Tiga kalimat ringkasan dokumen tersebut adalah:
Dokumen tersebut membahas tentang evaluasi kecernaan rumput rawa khususnya rumput kumpai tembaga secara in vitro menggunakan cairan rumen sapi dan metode dua tahap untuk mengukur nilai kecernaan bahan kering dan bahan organik. Dokumen juga membahas faktor-faktor yang mempengaruhi hasil uji kecernaan secara in vitro.
1. BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hijauan merupakan sumber pakan utama bagi ternak ruminansia. Berbagai
upaya peningkatan produksi ternak dalam rangka memenuhi kebutuhan sumber
protein hewani akan sangat sulit dicapai apabila ketersediaan hijauan tidak
sebanding dengan kebutuhan dan populasi ternak yang ada. Hijauan pakan
merupakan salah satu factor terpenting dalam berhasilnya suatu usaha
pengembangan peternakan (Reksohadiprodjo et al, 2005).
Kepadatan penduduk yang semakin lama semakin meningkat,
menyebabakan sebagian lahan praktis beralih fungsi dan sebagian lagi digunakan
untuk produksi tanaman pangan seperti padi, jagung dan palawija, sehingga tanah
yang digunakan sebagai pakan hijauan semakain terdesak . Hal ini akan
membatasi penyediaaan hijauan pakan dan secaralansung akan berpengaruh
terhadap produksi ternak itu sendiri.
Pemanfaatan limbah pertanian dan perkebunan yang semula dipandang
cukup menjanjikan sebagai pengganti hijauan unggul ternyata sulit diaplikasikan
di lapangan karena rendahnya kandungan gizi dan tingginya faktor pembatas
seperti lignin dan yang mengakibatkan rendahnya kecernaan dan akhirnya
menurunkan produksi ternak.
Rawa terdiri atas dua jenis, yaitu rawa pasang surut dan rawa lebak. Rawa
pasang surut yangdipengaruhi naik turunnya debit air sungai dan laut luasnya
mencapai 900 ribu hektar, sedangkan rawa lebak yang bersifat tadah hujan sekitar
600 ribu hektar. Pemanfaatan rumput rawa sebagai pengganti rumput unggul
merupakan salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan diatas. Hal ini
mengingat lahan rawa di propinsi Sumatra Selatan cukup luas yaitu 14,6 % dari
keseluruhan lahan pertanian atau 1.027.447 ha dari total luas lahan pertanian
7.267.138 ha (BPS Sumsel, 2006).
Kegiatan usaha tani pada lahan rawa hanya dapat dilakukan pada musim
kemarau yaitu ketika air surut. Pemanfaatan lahan rawa sebagai penunjang
produksi hijauan pakan telah dilakukan secara sangat terbatas oleh peternak
2. tradisional baik sebagai padang penggembalaan musiman bagi kerbau rawa dan
sapi maupun sebagai sumber hijauan Cut and Carry.
Kesulitan yang dihadapi selama ini adalah kurangnya informasi tentang
jenis-jenis rumput apa yang mampu beradaptasi dilahan rawa dengan tingkat
produksi yang tinggi, bagaimana teknologi pengembangan serta nilai nutrisinya
untuk ternak ruminansia.
Rumput rawa beragam jenisnya, sebagian dari yang telah teridentifikasi
ternyata dapat dikonsumsi ternak dan cukup disukai oleh ternak ruminansia.
Contoh hijauan yang telah teridentifikasi adalah rumput kumpai minyak
(Hymenachne amplexicaulis (Rudge, Nees), rumput kumpai tembaga
(Hymenachne acutigluma), rumput bento rayap (Leersia hexandra Sw.), rumput
padi-padian (Oryza rufipogon), rumput aleman (Echinochloa polystachya), dan
rumput kolonjono (Brachiaria muticum).
Tipe evaluasi pakan pada prisipnya ada 3 yaitu metode In vitro, Insacco, In
vivo. Tipe evaluasi pakan In vivo merupakan metode penentuan kecernaan pakan
menggunakan hewan percobaan dengan analisis pakan dan feses. Pencernaan
ruminansia terjadi secara mekanis, fermentative, dan hidrolisis (Mc Donald et al.
2002).
Tipe evaluasi pakan secara in vitro merupakan metode kecernaan pakan
yang semua kegiatannya di lakukan di laboratorium dengan cara meniru semua
kegiatan yang terjadi pada mahluk hidup baik itu kegiatan fisik, kimia dan
biologis persis dengan kegiatan aslinya atau dengan kata lain meniru aktivitas
kegiatan di luar dari andividu aslinya. Sehingga untuk mengetahui nilai kecernaan
rumput rawa terutama rumput kumpai tembaga dilakukan analisa secara invitro
B. Tujuan
Tujuan dari praktikum ini yaitu: Menambah pengetahuan mahasiswa
mengenai tekhnik analisa in vitro, mengetahui kecernaan bahan kering dan bahan
organik serta cara menghitungnya.
3. BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Hijauan adalah bahan pakan yang mengandung serat kasar 18 % atau lebih
(dihitung dari bahan kering). Karena di dalam praktek sering didapatkan hal-hal
yang berada diluar batasan ini. Kualitas hijauan sangat bervariasi ang disebabkan
oleh beberapa perbedaan dalam spesies, umur, kesuburan tanah, sumber-sumber
air dan lain sebagainya. Di Indonesia dan di daerah tropis lainnya belum diperoleh
keterangan secara pasti tentang adanya suatu hijauan yang menonjol kualitasnya
(Mulyawati, 2009)..
Rumput kumpai tembaga merupakan kekayaan sumber daya alami lahan
rawa yang memiliki nilai biologis yang tinggi, juga merupakan salah satu jenis
rumput rawa yang mempunyai potensi sebagai hijauan pakan. Rumput kumpai
sudah dimanfaatkan oleh peternak sebagai pakan ternak ruminansia besar yang
digembalakan pada lahan-lahan yang banyak ditumbuhi rumput kumpai terutama
di lahan rawa. Faktor pembatas rumput kumpai sebagai pakan ternak ruminansia
adalah nilai nutrisinya yang rendah akibat relative tingginya serat kasar terutama
lignin (Aryogi, 2002).
Di dalam rumen terdapat populasi mikroba yang cukup banyak jumlahnya.
Mikroba rumen dapat dibagi dalam tiga grup utama yaitu bakteri, protozoa dan
fungi (Agus, 2008).
Kehadiran fungi di dalam rumen diakui sangat bermanfaat bagi
pencernaan pakan serat, karena dia membentuk koloni pada jaringan selulosa
pakan. Rizoid fungi tumbuh jauh menembus dinding sel tanaman sehingga pakan
lebih terbuka untuk dicerna oleh enzim bakteri rumen. Protozoa diklasifikasikan
berdasarkan morfologinya sebab mudah dilihat berdasarkan penyebaran silianya.
Protozoa rumen diklasifikasikan menurut morfologinya yaitu: Holotrichs yang
mempunyai silia hampir diseluruh tubuhnya dan mencerna karbohidrat yang
fermentabel, sedangkan Oligotrichs yang mempunyai silia sekitar mulut
umumnya merombak karbohidrat yang lebih sulit dicerna (Arora, 2000).
Kecernaan adalah bagian dari nutrien yang tidak diekskresikan dalam feses
melainkan diasumsikan sebagai nutrien yang diserap tubuh ternak. Bahan pakan
4. yang baik adalah bahan pakan yang memiliki kecernaan tinggi sehingga dapat
meningkatkan konsumsi pakan, dan kebutuhan nutrien ternak dapat terpenuhi,
sehingga produksi ternak dapat mencapai optimal. Kecernaan pakan biasanya
dinyatakan berdasarkan BK dan sebagai suatu koefisien atau presentase.
(McDonald et al., 2002).
Kecernaan in vitro adalah teknik pengukuran degradabilitas dan kecernaan
evaluasi ransum secara biologis dapat dilakukan secara laboratorium dengan
meniru seperti kondisi sebenarnya. Faktor – faktor yang mempengaruhi in vitro
adalah pencampuran pakan, cairan rumen, pengontrolan temperatur, variasi
waktu, dan metode analisis (Mulyawati, 2009).
Kecernaan suatu bahan pakan untuk ternak ruminansia dapat dihitung
secara akurat pada skala laboratorium dengan percobaan menggunakan cairan
rumen dan pepsin. Tahapan pertama biasa disebut “two-stage In Vitro” sebuah
metode yang menginkubasikan sampel selam 48 jam dengan cairan rumen dalam
kondisi anaerobik. Tahapan kedua, mikrobia dibunuh dengan menggunakan HgCl
sampai pH 2 dan terjadi pencernaan protein kemudian diinkubasikan dengan
pepsin. Residu yang tidak larut dikeringkan dan diestimasi kecernaan bahan
kering (Mc.Donald et al., 2002). Metode dua tahap yang memiliki pengukuran
nilai kecernaan bahan makanan secara in vitro menggunakan cairan rumen, saliva
buatan. Keasaman dipertahankan pada pH 6,7-6,9 dan ditambahkan gas CO2
untuk menghasilkan kondisi anaerob.
(Mulyawati, 2009) menyatakan bahwa, apabila ukuran sampel bertambah
maka akan menurunkan kecernaan in vitro, oleh karena itu penting diperhatikan
agar ukuran sampel harus sama, selanjutnya dinyatakan rumen dan buffer adalah
1 : 4 dan setiap proporsi cairan rumen akan meningkatkan kecernaan.
Fermentasi bahan berserat dengan menggunakan cairan rumen akan
menghasilkan gas, diantaranya adalah gas methan. Emisi gas methan hasil
fermentasi pada ternak ruminansia selain menyebabkan polusi lingkungan juga
menyebabkan hilangnya sebagian energy pakan.
5. BAB III
PELAKSANAAN PRAKTIKUM
A. Waktu Dan Tempat
Pratikum ini dilakukan pada hari senin, tanggal 20 Oktober 2014 di
Laboratorium Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya
Indralaya.
B. Alat Dan Bahan
Adapun alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah:
Timbangan Analitik , Tabung fermentor, Water Bath/ Incubator , Crusible/
Cawan, Oven, Tanur, Desicator/ Exicator , Tang/ Klem, Thermos Air Panas,
Beker Glass, Glass Ukur, centrifuge, pompa pakum, tutup berventilasi
Bahan- bahan yang digunkan pada pratikum adalah sampel rumput kumpai
tembaga, asam borat, KCL, NaCl, NaHCO3, Aquadest, CaCl2, Na2Co3 , larutan
Mc dougall ( saliva buatan), larutan pepsin dan lain-lain.
C. Cara Kerja
1. Prosedur Pengambilan cairan rumen
Ambil
cairan
rumen dari
sapi pistula
(jika tidak
ada ambil di
RPH)
Peras dan saring
cairan rumen
dengan
menggunakan
kain saring
Siapkan termos
yg telah diisi
air panas
hingga
mencapai suhu
39° C
Masukkan
ke dlm
termos
hangat
6. 2. Fermentasi tahap I
Tambah 8 ml dan 12
ml larutan
McDougalcairan
rumen ke tabung
fermentor yang sudah
berisi 1 gr smpel
Masukkan tabung ke
dalam sheker bath dg
suhu 39°C dialiri
CO2, cek pH tutup dg
karet berfentilasi.
fermentasi selama 24
3. Pengukuran KCBK dan KCBO
jam
Setelah 24 jam buka
tutup karet teteskan
2-3 tetes HgCl2 untuk
membunuh mikroba
Masukkan tabung ke
centrifuge dg kec 4000
rpm slm 10 min.
Endapan akan berada
dibawah dan substrat
bening di atas
Ambil super natan
untuk analisis
berikutnya. Substrat
yg tersisa digunakan
untuk analisa KCBK
dan KCBO
Hasil residu
ditambahkan 20 ml
larutan pepsin HCl
0,2 %. Campuran
diinkubasikan
selama 24 jam
Sisa pengenceran
disaring dengan
pompa fakum,
masukkan cawan
porselen dan
dioven
Ditanur. Dan sbg
blanko dipakai
residu asal
fermentasi tanpa
sampel bahan
pakan
7. BAB IV
Hasil Dan Pembahasan
Berdasarkan hasil pengamatan dan perhitungan pada saat praktikum
terhadap kecernaan Bahan Kering (KcBK) dan Kecernaan Bahan Organik (KcBO)
terhadap beberapa kelompok, maka diperoleh data kecernaan bahan kering
(KcBK) dan kecernaan bahan organik (KcBO) adalah sebagai berikut :
Kelompok KCBK KCBO N-NH3
Kelompok 1
Kelompok 2
Kelompok 3
Kelompok 4
Kelompok 5
Kecernaan BK yang tinggi pada ternak ruminansia menunjukkan tingginya
zat nutrisi yang dicerna oleh mikroba rumen (Anitasari, 2010). Faktor-faktor yang
mempengaruhi kecernaan in vitro diantaranya adalah pencampuran pakan, cairan
rumen, pengontrolan temperatur, variasi waktu, dan metode analisis (Mulyawati,
2009).
Menurut Mulyawati (2009), KcBK dan KcBO rumput rawa secara in vitro
dengan cairan rumen sapi sebesar 43,31% dan 45,76%. Hasil in vitro rumput rawa
dengan jenis kumpai tembaga dalam praktikum dibawa angka tersebut. Hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor seperti faktor ukuran partikel bahan pakan,
frekuensi penggojokan, kondisi anaerob pada saat preparasi Rendahnya berbagai
bahan pakan didalamnya.
Menurut Jayanegara (2006) faktor-faktor yang mempengaruhi Kecernaan
bahan kering adalah suhu, laju perjalanan melalui alat pencernaan, bentuk fisik
dari pakan, dan pengaruh dari perbandingan dengan zat lainnya dari bahan pakan
tersebut. Ditambahkan oleh Tilman et al., (2005) yang menyatakan bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi kecernaan suatu bahan pakan adalah komposisi kimia
8. bahan, penyiapan pakan (pemotongan, penggilingan, pemasakan, dan lain-lain),
umur ternak, dan jumlah ransum.
Penggunaan saliva buatan atau larutan Mc.Dougall pada proses evaluasi in
vitro bertujuan untuk mempertahankan pH selama proses fermentasi berlangsung.
Penggunaan gas CO2 bertujuan untuk mempertahankan pH selama proses
fermentasi. Penambahan gas CO2 dilakukan secara cepat agar tidak terjadi
perubahan pH. Penggunaan water bath dan sachker water bath ditujukan untuk
menirukan gerakan didalam rumen. Suhu fermentasi diusahakan sama dengan
suhu dalam rumen, yaitu 39 sampai 40oC. Kondisi anaerob diusahakan dengan
mengalirkan gas CO2 ke dalam larutan buffer sebelum larutan itu digunakan dan
ke dalam larutan fermentasi sebelum tabung fermentasi ditutup (Hartadi et
al.,2005).
9. BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum dapat disimpulkan bahwa nilai kecernaan
bahan kering sudah sesuai dengan nilai standar, sedangkan untuk nilai kecernaan
bahan organik lebih tinggi dibandingkan standar. Kecernaan suatu bahan pakan
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain komposisi kimia bahan pakan,
komposisi ransum, bentuk fisik ransum, tingkat pemberian pakan dan faktor yang
berasal dari ternak itu sendiri. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan in
vitro diantaranya adalah pencampuran pakan, cairan rumen, pengontrolan
temperatur, variasi waktu, dan metode analisis
B. Saran
Analisis disarankan untuk memperbanyak replikasi untuk meningkat
keakuratan data, selain itu bahan pakan yang digunakan disarankan agar lebih
variasi yaitu terdapat bahan pakan hijauan baik rumput rawa maupun legum
maupun konsentrat sehingga tidak hanya bahan pakan hijauan.
10. DAFTAR PUSTAKA
Agus, A. 2008. Membuat Pakan Ternak Secara Mandiri. PT Citra Adi Parama.
Yogyakarta.
.
Anitasari, A. 2010. Pemanfaatan Senyawa Bioaktif Kembang Sepatu (Hibiscus
rosa-sinensis) untuk Menekan Produksi Gas Metan pada Ternak
Ruminansia. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Aryogi, dan U. Umiyasih. 2002. Nilai kecernaan bahan kering dan protein kasar
pakan penyusun ransum pola crop livestock system padi-sapi di kabupaten
Lumajang dan Magetan. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner:143-145.
Arora. Achmanto.2000. Pemanfaatan Daun gliriddia maculate Dalam Ransum
Sapi Perah Laktasi. Proc. Pertemuan Ilmiah Ruminansia. Puslitbangnak.
Bogor.
Biro Pusat Statistik Sumatera Selatan. 2006. Luas Lahan Menurut Penggunaan di
Propinsi Sumatera Selatan. Palembang. Sumatera Selatan.
Devandra, D.C. 2002. Nutritional Potential Of Fooder Trees And Shcrubs As
Protein Sources In Ruminant Nutrition. in legume trees and other fooder
trees as protein sources for live stock. Ed. A. S. Peedy and L.P. Pugliese.
fao Animal Production and healt paper.
Fariani, A. 2008. Evaluasi Nilai Nutrisi Rumput Rawa sebagai Pakan Ruminansia.
Prosiding Seminar Nasional, Fakultas Peternakan Universitas Andalas.10-
11 Oktober 2008.
Hartadi. H.S., Reksohadiprojo dan A. D. Tillman. D.A. 2005. Tabel Komposisi
Pakan untuk Indonesia. Cetakan ke IV. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Jayanegara, A., A. S. Tjakradidjaja, & T. Sutardi. 2006. Fermentabilitas dan
kecernaan in vitro ransum limbah agroindustri yang disuplementasi
kromium organik dan anorganik. Media Peternakan. 29(2): 54-62
Mulyawati, Y. 2009. Fermentabilitas dan Kecernaan In Vitro Biomineral
Dienkapsulasi. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
McDonald, P., R. A. Edwards, J. F. D. Greenhalgh, and C. A. Morgan. 2002.
Animal Nutrition. Prentice Hall. London