1. I- 1
ANALISIS POTENSI DAN KELEMBAGAAN PT (Persero) JAMSOSTEK
SEBAGAI INSTRUMEN FISKAL PEMERINTAH
Oleh : Sigit Setiawan
Rekomendasi
PT (Persero) Jamsostek memiliki peran vital sebagai pelindung bagi tenaga
kerja dan sebagai salah satu alat stabilisator baik secara makro dan mikro, dan
berbagai bidang yang saling terkait erat, yaitu sosial, ekonomi, dan polkam. Efek
stabilisasi ini makin kuat bila porsi dana terkumpul dibandingkan dengan GDP
semakin besar. Dengan demikian adalah penting usaha untuk meningkatkan porsi
relatif terhadap GDP yang sekarang ini baru 5%, jauh tertinggal dibandingkan negara-
negara ASEAN lainnya. Adapun Filipina kini sudah mencapai 40% GDP, Malaysia
60% GDP, dan SIngapura 70% GDP.
Pemberlakuan otonomi daerah tidak boleh menjadikan PT (Persero) Jamsostek
sebagai obyek pungutan baru di daerah, karena berbagai alasan. Pertama, PT (Persero)
Jamsostek sudah menjadi wajib pajak badan dan menyetorkan dividen kepada
Pemerintah, yang melalui APBN sudah didistribusikan ke daerah-daerah. Kedua,
seharusnya Pemerintah Daerah menjadi fasilitator yang baik, karena dengan adanya
PT (Persero) Jamsostek telah membantu melindungi tenaga kerja di daerahnya
sehingga ikut membantu menciptakan stabilisasi.
Kekuatan PT (Persero) Jamsostek terletak pada tingginya kebutuhan
perusahaan dan pekerja serta adanya hak pungut berdasarkan UU No.3/1992 dan PP
No.36/1995. Kelemahan PT (Persero) Jamsostek terletak pada status hukum badan
sebagai BUMN dan ketergantungan pada regulator yang tinggi, terutama dalam hal
law enforcement dan perbaikan benefit. Peluang PT (Persero) Jamsostek terletak pada
pasar potensial yang masih demikian besar dari sektor formal. Nantinya setelah sektor
formal telah habis, masih ada sektor informal yang memiliki jumlah pekerja jauh lebih
banyak dari sektor formal. Ancaman yang ada bersumber dari tumpah tindihnya
perangkat perundang-undangan UU No.3/1992 dengan peraturan pelaksanaan di
bawahnya, PP No.14/1993. Hal ini menyebabkan timbulnya pertentangan antara
sesama BUMN dalam ruang lingkup asuransi.
2. I- 2
Perlu dilakukan sosialisasi peran vital PT (Persero) Jamsostek ke daerah-daerah
sehingga badan ini tidak menjadi obyek pungutan ganda. Pemerintah perlu mengkaji
ulang peraturan pelaksanaan UU No.3/1992, yaitu PP No. 14/1993, karena dirasakan
tidak sesuai dengan perangkat peraturan di atasnya. Dengan demikian tidak terjadi
kompetisi yang tidak semestinya antara sesama BUMN yang seharusnya berorientasi
pada kesejahteraan pesertanya.
Permasalahan
Sistem jaminan sosial merupakan alat fiskal bagi pemerintah terhadap pemberi
kerja yang dijadikan sebagai objek pungut melalui lembaga yang ditunjuk yakni PT
(Persero) Jamsostek (Bambang Purwoko 1994, 118). Dalam gambaran ideal Bambang
Purwoko, pemerintah dapat mengimplementasikan kebijakan-kebijakan fiskal melalui
berbagai instrumen fiskal, yaitu instrumen fiskal yang sudah umum (pajak dan bea
cukai) dan instrumen lainnya, yakni jamsostek (lihat tabel). Meskipun obyeknya
berbeda tetapi ketiganya memiliki kesamaan dalam hal pemanfaatan, yaitu untuk
redistribusi pendapatan.
Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : (i) mengidentifikasi
posisi kelembagaan PT (Persero) Jamsostek dalam kaitannya sebagai salah satu
instrumen fiskal, dan (ii) mengukur potensi kelembagaan kantor cabang
Metodologi
Data-data yang dikumpulkan, baik primer maupun sekunder diperoleh
dengan melakukan interview, pengisian daftar pertanyaan dan tabel data, serta
permintaan data-data sekunder seperti laporan kondisi dan gambaran perusahaan dan
kantor-kantor vertikal di bawahnya.
Metode sampling adalah purposive sampling, dan dari Kanwil IV Bandung
yang terpilih sebagai sampel adalah Kancab Bandung, Kancab Cimahi, Kancab Bogor,
dan Kancab Bekasi, sedangkan dari Kanwil VI Surabaya terpilih sebagai sampel
Kancab Tj. Perak, Kancab Sidoarjo, Kancab Mojokerto, dan Kancab Darmo.
3. I- 3
Temuan
Ada empat skema asuransi tenaga kerja yang ditawarkan oleh Jamsostek bagi
manfaat pekerja, dan masing-masing memiliki besaran persentase potongan gaji yang
berbeda-beda. Untuk program Jaminan Hari Tua (JHT) iuran sebesar 5,7% dari gaji
karyawan bersangkutan dibebankan kepada perusahaan (3,7%) dan pekerja sendiri
(2%). Program Jaminan Kesehatan (JKS) besar iuran variatif dengan rentang 3%
hingga 6% dari gaji karyawan yang dibebankan seluruhnya kepada perusahaan.
Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) juga dibebankan seluruhnya kepada
perusahaan untuk mengiur dengan rentang antara 0,24% hingga 1,74% dari gaji
karyawan. Untuk program Jaminan Kematian (JKM) dibebankan seluruhnya kepada
perusahaan dengan persentase 0,30%.
PT (Persero) Jamsostek) memiliki dasar hukum yang kuat untuk melakukan
pemungutan iuran, yakni UU No. 3/1992 dan PP No. 15/1995. Hak pungut ini
bertemu dengan adanya kebutuhan perusahaan dan pekerja akan adanya asuransi
sosial tenaga kerja. Di sinilah letak kekuatan PT (Persero) Jamsostek.
Letak kelemahan PT (Persero) Jamsostek ada pada tiga hal : (i) kendala
pendanaan, (ii) status hukum perusahaan, dan (iii) ketergantungan yang tinggi pada
regulator. Pemerintah masih dibatasi kendala pendanaan untuk mewujudkan konsep
ideal jaminan sosial universal yang dibiayai oleh APBN dalam rangka pelaksanaan
amanat UUD 1945 pasal 34 “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”.
Secara ideal, sebagaimana yang telah diterapkan di negara-negara Eropa, sebagian dari
pajak yang disetorkan ke APBN disisihkan untuk program jaminan sosial bagi
masyarakat. Di Indonesia hal ini menemui kendala karena masih belum optimalnya
pemasukan pajak.
Status hukum BUMN bagi perusahaan merupakan permasalahan bagi PT
(Persero) Jamsostek dalam memberikan pengembalian manfaat yang optimum bagi
pekerja. Indonesia dan Cina adalah salah satu dari sedikit negara yang memberikan
badan hukum BUMN bagi institusi penyelenggara jaminan sosialnya, suatu hal yang
ditinggalkan oleh negara-negara lainnya. Program jaminan sosial merupakan program
publik yang diwajibkan oleh UU di mana iuran dan investasi yang dikumpulkan
bukanlah merupakan pendapatan, melainkan utang institusi penyelenggara yang
harus dikembalikan kepada peserta. Dikatakan sebelumnya merupakan program
4. I- 4
publik yang diwajibkan karena sistem jaminan sosial merupakan salah satu program
welfare state yang hanya memberikan benefit standar minimum, suatu hal yang
berbeda dengan yang ditawarkan oleh asuransi komersial.
Dalam penyelenggaraan jamsostek, PT (Persero) Jamsostek) juga menghadapi
masalah akibat ketergantungan yang besar pada pihak regulator, terutama dalam hal
law enforcement dan perbaikan benefit. Dalam penyelenggaraan jaminan sosial di
banyak negara, badan penyelenggara melakukan law enforcement sendiri sehingga
dapat melakukan akses langsung ke perusahaan-perusahaan. Jadi Departemen Teknis
terkait yakni Depnaker semestinya dikembalikan fungsinya sebagai ‘wasit’ dan
regulator yang baik dalam penyelenggaraan jamsostek. Sebagai contoh, kenyataan
yang terjadi di lapangan menunjukkan adanya ketidaktaatan dari para perusahaan
untuk mengikuti perintah UU No. 3/1992,seperti pelaporan jumlah pegawai dan gaji
yang menyimpang dari jumlah semestinya, yang sulit untuk ditindak secara tegas
oleh badan penyelenggara karena wewenang untuk menindak dimiliki Depnaker.
Kadang aparat Depnakaer yang mestinya menjadi ‘wasit’ yang baik justru makin
memperkeruh situasi ini.
Dari segi peluang PT (Persero) Jamsostek, jumlah kepesertaan dari tahun ke
tahun terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah pekerja di sektor formal,
yang memang selama ini menjadi target pasar penyelenggaraan PT. Jamsostek.
Pertambahan kepesertaan terasa berjalan tersendat-sendat dan target pasar potensial
dari sektor formal saja masih 8,12 juta (tahun 2000). Peluang pasar yang ada sangat
besar apalagi bila juga masuk ke lingkup sektor informal dengan jumlah pekerja
sektor informal ini yang sangat besar, sebanyak 62,35 juta orang. Adanya prinsip “law
of big number“ mengharuskan tercapainya angka kepesertaan dalam jumlah besar,
sehingga selayaknya badan ini dibantu agar dapat berkonsentrasi melakukan
perannya sebagai agen pembangunan.
Ancaman yang dihadapi oleh PT (Persero) Jamsostek timbul dari sikap
pemerintah yang dirasakan kurang tegas atau mengabaikan kekacauan yang terjadi.
Antara sesama BUMN penyelenggara asuransi sosial dibiarkan terjadi kompetisi yang
sebenarnya tidak dapat dibenarkan. Penyimpangan dari konsep ideal ini diperparah
dengan dimungkinkannya penyelenggaraan oleh lebih dari satu BUMN oleh UU No.
3/1992. Di Malaysia sendiri yang memiliki dua badan penyelenggara, EPF dan
5. I- 5
SOSCO, sudah timbul pemikiran untuk melebur saja kedua badan itu menjadi satu.
Tidak adanya sikap yang tegas dari pemerintah (yang mengesankan ambivalensi sikap
pemerintah), dan dorongan untuk mencetak laba sebanyak mungkin bagi BUMN
menyebabkan lahirnya praktek penawaran paket asuransi kesehatan oleh PT. Askes
kepada perusahaan-perusahaan swasta yang memberatkan penyelenggaran jamsostek.
Hal ini timbul karena adanya tumpang tindih antara UU No.3/1992 yang mewajibkan
perusahaan menjadi anggota jamsostek, dan PP No. 14/1993 pasal 2 ayat 4 yang
membolehkan perusahaan untuk tidak mengikuti program jaminan kesehatan dasar
bila sudah menyelenggarakan sendiri program jaminan pemeliharaan kesehatan yang
lebih baik. Seharusnya ditarik garis yang tegas antara paket jaminan kesehatan
minimum yang diselenggarakan oleh badan penyelenggara jamsostek (yaitu PT
(Persero) Jamsostek) dan paket asuransi kesehatan plus yang boleh ditawarkan oleh
swasta atau PT Askes yang dalam hal ini berlaku sebagai perusahaan swasta, sehingga
kedua jenis paket ini tidak perlu dan tidak bisa dicampuradukkan.
Dengan melihat catatan Return on Investment yang menunjukkan grafik yang
menanjak dapat dikatakan secara optimis bahwa kelangsungan badan penyelenggara
jamsostek ini tanpa membebani anggaran negara dapat terus bertahan dan akan terus
membaik seiring dengan adanya kemauan untuk memperbaiki kondisi internal dan
eksternal perusahaan (lihat bab III). Bila dibandingkan dengan ketiga BUMN lain di
bidang asuransi, yaitu PT(Persero) ASKES, ASABRI, dan TASPEN, jelas catatan
prestasi keuangan di atas lebih baik. Namun bila dibandingkan dengan tingkat suku
bunga deposito pada waktu itu yang cukup tinggi, mesti diakui bahwa ROI di atas
tidaklah istimewa.
Kondisi keuangan yang terus membaik tergambar dari rasio klaim/premi yang
menurun, dari saat puncak krisis tahun 1998 sebesar 85,35%, turun menjadi 75,01%
pada tahun 1999, kembali turun menjadi 60,69% pada tahun 2000, dan hingga
pertengahan tahun 2001 seiring dengan berkurangnya jumlah PHK massal dan
penyesuaian terhadap kondisi ekonomi yang ada rasio ini mampu mencapai 50,61%.
Besar harapan bakalan makin besar laba kotor yang berhasil diraih dari surplus premi
terhadap klaim terutama yang berasal dari paket-paket jaminan selain JHT.
6. I- 5
SOSCO, sudah timbul pemikiran untuk melebur saja kedua badan itu menjadi satu.
Tidak adanya sikap yang tegas dari pemerintah (yang mengesankan ambivalensi sikap
pemerintah), dan dorongan untuk mencetak laba sebanyak mungkin bagi BUMN
menyebabkan lahirnya praktek penawaran paket asuransi kesehatan oleh PT. Askes
kepada perusahaan-perusahaan swasta yang memberatkan penyelenggaran jamsostek.
Hal ini timbul karena adanya tumpang tindih antara UU No.3/1992 yang mewajibkan
perusahaan menjadi anggota jamsostek, dan PP No. 14/1993 pasal 2 ayat 4 yang
membolehkan perusahaan untuk tidak mengikuti program jaminan kesehatan dasar
bila sudah menyelenggarakan sendiri program jaminan pemeliharaan kesehatan yang
lebih baik. Seharusnya ditarik garis yang tegas antara paket jaminan kesehatan
minimum yang diselenggarakan oleh badan penyelenggara jamsostek (yaitu PT
(Persero) Jamsostek) dan paket asuransi kesehatan plus yang boleh ditawarkan oleh
swasta atau PT Askes yang dalam hal ini berlaku sebagai perusahaan swasta, sehingga
kedua jenis paket ini tidak perlu dan tidak bisa dicampuradukkan.
Dengan melihat catatan Return on Investment yang menunjukkan grafik yang
menanjak dapat dikatakan secara optimis bahwa kelangsungan badan penyelenggara
jamsostek ini tanpa membebani anggaran negara dapat terus bertahan dan akan terus
membaik seiring dengan adanya kemauan untuk memperbaiki kondisi internal dan
eksternal perusahaan (lihat bab III). Bila dibandingkan dengan ketiga BUMN lain di
bidang asuransi, yaitu PT(Persero) ASKES, ASABRI, dan TASPEN, jelas catatan
prestasi keuangan di atas lebih baik. Namun bila dibandingkan dengan tingkat suku
bunga deposito pada waktu itu yang cukup tinggi, mesti diakui bahwa ROI di atas
tidaklah istimewa.
Kondisi keuangan yang terus membaik tergambar dari rasio klaim/premi yang
menurun, dari saat puncak krisis tahun 1998 sebesar 85,35%, turun menjadi 75,01%
pada tahun 1999, kembali turun menjadi 60,69% pada tahun 2000, dan hingga
pertengahan tahun 2001 seiring dengan berkurangnya jumlah PHK massal dan
penyesuaian terhadap kondisi ekonomi yang ada rasio ini mampu mencapai 50,61%.
Besar harapan bakalan makin besar laba kotor yang berhasil diraih dari surplus premi
terhadap klaim terutama yang berasal dari paket-paket jaminan selain JHT.