1. TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN BEHAVIORISME
Riski Putri Puspitahati
riskiputri_puspitahati@yahoo.com
Pendahuluan
Behaviorisme atau aliran perilaku
(perspektif belajar) merupakan filosofi
dalam psikologi yang berdasarkan semua
yang dilakukan individu termasuk
tindakan, pikiran, atau perasaan harus
dianggap sebagai perilaku. Behaviorisme
beranggapan bahwa semua teori harus
memiliki dasar yang bisa diamati tetapi
tidak ada perbedaan antara proses yang
dapat diamati secara publik (seperti
tindakan) dengan proses yang diamati
secara pribadi (seperti pikiran dan
perasaan). Teori behaviorisme hanya
menganalisa perilaku yang nampak.
Behaviorisme didasarkan pada prinsip
bahwa prilaku manusia yang diinginkan
merupakan produk desain dan bukan suatu
kebetulan (Sadulloh, 2011). Hal tersebut
menjadi landasan bahwa behaviorisme ini
perlu untuk dibahas lebih lanjut, agar
mengetahui makna dari behaviorisme itu
sendiri, pendapat para tokoh-tokoh
behaviorisme, dan peranan behaviorisme
dalam pendidikan, serta aplikasi
behaviorisme terhadap pembelajaran.
Behaviorisme merupakan kekuatan
pendidikan sejak abad pertengahan.
Sebagai suatu pendekatan terhadap
pendidikan, behaviorisme terbuka bagi
manusia modern yang mengutamakan
metodologi ilmiah dan obyektivitas (Haryo,
2007). Teori kaum behavorisme lebih
dikenal dengan nama teori belajar, karena
seluruh perilaku manusia adalah hasil
belajar. Behaviorisme hanya ingin
mengetahui bagaimana perilakunya
dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan.
Hal ini menunjukkan bahwa behaviorisme
merupakan teori belajar yang lebih
menekankan pada tingkah laku manusia.
Behaviorisme muncul awalnya
melalui penelitian Psikolog Rusia bernama
Ivan Pavlov (1849-1936) yang merupakan
salah satu tokoh dari behaviorisme.
Penelitian yang dilakukan Ivan Pavlov
adalah penelitian terhadap beberapa anjing
yang mengeluarkan air liur pada saat
mendengar bunyi bel tanda akan diberi
makan. Pavlov megemukakan bahwa
apabila prosedur yang sama diulang
sesering mungkin, akan menghasilkan teori
stimulus-respon yang bernama classical
condisioning. Selanjutnya, John B. Watson
(1878-1958) menegaskan kembali bahwa
tingkah laku manusia adalah persoalan dari
refleks-refleks yang dikondisikan. Watson
mendalilkan bahwa psikologi sebaiknya
menghentikan studi tentang apa yang
manusia pikir dan rasakan, dan mulai
mempelajari apa yang dilakukan orang-
orang. Lingkungan adalah pembentuk
tingkah laku utama, karena lingkungan
individu dapat dikendalikan, kemudian ia
dapat mengatur individu ke dalam banyak
tipe manusia yang diinginkan.
Hasil penelitian dan pernyataan dari
para tokoh behaviorisme tersebut, maka
dapat dikatakan bahwa behaviorisme
memandang individu sebagai makhluk
reaktif yang memberi respon terhadap
lingkungan. Behaviorisme sangat
berpengaruh terhadap bidang pendidikan
yang menekankan pada tingkah laku atau
perilaku manusia sebagai makhluk yang
reaktif yang memberikan respon terhadap
lingkungan di sekitarnya.
Tokoh Behavioris yang paling
berpengaruh adalah BF. Skinner. Teori
tingkah laku Skinner yang terkenal
bernama Operant Conditioning.
Eksperimen ini menghasilkan teori tingkah
laku yang menekankan bahwa tindakan-
tindakan seseorang dapat diarahkan
melalui reinforcement (penguatan) dan
punishment (hukuman). Oleh karena itu,
behaviorisme dikenal sebagai teori
perkembangan perilaku, yang dapat
diukur, diamati dan dihasilkan oleh respon
2. pelajar terhadap rangsangan. Tanggapan
terhadap rangsangan dapat diperkuat
dengan umpan balik positif atau negatif
terhadap perilaku kondisi yang diinginkan.
Pengalaman dan pemeliharaan akan
membentuk perilaku individu. Hal ini
menunjukkan konsep behaviorisme
berpengaruh besar terhadap masalah
belajar, karena belajar dapat ditafsirkan
sebagai latihan-latihan pembentukan
hubungan antara stimulus dan respon.
Stimulus merupakan segala hal yang
diberikan oleh guru kepada pelajar,
sedangkan respon berupa reaksi atau
tanggapan pelajar terhadap stimulus yang
diberikan oleh guru tersebut. Sehingga
sesuatu yang diberikan oleh guru
(stimulus) dan sesuatu yang diterima oleh
pelajar (respon) harus dapat diamati dan
diukur. Teori ini mengutamakan
pengukuran, sebab pengukuran
merupakan suatu hal penting untuk
melihat perubahan tingkah laku tersebut
terjadi atau tidak. Berdasarkan uraian di
atas, maka tujuan dari makalah ini, yakni
membantu untuk memahami mengenai
tujuan pendidikan, peran pebelajar, peran
pendidik, metode pembelajaran, dan
subjek yang dipelajari.
Tujuan Pendidikan
Teori behavioristik memandang
bahwa belajar mengubah tingkah-laku
siswa dari yang tidak bisa menjadi bisa,
dari tidak mengerti menjadi mengerti, dan
tugas guru adalah mengontrol stimulus dan
lingkungan belajar agar tercipta kemajuan
kualitas mutu pendidikan yang semakin
maju (Endraswara, 2012). Aliran ini
menekankan pada terbentuknya perilaku
yang tampak sebagai hasil belajar. Tujuan
jelas dari behavioristik adalah keberhasilan
pelajar yang hanya diukur berdasarkan
nilai kuantitatif, sebenarnya hal ini akan
mematikan kreatifitas pelajar, apalagi
dalam teori ini hasil-hasil belajar yang
diharapkan sudah ditetapkan di awal.
Pembelajaran berorientasi pada
hasil yang dapat diukur dan diamati.
Kesalahan harus segera diperbaiki.
Pengulangan dan latihan digunakan supaya
perilaku yang diinginkan dapat menjadi
kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari
penerapan teori behaviorisme ini adalah
terbentuknya suatu perilaku yang
diinginkan. Perilaku yang diinginkan
mendapat penguatan positif dan perilaku
yang kurang sesuai mendapat penghargaan
negatif. Evaluasi atau penilaian didasari
atas perilaku yang tampak.
Peran Pebelajar
Pengaruh teori ini dalam
pembelajaran, bahwa kegiatan belajar
ditekankan sebagai aktivitas yang
menuntut siswa untuk mengungkapkan
kembali pengetahuan yang sudah
dipelajari. Penyajian materi pelajaran
mengikuti urutan dari bagian-bagian ke
keseluruhan. Pembelajaran dan evaluasi
menekankan pada hasil, dan evaluasi
menuntut satu jawaban benar. Jawaban
yang benar menunjukkan bahwa siswa
telah menyelesaikan tugas belajarnya
(Syah, 2003).
Teori behaviorisme juga cenderung
mengarahkan pebelajar untuk berfikir
linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak
produktif. Pandangan teori ini bahwa
belajar merupakan proses pembentukan
atau shaping, yaitu membawa pebelajar
menuju atau mencapai target tertentu,
sehingga menjadikan pebelajar tidak bebas
berkreasi dan berimajinasi. Siswa atau
peserta didik adalah objek yang
berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga
kontrol belajar harus dipegang oleh sistem
yang berada di luar diri siswa (Degeng,
1989).
Pembelajaran yang dirancang dan
berpijak pada teori behaviorisme
memandang bahwa pengetahuan adalah
obyektif, pasti, tetap, tidak berubah.
Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi,
sehingga belajar adalah perolehan
pengetahuan, sedangkan mengajar adalah
memindahkan pengetahuan (transfer of
knowledge) ke orang yang belajar atau
siswa. Siswa diharapkan akan memiliki
pemahaman yang sama terhadap
3. pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa
yang dipahami oleh pengajar atau guru
itulah yang harus dipahami oleh pebelajar
(Degeng, 1989).
Guru sebagai central, komunikasi
berlangsung satu arah, guru melatih dan
menentukan apa yang harus dipelajari
pebelajar, bagi guru prilaku yang
diinginkan harus diperkuat dan yang tidak
diinginkan tidak boleh diperkuat.
Pendidikan baru dianggap berhasil jika
pebelajar mengalami perubahan perilaku
yang diharapkan dapat muncul (Sadulloh,
2011).
Peran Pendidik
Peran pendidik membentuk tingkah
laku yang diinginkan dengan menyediakan
lingkungan (stimulus). Agar terjadi
hubungan stimulus dan respon (tingkah
laku yang diinginkan) perlu latihan, dan
setiap latihan yang berhasil harus diberi
hadiah atau reinforcement (penguatan).
Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung
teori behavioristik memang tidak
menganjurkan digunakannya hukuman
dalam kegiatan pembelajaran. Namun,
yang mereka sebut dengan penguat negatif
(negative reinforcement) cenderung
membatasi pebelajar untuk berpikir dan
berimajinasi.
Peran guru dalam behaviorisme
adalah sebagai fasilitator. Guru
menciptakan dan merekayasa perilaku-
perilaku yang diharapkan muncul sesuai
dengan silabus pendidikan. Guru juga
berperan dalam mengeliminasi sifat-sifat
yang tidak diharapkan. Perilaku siswa
biasanya dikendalikan guru melalui
penguatan positif. Siswa dianggap tidak
perlu melakukan pengendalian belajar
sendiri (Kartadinata, 1987).
Metode Pembelajaran
Guru yang menggunakan paradigma
behaviorisme akan merencanakan
kurikulum dengan menyusun isi
pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil
yang ditandai dengan suatu keterampilan
tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut
disusun secara hirarki, dari yang sederhana
sampai yang komplek (Suparno, 1997).
Proses pembelajaran pada
behaviorisme, siswa dianggap sebagai
objek pasif yang selalu membutuhkan
motivasi dan penguatan dari pendidik.
Guru menyusun bahan pelajaran yang
sudah siap sehingga tujuan pembelajaran
yang dikuasai siswa disampaikan secara
utuh oleh guru. Guru tidak hanya memberi
ceramah tetapi juga memberi contoh-
contoh. Hasil dari pembelajaran dapat
diukur dan diamati, dan kesalahan dapat
diperbaiki. Hasil yang diharapkan adalah
terbentuknya suatu perilaku yang
diinginkan. Oleh karena itu, para pendidik
mengembangkan kurikulum yang
terstruktur dengan menggunakan standart-
standart tertentu dalam proses
pembelajaran yang harus dicapai oleh para
siswa. Begitu juga dalam proses evaluasi
belajar siswa diukur hanya pada hal-hal
yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-
hal yang bersifat unobservable kurang
dijangkau dalam proses evaluasi (Degeng,
1989).
Metode ini sangat cocok untuk
memperoleh kemampuan yang
membutuhkan praktek dan pembiasaan
yang mengandung unsur kecepatan,
spontanitas, kelenturan, daya tahan,
contohnya percakapan bahasa asing,
mengetik, menari, menggunakan
komputer, berenang, olahraga. Teori ini
juga cocok diterapkan untuk melatih anak-
anak yang masih membutuhkan dominansi
orang dewasa, suka mengulangi dan harus
dibiasakan, suka meniru dan senang
dengan bentuk-bentuk penghargaan
langsung.
Subjek yang Dipelajari
Aliran ini diprakarsai oleh John B.
Watson yang menolak pikiran sebagai
subjek dalam psikologi dan
mempertahankan pelaku sebagai subjek
psikologi. Khususnya perilaku yang
observabel atau yang berpotensi untuk
dapat diamati dengan berbagai cara baik
pada aktivitas manusia dan hewan (Syah,
4. 2003). Oleh karena itu, subjek yang
dipelajari dalam behaviorisme adalah
perilaku (tingkah laku) manusia. Aliran ini
menekankan pada terbentuknya perilaku
yang tampak sebagai hasil belajar.
Pembelajaran dalam behaviorisme
tidak mungkin cocok untuk semua jenis
mata pelajaran. Metode pembelajaran pada
behaviorisme ini cocok pada materi yang
membutuhkan praktik dan pembiasaan,
salah satu contohnya pembelajaran yang
membutuhkan praktik dan pembiasaan
adalah Biologi, Fisika, dan Kimia. Adanya
praktik dan pembiasaan penggunaan alat-
alat laboratorium yang dilakukan siswa
dapat membentuk perilaku (tingkah laku)
yang tampak sebagai hasil belajarnya.
Impresi terhadap Behaviorisme
Penerapan teori behaviorisme
dalam suatu situasi pembelajaran dapat
mengakibatkan terjadinya proses
pembelajaran yang sangat tidak
menyenangkan bagi siswa yaitu guru
sebagai central, bersikap otoriter,
komunikasi berlangsung satu arah, guru
melatih dan menentukan apa yang harus
dipelajari siswa. Siswa dipandang pasif ,
perlu motivasi dari luar, dan sangat
dipengaruhi oleh penguatan yang
diberikan guru. Siswa hanya
mendengarkan dengan tertib penjelasan
guru dan menghafalkan apa yang didengar
dan dipandang sebagai cara belajar yang
efektif. Penggunaan hukuman yang sangat
dihindari oleh para tokoh behaviorisme
menjadi dianggap metode yang paling
efektif untuk menertibkan siswa. Padahal,
hal tersebut cenderung membatasi siswa
untuk berpikir dan berimajinasi.
Teori behavioristik dalam proses
pembelajaran dirasakan kurang
memberikan ruang gerak yang bebas bagi
siswa untuk berkreasi, bereksperimentasi
dan mengembangkan kemampuannya
sendiri. Karena sistem pembelajaran
tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam
menghubungkan stimulus dan respon.
Akibatnya siswa kurang mampu untuk
berkembang sesuai dengan potensi yang
ada pada diri mereka.
Kesimpulan
Teori behaviorisme merupakan
teori belajar yang lebih menekankan pada
perubahan tingkah laku serta sebagai
akibat dari interaksi antara stimulus dan
respon. Aliran ini mengutamakan pada
terbentuknya perilaku yang tampak
sebagai hasil belajar. Pembelajaran
berorientasi pada hasil yang dapat diukur
dan diamati, hal ini dilakukan untuk
melihat perubahan tingkah laku tersebut
terjadi atau tidak. Behaviorisme
memandang peran guru sebagai central,
komunikasi berlangsung satu arah, guru
melatih dan menentukan apa yang harus
dipelajari siswa. Pendidikan baru dianggap
berhasil jika siswa mengalami perubahan
perilaku yang diharapkan dapat muncul.
Daftar Pustaka
Degeng, I. N. (1989). Ilmu Pengajaran
Taksonomi Variabel. Jakarta:
Depdikbud.
Endraswara, S. (2012). Filsafat Ilmu.
Yogyakarta: CAPS.
Kartadinata, S. (1987). Dasar-dasar
Psikologi Pendidikan, dalam Dasar-
dasar Kependidikan. Bandung: IKIP
Depdikbud.
Sadulloh, U. (2011). Filsafat Pendidikan.
Bandung: Alfabeta.
Suparno, P. (1997). Filsafat Konstruktivisme
dalam Pendidikan. Yogyakarta:
Kanisius.
Syah, M. (2003). Psikologi Pendidikan.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.