Kasus korupsi terus terjadi di Direktorat Jenderal Pajak meskipun telah ada sanksi hukum atas kasus serupa sebelumnya. Tiga pegawai pajak, yaitu Gayus Tambunan, Dhana Widyatmika, dan Tommy Hendratno, tertangkap karena korupsi dan menimbulkan keraguan masyarakat terhadap integritas aparat pajak. Dokumen ini membahas etika dalam akuntansi perpajakan mengingat pentingnya peran paj
1. I. Pendahuluan
Beberapa hari terakhir publik Indonesia tercengang akan prilaku para pegawai pajak
Indonesia, belumlah sempat terlupakan dua kasus korupsi besar yang menggemparka dunia
perpajakan, Gayus dan Dhana Widyatmika tiba-tiba muncul lagi kasus yang serupa .
Penangkapan dan vonis hukuman terhadap beberapa petugas pajak yang terlibat kasus
korupsi, suap, pencucian uang sampai menggelapkan pajak miliaran hingga ratusan miliar
rupiah, ternyata tidak membuat petugas pajak lainnya kapok. Tommi Hendarto pegawai
Ditjen Pajak Sidoarjo tertangkap basah menerima suap di sebuah rumah makan di kawasan
Tebet, jakarta Selatan
Gayus Tambunan, Dhana Widyatmika, dan Tommy Hendratno tiga pegawai pajak
yang tertangkkap KPK terkait tindak pidana korupsi di Direktorat Jendral ( Ditjen) Pajak.
Ketiga residivis tersebut semuanya berasala dari satu almamater yang sama kampus plat
merah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara ( STAN ).
Tidak bisa dipungkiri, kasus-kasus di atas menimbulkan rasa ketidak percayaan
masyarakat tentang pentingnya pajak,padahal 75% APBN merupakan sumbangan dari pajak.
Ditjen pajak yang sejatinya mempunyai tugas pokok serta fungsi mengamankan
penerimaan negara dalam APBN kini seakan –akan beralih pungsi menjadi lahan basah
untuk mengeruk harta sebanyak-banyaknya dengan cara tidak etis. kasus korupsi dan
makelar pajak menjadikan publik semakin skeptis terhadap integritas para pejabat negara
kita.
Berkaca dari permasalahan di atas maka pada makalah ini akan di bahas mengenai “
Etika Dalam Akuntansi Perpajakan “ mengingat pentingnya pajak untuk pembangunan
bangsa ini dan disatu sisi pajak juga bisa menjadi ladang empuk penyelewangan aparatur
negara untuk memperkaya diri sendiri.
II. Tanggungjawab Akuntan perpajakan
Tanggung jawab utama praktisi pajak adalah sistem pajak. Suatu sistem pajak yang
baik dan kuat tidak hanya terdiri dari entitas administrasi pajak saja. Hal tersebut juga harus
terdiri dari kongres, administrasi dan komunitas praktisi. Bukan sebagai bagian yang
terpisah dari masyarakat yang luas, tetapi lebih bekerja sama ke arah tujuan umum. Ketika
secara umum menyetujui bahwa praktisi pajak mempunyai kewajiban atas kemampuan,
2. loyalitas dan kerahasiaan klien, hal ini disebut juga tanggung jawab praktisi atas sistempajak
yang baik.
Tanggung jawab terakhir adalah pentingnya pervasive (peresapan). Dalam hubungan
antara praktisi dan klien yang normal, kedua tanggung jawab dikenali dan dilaksanakan.
Namun, situasi ini sulit. Dalam beberapa situasi praktisi diperlukan untuk memutuskan
kewajiban yang berlaku dan dalam pelaksanaannya dapat disimpulkan bahwa kewajiban
atas sistem pajak yang tertinggi. Praktisi pajak membantu dalam mengatur hukum pajak
dengan jujur dan adil dalam pelayanan dan pengembangan kepercayaan klien dalam
integritas dan kepatuhan terhadap sistem pajak.
Praktisi lebih baik melayani publik dengan mengadopsi suatu sikap. Aturan etika
yang fundamental dalam praktik perpajakan pada tingkat etika personal adalah praktisi
pajak harus mengijinkan klien untuk membuat keputusan final. Disamping itu praktisi harus
bertanggung jawab tidak menyediakan informasi yang salah untuk pemerintah.
III. Etika Akuntan Pajak
Dalam kaitannya dengan etika akuntan pajak, AICPA mengeluarkan Statemet on
Responsibilities in Tax Practice (SRTP). Adapun isinya adalah sebagai berikut:
SRTP (Revisi 1988) No.1: Posisi Pengembalian Pajak
SRTP (Revisi 1988) No.2: Jawaban Pertanyaan atas Pengembalian
SRTP (Revisi 1988) No.3: Aspek prosedur tertentu dalam menyiapkan Pengembalian
SRTP (Revisi 1988) No.4: Penggunaan Estimasi
SRTP (Revisi 1988) No.5: Keberangkatan dari suatu posisi yang sebelumnya
disampaikan di dalam suatu kelanjutan administrative atau keputusan pengadilan
SRTP (Revisi 1988) No.6: Pengetahuan Kesalahan: Persiapan Kembalian
SRTP (Revisi 1988) No.7: Pengetahuan Kesalahan: Cara kerja administrasi
SRTP (Revisi 1988) No.8: Format dan isi nasihat pada klien
III. Aturan Perpajakan dan Tuntutan Klien
Pajak secara klasik memiliki dua fungsi. Pertama, fungsi bugeter. Kedua, fungsi
reguleren. Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 23 ayat 2, disebutkan bahwa
“segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang.” Dari hal tersebut dapat
3. disimpulkan bahwa pajak memiliki fungsi yang luas antara lain sebagai sumber pendapatan
negara yang utama, pengatur kegiatan ekonomi, pemerataan pendapatan masyarakat, dan
sebagai sarana stabilisasi ekonomi. Kalau kita lihat APBN, pajak selalu dituntut untuk
bertambah dan bertambah.
Pemerintah harus memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke kas negara. Dalam
struktur anggaran negara, seperti halnya negara kita bisa mencapai 75% diperoleh dari
pajak. Kondisi inilah yang memicu pemerintah untuk membuat aturan-aturan perpajakan.
Aturan perpajakan merupakan masalah yang sebaiknya menjadi prioritas bagi pemerintah
supaya tidak terjadi tax avoidance. Berikut ini beberapa kasus yang mencerminkan
kompleksitas aturan perpajakan vs tuntutan klien :
Pajak Ganda pada Dividen
Secara teori Indonesiamenganut klasikal sistem. Artinya, ada pembedaan subyek
pajak. Yaitu subyek pajak badan dan subjek pajak perseorangan. Yang bermasalah dalam
pajak dividen adalah terjadi economic double taxation. Pengertiannya, sebelum dividen
dibagi kepada pengusaha, laba tersebut merupakan laba perusahaan yang dikenakan pajak,
atau disebut pajak korporat. Namun, ketika dibagi lagi kepada pemegang saham di korporat,
pemegang saham itu harus dikenakan pajak lagi. Inilah yang disebut sebagai pajak ganda.
Sebagai perbandingan,Malaysia dan Singapura tidak lagi menggunakan pajak atas dividen.
Mereka menggunakan kredit sistem. Yakni, pajak yang bisa dikreditkan kepada para
pemegang saham di korporat. Sehingga, korporat hanya dimaknai sebagai sarana. Subyek
pajak tetap melekat pada pribadi. Tak ada lagi pajak ganda yang membebani.
Sengketa Pajak
Kalau terjadi dispute, yakni hitungan wajib pajak (WP) dengan petugas pajak
berbeda. Pada UU KUP 2000 kewenangan aparat fiscus terlalu luas. Jika terjadi sengketa
SPT, maka apapun yang akan dipakai adalah hitungan aparat pajak, dan hitungan itu harus
dibayar lebih dahulu oleh WP sebesar 50 persen dari hitungan petugas pajak sebelum bisa
dibawa kepada pengadilan pajak. Kalau hitungan WP yang dinyatakan pengadilan benar
maka WP berhak menerima restitusi. Namun, uang restitusi itu kenyataannya tidak segera
dibayarkan oleh fiscus.
Jika uang restitusi jumlahnya milyaran jelas saja mengganggu cash flow para
pengusaha. Inilah persoalan dalam dispute antara WP dengan aparat pajak. Untungnya,
dalam UU KUP 28/2007 perhitungan SPT ditentukan secara bersama-sama. Jika ada
4. perbedaan klaim angka, maka yang lebih dahulu dipakai adalah klaim WP. Sebelum masuk
ke pengadilan pajak, WP hanya cukup membayar sebesar 50 persen dari klaim hitungan WP
sendiri.
IV. Penutup
Problem perpajakan di negeri ini dapat diibaratkan satu penyakit kronis. Ia sudah
berlangsung lama, sistemik dan menjalar kemana-mana. Tak bisa dipungkiri kompleksitas
permasalahan perpajakan di Indonesia harusnya menjadi PR kita bersama, tidak hanya
pemerintah melainkan setiap elemen masyarakat hendaklah mengambil perang dalam
pembenahan sistem dan budaya korup dalam pemerintahan kita.
Banyak hal yang harus dibenahi untuk menciptakan iklim perpajakan yang kondusif,
bukan hanya dari sistem, budaya, atau birokrasi yang selama ini menjadi penopang utama
perilaku korup dalam suatu instansi tapi lebih jauh lagi moralitas dan etika juga harus
mendapat perhatian yang khusus baik dari dunia praktisi, akademisi, rohaniawan dan
mayarakat pada umumnya.
mafia