Laporan Fisiologi Tumbuhan IX Dormansi Biji Sirsak (Annona muricata L.)UNESA
Kemampuan bertunas berhenti saat biji mengalami dormansi. Dormansi terjadi segera setelah pemanenan atau saat kondisi lingkungannya tidak mendukung pada periode akhir pertumbuhannya. Fase awal dormansi ini merupakan titik awal proses pematangan fisiologis, seringkali disebut sebagai ‘wilting point’. Periode dormansi dapat didefinisikan sebagai periode menurunnya aktivitas metabolisme endogeneous dimana biji tidak menunjukkan pertumbuhan tunas di dalam atau di luar, walaupun komoditas tetap mempertahankan potensi pertumbuhannya pada masa berikutnya saat kondisi memungkinkan. Kemampuan dormansi ini merupakan karakteristik yang membedakan antar spesies dan varietas. Periode ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu suhu, kelembaban, oksigen dan CO2, komposisi atmosfir ruang penyimpanan serta ada atau tidaknya luka karena kerusakan fisik atau penyakit (Estiasih, dkk., 2017).
Dormansi merupakan masa istirahat biji sehingga proses perkecambahan tidak dapat terjadi yang disebabkan adanya pengaruh dari dalam biji (Salisbury dan Ross, 1995). Dormansi benih mengakibatkan benih menjadi sulit berkecambah. Hal ini dapat disebabkan oleh sifat atau tekstur kulit biji yang keras (Mulyana dan Asmarahman, 2012).
Bila penyebab terjadinya dormansi adalah embrio benih disebut dormansi fisiologi, sedangkan bila penyebabnya kulit benih disebut dormansi fisik. Penyebab dormansi fisik dan dormansi fisiologi dapat dijumpai pada berbagai spesies, tetapi ada spesies yang mempunyai dormansi ganda. Dari semua perlakuan pematahan dormansi secara fisik yang dicoba ternyata skarifikasi (dengan kertas amplas) adalah cara yang cocok untuk mematahkan dormansi benih aren, sebab mampu mempercepat proses perkecambahan (43 hari setelah ditanam) dan mempunyai daya berkecambah yang tinggi yaitu 79,41 % (Hartawan, 2016).
Umumnya perlakuan pematahan dormansi diberikan secara fisik, seperti skarifikasi mekanik dan kimiawi. Skarifikasi mekanik meliputi pengamplasan, pengikiran, pemotongan dan penusukan bagian tertentu pada benih. Kimiawi biasanya dilakukan dengan menggunakan air panas dan bahan-bahan kimia seperti asam kuat (H2SO4 dan HCl), alkohol dan H2O2 yang bertujuan untuk merusak atau melunakkan kulit benih (Kartika, et al., 2015).
Kesimpulan
Proses dormansi biji sirsak cepat tumbuh pada biji yang diamplas, dibandingkan dengan biji yang direndam H2SO4 dan dicuci air.
Laporan Fisiologi Tumbuhan IX Dormansi Biji Sirsak (Annona muricata L.)UNESA
Kemampuan bertunas berhenti saat biji mengalami dormansi. Dormansi terjadi segera setelah pemanenan atau saat kondisi lingkungannya tidak mendukung pada periode akhir pertumbuhannya. Fase awal dormansi ini merupakan titik awal proses pematangan fisiologis, seringkali disebut sebagai ‘wilting point’. Periode dormansi dapat didefinisikan sebagai periode menurunnya aktivitas metabolisme endogeneous dimana biji tidak menunjukkan pertumbuhan tunas di dalam atau di luar, walaupun komoditas tetap mempertahankan potensi pertumbuhannya pada masa berikutnya saat kondisi memungkinkan. Kemampuan dormansi ini merupakan karakteristik yang membedakan antar spesies dan varietas. Periode ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu suhu, kelembaban, oksigen dan CO2, komposisi atmosfir ruang penyimpanan serta ada atau tidaknya luka karena kerusakan fisik atau penyakit (Estiasih, dkk., 2017).
Dormansi merupakan masa istirahat biji sehingga proses perkecambahan tidak dapat terjadi yang disebabkan adanya pengaruh dari dalam biji (Salisbury dan Ross, 1995). Dormansi benih mengakibatkan benih menjadi sulit berkecambah. Hal ini dapat disebabkan oleh sifat atau tekstur kulit biji yang keras (Mulyana dan Asmarahman, 2012).
Bila penyebab terjadinya dormansi adalah embrio benih disebut dormansi fisiologi, sedangkan bila penyebabnya kulit benih disebut dormansi fisik. Penyebab dormansi fisik dan dormansi fisiologi dapat dijumpai pada berbagai spesies, tetapi ada spesies yang mempunyai dormansi ganda. Dari semua perlakuan pematahan dormansi secara fisik yang dicoba ternyata skarifikasi (dengan kertas amplas) adalah cara yang cocok untuk mematahkan dormansi benih aren, sebab mampu mempercepat proses perkecambahan (43 hari setelah ditanam) dan mempunyai daya berkecambah yang tinggi yaitu 79,41 % (Hartawan, 2016).
Umumnya perlakuan pematahan dormansi diberikan secara fisik, seperti skarifikasi mekanik dan kimiawi. Skarifikasi mekanik meliputi pengamplasan, pengikiran, pemotongan dan penusukan bagian tertentu pada benih. Kimiawi biasanya dilakukan dengan menggunakan air panas dan bahan-bahan kimia seperti asam kuat (H2SO4 dan HCl), alkohol dan H2O2 yang bertujuan untuk merusak atau melunakkan kulit benih (Kartika, et al., 2015).
Kesimpulan
Proses dormansi biji sirsak cepat tumbuh pada biji yang diamplas, dibandingkan dengan biji yang direndam H2SO4 dan dicuci air.
Dormansi merupakan terhambatnya proses metabolisme dalam biji dan merupakan masa istirahat biji sehingga proses perkecambahan tidak dapat terjadi, yang disebabkan karena adanya pengaruh dari dalam dan luar biji
Produksi benih merupakan suatu proses kegiatan memperbanyak benih
dengan jumlah dan mutu tertentu. Produksi benih secara komersial memiliki 3
komponen yaitu: benih, lingkungan tumbuh atau lapangan produksi, dan
pengelolaan atau tektik budidaya. Komponen lapangan produksi mencakup
substrat, iklim, dan biologis. Komponen teknik budidaya mencakup prinsip
genetis dan agronomis. Prinsip genetis, teknik budidaya diarahkan untuk
menghasilkan benih bermutu genetik tinggi, yakni benih yang sesuai dengan
2
deskripsi varietasnya. Prinsip agronomis, teknik budidaya tanaman diarahkan
untuk menghasilkan benih yang bermutu fisiologis dan mutu fisik yang tinggi,
selain hasilnya juga tinggi (Mugnisjah dan Setiawan, 2004).
Berdasarkan argumentasi diatas maka perlu dilakukan praktikum simulasi
budidaya untuk tujuan produksi benih, agar produksi kacang panjang ke depan
dapat ditingkatkan.
Laporan Fisiologi Tumbuhan VII Pengaruh Perendaman Biji Timun Dalam Air Terha...UNESA
Perkecambahan (germinasi) merupakan suatu proses keluarnya bakal tanaman (tunas) dari lembaga yang disertai dengan terjadinya mobilisasi cadangan makanan dari jaringan penyimpanan atau keping biji ke bagian vegetatif (sumbu pertumbuhan embrio atau lembaga). Proses perkecambahan dipengaruhi oleh kondisi tempat dikecambahkan. Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh adalah: air, gas, suhu, dan cahaya. Temperatur optimum untuk perkecambahan adalah 34°C (Astawan, 2009).
Benih yang tak diberi perlakuan akan berkecambah dalam waktu 4 bulan. Penempatan benih dalam media yang lembap dan di bawah sinar matahari yang hangat dapat mempercepat proses perkecambahan. Pemecahan kulit biji dan merendamnya semalaman dalam air mungkin juga mempercepat perkecambahan (Krisnawati, dkk., 2011).
Sutopo, (2002) menyatakan bahwa perendaman dalam air dapat memudahkan penyerapan air oleh benih, sehingga kulit benih menjadi lisis dan lemah, selain itu juga dapat digunakan untuk pencucian benih sehingga benih terbebas dari patogen yang menghambat perkecambahan benih. Untuk mempertahankan daya perkecambahan yang tinggi, biji yang kurang baik kualitasnya biasanya direndam dalam air (Elevitch dan Manner, 2006).
Permulaan fase perkecambahan ini ditandai dengan penghisapan air atau imbibisi. Imbibisi adalah peristiwa penyerapan air oleh permukaan zat-zat yang hidrofilik, yang menyebabkan zat tersebut mengembang setelah menyerap air. Kata imbibisi berasal dari kata Latin imbibere yang berarti “menyelundup”. Proses imbibisi yang terjadi pada biji berguna untuk melunakkan kulit biji dan menyebabkan pengembangan embrio dan endosperma. Hal ini menyebabkan pecah atau robeknya kulit biji. Selain itu, air memberikan fasilitas untuk masuknya oksigen ke dalam biji. Dinding sel yang kering hampir tidak permeabel untuk gas, tetapi apabila dinding sel mengalami imbibisi, maka gas akan masuk ke dalam sel secara difusi. Apabila dinding sel kulit biji dan embrio menyerap air, maka suplai oksigen meningkat kepada sel-sel hidup sehingga memungkinkan lebih aktifnya pernafasan. Sehingga di dalam proses imbibisi ditimbulkan panas. Sebaliknya CO2 yang dihasilkan oleh pernapasan tersebut lebih mudah keluar secara difusi. Peristiwa imbibisi pada hakekatnya tidak lain adalah suatu proses difusi. Sel-sel biji kering mempunyai nilai osmosis tinggi, sehingga molekul-molekul air berdifusi ke dalam sel biji kering. Peristiwa imbibisi juga hekekatnya adalah peristiwa osmosis. Dinding sel-sel kulit biji kering adalah permeabel untuk molekul-molekul air. Sehingga molekul air dengan mudahnya melewati pori yang ada pada dinding sel tersebut (Advinda, 2018).
Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang telah didapatkan, semakin lama perendaman pada biji timun (Cucumis sativus) maka semakin cepat pula perkecambahan bijinya.
Dormansi merupakan terhambatnya proses metabolisme dalam biji dan merupakan masa istirahat biji sehingga proses perkecambahan tidak dapat terjadi, yang disebabkan karena adanya pengaruh dari dalam dan luar biji
Produksi benih merupakan suatu proses kegiatan memperbanyak benih
dengan jumlah dan mutu tertentu. Produksi benih secara komersial memiliki 3
komponen yaitu: benih, lingkungan tumbuh atau lapangan produksi, dan
pengelolaan atau tektik budidaya. Komponen lapangan produksi mencakup
substrat, iklim, dan biologis. Komponen teknik budidaya mencakup prinsip
genetis dan agronomis. Prinsip genetis, teknik budidaya diarahkan untuk
menghasilkan benih bermutu genetik tinggi, yakni benih yang sesuai dengan
2
deskripsi varietasnya. Prinsip agronomis, teknik budidaya tanaman diarahkan
untuk menghasilkan benih yang bermutu fisiologis dan mutu fisik yang tinggi,
selain hasilnya juga tinggi (Mugnisjah dan Setiawan, 2004).
Berdasarkan argumentasi diatas maka perlu dilakukan praktikum simulasi
budidaya untuk tujuan produksi benih, agar produksi kacang panjang ke depan
dapat ditingkatkan.
Laporan Fisiologi Tumbuhan VII Pengaruh Perendaman Biji Timun Dalam Air Terha...UNESA
Perkecambahan (germinasi) merupakan suatu proses keluarnya bakal tanaman (tunas) dari lembaga yang disertai dengan terjadinya mobilisasi cadangan makanan dari jaringan penyimpanan atau keping biji ke bagian vegetatif (sumbu pertumbuhan embrio atau lembaga). Proses perkecambahan dipengaruhi oleh kondisi tempat dikecambahkan. Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh adalah: air, gas, suhu, dan cahaya. Temperatur optimum untuk perkecambahan adalah 34°C (Astawan, 2009).
Benih yang tak diberi perlakuan akan berkecambah dalam waktu 4 bulan. Penempatan benih dalam media yang lembap dan di bawah sinar matahari yang hangat dapat mempercepat proses perkecambahan. Pemecahan kulit biji dan merendamnya semalaman dalam air mungkin juga mempercepat perkecambahan (Krisnawati, dkk., 2011).
Sutopo, (2002) menyatakan bahwa perendaman dalam air dapat memudahkan penyerapan air oleh benih, sehingga kulit benih menjadi lisis dan lemah, selain itu juga dapat digunakan untuk pencucian benih sehingga benih terbebas dari patogen yang menghambat perkecambahan benih. Untuk mempertahankan daya perkecambahan yang tinggi, biji yang kurang baik kualitasnya biasanya direndam dalam air (Elevitch dan Manner, 2006).
Permulaan fase perkecambahan ini ditandai dengan penghisapan air atau imbibisi. Imbibisi adalah peristiwa penyerapan air oleh permukaan zat-zat yang hidrofilik, yang menyebabkan zat tersebut mengembang setelah menyerap air. Kata imbibisi berasal dari kata Latin imbibere yang berarti “menyelundup”. Proses imbibisi yang terjadi pada biji berguna untuk melunakkan kulit biji dan menyebabkan pengembangan embrio dan endosperma. Hal ini menyebabkan pecah atau robeknya kulit biji. Selain itu, air memberikan fasilitas untuk masuknya oksigen ke dalam biji. Dinding sel yang kering hampir tidak permeabel untuk gas, tetapi apabila dinding sel mengalami imbibisi, maka gas akan masuk ke dalam sel secara difusi. Apabila dinding sel kulit biji dan embrio menyerap air, maka suplai oksigen meningkat kepada sel-sel hidup sehingga memungkinkan lebih aktifnya pernafasan. Sehingga di dalam proses imbibisi ditimbulkan panas. Sebaliknya CO2 yang dihasilkan oleh pernapasan tersebut lebih mudah keluar secara difusi. Peristiwa imbibisi pada hakekatnya tidak lain adalah suatu proses difusi. Sel-sel biji kering mempunyai nilai osmosis tinggi, sehingga molekul-molekul air berdifusi ke dalam sel biji kering. Peristiwa imbibisi juga hekekatnya adalah peristiwa osmosis. Dinding sel-sel kulit biji kering adalah permeabel untuk molekul-molekul air. Sehingga molekul air dengan mudahnya melewati pori yang ada pada dinding sel tersebut (Advinda, 2018).
Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang telah didapatkan, semakin lama perendaman pada biji timun (Cucumis sativus) maka semakin cepat pula perkecambahan bijinya.
1. LAPORAN PRAKTIKUM
TEKNOLOGI DAN PRODUKSI BENIH
ACARA IV
PERKECAMBAHAN PADA LINGKUNGAN SUB-OPTIMAL
Oleh:
Alfian Nopara Saifudin
NIM A1D015033
Rombongan 2
PJ asisten: Farichatul Mufaroh
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2017
2. 110
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keadaan lingkungan di lapangan sangat penting untuk menentukan kekuatan
tumbuh suatu benih, pada keadaan lingkungan di lapangan sangat nyata dan
perbedaan-perbedan kekuatan tumbuh benih dapat terlihat nyata dalam keadaan
lingkungan yang kurang menguntungkan. Kecepataan tumbuh benih dapat
dijadikan petunjuk dari perbedaan kekuatan tumbuh. Salah satu contoh kondisi
lingkungan yang kurang menguntungkan adalah adanya tanah salin. Tanah salin
merupakan tanah yang mempunyai kandungan garam NaCl yang cukup tinggi.
Kandungan garam yang tinggi dapat berpengaruh pada penyerapan air yang
dilakukan oleh biji. Bila tanah terlalu Salin dan NaCl yang diserap terlalu banyak
maka akan menghambat proses metabolisme dalam benih.
Benih dapat berkecambah pada lingkungan yang optimum. Lingkungan
yang optimum saat ini sudah jarang ditemukan di lapang. Sedangkan
pertumbuhan penduduk yang semakin pesat mengharuskan pembuatan tanaman
untuk mencukupi kebutuhan pangan masyarakat tersebut. Peningkatan jumlah
penduduk mengharuskan lahan yang seharusnya untuk pertanian dialihfungsikan
menjadi areal perumahan yang mengakibatkan lahan pertanian berada pada
keadaan yang tidak begitu cocok untuk perkecambahan benih tanaman.
Kandungan garam yang cukup tinggi pada suatu media akan menghambat
perkecambahan benih. Hal tersebut berkaitan dengan penyerapan air yang sangat
dibutuhkan dalam perkecambahan. Tanpa adanya air maka perkecambahan tidak
3. 111
dapat berjalan secara optimal, karena air merupakan pelarut dan pereaksi untuk
proses perkecambahan.
B. Tujuan
Mempelajari pengaruh garam pada medium terhadap perkecambahan dan
serapan air oleh benih.
4. 112
II. TINJAUAN PUSTAKA
Terdapat bermacam-macam metode uji perkecambahan benih, setiap metode
memiliki kekhususan tersendiri sehubungan dengan jenis benih diuji, jenis alat
perkecambahan yang digunakan, dan jenis parameter viabilitas benih dinilai.
Berdasarkan substratnya, metode uji perkecambahan benih dapat digolongkan
kedalam menggunakan kertas, pasir dan tanah. Kondisi lingkungan
perkecambahan pada semua metode ini adalah optimum (Sutopo, 1998).
Lingkungan benih yang suboptimum, yang berada di sekitar benih akan
mempengaruhi proses-proses dalam benih. Karena benih tersebut walaupun
belum ditanam tetap melakukan proses-proses metabolisme sehingga oksigen
yang tersedia, suhu dan kelembaban relatif mempengaruhinya. Rusd (2011)
menambahkan bahwa lingkungan yang suboptimum yang diberikan kepada benih
merupakan cara stimulasi lingkungan yang dapat menyebabkan kemunduran
benih.
Salah satu kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan atau
suboptimum adalah adanya tanah salin. Tanah salin merupakan tanah yang
mempunyai kandungan garam NaCl yang cukup tinggi. Tanah dengan kandungan
garam yang tinggi dibedakan dalam tanah salin, tanah sodik dan tanah salin-sodik.
Kandungan garam yang tinggi dapat berpengaruh pada penyerapan air yang
dilakukan oleh benih. Bila tanah terlalu salin dan NaCl yang diserap terlalu
banyak maka akan menghambat proses metabolisme dalam benih. Konsentrasi
NaCl yang terlalu pekat maka akan menyebabkan cairan dalam benih akan keluar
5. 113
sehingga dapat merusak benih sehingga benih tidak dapat berkecambah dengan
baik (Sadjad, 1999).
Garam-garam atau Na+ yang dapat dipertukarkan akan mempengaruhi sifat-
sifat tanah jika terdapat dalam keadaan yang berlebihan dalam tanah. Kekurangan
khususnya dalam unsur Na+ dan Cl- dapat menekan pertumbuhan dan
mengurangi produksi. Peningkatan konsentrasi garam terlarut di dalam tanah akan
meningkatkan tekanan osmotik sehingga menghambat penyerapan air dan unsur-
unsur hara yang berlangsung melalui proses osmosis. Jumlah air yang masuk ke
dalam akar akan berkurang sehingga mengakibatkan menipisnya jumlah
persediaan air dalam tanaman (Follet et al., 1981 dalam Sadjad, 1999). Dalam
proses fisiologi tanaman, Na+ diduga dapat mempengaruhi pengikatan air oleh
tanaman sehingga menyebabkan tanaman tahan terhadap kekeringan. Sedangkan
Cl- diperlukan pada reaksi fotosintetik yang berkaitan dengan produksi oksigen.
Sementara penyerapan Na+ oleh partikel-partikel tanah akan mengakibatkan
pembengkakan dan penutupan pori-pori tanah yang memperburuk pertukaran gas,
serta dispersi material koloid tanah.
6. 114
III. METODE PRAKTIKUM
A. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah benih padi (20 benih per petridish), Garam
NaCl, Aquades, Petridish, Kertas Merang. Alat yang digunakan pinset, Gunting,
sprayer, gelas beaker, pengaduk.
B. Prosedur Kerja
1. Disiapkan larutan garam dengan konsentrasi 0 ppm, 2500 ppm dan 5.000 ppm.
2. Disiapkan petridish dengan diberi alas kertas merang rangkap 5.
3. Dikecambahkan sesuai dengan perlakuan yang ditentukan
4. Pengamatan:
Dilakukan penyemprotan secara merata pada benih padi sesuai dengan
perlakuan yang ditentukan (jangan sampai tergenang)
Untuk perkecambahan diamati 2 hari sekali selama 8 hari
Dihitung persentase perkecambahan dan dibandingkan dengan setiap
perlakuan.
% Perkecambahan =
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑏𝑒𝑛𝑖ℎ 𝑏𝑒𝑟𝑘𝑒𝑐𝑎𝑚𝑏𝑎ℎ
𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑏𝑒𝑛𝑖ℎ 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑘𝑒𝑐𝑎𝑚𝑏𝑎ℎ𝑘𝑎𝑛
𝑥100%
7. 115
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Tabel 4.1. Perlakuan Perkecambahan Pada Lingkungan Suboptimal (Salin)
Perlakuan
Hari ke-
2 4 6 8 10
0 ppm 0 8 3 0 2
2500 ppm 0 1 12 2 1
5000 ppm 0 0 4 4 0
Perhitungan =
Total benih yang berkecambah
total benih yang dikecambahkan
x 100%
0 ppm =
13
20
x 100% = 65%
2500 ppm =
16
20
x 100% = 80%
5000 ppm =
8
20
x 100% = 40%
Kesimpulan : Persentase perkecambahan pada perlakuan 0 ppm, 2500 ppm, dan
5000 ppm masing-masing diperoleh 65% , 80% , dan 40%.
8. 116
B. Pembahasan
Lingkungan suboptimal adalah suatu lingkungan/lahan tanaman tumbuh
pada kondisi lingkungan cuaca yang bervariasi dan berbagai lahan. Lingkungan
merupakan salah satu syarat penting bagi perkecambahan seperti air, temperatur
yang tidak membatasi, dan udara yang cocok diperlukan bagi perkecambahan biji
yang tidak mengalami masa dormansi, atau sesudah biji matang. Umumnya,
kondisi yang baik bagi pertumbuhan semai, juga baik untuk perkecambahan. Biji
pada spesies yang berbeda, mempunyai perbedaan genetis dan lingkungan yang
dapat menentukan dormansi. Perkecambahan tidak tidak dapat berlangsung
hingga hilangnya masa dormansi melalui pengaruh lingkungan tertentu dalam
waktu cukup lama (Kuswanto, 1997).
Lahan suboptimal merupakan lahan dengan tanah yang memiliki sifat – sifat
fisika, kimia, dan biologi yang tidak optimal atau kesuburan yang rendah untuk
pertumbuhan tanaman. Lahan suboptimal meliputi lahan kering, lahan kering
masam, lahan dibawah tegakan, lahan rawa, lahan pasang surut, dan lahan salin
(Kriswantoro, 2012).
Kondisi sub optimal adalah kondisi yang meliputi keadaan salin, cekaman
kekeringan. Salah satu faktor penghambat yang mempengaruhi perkecambahan
adalah kondisi lingkungan yang sub optimal, dimana terdapat larutan yang
memiliki tingkat osmotik yang tinggi seperti larutan manitol dan larutan NaCl.
Apabila kadar air benih belum mencapai titik kritisnya maka benih tidak akan
berkecambah, sebab air yang berperan untuk merangsang bekerjanya enzim-enzim
9. 117
yang berfungsi dalam metabolisme yang nantinya akan menghasilkan energi bagi
perkecambahan akan terhambat (Sutopo, 1994).
Lakitan (2013) menyatakan bahwa lahan suboptimal di Indonesia yang luas
hamparannya adalah yaitu :
1. Lahan kering masam, dengan kendala utama miskin hara, masam, dan kurang
air.
2. Lahan kering pada wilayah iklim kering, dengan kesulitan utamanya adalah
menyediakan air yang cukup untuk budidaya tanaman, selain itu sering juga
tanahnya berbatu dengan lapisan topsoil yang tipis.
3. Lahan rawa pasang surut, dengan masalah utama kesulitan dalam mengatur tata
airnya, keberadaan lapisan pirit, lapisan gambut tebal, dan intrusi air laut.
4. Lahan rawa lebak, dengan kendala kesulitan dalam memprediksi dan mengatur
tinggi genangan dan kemasaman tanah.
Lahan marginal atau lahan sub optimum dapat diartikan sebagai lahan yang
memiliki mutu rendah karena memiliki beberapa faktor pembatas jika digunakan
untuk suatu keperluan tertentu. Sebenarnya faktor pembatas tersebut dapat diatasi
dengan masukan, atau biaya yang harus dibelanjakan. Tanpa masukan yang
berarti budidaya di lahan marginal tidak akan memberikan keuntungan
(Notohadiprawiro, 2006). Terdapat beberapa lahan yang termasuk kedalam lahan
sub optimal, diantaranya yaitu :
1. Lahan Pasang Surut
Lahan pasang surut merupakan lahan marginal karena kesuburan
tanahnya rendah dan kemasaman tanah dan air tinggi sehingga tidak
10. 118
menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman. Lahan pasang surut adalah
daratan rendah yang terendam air tawar yang berada di pantai dan dekat
pantai sehingga terpengaruh pasang surut air laut(Widjaja, 1997).
2. Lahan Sulfat Masam
Lahan sulfat masam merupakan salah satu jenis lahan yang terdapat
di kawasan lingkungan rawa dan tergolong ke dalam lahan bermasalah
karena tanahnya memiliki sifat dakhil (internal) yang tidak
menguntungkan dengan tingkat kesuburan yang rendah. Ciri khas tanah
sulfat masam adalah adanya bahan sulfidik yang banyak mengandung pirit
(Rahim, 2003).
3. Lahan Gambut
Lahan gambut adalah salah satu jenis lahan marjinal yang dipilih,
terutama oleh perkebunan besar, karena relatif lebih jarang penduduknya
sehingga kemungkinan konflik tata guna lahan relatif kecil.Lahan gambut
adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organik (C-organik
> 18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik penyusun tanah
gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk sempurna
karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara. Oleh karenanya
lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa belakang (back swamp)
atau daerah cekungan yang drainasenya buruk (Hardjowigeno, 1986).
4. Lahan Pasir Pantai
Lahan Pasir pantai merupakan tanah yang mengandung lempung,
debu dan zat hara yang sangat minim. Akibatnya, tanah pasir mudah
11. 119
mengalirkan air, sekitar 150 cm per jam. Sebaliknya, kemampuan tanah
pasir menyimpan air sangat rendah,1,6-3% darI total air yang tersedia
(Artoyo, 2005).
Menurut Chapman (1975), Penyebab tanah salin adalah tanah tersebut
mempunyai bahan induk yang mengandung deposit garam, intrusi air laut,
akumulasi garam dari irigasi yang digunakan atau gerakan air tanah yang
direklamasi dari dasar laut, dan laju evapotranspirasi yang tinggi dengan curah
hujan rendah sehingga mineral tidak tercuci sepenuhnya Pemanfaatan tanah salin
menjadi areal pertanian banyak mengalami hambatan. Tanah salin adalah tanah
yang mengandung garam mudah larut yang jumlahnya cukup besar bagi
pertumbuhan kebanyakan tanaman seperti klorida atau sulfat. Kemasaman (pH)
tanah salin sekitar 8,5 dan pertukaran kation kurang dari 15%. Masalah salinitas
timbul apabila konsentrasi garam NaCl, Na2CO3, Na2SO4 terdapat dalam tanah
dalam jumlah yang berlebih.
Cekaman salinitas menyebabkan penyerapan hara dan pengambilan air
terhalang sehingga menyebabkan pertumbuhan abnormal dan terjadi penurunan
hasil. Salinitas menyebabkan akar tanaman yang tumbuh pada medium salin
menjadi lebih kecil dan sedikit percabangannya. Salinitas tanah atau air dan
kekeringan semakin mendapat perhatian dalam pertanian, karena menyebabkan
kondisi tercekam pada tanaman. Salinitas pada umumnya bersumber pada air dan
tanah. Salinitas berhubungan dengan kadar garam di daerah pesisir dengan
masalah utama konsentrasi garam tinggi karena sering tergenangnya oleh air laut,
iklim kering dengan curah hujan rendah. Adanya garam-garam terutama kalsium,
12. 120
magnesium, dan natrium karbonat menyebabkan ion hidroksi dijumpai dalam
jumlah banyak dalam larutan tanah. Salinitas menyebabkan tanaman mengalami
stress garam (Arsyad, 2008). Menurut Patty (2013), salinitas berpengaruh
terhadap penurunan persentase perkecambahan, berat segar dan kering tunas dan
akar, serta menghambat penyerapan berbagai nutrisi pada benih gandum (Triticum
aestivim). Kondisi lingkungan salin menyebabkan penurunan persentasi
perkecambahan, rata-rata panjang akar, dan bobot segar kecambah pada benih bit.
Menurut Sujana (1991) luas tanah salin yang ada di Indonesia diperkirakan
mencapai 39,4 juta hektar, tanah salin merupakan tanah dengan konsentrasi
mineral garam yang tinggi.
Sistem angin muson yang terjadi di wilayah Indonesia dapat berpengaruh
terhadap sebaran salinitas perairan, baik secara vertikal maupun secara horisontal.
Secara horisontal berhubungan dengan arus yang membawa massa air, sedangkan
sebaran secara vertikal umumnya disebabkan oleh tiupan angin yang
mengakibatkan terjadinya gerakan air secara vertikal. Menurut Wyrtki (1961),
sistem angin muson menyebabkan terjadinya musim hujan dan panas yang
akhirnya berdampak terhadap variasi tahunan salinitas perairan. Perubahan musim
tersebut selanjutnya mengakibatkan terjadinya perubahan sirkulasi massa air yang
bersalinitas tinggi dengan massa air bersalinitas rendah. Interaksi antara sistem
angin muson dengan faktor-faktor yang lain, seperti run-off dari sungai, hujan,
evaporasi, dan sirkulasi massa air dapat mengakibatkan distribusi salinitas
menjadi sangat bervariasi. Pengaruh sistem angin muson terhadap sebaran
salinitas pada beberapa bagian dari perairan Indonesia telah dikemukakan oleh
13. 121
Wyrtki (1961). Pada Musim Timur terjadi penaikan massa air lapisan dalam
(upwelling) yang bersalinitas tinggi ke permukaan di Laut Banda bagian timur
dan menpengaruhi sebaran salinitas perairan. Selain itu juga di pengaruhi oleh
arus yang membawa massa air yang bersalinitas tinggi dari Lautan Pasifik yang
masuk melalui Laut Halmahera dan Selat Torres. Di Laut Flores, salinitas perairan
rendah pada Musim Barat sebagai akibat dari pengaruh masuknya massa air Laut
Jawa, sedangkan pada Musim Timur, tingginya salinitas dari Laut Banda yang
masuk ke Laut Flores mengakibatkan meningkatnya salinitas Laut Flores. Laut
Jawa memiliki massa air dengan salinitas rendah yang diakibatkan oleh adanya
run-off dari sungai-sungai besar di P. Sumatra, P. Kalimantan, dan P. Jawa.
Pembuatan larutan salinitas ada banyak cara, tetapi cara yang paling mudah
adalah menambah unsur garam pada air, yang kemudian dihomogenkan menjadi
satu. Contohnya pada praktikum, misalnya kita mau membuat larutan 5000 ppm.
ppm adalah part per milion , jadi ada 5000 part (mili gram) garam dalam 1 me
(mili equivalen) air, kemudian di konfersikan, 5000 mili gram = 5 gram, 1 me air
= 1 liter air, karena berat jenis air = 1. Jadi, untuk membuat larutan salin sebanyak
5000 ppm adalah dengan menyampurkan garam sebanyak 5 gram kedalam 1 liter
air. Pada pembuatan larutan NaCl, disiapkan NaCl teknis sebanyak 2,5 gram
untuk perlakuan 2500 ppm dan 5 gram untuk perlakuan 5000 ppm. Kemudian 2,5
gram garam dilarutan dengan aquades kemudian diaduk (untuk perlakuan 2500
ppm). Dilakukan langkah yang sama untuk pembuatan larutan garam 5000 ppm.
Sedangkan pada larutan 0 ppm artinya tidak ada kandungan garam yang terjadi
hanya ada larutan aquades saja (normal). (Bybordi, 2009).
14. 122
Proses fisiologi tanaman, Na+ diduga dapat mempengaruhi pengikatan air
oleh tanaman sehingga menyebabkan tanaman tahan terhadap kekeringan.
Sedangkan Cl- diperlukan pada reaksi fotosintetik yang berkaitan dengan
produksi oksigen. Sementara penyerapan Na+ oleh partikel-partikel tanah akan
mengakibatkan pembengkakan dan penutupan pori-pori tanah yang memperburuk
pertukaran gas, serta dispersi material koloid tanah. Kadar garam yang tinggi pada
tanah menyebabkan tergganggunya pertumbuhan, produktivitas tanaman dan
fungsi-fungsi fisiologis tanaman secara normal, terutama pada jenis-jenis tanaman
pertanian. Salinitas tanah menekan proses pertumbuhan tanaman dengan efek
yang menghambat pembesaran dan pembelahan sel, produksi protein, serta
penambahan biomassa tanaman. Tanaman yang mengalami stres garam umumnya
tidak menunjukkan respon dalam bentuk kerusakan langsung tetapi dalam bentuk
pertumbuhan tanaman yang tertekan dan perubahan secara perlahan (Sipayung,
2003).
Untuk membuat larutan salin sebanyak 1 liter dengan konsentrasi misalnya
2500 ppm, yaitu:
2500
1.000 .000
= 2,5 × 10−3
gr/ml
2,5 × 10−3
gr/ml x 1000 ml = 2,5 gr
Jadi, untuk membuat konsentrasi 2500 ppm dalam 1 liter air dibutuhkan garam
seberat 2,5 gr. Sama seperti pembuatan larutan salin 2500 ppm, konsentrasi 5000
ppm juga dapat dihitung dengan perhitungan yang sama :
5000
1.000 .000
= 5 × 10−3
gr/ml
5 × 10−3
gr/ml x 1000 ml = 5 gr
15. 123
Jadi, untuk membuat konsentrasi 5000 ppm dalam 1 liter air dibutuhkan garam
seberat 5 gr (Pudjihartati, 2007).
Tanaman akan melakukan respon yang berbeda dalam menghadapi
cekaman-cekaman yang terjadi di daerah pertumbuhannya. Tidak semua tanaman
memiliki ketahanan yang cukup untuk bertahan hidup lebih lama di daerah
cekaman tersebut. Ada kalanya tanaman yang hidup di daerah salinitasnya tinggi
dapat bertahan sampai lama dan ada pula yang akan mati bila terlalu lama.
Terdapat 2 cara ketahanan tanaman dalam menghadapi cekaman, yaitu: dengan
mekanisme morfologi, pada mekanismme ini tanaman akan merubah bentuk
tubuhnya untuk beradaptasi pada lingkungan tersebut seperti daun akan mengecil,
batang memendek, jumlah stomatapun akan lebih sedikit dan lain - lain. Cara
yang kedua adalah dengan mekanisme fisiologi yang mana tanaman akan
menyesuaikan proses – proses fisiologi yang dilakukan dengan keadaan
lingkungannya, seperti dalam melakukan respirasi, transport membrane dan lain –
lain.
Bentuk adaptasi morfologi dan anatomi yang dapat diturunkan dan bersifat
unik dapat ditemukan pada jenis halofita yang mengalami evolusi melalui seleksi
alam pada kawasan huta pantai dan rawa-rawa asin. Perubahan struktur meliputi
ukuran daun yang lebih kecil, stomata yang lebih kecil per satuan luas daun,
peningkatan sukulensi, penebalan kutikula dan lapisan lilin pada permukaan daun,
serta lignifikasi akar yang lebih awal (Sipayung, 2003). Bentuk adaptasi dengan
mekanisme fisiologi terdapat Tanaman yang toleran terhadap salinitas dapat
melakukan penyesuaian dengan menurunkan potensial osmose tanpa kehilangan
16. 124
turgor. Untuk memperoleh air dari tanah sekitarnya potensial air dalam cairan
xilem harus sangat diturunkan oleh tegangan. akumulasi sukrosa yang
berkontribusi pada penyesuaian osmotik dan merupakan respon terhadap salinitas
(Salisbury and Ross,1995).
Menurut Maas dan Nieman (1978), salinitas dapat menghambat
pertumbuhan tanaman dengan dua cara yaitu: 1.) merusak sel-sel yang sedang
tumbuh sehingga pertumbuhan tanaman terganggu, 2.) membatasi jumlah suplai
dari hasil-hasil metabolisme esensial bagi pertumbuhan sel melalui pembentukan
tyloses. Garam yang ada dalam biji akan menghambat perkecambahan biji, karena
dalam pekecambahan hal yang paling utama dan yang pertama adalah air yang
masuk ke dalam biji. Dengan adanya air ini proses perkecambahan selanjutnya
akan berlangsung. Semakin besarnya konsentrasi garam pada media
perkecambahan, berarti makin besar air yang hilang dari dalam biji, sehingga
vigor semakin menurun. Konsentrasi air yang rendah di luar biji (konsentrasi
larutan di luar biji dinaikkan), yaitu dengan menambahkan sejumlah NaCl ke
dalam larutan, maka air akan berkurang atau sama sekali tidak akan masuk ke
dalam biji. Jadi bretambah kecil konsentrasi air (bertambah tinggi konsentrasi
larutan) di luar biji, bertambah sedikit pula air yang masuk ke dalam biji yang
direndamkan ke dalam larutan tadi (Kamil, 1986).
Kecilnya air yang diserap dan daya kecambah suatu benih, dapat
diakibatkan tidak adanya penyerapan pada benih bahkan kemungkinan air dalam
benih keluar. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan penyerapan
air oleh biji yaitu berdasarkan peningkatan tekanan hidrostatik. Kecepatan
17. 125
penyerapan air adalah berbanding terbalik dengan jumlah air yang diserap terlebih
dahilu oleh benih. Jadi, kecepatan penyerapan pada permulaan tinggi dan
kemudian melambat sejalan dengan naiknya tekanan hidrostatik sampai tercapai
keseimbangan (Sutopo, 1994).
Tanaman yang tercekam cenderung membentuk gula dalam batang sebagai
bentuk adaptasi terhadap lingkungan. Hal ini tentu saja menguntungkan karena
sorgum sebagai bahan baku bioetanol yang memanfaatkan nira dalam batang akan
memiliki kandungan gula lebih tinggi pada lingkungan marginal. Kandungan gula
dalam batang juga meningkat seiring dengan pertumbuhan tanaman hingga panen.
Saat tanaman memasuki masa generatif maka tanaman akan lebih banyak
menyalurkan hasil fotosintesis dalam bentuk asimilat pada biji dan gula dalam
batang (Windarti, 2004).
Berdasarkan hasil praktikum dengan mengecambahkan benih padi diatas
kertas merang yang diletakkan pada 3 buah petridish. Dalam 1 petridish
diletakkan masing-masing kertas merang yang dibasahi oleh air steril 0 ppm,
larutan NaCl 2500 ppm, dan larutan NaCl 5000 ppm. Benih padi yang
dikecambahkan diamati selama 11 hari pertumbuhannya kemudian dihitung benih
yang berkecambah. Setelah 11 hari, data yang telah diperoleh lalu dihitung
prosentase perkecambahannya. Dari hasil pengamatan diperoleh persen
perkecambahan 0 ppm sebesar 65%, perlakuan 2500 ppm 80% dan perlakuan
5000 ppm 40%. Hasil persentase dari ketiga perlakuan teserbut menunjukkan
bahwa benih padi yang ditanam dalam kertas merang dan disiram dengan larutan
garam mengalami pertumbuhan yang tercekam dan lambat. Menurut Sadjad
18. 126
(1999), bila keadaan lingkungan tumbuh yang terlalu salin dan NaCl yang diserap
terlalu banyak oleh biji maka dapat menghambat proses aktivitas metabolisme.
Hal tersebut sejalan dengan literatur menurut Mugnisjah (1990), yang mengatakan
bahwa kondisi lingkungan yang sub optimum yang diberikan kepada benih
merupakan cara stimulasi lingkungan yang dapat menyebabkan kemunduran pada
benih yang berkecambah. Penurunan daya kecambah pada konsentrasi garam
yang lebih tinggi maka akan mengakibatkan air yang keluar dari biji semakin
banyak dan garam yang masuk kedalam biji semakin banyak.Hal tersebut
menunjukan pengaruh NaCl terhadap perkecambahan padi adalah negatif dimana
NaCl di sekitar benih padi menurut Salisbury (1974), bila tanah terlalu Salin dan
NaCl yang diserap terlalu banyak maka akan menghambat proses metabolisme
dalam benih.
19. 127
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Perlakuan kertas merang sebaagai media tanam padi dan pemberian garam
NaCl menghambat perkecambahan.
2. Semakin besar konsentrasi garam pada media perkecambahan maka air yang
hilang dari dalam biji semakin besar akibat menurunnya tekanan osmotik,
sehingga vigor semakin menurun.
3. Hasil pengamatan dan perhitungan yaitu perkecambahan dengan perlakuan 0
ppm benih berkecambah sebanyak 65%, 2500 ppm 80%, dan 5000 ppm
sebesar 40%
B. Saran
Sebaiknya praktikan mengikuti dan memperhatikan tiap proses yang terjadi
sehingga dapat memahami setiap perlakuan. Praktikan harus melakuan
pemeliharaan dan penyiraman sehingga variabel dapat diamati dengan jelas.
20. 128
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad. 2008. Penyelamatan Tanah, Air, dan Lingkungan. Crestpent press dan
Yayasan Obor Indonesia. Bogor.
Bybordi, A., and Tabatabaei, J. 2009. Effect of salinity stress on germination and
seedling properties in Canola cultivars (Brassica napus L.). Journal Hort.
Agrobot. Cluj. Vol. 37 No. 1 : 71-76.
Justice. 1990. Prinsip Praktek Penyimpanan Benih. Rajawali Press. Jakarta
Kamil. 1986. Teknologi Benih. Angkasa Raya. Padang
Kriswantoro, H. et.al. 2012. Uji adaptasi varietas kedelai di lahan kering
Kabupaten Musi Rawas Sumatera Selatan. Prosiding Simposium dan
Seminar Bersama PERAGI-PERHORTI-PERIPI-HIGI Mendukung
Kedaulatan Pangan dan Energi yang Berkelanjutan. Hal. 281-285
Kuswanto. 1997. Analisis Benih. Grasindo. Jakarta
Lakitan, B. dan Gofar, N. 2013. Kebijakan inovasi teknologi untuk pengelolaan
lahan sub optimal berkelanjuta. Prosiding Seminar Nasional Lahan
Suboptimal. Hal. –
Mugnisjah, W. Q. et.al. 1990. Panduan Praktikum dan Penelitian Bidang Ilmu
dan Teknologi Benih. Rajawali Press. Jakarta
Patty, I. S. 2013. Distribusi Suhu, Salinitas dan Oksigen Terlarut di perairan
Kema, Sulawesi Utara. Jurnal Ilmiah Platax. Vol. 1 No. 3 : 148-154
Pudji. 2007. Budidaya Sengon. Rineka Cipta. Jakarta
Rachmawati, D. 2000. Tanggapan Tanaman Sorgum terhadap Cekaman NaCl :
Pertumbuhan dan Osmoregulasi. Jurnal Biologi. Vol. 2 : 515-529
Sadjad, S. 1994. Kuantifikasi Metabolisme Benih. Grasindo. Jakarta
Salisbury. 1995. Dari Benih Kepada Benih. Gramedia. Jakarta
Sutopo. 2002. Teknologi Benih. Rajawali Pers. Jakarta
Syafruddin and Efendi. 2012. Effect of Provisioning Bacterial Isolates and NP
Fertilisation on Total Microorganism and Degradation Level of
21. 129
Contaminated Inceptisol Soil. Internasional Journal of Agricultural
Research. Vol. 7 No. 9 : 449-456
Windarti, S. et.al. 2004. Pertumbuhan dan akumulasi prolin stump Jati super
(Tectona grandis L.f.) pada cekaman NaCl selama masa pembibitan.
Jurnal Enviro. Vol 4 : 61-68