak pidana
9. Wewenang menerima aturan mengenai prosedur dan pembuktian.
10. Wewenang memilih hakim ICC, penuntut dan waki penuntut
Setiap negara memiliki satu suara dalam majelis. Voting dilakukan dengan melihat apa yang
hendak diputuskan. Mengenai hal prosedural diputuskan melalui prinsip mayoritas
sederhana, sedangkan mengenai substansial melalui persetujuan 2/3 suara anggota
yang hadir (present and vote)
23. Peran Dewan Keamanan
Wewenang Dewan Keamanan dalam Mahkamah:
• Wewenang untuk merujuk atau mengajukan suatu kejahatan
ke Mahkamah, saat memainkan peran sebagaimana yang
disebutkan pada Bab VII Piagam PBB. Dengan kata laim,
Dewan Keamanan berwenang memprakarsai suatu
penyelidikan (Pasal 13).
• Wewenang untuk menunda penyelidikan atau penuntutan
sampai dua belas bulan dan dapat diperbaharui kembali
(Pasal 16).
• Dewan Keamanan juga mempunyai otoritas untuk
menyelenggarakan pengadilan ad hoc tanpa perlu
mendapatkan persetujuan dari negara yang bersangkutan.
24. Perdebatan perlu tidaknyamelibatkan DK PBB:
• Salah satu yang paling kuat menentang kewenangan Dewan
Keamanan ini adalah India, yang berargumen bahwa Dewan
Keamanan hendaknya tidak mempunyai peranan apapun dalam
operasional Mahkamah. India menambahkan bahwa “pemberian
peran kepada Dewan Keamanan yang tercantum dalam Statuta
melanggar hukum internasional.”
• Negara yang menentang ICC misalnya Amerika, dalam kongres
Amerika Serikat, macam senator Jesse Helms dan senator od
Grams, mengkritik Statuta Roma sebagai sebuah upaya untuk
memuarakan semua persoalan pada Dewan Keamanan. Grams lebih
lanjut mengatakan bahwa Statuta Roma tersebut justru merupakan
“sebuah kemenangan besar bagi mereka yang mengkritik Dewan
Keamanan selama ini”. Padahal faktanya para pengkritik Dewan
Keamanan yang paling keras, macam India, Irak, dan Libya, justru
menolak untuk mendukung Statuta ini, sementara tiga dari lima
anggota tetap Dewan Keamanan justru mendukungnya
25. Yurisdiksi ICC
Yurisdiksi Teritorial
• Secara umum, ICC hanya menjalankan fungsi di wilayah
negara pihak namun bisa di negara bukan pihak selama
dibuat perjanjian khusus (psl 4 ay 2)
• Inisiasi dari Jaksa Penuntut TKP (locus delicti) atau
kewarganegaraan pelaku haruslah negara pihak.
• Inisiasi dari Dewan keamanan PBB TKP atau
kewarganegaraan pelaku bisa dari negara pihak dan bisa
bukan negara pihak
• Negara bukan pihak bisa menundukkan diri terhadap
ICC asalkan membuat deklarasi yang menerima ICC.
26. wilayah Inisiatif
negara pihak
Inisiatif jaksa Inisiatif DK
PBB
Negara pihak Dapat Dapat Dapat
Negara bukan
pihak
Dapat, asalkan
pelaku
pelanggaran
HAM adalah
warganegara dari
negara pihak
Dapat, asalkan
pelaku
pelanggaran
HAM adalah
warganegara dari
negara pihak
Dapat (baik
pihak maupun
bukan pihak)
27. Yurisdiksi Ratione Temporis
• Mahkamah hanya menangani tindak kejahatan
yang terjadi setelah diberlakukannya Statuta
Roma ini (Prinsip tidak berlaku surut/non
retroaktif) (Pasal 24).
28. Yurisdiksi Ratione Personae
• ICC hanya memiliki yurisdiksi terhadap orang. ICC tidak berwenang
memeriksa dan mengadili negara atau organisasi internasional.
• Pelaku kejahatan HAM yang masuk yurisdiksi ICC, harus bertanggung
jawab (pidana) secara individu.
Pertanggungjawaban individu berasal dari putusan Mahkamah Nuremberg,
pasal 7 (1) Statuta ICTY dan pasal 6 ayat 1 Statuta ICTR, dan Resolusi
Majelis Umum PBB No. 177 (II)
Pasal 6 ayat 1 ICTR:
“Setiap individu yang merencanakan, mendorong, memerintahkan,
melakukan, membantu atau bersekongkol dalam perencanaan, persiapan
dan pelaksanaan kejahatan yang dicakup statuta dinyatakan memikul
tanggung jawab pidana secara individual.”
“posisi pelaku baik sebagai kepala negara atau kepala pemerintahan
maupun pejabat pemerintahan tidak membebaskan pelaku dari tanggung
jawab pidana dan tidak meringankan pidana yang dijatuhkan.”
29. Atasan tidak luput dari tanggung jawab pidana
atas tindak pidana yang dilakukan bawahannya
apabila:
• Ia mengetahui atau seharusnya mengetahui
bahwa bawahannya akan atau telah melakukan
tindak pidana, dan
• Ia gagal mengambil tindakan yang diperlukan
guna mencegah tindak pidana itu atau guna
menghukum pelakunya.