Buku Koki Otonomi karya Jose Rizal mengisahkan kisah hidup Prof Djoher Rasyid, seorang ahli otonomi daerah. Buku ini menggali sisi kehidupan pribadi dan latar belakang Prof Djoher yang selama ini belum banyak diketahui publik. Mulai dari masa kecil, pendidikan, karir, hingga filosofi hidupnya. Melalui buku ini, pembaca dapat memahami bagaimana pengalaman hidup membentuk kepakaran
1. Oleh:
JOSE RIZAL
PENULIS SANG ABDI PRAJA,
(GRAMEDIA, 2013), KARISMA
AYAHKU, (GRAMEDIA, 2018), KOKI
OTONOMI (KOMPAS, 2020)
2. 1. Asalamualaikum.Bapak Ibu rekan yang saya hormati. Ijinkan saya terlebih dahulu
menyampaikan terima kasih kepada para pembaca, atas respon dan antusias
yang tinggi terhadap terbitnya Koki Otonomi. Hanya dalam 5 hari, stok buku cetak
pertama yang ada pada kami telah ludes, dan sekarang menunggu cetak kedua yg
tiba, insya allah, pada 25 Juli nanti. Tapi, jgn khawatir, di Gramedia masih cukup
banyak tersedia. Berbagai komentar puas juga kami dengar dari sejumlah
pembaca, ada yang sudah khatam hanya dalam 2-3 hari. Padahal buku ini
mencapai 512 halaman.
2. Sebelum saya paparkan konten KokiOtonomi, Saya ingin ungkap kisah di balik
terbitnya Koki Otonomi ini.
3. Jadi begini, telah menjadi sebuah tradisi bagi kami purna praja, bahwa, kalau tiba
di sebuah daerah itu, wajib menghadap seniornya. Saya ingat, kebiasaan
silaturahmi ke senior ini dilatih semenjak cuti pertama menjadi muda praja.
Ditugaskan minta tanda tangan senior. Tapi filosofinya, membiasakan
bersilaturahmi. Nah, hal ini, lama-lama jadi kebiasaan, bahkan sampai bertugas di
lapangan, menjadi pamong, kita biasakan menemui tokoh di daerah silaturahmi,
konsultasi permasalahan dst.
4. Hijrah ke Jakarta, 2 tahun lalu, sejumlah senior saya datangi, termasuk Pak Dekan
Muhadam Labolo, senior STPDN angkatan 04. Hingga tentu saja Prof Djo.
3. 4. Dalam pertemuan dengan Prof Djo tersebut, sampailah kami
diskusi soal dunia literasi, kultur tulis-baca yang masih minim
diminati para pamong. Saya katakan, “Prof, mungkin minat
pamong praja akan terpicu bila di toko buku memajang succes
story birokrat senior. Selama ini, barometer PNS panutan
(akademisi dan praktisi) itu di Prof Djo, dan juga ada Prof Ryaas
Rasyid. Tapi kisah, biografi sedikit sekali, apalagi yang memuat
kisah hidup seorang Pamong Praja. Kebanyakan itu buku politisi
dan bisnisman. Saya coba tembak langsung, “bagaimana kalau ada
juga buku tentang Prof Djo?”
5. Waktu itu Prof Djo hanya komentar pendek, “itu nanti dululah,
Jos” waktu itu beliau memang tampak tak berselera untuk
membuat buku.
6. Tapi saya surprise, ketika seminggu kemudian, sebuah pesan WA
dari beliau muncul di layar HP saya, “Jos, kapan kita nulis buku?”
4. 7. Setelah itu, semua berlangsung cepat, kami janjian,
wawancara, nulis, koreksi, diskusi, edit tulisan, hingga buku
ini akhirnya bisa terbit 6 Juli 2020 lalu oleh Penerbit Kompas
setelah digarap kurang lebih 1 tahun.
8. Bapak, Ibu, dan rekan sekalian. Terus terang, saya merasa
beruntung, karena rupanya telah banyak penulis yang
“melamar” Prof Djo. Di antara mereka bahkan sudah banyak
menerbitkan buku para tokoh yg tak kalah tenarnya. Tapi
rupanya Prof Djo memilih saya menjadi partner menulis
#KokiOtonomi.
9. Saya penasaran. Hal ini pernah saya tanyakan ke Prof Djo,
mengapa mau tandem nulis kisahnya dengan saya, apa jawab
Prof Djo, “saya suka dengan gaya penulisan Jos di Novel Sang
Abdi Praja (Gramedia2013), lagipula, dengan latar Jos dari
pemerintahan maka saya pikir, dapat dgn mudah menangkap
dan menuangkan pemikiran saya tentang otonomi daerah.”
5. 10. Jadi itulah Bapak/Ibu, rahasia dapur sampai KokiOtonomi
terbit.
11. Prof Djo seperti yang tampak di media cetak, elektronik. Prof
Djo yang paham luar dalam otonomi daerah. Prof Djo yang
meraih puncak tertinggi Akademisi, dan Top manajemen di
struktur birokrasi. Sosok inilah yang tampak dan akrab di
mata dan benak kita.
12. Nah, sudut yang lain, adalah figur beliau yang tak pernah
diungkap media manapun. Selama ini terselubung rapat.
Siapa orang tuanya, kawan yang berpengaruh dalam hidup
beliau? bagaimana Prof Djo merenung, galau, kesal, marah,
sedih, senang? Cara guru besar IPDN ini menghadapi
masalah dan strategi mencari solusi? Banyak yg belum
mengetahuinya.
6. 13. Memperkaya khasanah keilmuan kita, saya ingin
komparasikan dgn biografi/kisah hidup sejumlah tokoh,
nasional maupun dunia. Bung Karno: Penyambung Lidah
Rakyat Indonesia, Cindy Adams/ Malcolm X(Malcolm dan
Alex Haley), Einstein, His Lige and Universe, Walter Isaacson,
“Hidup itu seperti mengendarai sepeda, agar tetap seimbang
kau harus tetap bergerak,” Masa kecil terlambat bicara,
sampai disangka bodoh dan sakit. Steve Jobs juga karya
Walter, yang tertutup dan tempramental. Artinya biografi
harus berani terbuka. Terbuka itu jujur. Jujur membuat trust,
kepercayaan pembaca bahwa buku ini penting dan bukan
pencitraan.
14. Nah, bagaimana dengan Koki Otonomi, apakah juga
mengungkap sisi natural, alamiah, humanis Pakar otonomi
daerah ini? lets see..
7. 15. Nilai-nilai kehidupan beliau, telah terbentuk semasa kecil. Boyong, panjang akal,
karena suka makan, atau karena suka makan itulah ia panjang akal, kincir-kincir
dalam kepala beliau yang berputar mencari solusi. Kisah rendang, dicari di lemari
khusus Papa. Dan nasi goreng jagung, ketahuan One Jalisah. Terobos pagar kawat
sekolah, pulang makan, masuk lagi.
16. Boyong nyalinya gadang, nekat, percaya diri. Sedari kecil Papa ditahan, tak
membuatnya minder. PRRI membuka cakrawala untuk bersikap adil pada daerah.
Dengan tingkah cerdas dan lucunya, tante Belanda dan tante Lin, kerap beri
Boyong makanan dan diajak jalan-jalan. Nekat pernah jalan kaki kramat raya
kampung melayu, tak sabaran.
17. Prinsip hidupnya, pendidikan nomor satu, sudah tampak saat ingin masuk SD.
Boyong marah, gagal masuk, tak bisa sentuh telinga. Harusnya masuk sekolah
karena tes ujian, padahal Boyong sudah kenal angka, huruf, bahkan huruf
hijaiyah. “boyong kan ingin daftar sekolah, bukan daftar sirkus..” katanya.
18. Aspek kesederhanaan yang melahirkan kreatifitas. Sekolah di zaman susah,
keluarga susah. Tak ada uang jajan. Membuat kembali kincir-kincir kepalanya
kembali mutar, dia cari botol bekas, kumpulkan, dapat uang, bisa jajan.
19. Tekad kuat. Masuk Jakarta, niatnya untuk berhasil. Cepat beradaptasi. Ia sudah
hafal nama2 jalan Jakarta. Nama ganti Buyung.
20. Nilai kerapian. Dari Mama. Baju licin, bersih, rambut rapi, tertib.
8. 21. Hikmah kehidupan beliau, berdagang. Penjual koran, terminal opelet Kampung
Melayu. Berani, melamar kerja ke agen koran, diinterview, dan Buyung ini bisa
meyakinkan si Agen, dan lolos jadi penjual koran. Juga pernah bantu jualan
sembako di pasar mester. Mengurus becak dan angkot yang dimiliki Papanya.
22. Disiplin dan beretika. Ada kisah Ikat pinggang Papa. Dimana filosofi Minang etika
ditanamkan. Kato nan ampek: mandaki, manurun, mandata, dan malereang.
23. Romantisme. Cinta monyet masa SMP Santa Maria Fatima. Nama sudah dipanggil
Djoher. Suka anak Cina, surat-suratan. Ditolak. “Djoher, kita ini masih kecil,
enggak boleh pacaran. Kita harus rajin belajar. Kita Berteman saja ya.” di SMA 7
Jakarta demikian juga, ada pdkt dgn tuti, juga gaul, ikutan gaya elvis presley dan
john lennon. Ikutan pecinta alam (camp of youth),
24. Suka membantu. Ini dari hobi Papanya, gemar tampung perantau Minang di
rumahnya. Boleh menginap, dikasih modal usaha, sampai bisa mandiri.
25. Joki Ujian. Ujian persamaan SMA. Seorang kawan pernah katakan jangan
masukkan kisah ini, karena ada nilai negatif. Tapi saya bersikeras, agar tetap
masuk untuk menunjukkan Buku ini apa adanya.
9. 26. Saya menangkap titik balik , key moment beliau adalah saat tak lolos masuk
Akpol. Silakan pembaca berpendapat lain. Sudah punya harapan tinggi, latihan
keras, lolos terus, namun di saat akhir rupanya gagal.
27. Ada perubahan karakter, beliau jadi pemarah, lunglai, patah arang. Lagi2 sosok
Papa yang mencarikan jalan, masuk sekolah camat di Bukittinggi. Nah, disinilah
pangkal jalan yang jelas dan lurus seorang Guru Besar IPDN ini bermula.
28. Support dari keluarga juga nilai penting. Dilema beliau, tatkala mendapatkan
beasiswa ke Amerika di sisi lain anaknya sedang sakit dan harus jalani operasi.
Karakter Ibu Titi, sangat menentukan disini. Beliau wanita tegar yang justru
menyemangati Prof Djo untuk tetap fokus jalani pendidikan.
29. Dari KOkiOtonomi tampak bahwa kepakaran Otonomi Daerah yang Prof Djo miliki
tidak saja diperoleh semasa pendidikan di APDN, IIP, Amerika dan short course
lainnya, melainkan juga dari akumulasi pengalaman dan pengaruh lingkungan
yang ada di sekitar Prof Djo.
30. Akhirnya saya pikir, selera akan terus bertukar, diperlukan koki-koki pemerintahan
yang piawai meracik berbagai bumbu, agar cita rasa pengelolaan pemda sesuai
dengan kebutuhan dan potensi daerah. jadi ke depan, bisa saja akan ada buku
Koki Otonomi Jilid II, atau Koki-Koki Otonomi lainnya yang berasal dari kader
pemerintahan masa kini. Siapa tahu.
10. Sabda rasulullah “Barangsiapa di antara
kalian melihat suatu kemungkaran maka
hendaklah ia mengubahnya dengan
tangannya, jika tidak bisa maka dengan
lisannya, jika tidak bisa juga, maka dengan
hatinya, itulah selemah-lemahnya
iman.”[HR. Muslim dalam Al-Iman (49)]
dan bagi saya, membuat buku itu
merupakan upaya mengubah kemungkaran
melalui 3 upaya sekaligus : melalui tangan,
lisan, dan hati.