2. Pelanggaran HAM:
Adalah: “Setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat
negara baik disengaja maupun tidak sengaja, atau kelalaian yang secara
melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut
hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh
Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan
memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan
mekanisme hukum yang berlaku.”
3. PENGERTIAN PELANGGARAN HAM YANG BERAT
Sebuah tindak pidana atau kejahatan yang bersifat luar biasa (extraordinary crimes),
dan bersifat sistemik atau meluas (systemic or widespread).
Umumnya, tindakan tersebut dilakukan oleh suatu kekuasaan atau kelompok yang
ditunjukan kepada perorangan tertentu atau kelompok berdasarkan asal-usul, etnik
dan agama, dengan tujuan untuk menghilangkan nyawa secara sistematis atau
meluas.
Kata sistemik dan meluas merupakan kata kunci yang membedakan pelanggaran ini
dengan tindak pidana biasa dalam KUHP atau perundang-undangan pidana lainnya.
Dalam Hukum Internasional, ada 4 Kejahatan yang termasuk Pelanggaran HAM yang
Berat: 1)genosida; 2) kejahatan terhadap kemanusiaan; 3)kejahatan perang; dan 4)
Kejatan agresi. Sebagaimana diatur di dalam ‘Rome Statute of The International
Criminal Court’ (ICC).
Dalam Hukum Indonesia, ada 2 Kejahatan yang termasuk Pelanggaran HAM yang
berat: 1) Genosida, dan 2) Kejahatan terhadap Kemanusiaan. Sebagaimana diatur di
dalam UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
4. Kejahatan genosida (Psl 8 UU 26/2000)
Adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok
bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:
a. membunuh anggota kelompok.
b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yg berat terhadap
anggota-2 kelompok
c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan
mengakibatkan kemusnahan fisik baik seluruh atau sebagiannya
d. memaksakan tindakan-2 yang bertujuan mencegah kelahiran di
dalam kelompok, atau
e. memindahkan secara paksa anak-2 dari kelompok tertentu ke
kelompok lain
5. Kejahatan terhadap kemanusiaan (Psl 9 UU 26/2000)
Adalah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau
sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap
penduduk sipil, berupa :
a. Pembunuhan;
b. Pemusnahan;
c. Perbudakan;
d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-
wenang yg melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
f. Penyiksaan;
g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan,
pemandulan atau sterilisasi secara paksa, atau bentuk-2 kekerasan seksual lain yang
setara;
h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari
persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau
alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum
internasional;
i. penghilangan orang secara paksa, atau;
j. kejahatan apartheid
6. Kejahatan perang:
Adalah: “Suatu tindakan pelanggaran, dalam cakupan hukum internasional,
terhadap hukum perang oleh satu atau beberapa orang, baik militer maupun
sipil.”
Kejahatan perang meliputi semua pelanggaran terhadap perlindungan yang
telah ditentukan oleh hukum perang, dan juga mencakup kegagalan untuk
tunduk pada norma prosedur dan aturan pertempuran, seperti menyerang
pihak yang telah mengibarkan bendera putih, atau sebaliknya,
menggunakan bendera perdamaian itu sebagai taktik perang untuk
mengecoh pihak lawan sebelum menyerang. Perlakuan semena-mena
terhadap tawanan perang atau penduduk sipil juga bisa dianggap sebagai
kejahatan perang.
7. Kejahatan Agresi:
Kejahatan Agresi: “Penggunaan pasukan bersenjata oleh suatu
negara terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau
kemerdekaan politik negara lain.”
Kejahatan Agresi:
Perencanaan, persiapan, prakarsa atau keikutsertaan dalam
menyerang kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan
politik negara lain.
8. PERBEDAAN ANTARA PELANGGARAN HAM YANG
BERAT DENGAN PELANGGARAN HAM
Pelanggaran HAM yang Berat Pelanggaran HAM
Harus memenuhi ada atau tidaknya
unsur meluas dan/atau sistimatis
Tidak melihat ada atau tidaknya unsur
meluas dan/atau sistimatis
Hanya terhadap kejahatan yang telah
dirumuskan oleh Hukum Internasional
(Kejahatan Genosida dan Kejahatan
terhadap kemanusiaan)
Hanya terhadap kejahatan yang telah
dirumuskan oleh UU HAM (10
Kelompok Hak)
8
9. PERBEDAAN UU PENGADILAN HAM DENGAN ICC
UU PENGADILAN HAM ICC
Tidak menganut prinsip legalitas secara
penuh yaitu yang melarang pemberlakuan
surut atau retroaktif
menganut prinsip legalitas secara penuh yaitu yang
melarang pemberlakuan surut atau retroaktif
menganut prinsip Ne Bis in Idem Tidak menganut prinsip Ne Bis in Idem
Dua jenis pelanggaran HAM yaitu:Genosida,
dan Kejahatan atas Kemanusiaan,
empat jenis pelanggaran HAM yaitu:Genosida,
Kejahatan atas Kemanusiaan,Kejahatan Perang dan
Agresi;
Komnas HAM melakukan penyelidikan, dan
pihak Kejaksaan penyidikan.
hanya mengakui Instansi penyelidikan dan
penyidikan dilakukan oleh pihak Kejaksaan
hanya mengakui seluruh ketentuan dalam UU
Pengadilan HAM dan ketentuan peraturan
perundang-undangan hukum acara pidana
nasional.
mengakui hukum internasional dan putusan-
putusan ICC menjadi acuan dalam mengadili kasus
pelanggaran HAM
pengangkatan Hakim non karir dan Jaksa
PenuntutUmum non-karir yang berasal dari
unsur masyarakat.
mengangkat dan menempatkan Hakim tetap yang
berasal dari beberapa negara
9
10. Latar Belakang dibentuknya
Pengadilan HAM di Indonesia
Pelanggaran HAM berat itu sendiri merupakan extra-ordinary crimes yang mempunyai
perumusan dan sebab timbulnya kejahatan yang berbeda dengan kejahatan atau
tindak pidana umum;
Perwujudan tanggung jawab bangsa Indonesia sebagai salah satu anggota PBB dalam
menjunjung tinggi dan melaksanakan Universal Declaration on Human Rights;
Dalam rangka melaksanakan Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan sebagai
tindak lanjut dari Pasal 104 ayat 1 Undang-undang No. 39 Tahun 1999;
Untuk mengatasi keadaan yang tidak menentu di bidang keamanan dan ketertiban
umum, termasuk perekonomian nasional. Keberadaan pengadilan HAM ini sekaligus
diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional
terhadap penegakan hukum dan jaminan kepastian hukum mengenai penegakan
HAM di Indonesia;
11. Mekanisme Penyelesaian Pelanggaran HAM
yang Berat di Indonesia
(UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM)
1. Mekanisme Yudisial
1) Pertama adalah pengadilan HAM yang sifatnya permanen terhadap
kasus setelah terbentuknya UU No. 26 Tahun 2000;
2) Kedua adalah mekanisme pengadilan HAM ad hoc untuk pelanggaran
HAM masa lalu sebelum adanya undang-undang ini;
2. Mekanisme Non Yudisial
Dengan pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi
12. HUKUM ACARA PENGADILAN HAM
Pembentukan Pengadilan HAM didasarkan pada ketentuan Pasal 104 UU Nomor
39 Tahun 1999 tentang HAM, bahwa yang berwenang untuk mengadili kasus
pelanggaran berat HAM adalah Pengadilan HAM dan berada di bawah
Pengadilan Umum.
Pengadilan HAM bukan merupakan peradilan yang berdiri sendiri, karena Pasal
24 UUD 1945 dan UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman telah
menegaskan bahwa hanya ada empat lingkungan peradilan, yaitu peradilan
umum, Agama, Militer dan Tata Usaha Negara.
Proses hukum, dan Hukum acara bagi pelanggaran HAM yang berat masih tetap
mengunakan KUHAP, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 10 Undang-Undang
Pengadilan HAM, “Dalam hal tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini,
hukum acara atas perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan
berdasarkan ketentuan hukum acara pidana”.
13. Kekhususan Pengadilan HAM
1. Diperlukan penyelidik dengan membentuk tim ad hoc, penyidik ad hoc,
penuntut ad hoc, dan hakim ad hoc;
2. Diperlukan penegasan bahwa penyelidik hanya dilakukan oleh komisi
nasional hak asasi manusia sedangkan penyidik tidak berwenang
menerima laporan atau pengaduan sebagai mana diatur dalam KUHAP;
3. Diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk
melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dipengadilan;
4. Diperlukan ketentuan mengenai perlindungan korban dan saksi;
5. Diperlukan ketentuan mengenai tidak ada kedaluarsa pelanggaran
HAM yang berat.
14. MEKANISME /PROSEDUR PENGADILAN HAM
(untuk kejahatan setelah tahun 2000)
14
KOMNAS HAM
Menerima Pengaduan
Dugaan Pelanggaran
HAM (yang Berat)
Penyelidikan oleh
Komnas HAM, hasil
penyelidikan
diserahkan kepada
penyidik
Pemeriksaan berkas
penyelidikan, jika
tidak lengkap
dikembalikan ke
Penyelidik
Penangkapan,
Penyidikan oleh
Kejaksaan
Penuntutan
(jika diperoleh
cukup bukti, Jika
tidak cukup bukti,
dikeluarkan SP3.)
Pemeriksaan
dan Putusan
Pengadilan
b
a
n
d
i
n
g
k
a
s
a
s
i
15. Penangkapan
Kewenangan untuk melakukan penangkapan di tingkat penyidikan
dalam pengadilan HAM ini adalah Jaksa Agung terhadap seseorang
yang diduga keras melakukan pelanggaran HAM berat berdasarkan
bukti permulaan yang cukup;
Pelaku pelanggaran HAM berat yang tertangkap tangan,
penangkapannya dilakukan tanpa surat perintah tetapi dengan segera
bahwa orang yang menangkap harus segera menyerahkannya kepada
penyidik. Lama penangkapan paling lama 1 hari dan masa
penangkapan ini dapat dikurangkan dari pidana yang dijatuhkan;
Yang membedakan adalah yang melakukan/pelaksanaan tugas
penangkapan adalah Jaksa Agung sedangkan dalam KUHAP yang
melakukan penangkapan adalah petugas kepolisian Republik Indonesia
17. Penyelidikan
Penyelidikan hanya dilakukan oleh Komnas HAM (tim ad hoc yang
terdiri dari Komnas HAM dan unsur masyarakat) sedangkan penyidik
tidak berwenang menerima laporan atau pengaduan;
Penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM ini merupakan
penyelidikan yang sifatnya pro justitia;
Komnas HAM mempunyai kewenangan untuk melakukan tindakan-
tindakan dalam rangka melaksanakan penyelidikan;
Komnas HAM juga mempunyai kewenangan untuk meminta keterangan
secara tertulis kepada Jaksa Agung mengenai perkembangan
penyidikan dan penuntutan perkara pelanggaran HAM yang berat.
18. Penyidikan
Pihak yang berhak melakukan penyidikan kasus pelanggaran HAM berat adalah Jaksa
Agung;
Dalam upaya penyidikan ini Jaksa Agung dapat mengangkat penyelidik ad hoc dari
unsur masyarakat dan pemerintah;
Penyidikan yang dilakukan wajib diselesaikan paling lambat 90 hari terhitung sejak
tanggal hasil penyelidikan diterima dan dinyatakan lengkap oleh penyidik;
Perpanjangan dapat dilakukuan selama 90 hari berikutnya jika selama 90 hari pertama
penyidikan belum dapat diselesaikan;
Perpanjangan yang kedua selama 60 hari, baik perpanjangan yang pertama maupun
kedua dilakukan oleh ketua pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya masing-
masing;
Jaksa Agung wajib mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) jika
dalam waktu yang telah ditentukan tidak diperoleh bukti yang cukup.
19. Penuntutan
Penuntutan mengenai pelanggaran HAM yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung dan
dalam melakukan penuntutan. Jaksa Agung dapat mengangkat jaksa penuntut umum ad
hoc.;
Jangka waktu penuntuan yaitu selama 70 hari terhitung sejak tanggal hasil penyelidikan
diterima;
Penyidikan yang dilakukan wajib diselesaikan paling lambat 90 hari terhitung sejak
tanggal hasil penyelidikan diterima dan dinyatakan lengkap oleh penyidik;
Perpanjangan dapat dilakukuan selama 90 hari berikutnya jika selama 90 hari pertama
penyidikan belum dapat diselesaikan;
Perpanjangan yang kedua selama 60 hari, baik perpanjangan yang pertama maupun
kedua dilakukan oleh ketua pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya masing-
masing;
Jaksa Agung wajib mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) jika dalam
waktu yang telah ditentukan tidak diperoleh bukti yang cukup.
22. Prosedur Pembuktian
Mekanisme pembuktian di sidang pengadilan HAM menggunakan mekanisme
yang diatur dalam KUHAP;
Proses pemeriksaan saksi dpat dilakukan dengan tanpa hadirnya terdakwa.
Ketentuan ini terdapat dalam PP No. 2 Tahun 2002 tentang perlindungan
terhadap korban dan saksi pelanggaran HAM yang berat;
Berkenaan dengan alat bukti yang dapat diterima juga mengacu pada alat bukti
yang sesuai dengan KUHAP yaitu Pasal 184.
25. Delik Tanggung Jawab
Komando atau Atasan
Pasal 42 ayat (1) dan (2) UU 26/2000
1. Unsur Komandan Militer
Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai
komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak
pidana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan HAM .
2. Unsur atasan Polisi atau Sipil
Seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya, bertanggung jawab
secara pidana terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang
dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan
pengendaliannya yang efektif.
26. Analisa Pelaksanaan Pengadilan HAM (1)
UU No. 26 Tahun 2000 ternyata belum memberikan aturan yang jelas dan
lengkap tentang tindak pidana yang diatur dan tidak adanya mekanisme
hukum acara secara khusus;
UU Pengadilan HAM belum secara lengkap disertai dengan penjelasan
unsur-unsur tindak pidana (elements of crimes) terhadap kejahatan
terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida;
UU ini juga tidak mengatur tentang prosedur pembuktian secara khusus
untuk mengadili kejahatan yang sifatnya “extra-ordinary crimes”.
27. Analisa Pelaksanaan Pengadilan
HAM (2)
Pemahaman atau penerapan tentang UU No. 26 Tahun 2000 lebih banyak
didasarkan atas penafsiran hakim ketika melakukan pemeriksaan di
pengadilan ;
Pengadopsian atas konsep kejahatan terhadap kemanusiaan dan tentang
delik tanggung jawab komando tidak memadai sehingga banyak
menimbulkan interpretasi dalam aplikasinya;
Alat bukti yang dapat diterima mengacu pada alat bukti yang sesuai
dengan KUHAP. Namun, hal-hal yang dapat dijadikan alat bukti dalam
KUHAP ini dianggap tidak memadai jika dikomparasikan dengan praktek
peradilan HAM internasional.
28. Kasus Pelanggaran HAM
yang Ditangani
Sejak diterbitkannya UU Pengadilan HAM pada 2000 s.d. 2015,
Komnas HAM telah melakukan penyelidikan terhadap 12 kasus
peristiwa pelanggaran HAM yang berat (baik yang masa lalu,
maupun setelah tahun 2000)
Pada 2015 tahun, masih ada 3 (tiga) tim penyelidikan yang masih
berjalan hingga saat ini, yaitu mengenai kasus pelanggaran HAM
berat di Prov. Aceh, peristiwa kekerasan di Paniai (Papua) yang
terjadi pada Desember 2014, dan peristiwa pembunuhan orang
yang diduga dukun santet pada tahun 1998
29. Mekanisme Penyelesaian Pelanggaran HAM
yang Berat Masa Lalu
Pasal 43 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000, berbunyi: “Pelanggaran hak asasi
manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-
undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc.”
Pada ayat (2) disebutkan: “Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan
Presiden.”dalam penjelasan ayat (2) dijelaskan bahwa dalam hal Dewan
Perwakilan Rakyat RI mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM adhoc,
Dewan Perwakilan Rakyat RI mendasarkan pada dugaan telah terjadinya
pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dibatasi pada locus dan
tempos delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-
undang ini.
30. Mekanisme pengadilan HAM
(Untuk Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu) dengan
pembentukan pengadilan HAM ad hoc
Penyelidikan
Komnas HAM
Penyidikan
Kejagung
Pelimpahan
Tidak Terjadi
Pelanggaran
HAM Berat
SP3
Hasil
Usul Pembentukan
Pengadilan HAM ad hoc
DPR
Usul Pembentukan
Pengadilan HAM ad hoc
Presiden
Keputusan Presiden
Pembentukan
Pengadilan
HAM ad hoc
31. Kasus pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
1. Peristiwa 1965
2. Peristiwa Priok 1984
3. Peristiwa Talangsari 1989
4. Peristiwa Trisakti (1998)
5. Peristiwa Semanggi I (1998)
6. Peristiwa kerusuhan Mei 1998
7. Peristiwa Semanggi II (1999)
8. Peristiwa kerusuhan Timor-Timur 1999
9. Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998
10. Rumoh Geudong, Aceh 1989-1998
11. Simpang KKA, Aceh1999
32. Kasus Pelanggaran HAM yang telah dilakukan
penyelidikan
No. Kasus Penyelidikan Tindak Lanjut
1. Kasus Timor Timur
1999
Laporan hasil penyelidikan
telah diserahkan kepada
Kejagung pada 31 Januari
2000
Kasus ini telah disidik oleh Kejagung
dan diperiksa pengadilan HAM dan
telah sampai tingkat Kasasi. Satu
terdakwa dinyatakan bersalah.
2. Kasus Tanjung Priok
1984
Laporan hasil penyelidikan
telah disampaikan
kepada Kejagung pada 7
Juli 2000
Telah dilakukan penyidikan dan
diperiksa pengadilan HAM dan telah
sampai tingkat Kasasi. Semua
terdakwa dinyatakan bebas.
3. Kasus Abepura
(Papua)
Laporan dikirimkan ke
Kejagung pada 17
Mei 2001
Kasus telah disidik dan ditetapkan 2
terdakwa. Dua terdakwa telah
diperiksa oleh Pengadilan HAM.
Keduanya dibebaskan.
33. No. Kasus Penyelidikan Tindak Lanjut
4. Kasus Trisaksi,
Semanggi I dan
Semanggi II
Laporan penyelidikan
telah disampaikan ke Kejagung
pada 29 April 2002
Kejagung belum melakukan
penyidikan dan penuntutan
5. Kasus Mei 1998 Laporan penyelidikan telah
disampaikan ke Kejagung pada
19 September 2003
Kejagung belum melakukan
penyidikan dan penuntutan
6. Kasus Wasior (Juni
2001-Oktober 2002)-
Wamena (2003).
Laporan penyelidikan telah
disampaikan ke Kejagung pada
3 September 2004
Kejagung belum melakukan
penyidikan dan penuntutan
7. Kasus Penghilangan
Paksa 1997-1998
Laporan penyelidikan telah
disampaikan ke Kejagung pada
3 September 2006.
Kejagung belum melakukan
penyidikan dan penuntutan
8. Kasus Talangsari 1989 Laporan penyelidikan telah
disampaikan ke Kejagung pada
16 September 2008
Kejagung belum melakukan
penyidikan dan penuntutan
34. No. Kasus Penyelidikan Tindak Lanjut
9. Kasus Penembakan
Misterius 1982-1985
Laporan penyelidikan telah
disampaikan ke Kejagung
pada 20 Juli September 2012
Kejagung belum melakukan
penyidikan dan penuntutan
10. Kasus Tragedi 1965-
1966
Laporan penyelidikan telah
disampaikan ke Kejagung
pada 20 Juli 2012
Kejagung belum melakukan
penyidikan dan penuntutan
11. Kasus Lapindo Hasil penyelidikan Komnas
HAM menyatakan tidak
terjadi pelanggaran HAM
yang berat
-
12. Kasus Pelanggaran
HAM yang berat di
Provinsi Aceh
Tim dibentuk pada 2014
dan hingga saat ini masih
melakukan penyelidikan
-
35. Kasus Pelanggaran HAM yang telah
diproses di Pengadilan HAM
No. Kasus Penyelidikan Tindak Lanjut
1. Kasus Timor Timur
1999
Laporan hasil penyelidikan
telah diserahkan kepada
Kejagung pada 31 Januari
2000
Kasus ini telah disidik oleh Kejagung
dan diperiksa pengadilan HAM dan
telah sampai tingkat Kasasi. Satu
terdakwa dinyatakan bersalah.
2. Kasus Tanjung
Priok 1984
Laporan hasil penyelidikan
telah disampaikan
kepada Kejagung pada 7 Juli
2000
Telah dilakukan penyidikan dan
diperiksa pengadilan HAM dan telah
sampai tingkat Kasasi. Semua
terdakwa dinyatakan bebas.
3. Kasus Abepura
(Papua)
Laporan dikirimkan ke
Kejagung pada 17
Mei 2001
Kasus telah disidik dan ditetapkan 2
terdakwa. Dua terdakwa telah
diperiksa oleh Pengadilan HAM.
Keduanya dibebaskan.
36. Perdebatan UU No. 26 Tahun 2000
Apakah Pasal 43 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000 bertentangan
dengan prinsip non retroaktif (ps. 28 I ayat (1) UUD NKRI 1945
Apakah Pengadilan HAM ad hoc harus dibentuk terlebih dahulu
sebelum dilakukan penyelidikan oleh Komnas HAM dan
penyidikan oleh Kejaksaan Agung.
Mengapa penyelesaian pelanggaran HAM tidak berjalan.
37. Pasal 43 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000 tidak bertentangan
dengan prinsip non retroaktif (ps. 28 I ayat (1) UUD NKRI
1945
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara No. 065/PUU-II/2004, yang diajukan oleh
Abilio Jose Osorio Soares, menyatakan bahwa Pasal 43 UU No.26 Tahun 2000 tidak
terbukti bertentangan dengan Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945.
Pengadilan tersebut merupakan pengesampingan terhadap asas non-retroaktif yang
dilakukan dengan sangat hati-hati, dengan pertimbangan:
pembentukannya hanya terhadap peristiwa-peristiwa tertentu dengan locus delicti
dan tempus delicti yang terbatas, bukan untuk semua peristiwa secara umum; dan
Pengadilan HAM ad hoc hanya dapat dibentuk atas usul DPR karena menurut UUD
1945 DPR adalah representasi rakyat Indonesia, yang berarti bahwa pada dasarnya
rakyatlah yang menentukan kapan pelanggaran HAM yang berat sebelum
pembentukan UU Pengadilan HAM telah terjadi yang penyelesaiannya
membutuhkan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc.
38. Apakah pembentukan Pengadilan HAM ad hoc
dibentuk sebelum atau sesudah penyelidikan dan
penyidikan?
Putusan MK Nomor 18/PUU-V/2007. Putusan tersebut menyatakan bahwa Penjelasan
Pasal 43 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM sepanjang mengenai
kata “dugaan” bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan
hukum mengikat.
Putusan tersebut tidak terkait dengan keterlibatan DPR, tetapi terkait dengan dasar
pertimbangan DPR dalam mengambil keputusan. Sebagai akibat hukum dari putusan
tersebut, maka usul DPR untuk pembentukan Pengadilan HAM ad hoc adalah setelah
dan berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM dan penyidikan Kejaksaan Agung.
Dengan demikian, penyelesaian pelanggaran HAM yang berat di masa lalu melalui
Pengadilan HAM ad hoc mekanismenya dimulai dari penyelidikan oleh Komnas HAM,
dilanjutkan dengan penyidikan oleh Kejaksaan Agung, dan berdasarkan hasil
penyelidikan dan penyidikan tersebut DPR memberikan usul pembentukan Pengadilan
HAM ad hoc kepada Presiden untuk menangani kasus tersebut.
39. Mengapa penyelesaian pelanggaran
HAM tidak berjalan?
Belum adanya Kesepamahan dan kesepakatan bersama
tentang prosedur dan mekanisme penyelidikan dan
penyidikan, serta standar kelengkapan.
Perlu perubahan UU No. 26 Tahun 2000.
40. Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat
Masa Lalu secara Non Yudisial (KKR)
Pasal 47 Undang-Undang Pengadilan HAM:
Ayat (1) Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi
sebelum berlakunya Undang-Undang ini tidak menutup
kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi.
ayat (2): “Komisi kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan Undang-undang.”
41. Gugatan Undang-Undang Nomor 27 Tahun
2004 tentang KKR
Uji materiil terhadap UU KKR dilakukan terhadap 3 Pasal yang
didalilkan oleh pemohon bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945
yaitu Pasal 27, Pasal 1 angka (9) dan Pasal 44.
Mahkamah Konstitusi kemudian pada tanggal 7 Desember 2006
melalui Putusan Nomor 006/PUU-IV/2006 mengabulkan pembatalan
terhadap Pasal 27. Walaupun hanya satu pasal permohonan saja yang
dikabulkan, akan tetapi oleh karena seluruh operasionalisasi UU KKR
bergantung dan bermuara pada Pasal 27, maka seluruh ketentuan
dalam UU KKR menjadi tidak mungkin dilaksanakan.
42. Putusan MK
‘... [untuk penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu]
banyak cara yang dapat ditempuh, antara lain dengan:
1. Mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk
kebijakan hukum (UU) yang serasi dengan UUD
1945 dan instrumen HAM yang berlaku secara
universal, atau
2. Dengan mengadakan rekonsiliasi melalui
kebijakan politik dalam rangka rehabilitasi dan
amnesti secara umum...’
43. UPAYAYANG DILAKUKAN PEMERINTAH
1) pada saat ini Pemerintah telah menyiapkan RUU KKR sebagai
penganti UU KKR yang lama.
2) Dalam menyikapi terhambatnya pembentukan UU KKR, Lalu,
Pemerintah juga sedang mengupayakan kebijakan politik dalam
rangka pemulihan korban PHB, yakni dengan:
a. membentuk Tim Terpadu,
b. Rancangan Perpes tentang Unit Kerja Presiden Pemulihan
Korban Pelanggaran HAM Berat.
44. Kesimpulan
UU Pengadilan HAM mengisi kekosongan hukum bagi mekanisme hukum
nasional Indonesia (local remedies) dalam menyelesaikan kasus-kasus
pelanggaran HAM berat;
Untuk memperkuat jaminan kepastian hukum dan pencapaian keadilan
kepada korban maka UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM ini
perlu diamandemen sesuai dengan kebutuhan dan pengalaman
pelaksanaan peradilan-peradilan HAM sebelumnya.