Dokumen tersebut membahas tentang pluralisme hukum perkawinan di Indonesia yaitu hukum perkawinan menurut hukum perdata, hukum Islam, dan hukum adat. Dokumen juga menjelaskan kodifikasi hukum perkawinan melalui Undang-Undang Perkawinan tahun 1974 beserta syarat, larangan, dan tujuan perkawinan menurut undang-undang tersebut.
2. PLURALISME HUKUM
PERKAWINAN
1. Hukum perkawinan menurut Hukum Perdata
Barat diperuntukkan bagi WNI Keturunan
Asing atau beragaman kristen
2. Hukum perkawinan menurut Hukum Islam,
diperuntukkan bagi WNI keturunan pribumi
yang beragama Islam
3. Hukum perkawinan menurut Hukum Adat
3. KODIFIKSI &UNIFIKASI
H.PERKAWINAN
Tanggal 2 Januari 1974 lahir Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
dengan lembaran negara 1974 nomor 1;
tambahan negara nomor 3019
Pada kenyataannya masih menampilkan
pluralisme, sehubungan dengan Pasal 2 dan
pasal 66
4. PERKAWINAN MENURUT HUKUM
PERDATA
Istilah perkawinan (huwelijk) digunakan dalam
dua arti :
Sebagai suatu perbuatan, yaitu perbuatan “
melangsungkan perkawinan” (P.104) “ setelah
perkawinan” (P.209 sub 3 BW) dengan bgt
perkawinan adalah suatu perbuatan hukum yang
dilakukan pada suatu saat tertentu.
Sebagai “suatu keadaan hukum “ yaitu keadaan
seorang pria dan seorang wanita terikat oleh
suatu hubungan perkawinan
5. PERKAWINAN MENURUT HUKUM
ISLAM
Ikatan lahir batin antara pria dan wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan untuk
membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa (Pasal 1 Undang-Undang No
1 Tahun 1974)
6. PERKAWINAN MENURUT HUKUM ADAT
Perkawinan bukan hanya peristiwa bagi mereka (suami isteri) tetapi
juga orang tua, saudara-saudara dan keluarga dari kedua belah pihak)
Perkawinan di Indonesia terbagi atas 3 kelompok :
1. Berdasarkan masyarakat kebapakan (patrilial)
2. Berdasarkan masyarakat keibuan (matrial)
3. Berdasarkan masyarakat keibubapaan
(parental)
8. SYARAT PERKAWINAN
1. Adanya persetujuan kedua calon mempelai
2. Adanya izin kedua orang tua/wali bagi calon mempelai yang
belum mencapai 21 tahun
3. Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan
usia 16 tahun untuk wanita
4. Antara calon mempelai pria dan wanita tidak dalam
hubungan darah
5. Tidak ada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain
6. Bagi suami isteri yang telah bercerai, lalu kawin lagi untuk
kedua kalinya, agama dan kepercayaan mereka tidak
melarang mereka kawin untuk ketiga kalinya.
7. Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai
wanita yang janda.
9. LARANGAN PERKAWINAN
(PASAL 12 UU NO 1 Tahun 1974)
1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun
keatas
2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, antara saudara,
antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan
saudara neneknya.
3. Berhubungan semenda, mertua, anak tiri, menantu dan ibu bapak tiri
4. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara
susuan, dan bibi/paman susuan.
5. Berhubungan dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri,
dalam hal isteri lebih dari seorang.
6. Mempunyai hubungan yang oleh agama dan peraturan lain dilarang
7. Masih terikat tali perkawinan dengan orang lain
8. Antara suami isteri yang telah cerai, kawin lagi satu dengan yang lain dan
bercerai untuk kedua kalinya, mereka tidak boleh melangsungkan
perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain
Editor's Notes
PASAL 2 : Sehubungan dengan pluaralisme dengan perbedaan agama dan kepercayaan
Pasal 66 ; Karena Undang-Undang perkawinan tidak secara tuntas mengatur materi perkawinan
Ketentuan perkawinan diatur dalam pasal 26-102 KUHPerdata
Pasal 26 KUHPerdata: Undang-undang memandang perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan keperdataan saja. Hal ini berimplikasi bahwa perkawinan sah apabila memenuhi persyaratan yang ditetap kan oleh KUHPerdata sementara persyaratan agama dikesampingkan.
Ikatan lahir batin
Dalam suatu perkawinan tidak hanya cukup dengan ikatan batin saja atau lahir saja melainkan kedua-duanya. Ikatan lahir merupakan ikatan yang dapat dilihat dan mengungkapkan hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami isteri ( hubungan formal). Sedangkan ikatan bathin merupakan hubungan yang non formal, suatu ikatan yang tidak tampak, tidak nyata, yang hanya dapat dirasakan oleh pihak-pihak yang mengikatkan dirinya. Ikatan bathin ini merupakan dasar ikatan lahir, sehingga dijadikan fondasi dalam membentuk dan membina keluarga yang kekal dan abadi.
Pria dan Wanita
Ikatan perkawinan hanya boleh terjadi antara seorang pria dan wanita. Dengan demikian Undang-Undang ini tidak melegalkan hubungan perkawinan antara pria dan pria, wanita dengan wanita, atau antara waria dengan waria. Selain itu mengandung asas perkawinan monogami.
Suami isteri
Persekutuan antara seorang pria dan wanita dipandang sebagai suami isteri, apabila ikatan mereka didasarkan kepada suautu perkawinan yang sah. Suatu perkawinan dianggap sah, apabila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang, baik syarat-syarat intern maupun eksteren. Syarat interen adalah syarat yang menyangkut pihak-pihak yang melakukan perkawinan, yaitu kesepakatan mereka, kecakapan dan juga adanya izin dari pihak lain yang harus diberikan untuk melangsungkan perkawinan. Sedangkan ekteren adalah syarat-syarat yang menyangkut formalita-formalita kelangsungan perkawinan.
Membentuk Keluarga (Rumah Tangga) yang bahagia kekal
Keluarga adalah satu kesatuan yang terdiri atas ayah, ibu, anak. Dan anak-anak yang merupakan sendi dasar susunan mayarakat Indonesia. Dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat, sangat penting artinya kesejahteraan dan kebahagiaan. Karena kebahagiaan masyarakat berwal dari keluarga-keluarga yang berbahagia. Sedangkan pemeliharaan dan pendidikan anak menjadi hak dan kewajiban orang tua. Untuk dapat mencapai hal ini, maka diharapkan kekekalan dalam perkawinan, sekali melakukan perkawinan, tidak akan bercerai untuk selama-lamanya, kecuali karena kematian.
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Berbeda dengan konsepsi perkawinan menurut KUHPerdata maupun Ordonansi Perkawinan Kristen Bumi Putera (huwelijks Ordonantie Cristen Inlanders) yang memandang perkawinan hanya sebagai hubungan keperdataan saja (lahiriah). Suatu konsekuensi logis dari negara berdasarkan pancasila terutama sila Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan erat dengan agama (kerohanian) , sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir (jasmani) akan tetapi unsur batin (rohani) juga mempunya peran penting.
Tujuan Perkawinan : untuk membentuk keluarga yangn bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Es. Ini berarti:
Berlangsuang seumur hidup
Cerai diperlukan syarat-syarat yang ketat dan merupakan jalan terakhir.
Suami isteri membantu untuk mengembangkan diri
Suatu keluarga dapat dikatakan bahagia apabila telah memenuhi 2 kebutuhan pokok
Kebutuhan Jasmaniah:
Papan
Sandang
Pangan
Kesehatan
Pendidikan
Kebutuhan Rohaniah :
Adanya seorang anak yang berasal dari darah daging mereka sendiri.
Kekal : perkawinan dilakukan bukan untuk sementara waktu, jangkwa waktu tertentu, yang direncanakan, akan tetapi semur hidup atau selama-lamanya. Dan tidak boleh diputus begitu saja.
Perkawinan adat berdasarkan masyarakat kebapakan
Perkawinannya disebut “kawin jujur” dimana laki-laki memberikan jujur (tapanuli selatan, kalimantan selatan) ujung, sinamot, pangoli, boli, tuhor (batak), beli (maluku) belis ( Timor) kepada calon isterinya. Dengan memberikan jujur ini isteri masuk dalam clan suaminya. Hal ini memberikan hak dan kewajiban suami untuk memlihara, mendidik dan memberi nafkah kepada mereka
Jujur memberi 3 segi:
yuridis: dimana dengan dibayar jujur maka berpindahlan hak dan kewajiban siwanita kepada klan suami
Sosial : untuk mempererat hubungan antara keluarga atau marga yang bersangkutan
Ekonomis: dimana dengan adanya jujur maka terbentuklah barang yanng dibawa oleh wanita dengan pemberian jujur tersebut.
Ini berarti bahwa perkawinan harus didasarkan pada agama dan kepercayaan masing-masing, karena itulah mk dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No 1 Tahun 1974.
“Perkawinan sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu.