Perjanjian perkawinan mengatur harta suami istri dan akibatnya jika perkawinan berakhir. Menurut KUHPerdata harus dibuat di hadapan notaris sebelum pernikahan, sedangkan UU Perkawinan cukup dihadapan pegawai catat nikah. Perjanjian hanya mengikat pihak ketiga jika terdaftar di pengadilan.
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptx
PerjanjianKawinEfekPihakKetiga
1. 1.Jelaskan apa yang saudara ketahui tentang Perjanjian kawin ?
Jawaban :
Perjanjian kawin ialah suatu perjanjian (persetujuan) yang dibuat oleh calon suami istri sebelum atau pada saat
perkawinan dilangsungkan, hal ini dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat dari perkawinan terhadap harta
kekayaan mereka.
Pada umumnya perjanjian kawin dibuat :
1.
Bilamana terdapat sejumlah kekayaan yang lebih besar pada salah satu pihak dari pada pihak lain.
2.
Kedua belah pihak masing-masing membawa masukan (inbreg) yang cukup besar.
3.
Masing-masing mempunyai usaha sendiri, apabila salah satu jatuh pailit yang lain tidak tersangkut.
4.
Atas hutang mereka yang dibuat sebelum kawin, masing-masing akan bertanggung jawab sendirisendiri.
Suatu perjanjian kawin saat ini, sangat diperlukan didalam kehidupan bermasyarakat, hal ini dikarenakan :
1.
Proses Individualistis Proses individualistis ialah proses kemandirian untuk membedakan harta yang
didapat oleh suami istri masing-masing.
2.
Proses Kapitalistik Proses kapitalistik ialah proses untuk mempertahankan harta suami istri dari
kepailitan/untung rugi.
3.
Proses Aktualisasi Proses aktualisasi ialah proses untuk mengemukakan keinginan dari pribadi masingmasing suami istri terhadap kelangsungan mengenai harta yang dia peroleh.
1.
Perjanjian Perkawinan Menurut Burgerlijk Wetboek / KUHPerdata
Perjanjian perkawinan diatur pada Bab VII KUH Perdata (BW) pasal 139 s/d 154. Dan secara garis besar
perjanjian perkawinan berlaku mengikat para pihak / mempelai apabila terjadi perkawinan.
Dengan mengadakan perjanjian perkawinan kedua calon suami isteri berhak menyiapkan dan menyampaikan
beberapa penyimpangan dari peraturan undang-undang sekitar persatuan harta kekayaan, asal perjanjian itu
tidak menyalahi tata susila yang baik dalam tata tertib umum dengan ketentuan antara lain :
1.
Tidak boleh mengurangi hak suami sebagai kepala keluarga.
2.
Tanpa persetujuan isteri, suami tidak boleh memindahtangankan barang-barang tak bergerak isteri.
3.
Dibuat dengan akta notaris sebelum perkawinan berlangsung dan berlaku sejak saat perkawinan
dilangsungkan.
4.
Tidak berlaku terhadap pihak ketiga sebelum didaftar di kepaniteraan Pengadilan Negeri di daerah
hukum berlangsungnya perkawinan itu atau jika perkawinan berlangsung di luar negeri maka di
kepaniteraan dimana akta perkawinan dibukukan / diregister.
2.
Perjanjian Perkawinan Menurut Undang – Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan diatur tentang perjanjian kawin pada Pasal 29.
1.
Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat
mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya
berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
2.
Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
2. 3.
Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.Selama perkawinan berlangsung
perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk
merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Isi perjanjian perkawinan
Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan, tidak menyebutkan secara spesifik hal-hal yang dapat diperjanjikan,
kecuali hanya menyatakan bahwa perjanjian tersebut tidak dapat disahkan jika melanggar batas-batas hukum
dan kesusilaan. Ini artinya, semua hal, asal tidak bertentangan dengan hukum dan kesusilaan dapat dituangkan
dalam perjanjian tersebut, misalnya tentang harta sebelum dan sesudah kawin atau setelah cerai, pemeliharaan
dan pengasuhan anak, tanggung jawab melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, pemakaian nama,
pembukaan rekening Bank, hubungan keluarga, warisan, larangan melakukan kekerasan, marginalisasi (hak
untuk bekerja), subordinasi (pembakuan peran).
3.
Akibat Akibat Putusnya Perkawinan menurut UU No.1/1974 dan menurut KUHPdt/BW
Salah satu penyebab putusnya hubungan perkawinan adalah karena perceraian. Akibat putusnya perkawinan
karena perceraian (terhadap anak/keturunannya):
1.
Ibu/bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan
kepentingan anak, bila mana ada perselisihan mengenai anak-anak pengadilan akan memutuskannya.
2.
Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anakanak, bila mana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan
dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
3.
Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau
menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri (Pasal 41 UU No.1/1974).Bagi Pegawai Negeri Sipil,
maka mengenai perceraian juga diatur dalam Surat Edaran No. 08/SE/1983 tentang Izin Perkawinan
dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.
4.
Perbandingan perjanjian perkawinan antara Burgerlijk Wetboek dan UU No 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan
perbedaannya terletak pada keabsahan perjanjian perkawinan tersebut, kalau menurut BW harus dilaksanakan
dihadapan notaris sedangkan menurut UU No. 1 Tahun 1974 cukup dihadapan Pegawai Pencatat Nikah.
Kemudian berlaku mengikat terhadap pihak ketiga jika sudah didaftarkan pada kepaniteraan Pengadilan Negeri
tempat dimana perkawinan dilangsungkan, demikian menurut BW, sedangkan menurut UU No. 1 Tahun 1974
berlaku mengikat terhadap pihak ketiga sepanjang termuat dalam klausula / diperjanjikan dalam perjanjian
perkawinan tersebut.
2. Apakah Perjanjian Kawain harus dibuat dengan Akta Notaris ?
Jawaban :
Perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaris sebelum perkawinan dilangsungkan (pasal 147 BW).
Konsekuensi tidak dibuatnya perjanjian perkawinan dengan akta notaris adalah batal (nieteg van rechtwege).
Hal ini berbeda dengan pengaturan yang ada dalam UU No 1/1974 yang tidak menyebutkan secara jelas apakah
perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaris ataukah cukup hanya di bawah tangan saja, yang
terpenting adalah mendapat pengesahan dari Pegawai Pencatat Perkawinan. Hal ini dilakukan selain sebagai
syarat keabsahan juga:
3. a)
untuk mencegah perbuatan yang tergesa-gesa, oleh karena akibat daripada perjanjian ini akan dipikul
untuk seumur hidup;
b) untuk adanya kepastian hukum;
c)
sebagai satu-satunya alat bukti yang sah;
d) untuk mencegah kemungkinan adanya penyelundupan bahwa perjanjian
perkawinan tidak dapat diubah selama perkawinan berlangsung dengan cara apapun juga. Selama perkawinan
belum dilangsungkan, perjanjian perkawinan ini masih dapat diubah. Perubahan ini harus juga dibuat dengan
akta notaris dan harus dilakukan sebelum perkawinan dilangsungkan. Perubahan tersebut dianggap sah jika
disepakati oleh calon suami istri dan juga harus mendapat izin dari orang-orang yang dahulu ikut serta sebagai
pihak dalam mewujudkan perjanjian perkawinan misalnya orang yang telah menghibahkan/memberi hadiah
pada calon suami atau istri. BW tidak menentukan jangka waktu dibuatnya perjanjian perkawinan sampai
perkawinan dilangsungkan. Calon suami isteri yang melangsungkan perkawinan setelah bertahun-tahun
membuat perjanjian, tidak akan mengakibatkan batalnya perjanjian perkawinan yang dibuatnya. Namun,
perjanjian perkawinan akan gugur (tidak berlaku) bila calon suami isteri yang bersangkutan tidak jadi
melangsungkan perkawinan.
3.Dapatkan Perjanjian Kawin dibuat setelah Perkawinan ?
Jawaban :
Perjanjian perkawinan harus dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan (pasal 147 BW). Apabila perjanjian
perkawinan dibuat setelah perjanjian perkawinan, maka akibat hukumnya perjanjian tersebut batal (nieteg van
rechtwege).
Menilik Pasal 147 KUHPerdata dan Pasal 20 UUP telah menegaskan bahwa Perjanjian Perkawinan hanya dapat
dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan atau dengan kata lain tidak diperbolehkan membuat Perjanjian
Perkawinan setelah perkawinan dilangsungkan. Jika kejadian seperti itu datang kepada kita sebagi Notaris,
sudah
pasti
kita
akan
menolak
dengan
alasan
berdasarkan
kedua
pasal
tersebut
di
atas.
Dengan tetap berpegang kepada substansi kedua pasal tersebut, sampai kapanpun, kita akan tetap menolaknya,
tapi dilain sisi dapatkah Notaris membuat terobosan bahwa Perjanjian Perkawinan dapat dibuat setelah
perkawinan berlangsung ?.Hal tersebut terkait dengan fungsi Notaris di era sekarang ini, yang bukan hanya
mencatat dan membuat akta dari para pihak saja, tapi juga setidaknya dapat member ikanjalan keluar ataupun
"penemuan hukum" atas suatu permasalahan hukum melakukan "ijtihad" atau bisa juga Notaris harus menjadi
agen perubahan dalam bidang hukum (change agent of law). Oleh karena itu, meskipun kedua pasal tersebut
melarangnya, tapi untuk mengikuti perkembangan yang ada, maka dapat saja kita membuat Perjanjian
Perkawinan bagi/untuk mereka yang telah melangsungkan perkawinan sesuai dengan Pasal 2 ayat (1 dan 2)
UUP. Hal itu dapat dilakukan setelah para pihak (suami-isteri) terlebih dahulu mengajukan permohonan ke
pengadilan negeri setempat agar diizinkan untuk membuat Perjanjian Perkawinan, setelah izin tersebut diperoleh
kemudian harus diumumkan pada surat kabar yang beredar secara nasional minimal selama 1 (satu) minggu
secara berturut-turut, dan j ika tidak ada klaim dari pihak ketiga, maka dengan bukti-bukti tersebut para pihak
dapat datang ke Notaris untuk membuat Perjanjian Perkawinan. Kemudian akta Perjanjian Perkawinan tersebut
dicatatkan di instansi yang bersangkutan.
4. 4.
Jelaskan akibat adanya perjanjian perkawinan terhadap pihak ketiga ?
Jawaban :
Berbeda dengan akibat hukum bagi suami istri yang membuat Perjanjian Perkawinan jika tidak didaftarkan,
pada pihak ketiga apabila Perjanjian Perkawinan tidak di sahkan atau didaftarkan kepada pegawai pencatat
perkawinan maka dengan sendirinya Perjanjian Perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat
terhadap pihak ketiga. sebelumnya tentang persyaratan Sebuah Perjanjian Perkawinan Dapat Mengikat
Terhadap Pihak Ketiga, dan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang nomor 1 tahun
1974 tentang Perkawinan yang berbunyi : pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah
pihak atas perjanjian bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat
Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) saat berlakunya perjanjian perkawinan diatur dalam Pasal 50 yang berbunyi:
perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga, terhitung mulai tanggal
dilangsungkannya perkawinan di hadapan pegawai pencatat nikah.
Menurut ketentuan Pasal 147 ayat (1) dan ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian
perkawinan dibuat oleh calon suami istri sebelum perkawinan dilangsungkan namun perjanjian perkawinan
mulai berlaku setelah perkawinan berlangsung. Perjanjian perkawinan yang telah dibuat tidak akan berlaku
apabila tidak diikuti dengan perkawinan. Hal ini dapat dipahami karena perjanjian perkawinan merupakan
perjanjian yang mengatur mengenai harta kekayaan perkawinan. Harta perkawinan terbentuk sejak suatu
perkawinan dilangsungkan, dan apabila perkawinan tidak
dilangsungkan, maka tidak ada harta kekayaan
perkawinan yang terbentuk sehingga tidak ada yang diatur oleh perjanjian perkawinan yang telah dibuat. Pada
umumnya, perjanjian hanya berlaku antara para pihak yang membuat perjanjian tersebut tanpa dapat
menimbulkan kerugian maupun manfaat bagi pihak ketiga (Pasal 1340 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
Namun ternyata perjanjian perkawinan dapat juga berlaku bagi pihak ketiga. Berlakunya perjanjian perkawinan
bagi pihak ketiga diatur dalam Pasal 152 Kitab Undang-undang Hukum Perdatayang berbunyi :”ketentuan yang
tercantum dalam perjanjian perkawinan, yang mengandung penyimpangan dari persatuan menurut Undangundang seluruhnya atau untuk sebagian, tidak akan berlaku terhadap pihak ketiga, sebelum hari ketentuanketentuan itu dibukukan dalam suatu register umum, yang harus diselenggarakan untuk itu di Kepaniteraan pada
Pengadilan Negeri, yang mana dalam daerah hukumnya perkawinan itu telah dilangsungkan, atau, jika
perkawinan berlangsung di luar negeri, di Kepaniteraan dimana akta perkawinan dibukukannya.“ Dari ketentuan
di atas dapat diketahui bahwa suatu perjanjian perkawinan dapat juga berlaku bagi pihak ketiga, setelah
perjanjian perkawinan tersebut didaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri. Jadi berdasarkan ketentuan Pasal
147 ayat (2) juncto Pasal 152 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dapat disimpulkan bahwa sejak perkawinan
dilangsungkan perjanjian perkawinan hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya yaitu pasangan suami
istri, sedangkan perjanjian perkawinan baru berlaku terhadap pihak ketiga sejak didaftarkan di Kepaniteraan
Pengadilan Negeri.
Akibat hukum apabila perjanjian perkawinan tidak didaftarkan pada pegawai pencatatan perkawinan untuk
suami-istri tetap mempunyai akibat hukum bagi kedua belah pihak, karena perjanjian tersebut tetap mengikat
kepada kedua belah pihak, sedangkan untuk pihak ketiga, apabila perjanjian perkawinan tidak didaftarkan maka
akibat hukumnya perjanjian perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat terhadap
pihak ketiga.
5. 5.
Bagaimana kekuatan hukum perjanjian perkawinan yang tidak didaftarkan ke pengadilan
negeri ?
Jawaban:
Tentang akibat hukum, Seperti yang kita ketahui bahwa perjanjian pada umumnya menimbulkan akibat hukum
bagi pihak yang membuatnya, maupun terhadap pihak ketiga yang berkepentingan. Hal yang sama juga berlaku
terhadap perjanjian perkawinan. Sebagaimana telah diterangkan dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang nomor
1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi : pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua
belah pihak atas perjanjian bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat
Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. Dari
pasal tersebut terlihat bahwa untuk sahnya sebuah perjanjian perkawinan maka perjanjian tersebut harus
didaftarkan untuk minta disahkan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan. Dan jika tidak didaftarkan maka
dengan sendirinya akan mempunyai konsekwensi atau akibat hukumnya tersendiri. Akibat hukum apabila
perjanjian perkawinan tidak didaftarkan dapat dibagi menjadi dua yaitu :
1.
Akibat hukum bagi yang membuatnya
Jika kta cermati kata-kata yang terdapat dalam pasal 29 ayat (1) Undang-Undang nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan yang berbunyi : .......kedua belah pihak atas perjanjian bersama dapat mengadakan
perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan,...... Dari pasal tersebut terlihat
bahwa perjanjian perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan harus berbentuk tertulis. Dengan adanya ketentuan yang mnegharuskan perjanjian
perkawinan dalam bentuk tertulis maka perjanjian perkawinan yang dibuat mempunyai alat bukti yang
kuat, karena dibuat secara tertulis. Sedangkan untuk asas berlakunya, sesuai dengan Pasal 1338 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) yang berbunyi : semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Berdasarkan keterangan kedua pasal di atas maka untuk perjanjian perkawinan apabila tidak didaftarkan
maka tetap berlaku bagi kedua belah pihak yang membuat pejanjian perkawinan tersebut yaitu suami dan/atau
istri, karena dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tidak ada satu pasalpun yang
menyatakan bahwa perjanjian perkawinan baru berlaku jika telah didaftarkan atau disahkan. Sesuai dengan asas
lahirnya perjanjian yaitu asas konsensualismeyang mengatakan bahwa perjanjian lahir sejak saat tercapainya
kata sepakat antara para pihak, maka dengan sendirinya perjanjian perkawinan mengikat pihak yang
membuatnya saat keduanya sepakat tentang perjanjian perkawinan yang dibuat, baik di daftarkan maupun tidak.
Jadi baik didaftarkan maupun tidak, perjanjian perkawinan tetap yang telah dibuat mempunyai akibat hukum
yang tetap mengikat bagi suami-istri yang bersepakat membuatnya. Dengan akat lain kedua tetap
terikat dengan kesepakatan yang terdapat dalam Perjanjian Perkawinan tersebut.
2.
Akibat hukum terhadap pihak ketiga
Berbeda dengan akibat hukum bagi suami istri yang membuat Perjanjian Perkawinan jika tidak
didaftarkan, pada pihak ketiga apabila Perjanjian Perkawinan tidak di sahkan atau didaftarkan kepada
pegawai pencatat perkawinan maka dengan sendirinya Perjanjian Perkawinan tersebut tidak
mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga. tentang persyaratan Sebuah Perjanjian
Perkawinan Dapat Mengikat Terhadap Pihak Ketiga, dan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 29 ayat
6. (1) Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan yang berbunyi : pada waktu atau
sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas perjanjian bersama dapat mengadakan
perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga
terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. Hal yang sama juga ditegaskan dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada Pasal 50 disebutkan perjanjian perkawinan mengenai harta,
mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga, terhitung mulai tanggal dilangsungkannya perkawinan di
hadapan pegawai pencatat nikah.Maka dengan keadaan tersebut akibat hukumnya terhadap pihak
ketiga adalah pihak ketiga selama perjanjian perkawinan belum didaftarkan dapat saja menganggap
bahwa perkawinan berlangsung dengan persatuan harta perkawinan secara bersama. Sehingga apabila
terjadi persangkutan utang dengan suami dan/atau istri, penyelesaiannya dilakukan dengan melibatkan
harta bersama antara harta suami dan/atau harta istri, karena dengan tidak adanya perjanjian
perkawinan dengan sendirinya yang ada hanya harta bersama. Akan tetapi anggapan tidak tahunya
pihak ketiga tentang adanya perjanjian perkawinan hanya dapat diberikan kepada pihak ketiga yang
tidak mengetahui bahwa suami istri telah membuat perjanjian perkawinan namun belum
mendaftarkannya. Sedangkan pihak ketiga yang mengetahui bahwa suami istri telah membuat
perjanjian perkawinan namun perjanjian perkawinan tersebut belum di daftarkan, maka ia tidak boleh
menganggap bahwa perjanjian perkawinan itu tidak ada dan suami istri kawin dengan Jadi apabila
perjanjian perkawinan tidak di daftarkan maka untuk suami-istri tetap mengikat bagi kedua belah
pihak. Lain halnya jika menyangkut terhadap pihak ketiga, apabila perjanjian perkawinan tidak
didaftarkan maka akibat hukumnya perjanjian perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan
mengikat terhadap pihak ketiga.
Ketentuan mengenai perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(“UU Perkawinan”). Dalam Pasal 29 ayat (1) menyebutkan bahwa, jika perjanjian kawin ingin
mengikat/berlaku juga bagi pihak ketiga, maka harus di sahkan/dicatatkan ke Pegawai Pencatat Perkawinan,
sebelum perkawinan dilaksanakan.Terdapat dua poin penting dalam pasal ini.
1.
perjanjian kawin harus didaftarkan, untuk memenuhi unsur publisitas dari Perjanjian Kawin dimaksud.
Supaya pihak ketiga (di luar pasangan suami atau istri tersebut) mengetahui dan tunduk pada aturan
dalam perjanjian kawin yang telah dibuat oleh pasangan tersebut. Jika tidak didaftarkan, maka
perjanjian kawin hanya mengikat/berlaku bagi para pihak yang membuatnya, yakni suami dan istri
yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan pasal 1313, 1314 dan 1340 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (“KUHPer”), dimana perjanjian hanya mengikat bagi para pihak yang membuatnya.
2.
sejak UU Perkawinan tersebut berlaku, maka pendaftaran/pengesahan/pencatatan perjanjian kawin
tidak lagi dilakukan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri, untuk pasangan yang beragama
Islam.Pencatatannya dilakukanoleh KUA pada buku nikah mereka, sedangkan untuk yang nonmuslim,
pencatatan dilakukan oleh kantor catatan sipil setempat pada akta Nikah mereka.
6.
Bandingkan jenis pisah harta dalam perkawinan berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum
Perdata dan UU no 1 Tahun 1974 tentang perkawinan !
7. Jawaban :
1.
Perjanjian Perkawinan Menurut Burgerlijk Wetboek / KUHPerdata
Perjanjian perkawinan diatur pada Bab VII KUH Perdata (BW) pasal 139 s/d 154. Dan secara garis
besarperjanjian perkawinan berlaku mengikat para pihak / mempelai apabila terjadi perkawinan.Dengan
mengadakan perjanjian perkawinan kedua calon suami isteri berhak menyiapkan dan menyampaikan beberapa
penyimpangan dari peraturan undang-undang sekitar persatuan harta kekayaan, asal perjanjian itu tidak
menyalahi tata susila yang baik dalam tata tertib umum dengan ketentuan antara lain :
1.
Tidak boleh mengurangi hak suami sebagai kepala keluarga.
2.
Tanpa persetujuan isteri, suami tidak boleh memindahtangankan barang-barang tak bergerak isteri.
3.
Dibuat dengan akta notaris sebelum perkawinan berlangsung dan berlaku sejak saat perkawinan
dilangsungkan.
4.
Tidak berlaku terhadap pihak ketiga sebelum didaftar di kepaniteraan Pengadilan Negeri di daerah
hukum berlangsungnya perkawinan itu atau jika perkawinan berlangsung di luar negeri maka di
kepaniteraan dimana akta perkawinan dibukukan / diregister.
2.
Perjanjian Perkawinan Menurut Undang – Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan diatur tentang perjanjian kawin pada Pasal 29.
1.
Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat
mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya
berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
2.
Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
3.
Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada
persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Isi perjanjian perkawinan
Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan, tidak menyebutkan secara spesifik hal-hal yang dapat diperjanjikan,
kecuali hanya menyatakan bahwa perjanjian tersebut tidak dapat disahkan jika melanggar batas-batas hukum
dan kesusilaan. Ini artinya, semua hal, asal tidak bertentangan dengan hukum dan kesusilaan dapat dituangkan
dalam perjanjian tersebut, misalnya tentang harta sebelum dan sesudah kawin atau setelah cerai, pemeliharaan
dan pengasuhan anak, tanggung jawab melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, pemakaian nama,
pembukaan rekening Bank, hubungan keluarga, warisan, larangan melakukan kekerasan, marginalisasi (hak
untuk bekerja), subordinasi (pembakuan peran).
Sebelum berlakunya Undang-undang nomor: 1 Tahun 1974, Perjanjian Kawin diatur dalam pasal 119
BW/KUHPerdata. Dimana Kedua Undang-undang ini mempunyai pendekatan asas yang berbeda mengenai
harta dalam perkawinan. Menurut KUHPDT mengatur “azas percampuran bulat” sebagaimana dinyatakan
dalam pasal 119 KUHPDT, yang berarti bahwa kekayaan suami istri yang dibawanya ke dalam perkawinan itu
dicampur menjadi satu menjadi harta persatuan, harta kekayaan mereka bersama. Berdasarkan pasal 119 BW
dan pasal 29 UUP No.1 Tahun 1974 kedua asas itu bisa dilakukan penyimpangan, dengan membuat
8. PerjanjianKawin. Perjanjian Kawin harus dibuat dengan suatu akta notaris sebelum waktu dilangsungkannya
perkawinan, untuk kemudian didaftarkan ke Pengadilan negeri setempat. Ketentuan Pasal 139 KUHPDT
menyatakan bahwa:“ Para calon suami isteri dengan peranjian kawin dapat menyimpang dan peraturan undangundang mengenai harta bersama asalkan hal itu tidak bertentangan dengan tata susila yang baik atau dengan tata
tertib umum”Ketentuan Pasal 140 KUHPDT menyatakan bahwa: Perjanjian itu tidak boleh mengurangi hak-hak
yang bersumber pada kekuasaan si suami sebagai suami, dan pada kekuasaan sebagai bapak, tidak pula hak-hak
yang oleh undang-undang dibenikan kepada yang masih hidup paling lama.Demikian pula perjanjian itu tidak
boleh mengurangi hak-hak yang diperuntukkan bagi si suami sebagai kepala persatuan suami isteri; namun hal
tersebut tidak mengurangi wewenang isteri untuk mensyaratkañ bagi dirinya pengurusan harta kekayaan pribadi,
baik barang-barang bergerak maupun barang-barang tak bergerak di samping penikmatan penghasilannyapnbadi
secara bebas. Mereka juga berhak untuk membuat perjanjian, bahwa meskipun ada golongan harta bersama,
barang-barang tetap, surat-surat pendaftaran dalam buku besar pinjamanpinjaman negara, surat-surat berharga
lainnya dan piutang-piutang yang diperoleh atas nama isteri, atau yang selama perkawinan dan pihak isteri jatuh
ke dalam harta bersama, tidak boleh dipindahtangankan atau dibebani oleh suaminya tanpa persetujuan si
isteri.Adapun Syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan dalam pembuatan Perjanjian Kawin adalah:
PISAH HARTA Antara suami isteri tidak akan ada persekutuan harta benda dengan nama atau sebutan apapun
juga, baik per-sekutuan harta benda menurut hukum atau persekutuan untung dan rugi maupun persekutuan
hasil dan pendapatan. H A R T A Semua harta benda yang bersifat apapun yang dibawa oleh para pihak dalam
perkawinan, atau yang diperoleh-nya selama perkawinan karena pembelian, warisan, hibah dan atau dengan cara
apapun juga tetap menjadi milik dari para pihak yang membawa dan atau yang memper-olehnya.
BUKTI PEMILIKAN
1.
Barang-barang bergerak yang oleh para pihak didapat dari dan oleh sebab apapun juga sesudah
perkawinan dilang-sungkan, wajib dibuktikan dengan bukti pemilikan dengan tidak mengurangi hak
pihak kedua, untuk membuktikan adanya barang-barang atau harganya, sebagaimana yang dimaksud
dalam pasal 166 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
2.
Barang-barang tidak bergerak, yang tidak dapat dibuk¬tikan dengan bukti pemilikan atau surat-surat
lainnya oleh salah satu pihak, dianggap sebagai kepunyaan para pihak, masing-masing untuk 1/2
(setengah) bagian yang sama besarPerjanjian Kawin mulai efektif berlaku bagi pasangan suami istri
setelah dilangsungkannya perkawinan, sedangkan untuk pihak ketiga baru berlaku mulai hari
pendaftannya di Pengadilan Negeri dan tidak bias dirubah selama perkawinan berlangsung.
HARUS DIIKUTI DENGAN PERKAWINAN. Perjanjian Kawin tidak akan berlaku jika tidak diikuti
dengan perkawinan (154 BW).
KECAKAPAN MEMBUAT PERJANJIAN KAWIN. Yang dapat membut Perjanjian Kawin adalah mereka
yang mempunyai syarat untuk menikah pada waktu perjanjian itu dibuat (pasal 7 UU 1/1974: pria 19 tahun,
wanita 16 tahun) dan yang berada di bawah pengampuan harus dibantu oleh mereka yang diperlukan ijinnya
untuk melangsungkan pernikahan (151 dan 151 BW). ISI PERJANJIAN KAWIN. Isi Perjanjian Kawin terserah
kepada dua belah pihak, asal saja tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan, dan selain itu juga
tidak boleh menyimpang dari ketentuan-ketentuan dalam pasal 140, 142 dan 143 BW. Isi dari Perjanjian Kawin
yang dilarang adalah:
9. 1.
Mengurangi
hak
suami
baik
sebagai
suami
maupun
sebagai
kepala
(persatuan)
rumah tangga. (140.1 BW)
2.
Menyimpang
dari
hak-hak
yang
timbul
dari
kekuasaan
sebagai
orang
tua
(140.1 BW).
3.
Mengurangi hak-hak yang diperlukan UU kepada yang hidup terlama (140.1 BW).
4.
Melepaskan haknya sebagai ahliwaris menurut hukum dalam warisan anak- anaknya atau keturunannya
(141).
5.
Menetapkan bahwa salah satu pihak menanggung hutang lebih banyak dari pada bagiannya dalam
keuntungan (142 BW). (Bila hal ini dilanggar maka apa yang diperjanjikan itu dinggap sebagai tidak
tertulis, sehingga masing- masing akan menerima ½ bagian dari keuntungan dan memikul ½ bagian
dari kerugian).
KEKUASAAN SUAMI. Suami adalah kepala persatuan rumah tangga dan mengemudikan urusan harta
kekayaan milik pribadi istrinya (pasal 105 BW). Tanpa adanya Perjanjian Kawin, maka terjadilah persekutuan
harta antara suami-istri, dengan suami memegang kekuasaan sebagai suami dan sebagai kepala persekutuan
rumah tangga. Meskipun demikian, dan kendati dikehendaki adanya persatuan harta, dengan suatu Perjanjian
Kawin dapat diadakan penyimpangan untuk “mengurangi” kekuasaan suami tersebut, sehingga istri dalam hal
harta benda perkawinan mempunyai lebih besar kekuasaan/ kebebasan. Dalam hal tersebut dapat diadakan 2
penyimpangan:
1.
Pasal 140 ayat 2 BW. Yaitu dapat diperjanjikan bahwa si istri akan tetap mengurus harta bendanya
sendiri baik bergerak maupun tidak bergerak, dan menikmati sendiri segala pendapatan pribadinya.
(d.h.i : hanya tindakan pengurusan, bukan tindakan pemilikan).
2.
Pasal 140 ayat 3 BW. Yaitu bahwa barang-barang tidak bergerak, surat
berharga serta piutang
atasnama yang tercatat atas nama istri, baik yang dibawa pada waktu perkawinan maupun yang
dimasukkannya selama Perkawinan, tidak boleh dibebani atau dipindah tangankan oleh suami
tanpa sepengetahuan istri.
BEBERAPA MACAM PERJANJIAN KAWIN:
1.
Dimana tidak terdapat persekutuan harta benda menurut UU:
PERJANJIAN KAWIN DI LUAR
PERSEKUTUAN HARTA BENDA.Disini, antara suami istri diperjanjikan tidak adanya persekutuan
harta benda sama sekali. Jadi bukan hanya tidak ada persekutuan harta benda munurut UU, tapi juga
persekutuan Untung dan Rugi, Persekutuan hasil dan pendapatan serta percampuran apapun dengan
tegas ditiadakan. PERJANJIAN KAWIN PERSEKUTUAN HASIL DAN PENDAPATAN (164
BW).Disini, hanya diperjanjikan adanya persekutuan hasil dan pendapat saja, sedangkan persekutuan
harta menurut UU tidak ada, hanya untung yang dibagi, kalau rugi, istri hanya turut memikul hingga
bagiannya dalam keuntungan, terhadap kerugian selebihnya, istri tidak dapat dituntut. PERJANJIAN
KAWIN PERSEKUTUAN UNTUNG DAN RUGI (155 BW).Juga di sini, hanya diperjanjikan adanya
persekutuan untung dan rugi saja, sedangkan persekutuan menurut UU tidak ada. Jika dalam Perjanjian
Kawin disebut “Di luar Persekutuan Harta” titik maka itu ada persekutuan untung dan rugi. Jika bila
dikehendaki juga tidak adanya persekutuan untung dan rugi, maka harus dengan tegas hal itu
disebutkan (dalam pasal 1-nya). PERJANJIAN KAWIN DI LUAR PERSEKUTUAN HARTA
BENDA.Pasal 139 BW, pasal 29 KUP. Dalam Perjanjian Kawin tidaklah cukup kalau hanya disebut
10. “Perjanjian Kawin di luar Persekutuan” saja, tetapi harus juga dengan tegas disebut tidak ada
persekutuan untung dan rugi, jika memang itu dikehendaki.Jika tidak disebut begitu, maka berarti ada
persekutuan untung dan rugi (pasal 144 BW). Dalam Perjanjian Kawin dengan modal ini maka:
a)
Tidak ada Persekutuan dalam bentuk apapun juga.
b)
Harta masing-masing tetap milik masing-masing.
c)
Istri berhak mengurus hartanya sendiri serta bebas memungut hasilnya, tidak perlu
bantuan suaminya.
d)
Hutang masing-masing juga menjadi tanggungan masing-masing.
e)
Biaya rumah tangga dan lain-lain menjadi tanggungan suami.
f)
Perabot rumah tangga dan lain-lain milik pihak istri.
g)
Pakaian, perhiasan, buku, perkakas dan alat-alat yang berkenaan dengan pendidikan/pekerjaan
masing-masing adalah milik pihak yang dianggap menggunakan barang itu.
h)
Barang bergerak lain yang karena hibah, warisan atau jalan lain selama perkawinan jatuh
pada salah satu pihak, harus dapat dibuktikan asal usulnya.
2.
Dimana
ada
persekutuan
harta
benda
menurut
UU,
tetapi
adanya penyimpangan.
a)
Perjanjian Kawin dengan diperjanjikan pasal 140 ayat BW.
b) Perjanjian Kawin dengan diperjanjikan pasal 140 ayat 3 BW.
(oleh
istri)
dikehendaki
11. TEKNIK PEMBUATAN AKTA II
SOAL & JAWABAN
TAKE HOME TEST
DOSEN : NI GUSTI AYU DYAH SATYAWATI, SH., M.Kn, LLM.
(DIAJUKAN SEBAGAI UJIAN AKHIR SEMESTER III)
SATUGUS SUSANTO, SE.,SH.
1292461019
PROGRAM STUDI
MAGISTER KENOTARIATAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2014