2. APA
Film Dokumenter:
- berdasarkan realita
meskipun pengambilan gambar diatur dan ditata sesuai kebutuhan, baik
ketika produksi maupun editing-adegan-adegan di film dokumenter tidak
ada skrip/skenario. Orang-orang di dalam film adalah pelaku sebenarnya-
bukan aktor. Kisah nyata, dokumen asli, pelaku sebenarnya.
- disampaikan dengan NARASI
Book of Seasons: A Year in Kanazawa – dokumenter tentang keberagaman
hayati selama 4 musim di kota Kanazawa, Jepang. Bagaimana masyarakat
urban, budaya, dan alam saling berelasi.
VERITE
Rumah Multatuli – dokumenter tentang seorang guru yang
menyelenggarakan taman bacaan di desa terpencil di Lebak, Banten.
3. GAMBAR
Koyaanisqatsi – artinya “unbalanced life-kehidupan yang tidak seimbang”.
Dokumenter eksperimental yang diproduksi tahun 1982 tentang kehidupan,
manusia, dan sekitarnya di kota-kota di Amerika.
MENGAPA
- mengubah persepsi publik
sama seperti film komersial, film dokumenter harus menghibur,
menginspirasi, menggugah, mengganggu. Sampai hari ini film dokumenter
masih dianggap sebagai cara yang efektif untuk propaganda, kampanye,
sosialisasi, dan mengubah persepsi publik. Menjadi lebih efektif karena
ceritanya nyata, orang-orangnya nyata, lokasinya nyata.
- refleksi
film dokumenter menjadi cara yang tepat untuk merekam dan menceritakan
tentang manusia dan alam. Film dokumenter bisa menjadi pengingat ada apa
di sekitar kita, masalah yang kita hadapi, usaha yang kita lakukan, perubahan
yang sedang/telah terjadi, catatan, ... ... ...
4. PRA PRODUKSI DOKUMENTER
- RISET
Mulailah dengan subyek yang benar-benar membuat kita tertarik. Kalau kita
tidak tertarik, hasilnya akan menjadi tidak menarik juga. Mulailah dengan
cerita yang kita kuasai, bisa dipelajari, dan masuk akal.
Misalnya: Saya tertarik dengan isu perempuan dan HAM. Saya menguasai
isunya, saya tahu siapa saja yang akan jadi tokoh dalam cerita saya, saya sudah
membayangkan plot ceritanya, lokasi dan biaya operasional produksi pas
dengan budget saya...jadi itu film dokumenter.
Tapi...misalnya, ada isu tentang penyerapan anggaran daerah. Saya tidak
menguasai isunya, pejabat daerah yang saya rencanakan menjadi narasumber
ternyata enggan bicara...maka dokumenter itu bisa menjadi dangkal, tidak ada
isinya, atau bahkan tidak terselesaikan.
Bisa juga, isu dikuasai tapi lokasi produksi di Mozambique. Nominalnya jauh
dari biaya produksi saya...maka film-nya hanya sampai di proposal aja...
5. Film dokumenter yang dibuat dengan biaya dan kru independen, memiliki
keuntungan yang lebih banyak dibanding dokumenter yang dibuat untuk
stasiun televisi. Dokumenter bahkan semua jenis tayangan di televisi hanya
bisa bergerak di dalam pagar rating, share, iklan/sponsor, dan agenda setting
perusahaan media.
Sementara film dokumenter yang independen-yang akan teman-teman
produksi, lebih bebas. Mulai dari memilih isu, narasumber, sudut penceritaan,
dan pembiayaan. Selama itu tidak melanggar HAM, tidak merusak lingkungan,
tidak memojokkan SARA tertentu, dan tidak dengan sengaja menghina
orang/lembaga.
===
Dasar kuat film dokumenter ada pada tahap RISET.
OK, kita sudah tahu isu besar yang kita akan diangkat. Kadang tema besarnya
sudah jelas, tapi kadang sangat kabur. Yang harus dilakukan adalah
mengumpulkan lebih banyak informasi dan petunjuk. Disinilah kita harus
bersikap seperti jurnalis.
6. Jurnalis memiliki sifat dasar:
- kepo (mau tahu, menyerap informasi dengan baik)
- tukang ngayal (mampu mengolah setiap informasi yang didapat menjadi
petunjuk dan mengolahnya menjadi cerita yang menarik).
Dengan kepo dan ngayal kita bisa menemukan jiwa cerita kita dan sudut
penceritaan yang menarik.
CONTOH: RUMAH MULTATULI
Sebelumnya tidak satupun dari kami yang kenal dengan Ubaidillah Mochtar,
guru SMP Satu Atap Sobang, Lebak, Banten. Lebak dimanapun saya tidak tahu.
Kalaupun ke Banten paling sampai Tangerang. Lalu seseorang memberi kami
informasi, bahwa di Banten ada taman bacaan yang namanya Multatuli. Sejak
SD saya suka pelajaran sejarah. Saya merasa familiar dengan kata Multatuli. Ini
‘kan nama pena Eduard Douwess Dekker, tokoh pergerakan Nasional. Kenapa
bisa sampai ke Lebak? Dimana pula ini Lebak? Kepo dong...
7. Saya kemudian membuat janji dengan Pak Ubai di rumahnya di Depok. Ketika
bertemu, kepo saya ke bapak guru ini semakin menjadi. Dia punya rumah di
Depok, tapi mengajar di Lebak. Dibela-belain naik sepeda motor selama 3 jam.
Ini ada apa?
Ternyata, Pak Ubai memang bercita-cita menjadi guru yang PNS. Tuhan
mengabulkan doanya, tapi kok ya di Lebak. Dia sempat ragu. Situasi di Desa
Sobang membuat dia langsung teringat dengan buku Max Havelaar karya
Multatuli. Dia sadar bahwa Lebak di lebih 100 tahun lalu dan Lebak hari ini,
tidak jauh berbeda. Belum teraliri listrik, sekolah jauh, infrastruktur jelek. Tapi,
dia menemukan keinginan untuk maju di dalam diri anak-anak disana. Anak-
anak yang ingin hidupnya lebih baik, anak-anak yang punya mimpi untuk
komunitasnya, anak-anak yang akhirnya membuatnya memutuskan untuk
mengambil tugas mengajarnya di Desa Sobang.
Dan untuk anak-anak Desa Sobang-lah, Pak Ubai mendirikan kelompok baca
dan perpustakaan yang diberi nama Taman Bacaan Multatuli. Melalui
kelompok baca dan Taman Bacaan Multatuli, Pak Ubai membangun mimpi agar
bla bla bla...
8. Dari pecahan-pecahan informasi hasil ngepoin Pak Ubai, akhirnya kami bisa
membayangkan dokumenter ini akan bercerita tentang apa, siapa saja yang
akan bercerita, gambar apa saja yang akan diambil, hingga editingnya
bagaimana.
Untuk mengumpulkan informasi, banyak-banyaklah bertanya. Pertanyaan
penting hanya dua. WHY and WHY. Pertanyaan bodoh adalah pertanyaan yang
tidak ditanyakan.
- MEMBUAT RENCANA
a. Buat GARIS BESAR. Mau cerita tentang apa siy? Poin atau pesan apa yang
ingin disampaikan.
b. Bagaimana dokumenter ini akan bercerita. Apakah dengan narasi, verite,
atau gambar.
c. STRUKTUR. Apa atau siapa yang akan mengawali cerita.
d. Dari hasil riset, MATERI apa saja yang kita butuhkan. Apakah video saja
cukup? Apakah foto-foto akan menguatkan cerita? Dokumen apa saja yang
dibutuhkan?
9. e. Tentukan POIN/PESAN yang ingin disampaikan
f. Jumlah hari yang dibutuhkan untuk riset, produksi, dan pasca produksi
g. Tentukan alat-alat yang akan dibutuhkan (kamera, lampu, mic, ... ...)
h. WISH LIST. Wish list menjadi semacam bahan-bahan untuk membangun
cerita. Tentukan hal-hal menarik, penting, lucu, atau intrik yang ingin
dimasukkan. Untuk mendukung cerita, gambar apa saja yang dibutuhkan dan
lokasinya. Siapa yang akan menjadi narasumber. Daaannn...yang paling sering
jadi kegelisahan adalah...berapa biaya yang akan kita butuhkan. Nah, wish list
akan membantu kita menghitung biaya.
PRODUKSI DOKUMENTER
- PENGAMBILAN GAMBAR
Praktisnya produksi dokumenter biasa disebut shooting. Tahapan ini
sepertinya menjadi tahapan paling penting dalam produksi sebuah film
dokumenter. Tapi, produksi tidak akan berjalan efisien dan efektif tanpa
rencana yang matang. So, biasakan membuat rencana.
10. Pada tahapan ini, wish list akan menjadi kitab suci. Jadi kita tidak akan
membuang waktu dan energi untuk mengambil gambar yang tidak perlu.
Fokus pada rencana. Kalaupun ada hal baru yang kita dapat di lapangan, segala
persiapan yang sudah kita lakukan pada tahapan riset akan sangat membantu
kita menimbang dan mengambil keputusan, apakah hal baru yang kita temui
akan kita ambil gambar dan ceritanya, atau kita tetap konsentrasi pada
rencana semula.
- WAWANCARA
Jurnalis di lapangan biasa bilang nanya-nanya narasumber sebagai wawancara.
Kalau talkshow di TV menyebutnya dialog. Kalau samapejabat, saya biasanya
bilang ...kita butuh keterangan dari bapak/ibu. Tapi kalau berhadapan dengan
orang-orang yang tidak akrab dengan TV, saya biasa bilang...saya pengen
ngobrol sama bapak/ibu. Saya pengen dengar cerita tentang bapak/ibu.Tapi
direkam ya pak...bu....
Intinya, wawancara adalah mendapatkan informasi/fakta/cerita dari subyek
dalam cerita kita. Posisi kita dengan orang yang kita wawancarai adalah
SETARA. Yang kita ingin lakukan adalah membuatnya bercerita. Jadi, dasarnya
adalah RASA PERCAYA.
11. Saya pernah mengaku hamil di kereta hanya supaya bisa tetap duduk dan
tidur. Saya tidak menceritakan tentang ini ke semua orang, atau di social
media. Saya tidak mau dihakimi, dan saya yakin tidak semua orang mau
dihakimi. Jadi, saya menceritakan ini ke orang yang saya percaya, yang akan
mendengarkan saya, yang membuat saya nyaman menumpahkan isi kepala
dan hati tanpa dihakimi.
Jadi, posisi kita sebagai pewawancara adalah setara dengan orang yang kita
wawancarai. Dan kita harus menghadirkan diri sebagai orang yang bisa
dipercaya, sehingga narasumber kita bisa memberikan semua informasi yang
dibutuhkan untuk film dokumenter kita.
OK...ketika wawancara, mau mulai dari mana? Apa yang semestinya
ditanyakan untuk pertama kali.
Untungnya produksi dokumenter, kita punya waktu yang intensif dengan
semua elemen. Mulai dari narasumber, dokumen-dokumen, alam,
lingkungan...mulai dari tahapan riset. Jadi kita dan subyek cerita kita bukan
sama sekali orang asing.
12. Karena bukan orang asing atau lingkungan yang asing, bahkan mungkin sudah
akrab, kita tidak perlu basa-basi sebelum melakukan wawancara. Basa-basi itu
seperti: bapak sibuk apa sekarang? Anak-anak sekolah dimana, bu? Sama
keluarga paling sering makan dimana?
Kita bisa langsung menanyakan semua yang informasi yang ingin kita
dapatkan. Ada 2 metode wawancara:
- hal umum hal khusus
- hal khusus umum
Penjelasan - hal umum hal khusus:
Kita mau produksi dokumenter tentang seorang ibu yang melakukan
pemberantasan jentik nyamuk di desanya.
Pertanyaan umum:
- apa saja kegiatan ibu sehari-hari? Ceritakan dong bu...
Jawab: owh saya bangun jam 5, lalu saya masak dan beberes rumah. Jam 8
saya biasanya mulai melakukan kunjungan ke rumah warga.
- apa yang ibu lakukan? Seberapa mengkhawatikan kasus demam berdarah di
kampung ini? Apa saja upaya pencegahan DBD?
13. Pertanyaan khusus:
- ibu cari apa siy bu tiap hari dengan gigihnya mengingatkan warga tentang
bahaya nyamuk demam berdarah, meninggalkan rumah, belum lagi ada saja
orang yang ga suka atau ga peduli dengan apa yang ibu lakukan...apa yang
membuat ibu tetap konsisten?
- bagaimana ibu menjaga semangat?
Penjelasan - hal khusus hal umum:
- ibu selalu bersemangat melakukan sosialisai pemberantasan nyamuk, kenapa
siy bu?
- apa yang ibu rasakan setiap kali bertemu dengan warga dan mengajak
mereka mencegah perkembang biakan nyamuk?
- upaya apa saja yang bisa dilakukan untuk mencegah nyamuk DBD
berkembang biak?
- sejak kapan ibu melakukan kegiatan ini?
Memulai bertanya dari hal khusus ke hal umum, bisa memberikan kita sudut
penceritaan yang berbeda. Tapi, mau menggunakan metode yang manapaun
tidak menjadi masalah.
14. Ketika wish list sudah terpenuhi dan kita sudah mengumpulkan semua materi
produksi gambar, dokumen, wawancara-wawancara, saatnya menulis
naskah.
Penulisan naskah masuk ke dalam tahapan pasca produksi.
PASCA PRODUKSI
- Penulisan Naskah
Penulisan naskah merupakan tuturan cerita kita kepada penonton. So, mau
dimulai dengan menceritakan apa?
Sama seperti wawancara, kita bisa bercerita dari hal yang umum lalu ke
khusus, atau sebaliknya. Tadi pada tahap ‘membuat rencana’ kita sudah
membuat poin atau pesan-pesan yang ingin disampaikan. Itu bisa menjadi
panduan, sehingga tidak ada bagian yang ketinggalan atau lupa diceritakan.
Beri porsi penulisan yang lebih panjang pada bagian yang menarik. Pada waktu
wawancara, kita sudah melakukan pengumpulan informasi lebih dalam dan
luas pada bagian yang menarik, nah...informasi yang lebih banyak ini bisa
menjadi modal untuk menulis lebih banyak untuk bagian yang menarik.
15. Penulisan naskah berbentu narasi hanya dilakukan bila kita mengambil bentuk
film dokumenter yang dituturkan dengan narasi. Ada pengisi suara yang
membacakan cerita kita untuk penonton.
Sementara, kalau kita mengambil bentuk verite, yang kita susun adalah
potongan-potongan hasil wawancara, sehingga membentuk tuturan satu
rangkaian cerita.
Begitupun dengan film dokumenter yang bertutur dengan gambar. Mulai dari
tahapan shooting, tim produksi harus sudah merencanakan dengan detail
gambar-gambar apa saja yang dibutuhkan untuk bisa terangkai menjadi satu
cerita yang pesannya bisa dipahami oleh penonton.
Pada saat penulisan naskah, kita harus sudah mulai memikirkan dramatisasi
atau roller coaster cerita. Emosi akan naik ketika kita menceritakan tentang
apa, turun di bagian mana. Tapi yang pasti, dasar penceritaan itu ada 3.
INTRODUCTION, CLIMAX, ANTI CLIMAX.
16. Pada introduction kita mengenalkan tokoh, lokasi, kegiatan yang ia lakukan,
masalah yang ia hadapi, cita-cita atau impiannya.
Nah, pada tahap klimaks, yang kita ceritakan adalah BAGAIMANA dia
menghadapi masalah atau meraih tujuannya. Deritanya. Kegelisahan.
Perjuangan. Bagaimana dia berhasil atau gagal mengatasi masalah atau proses
dia mencapai tujuan. Bagian klimaks adalah tempat untuk menaikkan mood
penonton.
Subyek berhasil atau tidak, tujuan tercapai atau tidak...lalu apa? Lalu
bagaimana? Nah, pada tahapan inilah mood cerita kita turunkan. Kita masuk ke
bagian anti klimaks. Pada bagian ini disampaikan tentang apa yang dirasakan,
rencana ke depan bagaimana, dan harapan.
Shooting sudah, naskah sudah jadi, sekarang saatnya untuk editing.
17. - EDITING
Editing itu seperti mengumpulkan puzzle. Menempatkan potongan-potongan
gambar dengan tepat sesuai dengan naskah yang sudah disusun. Naskah
sejatinya sudah menjadi panduan ketika melakukan proses editing. Panduan
untuk menentukan mood atau emosi dokumenter kita.
OK, bagian paling akhir dari proses pembuatan film dokumenter, tapi
semestinya harus diingat dari awal proses produksi, adalah...
- CEK LEGALITAS DAN HAK CIPTA
Mungkin film dokumenter kita menggunakan foto, video, atau dokumen
rahasia. Apakah sudah mendapat ijin dari si empunya dokumen. Jangan sampai
kita mendapat tuntutan hukum.
Atau ketika wawancara, narasumber kita sudah mention off-the record, tapi
tetap ditayangkan...nah, jangan! Hargai permintaan narasumber. Atau ketika
pengambilan gambar, ada orang yang minta supaya gambar dia tidak
ditayangkan, nah itu harus dihormati juga.
18. Termasuk juga musik...semisalnya kita menggunakan backsound. Apakah si
empunya musik sudah tahu kalau karya ciptanya akan kita gunakan. Apakah
pembayaran royalti sudah beres atau belum. Intinya, jangan sampai film
dokumenter yang kita buat malah melanggar hak orang atau kelompok
tertentu.
Tahapan yang saya sampaikan merupakan panduan yang akan membantu
produksi berjalan efektif dan efisien. Tidak molor, tidak ada gambar yang
terbuang, tidak buang waktu untuk menulis yang tidak perlu, editing-nya
bagus. Seringkali apa yang kita hadapi di lapangan, benar-benar berbeda
dengan rencana yang sudah disiapkan. Karena itu, biasakan memiliki plan B
atau bahkan C dan D. Seandainya si A tidak mau bicara, pertimbangkan si B.
Kalau naik motor tidak bisa, bagaimana kalau kita coba jalan kaki. Meskipun
narasumber berubah, lokasi berganti, tahapan-tahapan ini masih bisa
diaplikasikan.
19. Rencana sudah berjalan, naskah bagus, editing memuaskan, legalitas dan hak
cipta sudah aman...maka VOILA...film dokumenternya sudah jadi. Pasti pengen
dong supaya film ini dilihat banyak orang...supaya menggugah bahkan
menginspirasi...tinggal di launching aja niiiyyy...SIP! SELAMAT BERKARYA,
TEMAN-TEMAN!!!
TERIMAKASIH!!!