ANALISIS WACANA KRITIS PADA NASKAH DRAMA BILA MALAM BERTAMBAH MALAM KARYA PUTU WIJAYA 2.pdf
1. ANALISIS WACANA KRITIS
ANALISIS WACANA KRITIS
PADA NASKAH DRAMA
PADA NASKAH DRAMA
BILAMALAMBERTAMBAHMALAM
BILAMALAMBERTAMBAHMALAM
KARYA PUTU WIJAYA
KARYA PUTU WIJAYA
Ida Bagus Brian Niscita, S.S.
2280111021
2. dari sebuah karya sastra biasanya berkaitan
dengan kehidupan masyarakat baik mengenai sosial, budaya,
pendidikan, bahkan politik dari fenomena-fenomena di
masyarakat yang dirasakan oleh pengarang, sehingga
menimbulkan hasrat untuk menuangkan pendapat atau kritik
sosial yang diungkapkan melalui karyanya
Gagasan
cerminan dari berbagai konteks sosial yang
telah maupun sedang terjadi, makna yang dikandung di dalam
karya sastra pun seringkali berisikan pesan-pesan, ajaran, serta
tak jarang pula sindiran yang berkaitan dengan kultur dan
keadaan suatu tempat.
Sebagai
3. BIANG
Salah satu drama yang terkenal di dunia sastra yakni drama
Bila Malam Bertambah Malam karya Putu Wijaya yang
memiliki alur pemikiran kompleks serta memberikan
kebebasan pembacanya untuk dapat menafsirkan dan
menimbulkan konflik terhadap karyanya dalam benaknya
masing-masing
4. Menceritakan mengenai pertikaian antara tokoh Gusti Biang
yang merupakan seorang fanatis atas gelar kastanya dengan
orang-orang di sekitarnya yang lebih memilih untuk melihat
nilai seorang manusia dari kualitasnya sendiri daripada
darimana mereka dilahirkan.
5. PERSPEKTIF
ANALISA
Dalam menelaah maksud yang disampaikan
oleh Putu Wijaya dalam naskah dramanya
yang bertajuk Bila Malam Bertambah Malam,
pemaknaan tidak hanya dapat dilakukan
berdasarkan kajian struktural dari wacananya
saja. Melainkan, analisis tersebut juga harus
dilakukan dengan menelaah konteks sosial
ataupun budaya yang berpengaruh pada
karya tersebut.
Seperti disampaikan oleh Fairclough (1995)
bahwa analisis terhadap teks saja seperti yang
banyak dikembangkan oleh ahli linguistik
tidak cukup, karena tidak bisa
mengungkapkan lebih jauh dan mendalam
kondisi sosiokultural yang melatarbelakangi
munculnya teks tersebut.
6. Metode
Penelitian
Metode deskriptif kualitatif
Dokumentasi serta teknik simak catat
Kata, frasa, dan kalimat-kalimat pada naskah drama Bila
Malam Bertambah Malam yang ditulis oleh Putu Wijaya
pada tahun 1964
Analisis Wacana Kritis
Model Norman Fairclough
7. Analisis Wacana Kritis
Model Norman Fairclough
Model analisis wacana kritis Norman
Fairclough pada dasarnya
menganalisis wacana dalam tiga
dimensi yaitu teks, praktik diskursus,
dan praktik sosiokultural.
8. Dimensi
Wacana Kritis
Sebuah teks secara tradisional
didefinisikan sebagai tulisan,
keseluruhan karya seperti puisi,
novel atau bagian terkait dari
sebuah karya seperti subbagian
dari sebuah buku. Konsep yang
lebih luas menjadi sama dalam
analisis wacana, di mana teks
dapat berupa wacana tertulis atau
wacana lisan (Fairclough, 1995:4).
01
Hal-hal yang menjadi fokus pada
tahap ini adalah interpretasi teks
dan interpretasi konteks. Dalam
interpretasi teks, terdapat empat
tingkatan ranah penafsiran, yaitu
bentuk lahirnya tuturan, makna
pernyataan, koherensi lokal, serta
struktur teks. Pada interpretasi
secara kontekstual memiliki dua
tingkatan interpretasi, yaitu konteks
situasional dan konteks antarteks
02
tahapan menjelaskan (to
explain) mengenai hubungan
tekstual yang heterogen dan
proses wacana yang
kompleks dengan proses
perubahan sosiokultural, baik
perubahan masyarakat,
institusional, dan kultural.
03
Teks Diskursus Sosiokultural
9. Hasil &
Pembahasan
Analisis berupa deskripsi dari naskah drama
Bila Malam Bertambah Malam karya Putu
Wijaya dengan menggunakan model analisis
wacana kritis Fairclough (1995) yang terdiri
atas tiga bagian yaitu teks, praktik diskursus,
dan praktik sosiokultural.
10. Dimensi
Teks
Si tua itu tak pernah kelihatan kalau sedang dibutuhkan. Pasti ia sudah
berbaring di kandangnya menembang seperti orang kasmaran pura-pura
tidak mendengar, padahal aku sudah berteriak, sampai leherku patah.
Wayannn…. Wayan tuaaa…..”
Gusti Biang:
Pada tataran kosa kata, penggunaan kata ganti si tua pada
teks tersebut yakni berupa katafora untuk memberikan
gambaran terhadap tokoh lainnya yang mana mengacu
atau merujuk kepada tokoh Wayan yang terdapat pada
akhir kutipan sebagai tokoh yang diteriaki atau dipanggil
oleh tokoh Gusti Biang. Serta secara kontekstual teks juga
menggambarkan bahwa tokoh Wayan telah berusia lanjut.
Selain itu, referensi lainnya yang juga merujuk pada tokoh
Wayan yakni pada kata ia dan kandangnya. Kata ia dan
klitik -nya pada kata kandangnya mengacu pada tokoh si
tua.
11. Dengan menggunakan kata ganti tersebut dapat
menghindari adanya repetisi dalam penyebutan
sebuah tokoh. Hal ini berkaitan dengan nilai
konektif karena mengandung referensi untuk
menjaga kohesivitas sebuah teks. Selain itu, pada
tataran kosa kata, kata kandang pada kandangnya
memiliki makna denotatif yaitu bangunan tempat
tinggal binatang (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Namun, pada teks tersebut memiliki arti tempat
tinggal yang didiami oleh tokoh si tua serta
penggunaan kata tersebut juga untuk
menggambarkan bahwa tempat tinggal tokoh si
tua kecil dan berantakan serta berbanding terbalik
dengan tempat tinggal yang didiami oleh
majikannya. Hal tersebut mengandung nilai
relasional dalam penciptaan relasi sosial.
Pada tataran tata bahasa, klausa
kalau sedang dibutuhkan…
menggunakan jenis kalimat pasif.
Hal tersebut dilakukan dengan
tujuan untuk menghindari
penggunaan subjek serta topik
yang terdapat pada konteks kalimat
tersebut. Hal ini berkaitan dengan
nilai eksperiental yang
mengindikasikan bahwa ada makna
yang dihilangkan demi
kepentingan ideologis tertentu.
12. Dimensi
Diskursus
“Kalau toh tiyang dilahirkan di purian, itu justru menyebabkan tiyang harus
berhati-hati. Harus pintar berkelakuan baik agar bisa jadi teladan orang, yang
lain omong kosong semua!”
Ngurah:
Ngurah yang merupakan anak dari Gusti Biang sedang
berseteru dengan ibunya mengenai arti dari menjadi
seorang putra yang lahir di Purian. Maksud dari Purian
tersebut adalah sebuah Puri yang menjadi tempat tinggal
keturunan bangsawan.
13. Tokoh Ngurah menyampaikan pandangannya mengenai arti
dari lahir sebagai seorang putra bangsawan. Pada akhir
kalimatnya Ngurah berpendapat bahwa selain dari yang ia
anggap sebagai hal-hal yang harus dilakukan olehnya, yang
disampaikan oleh ibunya sendiri merupakan hal yang
bersifat tidak penting dan tidak relevan baginya. Hal yang
dimaksud seperti memandang rendah orang lain dan hanya
orang-orang berlatar belakang Purian yang dapat
berinteraksi dengannya.
Tokoh Ngurah yang sudah pernah merasakan hidup di
tempat lain dimana latar belakangnya sebagai seorang
bangsawan tidaklah menjamin apapun merasa cara
pandang ibunya sudah tidak berlaku. Ngurag beranggapan
bahwa dikte dari ibunya tentang bagaimana Ngurah harus
membawa dirinya sebagai seorang bangsawan merupakan
pola pikir yang seharusnya dihilangkan demi kualitas
hidupnya dalam menyambut hari esok
14. Dimensi
Sosio-
kultural "Siapa yang membocorkan gerakan Ciung Wanara di Marga dulu? Nica-nica
itu mengepung Ciung Wanara yang dipimpin oleh pak Rai, menghujani
dengan peluru dari berbagai penjuru, bahkan dibom dari udara sehingga
kawan-kawan semua gugur.”
Wayan:
Pada data di atas, Putu Wijaya mereferensikan kejadian
penting pada naskah drama yang ditulisnya kepada
sebuah kejadian yang berlangsung di kabupaten Tabanan,
Bali, yang terjadi pada 20 November 1946.
15. Perang ini dulunya berlangsung di tanah tempat Putu Wijaya
lahir, yang juga di Kabupaten Tabanan. Pemilihan kejadian
perang tersebut sebagai salah satu faktor intrinsik dalam
cerita karangannya mencirikan bagaimana kondisi latar
belakang sosialnya berpengaruh pada karyanya. Putu
Wijaya yang lahir pada tahun 1944 dan pada saat perang itu
berlangsung hampir berusia dua tahun tentu telah melihat
secara sadar ataupun tidak keadaan yang dirasakan oleh
masyarakat Bali dalam tahap perkembangan Putu Wijaya
kedepannya.
Kehidupan awalnya yang dibarengi dengan
berlangsungnya perang yang terjadi di tanah kelahirannya
juga dapat dirasakan pada intrik dalam cerita karangannya
yang bernuansa brutal, dimulai dari tokohnya memukul,
mengusir, hingga mengancam untuk memutar leher tokoh
lain. Semua gestur yang dituangkan oleh Putu Wijaya
kedalam naskahnya juga dapat menggambarkan
kekejaman yang diakibatkan oleh peperangan terhadap
manusia.
16. Simpulan
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pada
tahap teks, hasil analisis yang ditemukan dengan
pendekatan linguistik yakni penggunaan nilai
eksperimental, relasional, dan konektif telah digunakan
dalam wacana. Pada tahap praktik diskursus, hasil
analisis memperlihatkan kontribusi proses produksi
dan interpretasi teks sangat dipengaruhi oleh konteks
wacana yang berkaca pada alur cerita yang terjadi.
Pada tahap praktik sosiokultur, konteks sosial budaya
di luar dari konteks wacana juga memberikan
pengaruh yang besar terhadap kemunculan dari
sebuah teks. Serta secara situasional, naskah drama
tersebut memberikan gambaran terkait keadaan sosial
budaya masyarakat di Bali pada saat itu yang tertuang
dalam bentuk wacana