Dokumen tersebut membahas tentang akuntansi perpajakan aktiva tetap dan aktiva tidak berwujud. Menguraikan klasifikasi, perolehan, penyusutan dan amortisasi aktiva tetap dan tidak berwujud menurut peraturan perpajakan di Indonesia. Juga menjelaskan metode penyusutan yang diperbolehkan secara fiskal.
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
Akuntansi, Aktiva Tetap, Roma Siregar, Suryanih
1. Tugas
Akuntansi Pajak
Aktifa Tetap
Disusun oleh :
Roma Rizki Wanda Siregar
Strata 1 Administrasi Perpajakan Institut
Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi mandala
Indonesia 2017
2. AKUNTANSI PERPAJAKAN AKITVA TETAP
AKTIVA TETAP DAN AKTIVA TIDAK BERWUJUD
1. Klasifikasi
Aktiva tetap adalah harta yang dapat digunakan lebih dari satu tahun. Aktiva tetap
terbagi atas :
· Aktiva yang dapat disusutkan (depreciable assets) Contoh: Bangunan, mesin dan
peralatan yang lain.
· Aktiva yang tidak dapat disusutkan (nondepreciable assets) Contoh: Tanah
Aktiva tidak berwujud adalah hak mutlak perusahaan terhadap sesuatu yang
diperolehnya karena keistimewaan tertentu. Syarat- syarat harta tidak berwujud :
· Ada hak mutlak
· Ada keistimewaan tertentu
· Ada pengeluaran biaya
Contoh : Hak paten, hak cipta, franchise, hak guna usaha, hak guna bangunan,
goodwill, hak penambangan, hak pengusahaan hutan, trade mark.
Berdasarkan masa manfaatnya, aktiva tidak berwujud terbagi atas :
· Aktiva tidak berwujud yang masa manfaatnya dibatasi oleh undang-undang.
Misalnya : hak paten, hak cipta, franchise
· Aktiva tidak berwujud yang masa manfaatnya tidak dibatasi oleh undang-undang.
Misalnya : goodwill dan merk dagang
2. Perolehan Aktiva
Aktiva dapat diperoleh dengan cara :
· Pembelian Aktiva ( tunai, kredit )
Aktiva tetap yang diperoleh dengan pembelian dalam bentuk siap pakai dan dicatat
dengan sejumlah harga beli ditambah dengan biaya yang terjadi untuk menempatkan
aktiva itu pada kondisi dan tempat yang siap untuk dipergunakan (PSAK Nomor 16
Buku SAK 1994). PPn yang tidak dapat dikreditkan merupakan salah satu unsur
pembentuk harga perolehan, kecuali pajak itu dibebankan sebagai biaya pada tahun
tersebut. Begitu juga dengan biaya transportasi, pemasangan dan jasa professional
merupakan bagian dari nilai perolehan aktiva.
· Perolehan dengan sewa guna usaha modal (leasing)
3. Sewa guna usaha (lease) umumnya merupakan perjanjian dengan memberikan hak
kepada lease untuk menggunakan aktiva yang dimiliki lessor (penyewa) selama masa
tertentu dengan membayar sejumlah uang (sebagai lease). Secara komersial lease
modal (capital lease) pada hakikatnya merupakan pembelian aktiva. Sesuai dengan
ketentuan perpajakkan jumlah yang dibayar pada saat pengambilalihan aktiva dari
lessor merupakan nilai kapitalisasi aktiva dimaksud. Pengeluaran lease sebelum itu
diperlakukkan sebagai pengeluaran sewa seperti yang berlaku dalam operating lease.
· Perolehan dengan pertukaran
Aktiva tetap dapat diperoleh melalui pertukaran dengan aktiva nonmoneter (baik
sejenis atau bukan) atau sekuritas (obligasi atau saham sendiri atau emisi badan lain).
Perolehan aktiva melalui pertukaran harus dinilai menurut nilai wajar aktiva yang
diterima atau diserahkan mana yang diketahui dengan pasti dan andal (PSAK No. 16
Buku Sak 1994). Selisih nilai (nilai buku aktiva lama dengan perolehan aktiva baru)
dari pertukaran aktiva bukan sejenis harus diakui sebagai laba atau rugi. Untuk aktiva
sejenis, pengakuan itu ditangguhkan sampai saat aktiva baru dilepaskan kembali.
Pertukaran aktiva dengan sekuritas memerlukan penilaian atas keduanya. Pertukaran
dengan sekuritas emisi badan lain dapat menimbulkan laba atau rugi apabila terdapat
selisih nilai antara aktiva yang diperoleh dan sekuritas yang dilepas. Sebaiknya,
pertukaran dengan sekuritas emisi sendiri (obligasi atau saham) dapat menimbulkan
agio dan disagio. Laba dan rugi yang dilepaskan aktiva dihitung berdasarkan selisih
antara nilai buku dengan harga pasar aktiva. Agio dan disagio bagi penerbit saham
atau obligasi dihitung berdasarkan nilai nominal kedua sekuritas itu dibanding dengan
nilai pasar sekuritas atau nilai perolehan harta yang dapat diketahui dengan pasti.
· Perolehan dengan membangun sendiri
Praktek akuntansi komersial menyatakan harga perolehan aktiva tetap yang dibangun
sendiri meliputi seluruh biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan pembangunan
aktiva itu hingga siap digunakan. Dalam praktek akuntansi komersial masalah
perhitungan nilai aktiva yang timbul dalam membangun sendiri termasuk (1)
pembebanan biaya overhead (tambahannya saja atau alokasi semua biaya overhead
secara proporsional). (2) penghematan atau kerugian atas aktivitas membangun
(apabila ada perbedaan dengan harga pasar). Dan (3) bunga selama masa konstruksi.
Secara komersial umunya terdapat kesesuaian pendapat biaya overhead dialokasikan
secara proporsional kepada biaya rutin dan biaya pembangunan aktiva. Sementara
penghematan biaya (misalnya biaya pembangunan Rp 8juta, sedangkan harga pasar
aktiva Rp 10juta yang berarti terdapat penghematan Rp 2juta) tidak diakui sebagai
penghasilan. Sebaliknya, kerugian karena inefisiensi (yang menyebabkan harga
pembangunan lebih tinggi dari nilai pasar) segera diakui sebagai kerugian atau
4. pemborosan pada tahun yang bersangkutan. Selanjutnya bunga yang dikeluarkan atas
pinjaman untuk pembangunan selama masa konstruksi dikapitalisasi (sebagai nilai
perolehan aktiva).
· Perolehan dengan hibah, bantuan, atau pemberian
Berbeda dengan akuntansi komersial yang menghitung harga pasar sebagai harga
perolehan, pasal 10 ayat (4) UU PPh menyatakan (a) harga yang diperoleh karena
hibah, bantuan atau pemberian yang diterima oleh badan keagamaan, social,
pendidikan dan pengusaha kecil yang memenuhi persyaratan tertentu (tidak ada
hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pemberi dan
penerima) harus dinilai sejumlah nilai buku dari pemberi dan (b) harta juga dinilai
menurut harga pasar, berdasarkan KMK Nomor 604/KMK/1994 tangal 21 Desember
1994 dalam pengertian pengusaha kecil yang memenuhi persyaratan itu, termasuk
koperasi, yaitu pengusaha yang jumlah aktiva tanpa tanah dan atau bangunan tidak
melebihi Rp 600juta. Dengan demikian, perkiraan modal hibah (bantuan) dikredit
untuk tujuan fiskal. Sebesar nilai buku aktiva itu. Perolehan karena hibah, bantuan
atau pemberian yang tidak memenuhi kualifikasi dinilai menurut harga pasar.
3. Penyusutan dan Amortisasi
1) Ketentuan tentang Penyusutan menurut pasal 10 UU PPh
1. Harta yang dapat disusutkan adalah harta berwujud yang memiliki masa manfaat
lebih dari 1 tahun yang digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang menjadi objek pajak, kecuali tanah.
2. Harta yang tidak dipergunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan tidak boleh disusutkan secara fiskal, misalnya: bangunan untuk tempat
tinggal karyawan bukan di daerah terpencil yang ditetapkan Menteri Keuangan.
Keuntungan penjualan harta tersebut merupakan objek PPh, namun apabila terjadi
kerugian tidak dapat dibebankan sebagai biaya fiskal.
3. Penyusutan aktiva dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk
harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan
selesainya pengerjaan hrta tersebut. Dengan persetujuan Direktorat Jenderal Pajak,
penyusutan dapat dimulai pada bulan harta tersebut dipergunakan.
2) Harga/Nilai Perolehan Aktiva Tetap
Penentuan harga prolehan aktiva tetap sangat penting karena harga perolehan menjadi
dasar untuk menghitung besarnya biaya penyusutan tiap-tiap tahun. Adapun
ketentuan sesuai dengan pasal 10 UU PPh, penentuan harga perolehan aktiva tetap
sebagai berikut:
5. 1. Harga perolehan atau harga penjualan dalam hal terjadi jual beli harta yang tidak
dipengaruhi hubungan istimewa adalah jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan atau
diterima sedangkan apabila terdapat hubungan istimewa adalah jumlah yang
seharusnya dikeluarkan atau diterima.
2. Nilai perolehan atau niai penjualan dalam hal terjadi tukar-menukar harta adalah
jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar.
3. Nilai perolehan atau nilai pengalihan harta yang dialihkan dalam rangka likuidasi,
penggabungan, peleburan pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha adalah
jumlah yang seharunya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar, kecuali
ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.
4. Dasar penilaian harta yang dialihkan dalam rangka bantuan sumbangan atau hibah:
a. Yang memenuhi syarat sebagai bukan Objek Pajak bagi yang meneima pengalihan,
sama dengan nilai sisa buku dari pihak yang melakukan pengalihan atau nilai yang
ditetapkan Direktur Jenderal Pajak.
b. Yang tidak memenuhi syarat sebagai bukan Objek Pajak bagi yang menerima
pengalihan, sama dengan nilai pasar dan harta tersebut.
5. Dasar penilaian harta yang dialihkan dalam rangka penyetoran modal bagi badan
yang menerima pengalihan, sama dengan nilai pasar dari harta tesebut.
3) Waktu Dilakukannya Penyusutan
1. pada bulan dilakukannya pengeluaran; atau
2. pada bulan selesainya pengerjaan suatu harta sehingga penyusutan pada tahun
pertama dihitung secara pro-rata; atau;
3. dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, pada bulan harta tersebut digunakan
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan; atau
4. dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, pada bulan harta tersebut mulai
menghasilkan yakni saat mulai berproduksi dan bukan saat diterima atau
diperolehnya penghasilan
Menurut Undang-undang Pajak Penghasilan, penyusutan atau deperesiasi merupakan
konsep alokasi harga perolehan harta tetap berwujud. Untuk menghitung
besarnya penyusutan harta tetap berwujud dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
1. Harta berwujud yang bukan berupa bangunan.
2. Harta berwujud yang berupa bangunan.
6. Harta berwujud yang bukan bangunan terdiri dari empat kelompok, yaitu:
1. Kelompok 1: kelompok harta berwujud bukan bangunan yang mempunyai masa
manfaat 4 tahun.
2. Kelompok 2: kelompok harta terwujud bukan bangunan yang mempunyai masa
manfaat 8 tahun.
3. Kelompok 3: kelompok harta terwujud bukan bangunan yang mempunyai masa
manfaat 16 tahun.
4. Kelompok 4: kelompok harta terwujud bukan bangunan yang mempunyai masa
manfaat 20 tahun.
Harta terwujud yang berupa bangunan dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Permanen: masa manfaatnya 20 tahun.
2. Tidak permanen: bangunan yang bersifat sementara, terbuat dari bahan yang tidak
tahan lama, atau bangunan yang dapat dipindah-pindahkan. Masa manfaatnya tidak
lebih dari 10 tahun.
Metode penyusutan yang dipergunakan adalah metode garis lurus (straight line
method) dan metode saldo menurun (declining balance method). Wajib pajak
diperkenankan untuk memilih salah satu metode untuk melakukan penyusutan.
Metode garis lurus diperkenankan dipergunakan untuk semua kelompok harta tetap
terwujud. Sedangkan metode saldo menurun hanya diperkenankan digunakan untuk
kelompok harta berwujud bukan bangunan saja.
Tabel berikut menggambarkan kelompok harta berwujud, metode, serta tarif
penyusutannya:
Kelompok Harta
Berwujud
Masa Manfaat Tarif Depresiasi
Garis Lurus Saldo Menurun
I. Bukan Bangunan
Kelompok 1 4 tahun 25% 50%
Kelompok 2 8 tahun 12,5% 25%
Kelompok 3 16 tahun 6,25% 12,5%
Kelompok 4 20 tahun 5% 10%
II. Bangunan
Permanen 20 tahun 5% -
Tidak Permanen 10 tahun 10% -
7. Dengan ijin Direktur Jenderal pajak, penyusutan dapat dimulai pada bulan harta
berwujud mulai digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan atau pada bulan harta tersebut mulai menghasilkan. Menurut akuntansi
ada 4 faktor yang harus dipertimbangkan dalam penghitungan besarnya biaya
penyusutan suatu aktiva, yaitu:
1. Nilai Perolehan Aktiva
2. Nilai residu
3. Dasar penyusutan
4. Umur aktiva
Metode penyusutan yang diperbolehkan dalam ketentuan fiskal, yakni :
· Metode garis lurus
Pada metode penyusutan garis lurus, biaya penyusutan aktiva dialokasikan ke tiap-
tiap tahun dengan jumlah yang sama. Tarif amortisasi : 25%, 12.5%, 6.25%, 5%.
Rumus : Penyusutan tiap tahun = NP- NR
UmurPemakaian
Contoh:
PT. Jaya Abadi membeli sebuah aktiva yang termasuk dalam kelompok I harta
berwujud seharga Rp.100.000.000 pada tanggal 10 Juli 2009, maka pembebanan atas
biaya penyusutan aktiva tersebut berdasarkan metode garis lurus adalah sebagai
berikut :
Tahun Harga Perolehan %Penyusutan Biaya Penyusutan Nilai Sisa Buku
2009 Rp. 100.000.000 25% Rp. 12.500.000 Rp. 87.500.000
2010 25% Rp. 25.000.000 Rp. 62.500.000
2011 25% Rp. 25.000.000 Rp. 37.500.000
2012 25% Rp. 25.000.000 Rp. 12.500.000
2013 25% Rp. 12.500.000 Rp. 0
Keterangan :
Untuk tahun 2009 biaya penyusutan dihitung berdasarkan 6/12 x 25% x biaya
perolehan, karena pembelian dimulai pada bulan Juli 2009 sehingga biaya yang
diperkenankan hanya dari bulan Juli 2009 sampai Desember 2009 yaitu selama 6
bulan.
Untuk tahun 2013 biaya penyusutan dihitung berdasarkan 6/12 x 25% x biaya
perolehan, karena sisa masa manfaat hanya untuk bulan Januari 2011 sampai Juni
2011 yaitu selama 6 bulan.
8. · Metode saldo menurun (declining balance method)
Dasar penyusutan adalah nilai sisa buku fiskal. Penyusutan dengan metode saldo
menurun adalah penyusutan dalam bagian-bagian yang menurun dengan cara
menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku. Cara perlakuan nilai sisa buku suatu
aktiva tetap pada akhir masa manfaat yang disusutkan dengan metode saldo menurun
adalah nilai sisa buku suatu aktiva pada akhir masa manfaat yang disusutkan dengan
metode saldo menurun harus disusutkan sekaligus.
Contoh :
PT. Jaya Abadi membeli sebuah aktiva yang termasuk dalam kelompok I harta
berwujud seharga Rp.100.000.000 pada tanggal 10 Juli 2009, maka pembebanan atas
biaya penyusutan aktiva tersebut berdasarkan metode saldo menurun adalah sebagai
berikut :
Tahun Harga Perolehan %Penyusutan
Biaya
Penyusutan
Nilai Sisa
Buku
2009 Rp. 100.000.000 50% Rp. 25.000.000 Rp. 75.000.000
2010 50% Rp. 32.500.000 Rp. 32.500.000
2011 50% Rp. 16.250.000 Rp. 16.250.000
2012 50% Rp. 8.125.000 Rp. 8.125.000
2013 Disusutkan sekaligus 50% Rp. 8.125.000 Rp. 0
Keterangan :
Untuk tahun 2009 biaya penyusutan dihitung berdasarkan 6/12 x 50% x biaya
perolehan, karena pembelian dimulai pada bulan Juli 2009 sehingga biaya yang
diperkenankan hanya dari bulan Juli 2009 sampai Desember 2009 yaitu selama 6
bulan.
Deplesi
Deplesi ialah istilah yang digunakan dalam akuntansi untuk menyatakan penyusutan
dalam usaha pertambangan dan pengusahaan hutan. Perpajakan menggunakan
istilah lain untuk deplesi yaitu amortisasi. Sumber pertambangan dan pengusahaan
hutan adalah harta yang berkurang secara berangsur-angsur karena penambangan atau
penebang pohon.
Menurut ketentuan pajak, hak penambangan dan hak pengusahaan hutan termasuk
harta tidak berwujud. Amortisasi menggunakan metode satuan produksi berarti
persentase amortisasi dari biaya tersebut dalam setiap tahun pajak harus sama dengan
penambangan yang dihasilkan setiap tahun. Karena itu, harga perolehannya dapat
9. diamortisasikan berdasarkan metode satuan produksi dengan pembatasan sebagai
berikut :
- Biaya untuk memperoleh hak penambangan selain minyak dan gas bumi serta
pengusahaan hutan dapat diamortisasikan dengan persentase yang tidak lebih dari 20
% tahun.
Amortisasi per tahun = Jumlah penambangan/penebangan x 20%
Taksiran total produksi/deposit
- Biaya untuk memperoleh hak atau biaya-biaya yang mempunyai manfaat lebih
dari satu tahun di bidang penambangan minyak dan gas bumi tanpa pembatasan
presentase tertentu.
Amortisasi per tahun = Jumlah penambangan x tanpa batasan
Tanpa total produksi
Metode satuan = Jumlah penambangan/penebangan yg dihasilkan setahun x 100%
Taksiran jumlah seluruh produksi
Contoh :
Suatu konsensi pertambangan ditaksir jumlah depositnya 100.000 ton. Hasil produksi
1 tahun = 10.000 ton. Berapa prosentase produksi dalam setahun ?
(10.000 / 100.000) * 100 % = 10 %
Jadi, hak penambangan perusahaan tersebut dalam setahun diamortisasikan
sebesar 10%.
4. Penarikan dan Pelepasan Aktiva
Keuntungan Pelepasan Aktiva Tetap
Dalam pasal 11 UU no.7 tahun 1983 menyatakan hanya penarikan atau pelepasan
aktiva tetap golongan bangunan dan penarikan luar biasa yang dapat menghasilkan
keuntungan atau kerugian yang di perhitungkan pada tahun penarikan.
Namun menurut UU No.10 tahun 1994 perlakuan berbeda demikian tidak ada lagi.
Hampir sama dengan perlakuan akuntansi, semua penarikan atau pelepasan harta
akan mendatangkan keutungan atau kerugian. Perhitungan keuntungan juga di
terapkan pada transaksi tukar menukar harta walaupun tidak terjadi pembayaran.
Begitu juga dengan pertukaran harta walaupun hartanya sama atau sejenis masih
dalam satu kelompok.
Harta yang di hibahkan, diberikan atau di bantukan kepada badan keagamaan,
pendidikan, social dan pengusaha kecil termasuk koperasi akan dihitung keuntungan
bagi pelepas dan penghasilan bagi penerima.
10. Penarikan Harta dari Pemakaian
Pengalihan harta dari pemakaian dapat terjadi karena dialihkan kepada pihak lain,
dijual, atau terjadi musibah terhadap harta tersebut. Pengalihan atau penarikan harta
menurut UU No. 10 Tahun 1994 pasal 4 ayat (1) adalah karena :
a. Penjualan
b. Pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai
pengganti saham atau penyertaan modal
c. Pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu atau anggota
d. Pengalihan harta karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan atau pengambilalihan usaha
e. Pengalihan harta karena hibah, bantuan atau sumbangan
Salah satu contoh penarikan aktiva menurut UU No.10 tahun 1994 pasal 4 ayat 1
adalah penjualan.
Contoh Soal :
Sebuah aktiva yang dibeli PT”Andi” pada oktober 2000 Rp 10 juta dijual pada akhir
Maret 2002 Rp 7.500.000,00. Apabila perusahaan itu menghitung penyusutan dengan
metode saldo menurun maka jumlah keuntungan menurut akuntansi komersial dan
akuntansi perpajakan dapat dihitung sebagai berikut:
Berdasarkan uraian di atas, keuntungan penjualan aktiva untuk tujuan akuntansi
perpajakan lebih besar 1.875.000 ( 5.000.000 – 3.125.000 ). Dengan demikian, selisih
ini merupakan penutupan kembali dari selisih beban depresiasi perpajakan yang lebih
besar.
Tahun Uraian Komersial Perpajakan
1994 Harga Perolehan
Depresiasi (3 bulan)
10.000.000
(1.250.000)
10.000.000
(5.000.000)
1995 Depresiasi (12 bulan) (3.750.000) (2.500.000)
1996 Depresiasi (3 bulan)
Nilai buku
Harga jual
Keuntungan
(625.000)
4.375.000
7.500.000
3.125.000
-
2.500.000
7.500.000
5.000.000
11. Contoh-contoh penarikan harta :
Penarikan Harta Karena Dijual Menurut Fiskal
Sebuah mesin dengan nilai perolehan Rp 40.000.000 dengan akumulasi
penyusutan Rp 30.000.000 dijual dengan harga Rp 17.000.000. Biaya yang
dikeluarkan berkenaan dengan penjualan sebesar Rp 2.000.000
Kalkulasi
Harga jual Rp 17.000.000
Biaya penjualan Rp 2.000.000
Penerimaan netto Rp 15.000.000
Nilai perolehan Rp 40.000.000
Akumulasi penyusutan Rp 30.000.000
Nilai sisa buku Rp 10.000.000
Keuntungan Rp 5.000.000
Nilai sisa buku sebesar Rp 0 dibebankan sebagai kerugian dalam tahun pajak yang
bersangkutan. Keuntungan sebesar Rp 5.000.000 merupakan penghasilan yang
menjadi objek pajak PPh. Apabila transaksi ini dicatat maka ayat jurnal adalah sbb:
Penerimaan kas Rp 17.000.000
Akumulasi penyusutan Rp 30.000.000
Mesin Rp 40.000.000
Biaya Rp 2.000.000
Laba Rp 5.000.000
Penarikan Harta Karena Terbakar
Suatu mesin terbakar pada pertengahan tahun 1995 dengan keterangan sbb:
Nilai perolehan Rp 50.000.000
Akumulasi penyusutan Rp 30.000.000
Nilai sisa buku Rp 20.000.000
a. Jumlah penggantian asuransi diterima pada tahun 1995 sebesar Rp 19.000.000
b. Jumlah penggantian belum dapat diketahui dan penundaan pembebanan kerugian
tidak diajukan untuk ditunda kepada Dirjen Pajak
c. Jumlah penggantian asuransi belum dapat diketahui, karena itu penundaan kerugian
diajukan utnuk ditunda kepada Dirjen Pajak
Menurut ketentuan fiskal maka penarikan harta karena terbakar dicatat :
a. Nilai sisa buku mesin Rp 20.000.000 dicatat sebagai kerugian, sedang penerimaan
pengganti asuransi Rp 19.000.000 dicatat sbagai penghasilan dalam tahun yang
12. bersangkutan. Karena nilai sisa buku lebih besar daripada penggantian asuransi maka
wajib pajak menderita rugi Rp 1.000.000 (Rp 20.000.000 – Rp 19.000.000)
Kas Rp 19.000.000
Akumulasi penyusutan Rp 30.000.000
Kerugian Rp 1.000.000
Mesin Rp 50.000.000
b. Jumlah penggantian belum dapat diketahui karena itu kerugian sebesar nilai sisa
buku Rp 20.000.000 harus segera dibebankan sebagai kerugian pada tahun yang
bersangkutan. Kejadian ini dapat dicatat dengan ayat jurnal sebagai berikut :
Akumulasi penyusutan Rp 30.000.000
Kerugian Rp 20.000.000
Mesin Rp 50.000.000
c. Wajib pajak tidak perlu mencatat kerugian dalam tahun terjadinya kebakaran.
Namun penyusutan mesin harus dihentikan.