3. ERA ROMAWI (ABAD KE 2 SM)
Pola hubungan internasional dalam wujud sederhana sudah
mulai tampak dengan adanya hubungan-hubungan antara :
Warga (cives) Romawi dengan penduduk provinsi-provinsi atau
Municipia (untuk wilayah di Italia, kecuali Roma) yang menjadi
bagian dari wilayah kekaisaran karena pendudukan. Penduduk
asli provinsi-provinsi ini dianggap sebagai orang asing, dan
ditundukkan pada hukum mereka sendiri.
Penduduk provinsi atau orang asing yang berhubungan satu
sama lain di wilayah kekaisaran Romawi, sehingga masing-
masing pihak dapat dianggap sebagai subjek hukum dari
beberapa yurisdiksi yang berbeda.
4. Untuk menyelesaikan sengketa dalam hubungan-hubungan tersebut,
dibentuk peradilan khusus yang disebut Praetor Peregrinis. Pada dasarnya
hukum yang dibuat untuk para cives Romawi yaitu Ius Civile. Ius Civile yang
telah disesuaikan untuk kebutuhan pergaulan “antar bangsa”, kemudian
berkembang menjadi Ius Gentium.
Ius Gentium tersebut dibagi menjadi 2 kategori, sebagaimana juga dalam
Ius Civile, yaitu:
Ius Privatum: mengatur persoalan-persoalan hukum orang perorangan.
Ius Privatum: menjadi cikal bakal HPI yang berkembang dalam tradisi
hukum eropa kontinental.
Ius Publicum: mengatur persoalan-persoalan kewenangan negara sebagai
kekuasaan publik. Ius Publicum: berkembang menjadi sekumpulan asas
dan kaidah hukum yang mengatur hubungan antara kekaisaran Romawi
dan negara lain (cikal bakal hukum internasional publik).
ERA ROMAWI (ABAD KE 2 SM)
5. Prinsip Hukum Perdata Internasional era Romawi berdasarkan
asas teritorial. Beberapa asas HPI yang berkembang pada masa
tersebut dan menjadi asas penting dalam HPI Modern
diantaranya:
Asas Lex Rei Sitae (lex Situs) : Perkara-perkara yang
menyangkut benda-benda tidak bergerak
(immovables/onroerend goederen) tunduk pada hukum
tempat dimana benda itu berada/terletak.
Asas Lex Domicilii : Menetapkan hak dan kewajiban
perorangan harus diatur oleh hukum dari tempat seseorang
berkediaman tetap.
Asas Lex Loci Contractus : Menetapkan bahawa perjanjian-
perjanjian (yang melibatkan pihak-pihak warga dari wilayah
yang berbeda) berlaku hukum dari tempat pembuatan
perjanjian.
ASAS HUKUM ERA ROMAWI
6. ERA PERTUMBUHAN ASAS PERSONAL HPI (ABAD KE 6-10)
Akhir abad ke-6 Kekaisaran Romawi ditaklukkan oleh bangsa bekas jajahan
Romawi.
Wilayah bekas Romawi diduduki oleh berbagai suku bangsa yang dibedakan
secara genealogis dan bukan teritorial.
Dalam menyelesaikan sengketa antar suku bangsa, ditetapkan terlebih dahulu
sistem-sistem hukum adat mana yang relevan dengan perkara, kemudian baru
dipilih hukum mana yang harus diberlakukan.
Tumbuh beberapa prinsip HPI yang dibuat atas dasar asas genealogis.
7. Beberapa prinsip HPI yang dibuat atas dasar Asas Genealogis:
Asas umum yang menetapkan bahwa dalam setiap proses penyelesaian
hukum, maka hukum yang digunakan adalah hukum dari pihak tergugat.
Penetapan kemampuan untuk membuat perjanjian bagi seseorang harus
dilakukan berdasarkan hukum personal dari masing-masing pihak.
Proses pewarisan harus dilangsungkan berdasarkan hukum personal dari
pihak pewaris.
Peralihan hak atas benda harus dilaksanakan sesuai dengan hukum dari pihak
transferor.
Penyelesaian perkara tentang Perbuatan Melawan Hukum harus dilakukan
berdasarkan hukum dari pihak pelaku perbuatan yang melanggar hukum.
Pengesahan suatu perkawinan harus dilakukan berdasarkan hukum dari pihak
suami .
ASAS GENEALOGIS
8. ERA PERTUMBUHAN ASAS TERITORIAL (ABAD KE 11-12)
Eropa Utara Eropa Selatan
Feodalistik
Tuan-Tuan
Tanah
Tidak adanya
penngakuan
Hak Asing
HPI tidak
berkembang
Pusat Perdagangan
Kota Otonom Hukum lokal
Asas Teritorial
9. ERA PERTUMBUHAN TEORI STATUTA DI ITALIA (ABAD KE 13 -15)
Semakin meningkatnya intensitas perdagangan antar kota di Italia
menyebabkan asas teritorial perlu ditinjau kembali.
Contoh: Seorang warga Bologna yang berada di Florence, dan mengadakan
perjanjian di Florence. Karena berdasarkan prinsip teritorial, selama ia berada
di kota Florence ia harus tunduk pada kewenangan hukum di kota Florence.
Maka mucul persoalan-persoalan:
Sejauh mana putusan hukum atau hakim Florence memiliki daya berlaku di
Bologna ?
Sejauh mana perjanjian jual beli tersebut dapat dilaksanakan di Bologna ?
Dari persoalan diatas mendorong para ahli hukum Italia yaitu kelompok post-
glossators, untuk mencari asas-asas hukum yang lebih adil, wajar (fair and
reasonable) dan ilmiah dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hukum.
10. • Gagasan Accursius (1228) tentang dasar
Statuta “Bila seseorang yang berasal dari kota
tertentu di Italia, digugat di sebuah kota lain,
maka ia tidak dapat dituntut berdasarkan
hukum dari kota lain itu, karena ia bukan
subjek hukum dari kota lain itu.”
GAGASAN ACCURSIUS (1228 M)
11. TEORI STATUTA
Gagasan Accursius menarik perhatian Bartolus de Sassofereto (1315-
1357) sebagai pencetus teori Statuta dan dijuluki Bapak HPI.
Bartolus mencetuskan Teori Statuta, yang dianggap sebagai teori pertama
yang mendekati persoalan-persoalan hukum perselisihan secara metodik
dan sistematik. Statuta-statuta suatu kota dapat diklasifikasikan ke dalam
3 kelompok:
STATUTA PERSONALIA : Statuta-statuta yang berkenaan dengan
kedudukan hukum atau status personal orang. Objek pengaturan:
orang dalam persoalan-persoalan hukum yang menyangkut pribadi
dan keluarga. Lingkup berlaku: ekstra-teritorial, berlaku juga di luar
wilayah. Statuta personalia hanya berlaku terhadap warga kota yang
berkediaman tetap di wilayah kota yang bersangkutan, namun statuta
ini akan tetap melekat dan berlaku atas mereka, dimana pun mereka
berada.
12. STATUTA REALIA : Statuta-statuta yang berkenaan
dengan status benda. Objek pengaturan: benda dan
status hukum dari benda. Lingkup berlaku: prinsip
teritorial, hanya berlaku di dalam wilayah kota
kekuasaan penguasa. Statuta ini akan tetap berlaku
terhadap siapa saja (warga kota ataupun pendatang /
orang asing) yang berada dalam teritorial yang
bersangkutan.
TEORI STATUTA
13. STATUTA MIXTA : Statuta-statuta yang berkenaan dengan
perbuatan-perbuatan hukum. Ojek pengaturan: perbuatan-
perbuatan hukum oleh subjek hukum atau perbuatan
perbuatan hukum terhadap benda-benda. Lingkup berlaku:
prinsip teritorial, berlaku atas semua perbuatan hukum yang
terjadi atau dilangsungkan dalam wilayah pengusaan kota.
TEORI STATUTA
14. ERA TEORI HPI UNIVERSAL (ABAD KE 19)
Pencetus Teori HPI Universal adalah Freidrich Carl v.
Savigny di Jerman, didahului oleh pemikir ahli hukum
Jerman lain, C.G. von Wachter.
Pandangan C.G. Von Wachter Mengkritik Statuta Italia,
karena dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum, dan
ia menolak sifat ekstrateritorial karena akan menyebabkan
dan menimbulkan kewajiban hukum di negara asing.
Asumsi Wachter : Hukum intern forum hanya dapat
diterapkan pada kasus-kasus hukum lokal saja. Karena itu,
dalam perkara-perkara HPI, forumlah yang harus
menyediakan kaidah-kaidah HPI atau yang menentukan
hukum apa yang harus berlaku.
15. Wachter berusaha meninggalkan klasifikasi ala teori Statuta,
dan memusatkan perhatiannya pada penetapan hukum yang
seharusnya berlaku terhadap hubungan hukum tertentu. Titik
tolak penentuan hukum yang seharusnya diberlakukan adalah
hukum dari tempat yang merupakan LEGAL SEAT (tempat
kedudukan) dari dimulainya suatu hubungan hukum tertentu.
Perkara HPI sebagai suatu hubungan hukum mulai ada sejak
perkara itu diajukan di suatu forum tertentu. Karena itu forum
pengadilan itulah yang harus dianggap sebagai tempat
kedudukan hukum (LEGAL SEAT) perkara yang bersangkutan.
Karena forum merupakan LEGAL SEAT, maka Lex Fori-lah
(hukum forum) yang harus diberlakukan sebagai hukum yang
berwenang menentukan hukum apa yang dapat berlaku dalam
perkara.
ERA TEORI HPI UNIVERSAL (ABAD KE 19)
16. Pandangan F.C Von Savigny menggunakan konsepsi “Legal Seat”
dengan asumsi bahwa untuk setiap jenis hubungan hukum, dapat
ditentukan Legal Seat / Tempat Kedudukan Hukum, dengan
melihat pada hakikat hubungan itu. Bila hendak menentukan
aturan hukum yang seharusnya diberlakukan, Hakim wajib
menentukan tempat kedudukan hukum / legal seat dari hubungan
itu. Caranya : dengan melokalisasi tempat kedudukan hukum dan
hubungan hukum itu dengan bantuan titik-titik taut. Bila tempat
kedudukan hukum dari suatu jenis hubungan hukum telah dapat
ditentukan, maka Sistem Hukum dari Tempat itulah yang
digunakan sebagai Lex Cause (hukum yang seharusnya berlaku).
ERA TEORI HPI UNIVERSAL (ABAD KE 19)
17. • Setelah tempat kedudukan hukum itu dilokalisasi, maka
dibentuklah asas hukum yang bersifat universal yang dapat
digunakan untuk menentukan hukum yang berlaku.
• Terpusatnya titik-titik taut pada suatu tempat tertentu akan
menunjukkan bahwa tempat tersebutlah yang menjadi centre of
gravity (pusat gaya berat).
• Sebuah kaidah HPI berdasarkan pendekatan ini sebenarnya
digunakan untuk menunjuk ke arah sistem hukum suatu negara
yang akan menjadi Lex Cause, atau yang akan digunakan untuk
menyelesaikan suatu persoalan hukum.
• Lex Cause ini yang harus diberlakuan untuk menjawab semua
legal issues dari perkara yang dihadapi.
ERA TEORI HPI UNIVERSAL (ABAD KE 19)