Dokumen tersebut membahas sejarah dan konservasi perkotaan sebagai dasar perancangan kota. Ia menjelaskan perkembangan kota-kota di masa lalu seperti Majapahit, kota Indis, kota Islam, dan kota-kota di India dan Cina serta unsur-unsur yang mempengaruhi penataannya. Dokumen ini juga menyoroti pentingnya mempelajari sejarah perkotaan untuk merancang kota yang lebih baik.
Bento88slot Situs Judi Slot Terbaik & Daftar Slot Gacor Mudah Maxwin
Sejarah dan konservasi perkotaan sebagai dasar perancangan kota
1. SEJARAH DAN KONSERVASI PERKOTAAN SEBAGAI DASAR
PERANCANGAN KOTA
Antariksa
Pendahuluan
Dewasa ini kota-kota di dunia telah banyak mengalami perkembangan dan
perubahan yang sangat pesat, dalam perubahan tersebut, bangunan,
kawasan maupun objek budaya yang perlu dilestarikan menjadi rawan untuk
hilang dan hancur, dan dengan sendirinya akan digantikan dengan
bangunan, kawasan ataupun objek lainnya yang lebih bersifat ekonomis-
komersial. Gejala penurunan kualitas fisik tersebut, dengan mudah dapat
diamati pada kawasan kotakota tersebut pada umumnya berada dalam
tekanan pembangunan. Dengan kondisi pembangunan yang ada sekarang,
budaya membangun pun telah mengalami perbedaan nalar, hal ini terjadi
karena kekuatan-kekuatan masyarakat tidak menjadi bagian dalam proses
urbanis yang pragmatis. Urbanisasi dan industrialisasi menjadikan fenomena
tersendiri yang menyebabkan pertambahan penduduk yang signifikan serta
permintaan akan lahan untuk permukiman semakin meningkat di perkotaan.
Bagian dari permasalahan itu, akan membuat kawasan kota yang
menyimpan nilai kesejarahan semakin terdesak dan terkikis. Pertentangan
atau kontradiksi antara pembangunan sebagai kota “modern” dengan
mempertahankan kota budaya yang masih mempunyai kesinambungan
dengan masa lalu, telah menjadikan realitas permasalahan bagi kawasan
kota
Pendekatan perancangan kota yang banyak dilakukan pun jarang
mengakomodasi keberagaman struktur sosio-kultural yang telah terbentuk
di kawasan tersebut. Para perancang kota lebih sering melihat kota sebagai
benda fisik (physical artifact) ketimbang sebagai benda budaya (cultural
artifact). Perangkat rencana kota yang ada saat ini, selain masih belum
banyak dipakai secara sempurna untuk mengendalikan wujud kota, secara
umum pun belum dapat memberikan panduan operasional bagi
terbentuknya ruang kota yang akomodatif terhadap fenomena urban, baik
situasi dan kondisi serta masyarakat yang menikmatinya. Atau dengan kata
lain, masih terdapat adanya kesenjangan antara rencana tata ruang yang
bersifat dua dimensi dengan rencana fisik yang bersifat tiga demensi.
Dengan demikian, konservasi/pelestarian bukanlah romantisme masa lalu
atau upaya mengawetkan kawasan kota yang bersejarah, namun lebih
ditujukan untuk menjadi alat dalam mengolah transformasi melalui
pemahaman tentang sejarah perkotaan dan aspek-aspek dalam pelestarian
yang dijadikan dasar dalam merancang sebuah kota.
Sejarah Kota dan Kawasan (What is Urban History and Urban Area?)
Kota adalah wadah dan wajah masyarakat yang akan terus bertahan atau
2. dipertahankan. Rumusan tersebut perlu adanya suatu penegasan, yaitu
bahwa: setiap kota pasti mempunyai sejarah; di mana, mengapa dan kapan
didirikan, dibangun dan dipertahankan; bagaimana kotakegiatan
perencanaan teknis dan non-teknis (simbolis dan nilai budaya).
Sejarah perkotaan (urban history) pada dasarnya merupakan bidang studi
internasional yang ingin mencoba menjawab beberapa pertanyaan dasar
mengenai nature of our societies, dengan menggunakan pendekatannya
yang cenderung multidisiplin, maka dalam sejarah perkotaan tidaklah luar
biasa untuk dapat menemukan beberapa ahli di antaranya, adalah ahli
sejarah, arsitektur, geografi, perencana, atau kritikus sastra, dan mereka
semua dapat dinamakan sebagai ahli sejarah perkotaan. Di sisi lain sejarah
perkotaan mempunyai hubungan erat dengan local history, dan studi
tersebut difokuskan pada masalah lokal, atau beberapa aspek dari
kehidupan di komunitas lokal serta dilakukan dengan sebuah analisa dan
penjelasan.
Ada empat pendekatan dalam bidang sejarah perkotaan yang dapat
diidentifikasi: Pertama, secara umum ditekankan pada proses urbanisasi
termasuk elemen demografi, struktur atau pendekatan sistem, dan aspek
perilaku urbanisasi. Kedua, adalah urban biography merupakan tempat
bersejarah yang istimewa, dan berhubungan dengan beberapa segi dari
sebuah kota, seperti transportasi, pemerintah kota, perkembangan fisik,
masyarakat dan organisasi sosial. Ketiga, memperlakukan beberapa tema,
seperti ekonomi, sosial, arsitektur, dan sebagainya dalam konteks sebuah
kota. Keempat, cultural studies, merupakan jalan baru dalam “reading”
cities, dan memperkenalkan konsep untuk “read” communities.
Belajar dari Sejarah Awal Berkembangnya Perkotaan
Dengan mempelajari sejarah kota, kita akan dapat melihat
pengejawantahan pemikiran jujur tentang penataan kota masa lampau, dari
tata cara penataannya, sampai pada sumber kehidupan warisan sejarah
sebagai tempat beraktivitas. Banyak hal yang dapat dipetik dengan
mempelajari sejarah perkotaan dari Majapahit-Kota Indis-Kota Islam dan
dari negara lain seperti India-Cina-Jepang, akan dapat memberikan
tambahan pemahaman arti sejarah perkotaan yang lebih mendalam.
Tata ruang kota Majapahit
Struktur kekuasaan dari kerajaan Majapahit mempunyai pengaruh besar
pada organisasi ruang kotanya, hal ini dapat dilihat dengan adanya: 1.
wilayah inti pusat kerajaan Majapahit; 2. wilayah inti sistem candi-candi
kerajaan Majapahit; 3. wilayah kantong (enclave) pemujaan arwah nenek
moyang; dan 4. wilayah perdesaan kerajaan Majapahit. Di samping itu,
perkembangan dari Majapahit secara makro wilayah dipengaruhi arus
kecenderungan pertumbuhan, yaitu arus perkembangan kebudayaan Hindhu
Jawa; dan perkembangan global di pihak lain. Pada penataan kota Majapahit
3. mendapatkan pengaruh dari kebudayaan Hindhu-India yang datang ke Jawa
melalui medium agama Hindhu-Budha. Dengan demikian, kota Majapahit
merupakan perpaduan antara unsur-unsur dua kebudayaan, India dan Jawa.
Untuk ciri pola tata ruang kota Majapahit, dapat dilihat adanya: 1. pola
ruang berpusat, dengan kawasan inti berpola grid, sedangkan kawasan luar
melingkar berpola sirkular; 2. kawasan antara merupakan kawasan transisi,
antara dua hierarkhi kawasan, antara dua tingkat masyarakat kota, dan dua
jenis pola keruangan kota, terkendali dan organis; 3. keseluruhan kawasan
kota merupakan sistem kerungan terbuka, baik secara ekologis, secara
sosial, maupun secara kewilayahan yang diwujudkan dalam bentuk kota
tanpa dinding fisik; dan 4. pemilihan perpaduan pola keruangan kawasan
kota tersebut di atas dapat menjadi strategi keruangan jangka panjang yang
adaptif.
Perkembangan awal kota Indis
Kota Indis, muncul pada waktu hadirnya pemerintah kolonial Belanda, mulai
abad ke-16. Pada awalnya perkembangannnya, kota ini menjiplak kota-kota
asalnya, dalam perkembangannya, seorang ahli perkotaan Peter JM. Nas
membedakan kota menjadi empat macam, yaitu di antaranya: kota awal
Indonesia; kota Indis; kota kolonial; dan kota modern. Dalam kota Indis
diketahui terdapat adanya: a. daerah benteng yang dihuni oleh pejabat-
pejabat dan pegawai-pegawai VOC; b. daerah perdagangan yang dihuni oleh
orang-orang asing (kebanyakan orang-orang Cina); dan c. Kampung (pada
awalnya berada di luar benteng), yang dihuni oleh penduduk pribumi.
Kemudian pada perkembangan berikutnya, kota awal Indonesia memiliki
struktur yang jelas mencerminkan tatanan kosmologis dengan pola-pola
sosial-budaya yang dibedakan dalam dua tipe, yaitu kota-kota pedalaman
dengan ciri-ciri tradisional, religius; dankota-kota pantai yang berdasarkan
pada kegiatan perdagangan. Ada tiga ciri untuk memahami struktur ruang
lingkup sosial kota kolonial, yaitu antara lain: budaya; teknologi, dan
struktur kekuasaan kolonial.
Pada kota-kota lama di Jawa sampai abad ke-18 tidak mengalami
perkembangan yang berarti, dan kota-kota yang tidak mempunyai fungsi
perdagangan, umumnya menjadi kota pusat pemerintah daerah. Bentuk
kota kabupaten digambarkan tidak jauh berbeda dengan perdesaan
sekitarnya, dan kelompok bangunan di kota-kota lebih rapat satu sama lain,
dibanding kelompok perumahan di perdesaan. Untuk kota-kota pantai kuno,
kelompok perumahan di kota pusat pemerintahan lebih jarang, bentuk
bangunannya masih tradisionil. Elemen pembentuk ruang pada kota
tradisional Jawa, antara satu dengan lainnya menggunakan dua prinsip,
yaitu di antaranya mikrokosmos dualistis; dan mikrokosmos hirarkhis.
(Santoso 1984)
Karakteristik kota Islam
4. Dengan masuknya Islam, maka pengaruhnya pun juga memberikan ciri atau
karakteristik kota Islam, yaitu antara lain: mempunyai benteng; mempunyai
kompleks kediaman penguasa (istana; bangunan-bangunan pemerintahan;
dan bangunan-bangunan pasukan pengawal); mempunyai civic center
(masjid Jamik dengan madrasahnya; dan pasar); mempunyai
perkampungan untuk penduduk dengan pengelompokkan (etnis; agama;
dan ketrampilan); dan di luar benteng terdapat perkampungan untuk
komunitas dengan beberapa (pekerjaan tertentu; dan pemakaman).
Untuk komponen-komponen pokok dari kota Mataram-Islam dan kota yang
berkembang di wilayah pantai utara Jawa dapat dikelompokkan: 1. Fungsi
tempat tinggal dalam dua komponen: a. kraton beserta alun-alunnya bagi
penguasa dan keluarga terdekatnya; dan b. permukiman lain yang terbagi
dalam dua macam, yaitu antara lain: dalem bagi golongan bangsawan dan
elite birokrat; dan permukiman bagi rakyat non elit; 2. Fungsi keamanan
tercermin dalam komponen, yakni benteng baik dalam maupun luar, jagang,
dan jaringan jalan; 3. Fungsi ekonomi tercermin dalam keberadaan pasar,
jaringan jalan, serta nama tempat yang menunjukkan profesi; 4. Fungsi
religi terlihat dalam keberadaan masjid, nama tempat yang menggambarkan
profesi keagamaan dan alun-alun; dan 5. Fungsi rekreasi terlihat adanya
taman dan krapayak.
Penataan kota di India
Di dalam perencanaan kota dan desa di India waktu itu, salah satunya harus
memperhatikan Vastu-purusha mandala baik dengan tatanan 64 maupun
81. Dinding atau tembok kota dibangun sepanjang batas dari mandala; dan
jalan di buat dari arah utara-selatan dan timur-barat sepanjang garis padas
dari satu padas ke berikutnya. Vastu-purusha mandala: sebagai dasar
perencanaan kota Jaipur di India; dan semua jalan berada pada arah
longitudinal timur-selatan-timur, dan barat-utara-barat. Swastika, adalah
sebagai solar simbol bangsa Aryan kuno, dapat digunakan untuk
perencanaan: 1. rumah tinggal; 2. layout tata ruang; 3. perencanaan kota;
dan 4. menata sekuen dari jalan. Kheta, yang diperbolehkan untuk
bertempat tinggal di wilayah ini hanya kasta Shudra di sini tidak mempunyai
pusat; dan sebagai pusat adalah dinding/ tembok kota. Kemudian bentuk
sederhana dari perencanaan kotanya haruslah jelas: kasta Brahma, harus
bertempat tinggal dan bekerja di wilayah/bagian utara; kasta Kshatriya, di
wilayah/bagian timur; kasta Vaishya, di wilayah/bagian selatan; dan
kasta Shudra di wilayah/bagian barat. Dengan demikian, konsep dan
pedoman penataan kota di India sesuai yang termuat dalam pustaka
Manasara Silpasastra atau Kautilya Arthashastra. Di samping itu,
mereka juga mempunyai unsur-unsur permukiman atau kompleks pusat
kerajaan, antara lain: candi (mandira, devalaya); pasar (apana); jalan dan
lorong (vithi); saluran air-selokan; istana raja; perumahan umum; pasar;
gapura-pintu gerbang (gopura); tempat persediaan air, sumur; tembok
5. kota; jalan bawah tanah; benteng; dan menara jaga, dan sebagainya.
Awal dari perkembangan kota kuno di Cina
Kota-kota kuno Cina yang berhasil diketemukan dan dapat dijelaskan,
bahwa: 1. semua kota di kelilingi dengan dinding/tembok dari tanah; 2.
hampir keseluruhan bentuk pola kota adalah empat persegi dan persegi
panjang; 3. keseluruhan bangunan digunakan untuk tujuan politik dan
keagamaan; dan 4. ciri-ciri yang tetap/konstan adanya wilayah yang spesial
menurut prinsip Cina dari segregasi sosial. Pada perencanaan kota
Changan, kota di bangun dengan denah dasar simitris, mencakup area
panjang 6 mil dari timur-barat dan 5 mil 3 meter dari utara-selatan. Pada
bagian dinding-dindingnya mempunyai ketebalan 16 feet dan 22 mil 5 meter
panjangnya, dan mempunyai tiga pintu gerbang di utara dan barat, serta
delapan di utara. Kota dibagi menjadi lima bagian: a. di utara istana
kekaisaran; b. istana; c. di sebelah utara istana kekaisaran di kelilingi
dinding/tembok dari tanah; dan d. di selatan dari istana berisi bangunan
pemerintahan dan badan-badan lainnya. Di samping hal tersebut di atas,
dapat dilihat juga bahwa istana kekaisaran dan bangunan pemerintahan
yang berkembang pada waktu itu seluruhnya terpisah dari pasar dan daerah
tempat masyarakat bertempat tinggal. bersejarah, karena sebagian dari
perjalanan sejarah kawasan yang masih menyimpan sejumlah peninggalan
sejarahnya. itu mesti dibangun dan dikembangkan; serta adanya
Perkembangan awal kota di Jepang
Kata machi adalah berasal dari satu blok ladang yang ditanami. Di mana
sebuah ibu kota disusun/direncanakan dalam sebuah grid empat persegi
panjang. Hal ini juga dimaksudkan bahwa satu blok kota di kelilingi oleh
empat jalan, kemudian untuk Jori sistem adalah pembagian tanah untuk
ladang yang ditanami padi, sedangkan Jobo sistem adalah sistem untuk
pembagian tanahnya.
Tsubo, digunakan sebagai unit dasar dari ukuran tanah di dalam
perencanaan kota, dan unit terbesar dari pembagi adalah persegi berjumlah
dalam 36 area. Garis dari ri adalah timur-barat, sedangkan jo adalah
selatan-utara. Tsubo di kelilingi oleh empat jalan yang sempit dan unit
pembagi terbesar bo, di kelilingi oleh empat jalan lebar dinamakan oji.
Denah dari kota terdiri dari delapan bo timur-barat, dan sembilan bo
selatan-utara, untuk jalan utama yang di tengah, yang berjalan dari gerbang
utama ke halaman istana adalah merupakan bagian pemerintahan, di
dalamnya termasuk istana kekaisaran dan dinamakan Sujaku-oji. Jalan ini
membagi kota ke dalam bagian yang sama, separuh dari kiri dari bagian
kota dinamakan Sakyo, separuh sebelah kanan dari bagian kota di sebelah
barat, dan Ukyo separuh sebelah kanan dari bagian kota di sebelah timur.
Bo adalah menomori di sebelah luar dari pusat jalan, bo pertama, bo kedua,
bo ketiga, dan bo keempat ke timur dan barat. Untuk menetapkan posisi
6. arah di sebelah utara-selatan, garis dari empat bo dinamakan jo, dimulai
dengan jo pertama di utara, sampai jo kesembilan di selatan. Karena itu,
metode penamaan disebut sebagai pola dan perencanaan kota sistem jobo.
Empat persegi panjang bo adalah membagi lagi oleh persilangan yang
sempit ke dalam empat blok bujur yang serupa, dan sebagai akibatnya
adalah dimungkinkan untuk menata setiap rumah menghadap matahari dan
dengan halaman tamannya.
Konservasi Perkotaan
Pemahaman tentang konservasi
Jika kita ingin bergerak untuk menyelesaikan masalah pelestarian, ada tiga
pertanyaan kunci yang harus diajukan: (1) Apa yang ingin kita lestarikan?
(Bangunan?, Karakter kota?, Kehidupan?); (2) Mengapa kita ingin
melestarikan? (Karena aspek-aspek tersebut merupakan bagian dari warisan
kota?, Untuk meningkatkan lingkungan dan penduduk?, Untuk menarik uang
dari wisatawan?); dan (3) Untuk siapa kita lakukan pelestarian? (Pengguna
saat ini?, Keseluruhan negara?, Warisan umat manusia?).
Ada beberapa pemahaman dan pengertian mengenai conservation
(konservasi), adalah tindakan untuk memelihara sebanyak mungkin secara
utuh dari bangunan bersejarah yang ada, salah satunya dengan cara
perbaikan tradisional, dengan sambungan baja, dan atau dengan bahan-
bahan sintetis. Pendapat lain mengenai konservasi: adalah, upaya untuk
melestarikan bangunan, mengefisienkan penggunaan dan mengatur arah
perkembangan di masa mendatang. Dari Piagam Burra, pengertian
konservasi dapat meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan dan sesuai dengan
situasi dan kondisi setempat dan dapat pula mencakup: preservasi,
restorasi, rekonstruksi, adaptasi dan revitalisasi.
Untuk itu, alangkah baiknya kalau kegiatan konservasi/preservasi pun
haruslah dapat memberikan manfaat yang tidak sedikit terhadap kota dan
komponen-komponen yang ada di dalamnya. Manfaat tersebut antara lain
sebagai atraksi yang menarik bagi wisatawan mancanegara, merupakan
media untuk mempelajari perkembangan arsitektur dan kota, dan sebagai
wadah pembelajaran sejarah kota bagi masyarakat. Usaha-usaha untuk
preservasi akan memberikan manfaat praktis bila manfaat kegiatan
tersebut, adalah sebagai berikut: 1. preservasi lingkungan/kawasan lama
akan memperkaya pengalaman visual, menyalurkan hasrat kesinambungan,
memberikan tautan bermakna dengan masa lampau, dan memberikan
pilihan untuk tetap tinggal dan bekerja di dalam bangunan maupun
lingkungan/kawasan lama; 2. di tengah perubahan dan pertumbuhan yang
pesat sekarang ini, lingkungan/kawasan lama akan menawarkan suasana
permanen yang menyegarkan; 3. untuk mempertahankan bagian kota akan
membantu hadirnya sense of place, identitas diri dan suasana kontras; 4.
kota dan lingkungan/kawasan lama adalah satu aset terbesar dalam industri
wisata, sehingga perlu dipreservasi; 5. salah satu upaya generasi masa kini
7. untuk dapat melindungi dan menyampaikan warisan berharga kepada
generasi mendatang; 6. membuka kemungkinan bagi setiap manusia untuk
memperoleh kenyamanan psikologis dan merasakan bukti fisik suatu tempat
di dalam tradisinya; dan 7. membantu terpeliharanya warisan arsitektur,
yang dapat menjadi catatan sejarah masa lampau.
Dalam konteks pembangunan kota, tindakan untuk melestarikan warisan
budaya perkotaan (urban heritage) diperlukan adanya motivasi. Motivasi
tersebut antara lain adalah: 1. motivasi untuk mempertahankan warisan
budaya atau warisan sejarah; 2. motivasi untuk menjamin terwujudnya atau
terpeliharanya tata ruang kota yang khas; 3. motivasi untuk mewujudkan
adanya suatu identitas tertentu yang dikaitkan dengan kelompok
masyarakat tertentu yang pernah menjadi bagian dari kota; dan 4. motivasi
ekonomi, suatu bentuk peninggalan tertentu yang dianggap memiliki nilai
atau daya tarik dan perlu dipertahankan sebagai modal
lingkungan/kawasan.
Konservasi dalam lingkup bangunan dan lingkungan:
Konservasi atau pelestarian dalam bidang arsitektur dan lingkungan binaan,
mula-mula berawal dari konsep preservasi yang bersifat statis, kemudian
dari konsep yang statis tersebut berkembang menjadi konsep konservasi
yang bersifat dinamis dengan cakupan yang lebih luas lagi. Sasarannya tidak
terbatas pada objek arkeologis saja, melainkan meliputi juga karya
arsitektur lingkungan dan kawasan, dan bahkan kota bersejarah dan pada
akhirnya, konservasi menjadi payung dari segenap kegiatan pelestarian
lingkungan binaan yang mencakup preservasi, restorasi, rehabilitasi,
rekonstruksi, adaptasi, dan revitalisasi. Tujuan dari itu semua adalah untuk
memelihara bangunan atau lingkungan sedemikian rupa, sehingga makna
kulturalnya yang berupa: nilai keindahan, sejarah, keilmuan, atau nilai sosial
untuk generasi lampau, masa kini dan masa datang akan dapat terpelihara.
Apa yang dimaksud dengan konservasi area? (What is a
Conservation Area?)
Konservasi area sebenarnya dapat meliputi beberapa hal, seperti perdesaan
(rural), perkotaan (urban), arkeologi (archeology), atau natural area yang
mempunyai kualitas spesial, dan patut untuk dilindungi. Konservasi area
direncanakan/ditentukan berdasarkan beberapa alasan:
1. untuk melindungi lingkungan atau konteks dari kelompok elemen-
elemen kultural, bersejarah (historical), estetik (aesthetic) atau nilai
keilmuan (scientific value);
2. untuk menuntun dan mengatur perkembangan baru;
8. 3. untuk mengurangi atau mengeliminasi ancaman yang spesifik seperti,
pengembangan skala-besar, jalan-jalan, penzoningan kembali atau
tekanan perkembangan;
4. untuk memberi insentif pengembangan dengan perlindungan bagi
benda-benda yang mempunyai nilai dan menetapkan kriteria
desainnya;
5. untuk mendapatkan pengakuan pada sebuah area dan
mempromosikan nilai-nilainya; atau
6. untuk melindungi lingkungan, atau dilihat dari pandangan national
monument.
Kemudian bagaimana dengan pemahaman arti area itu sendiri?
Penentuan dari konservasi area tersebut diartikan bahwa kualitas yang
spesial dari area itu dilindungi dan pengembangannya layak untuk diberikan.
Pemilik, pengembang, arsitek, perencana, dan pemerintah yang berwenang
akan menjaga bahwa pengembangan area itu sangat sensitif, dan bahwa
perubahan tidak akan menghancurkan kualitas spesial yang diberikan
sebagai makna budaya, dengan demikian konservasi area dapat
diidentifikasi setelah survei komprehensif dan analisis kualitas pada area itu
dilakukan.
Konsep Konservasi
Konsep awal dari pelestarian adalah konservasi, yaitu pengawetan benda-
benda monumen dan sejarah (lazimnya dikenal sebagi preservasi), dan
akhirnya hal itu berkembang pada lingkungan perkotaan yang memiliki nilai
sejarah serta kelangkaan yang menjadi dasar bagi suatu tindakan
konservasi. Pada dasarnya, makna suatu konservasi dan preservasi tidak
dapat terlepas dari makna budaya (Kerr, 1992). Untuk itu, konservasi
merupakan upaya memelihara suatu tempat berupa lahan, kawasan, gedung
maupun kelompok gedung termasuk lingkungannya (Danisworo, 1991). Di
samping itu, tempat yang dikonservasi akan menampilkan makna dari sisi
sejarah, budaya, tradisi, keindahan, sosial, ekonomi, fungsional, iklim
maupun fisik (Danisworo, 1992). Dalam perencanaan suatu lingkungan kota,
unit dari konservasi dapat berupa sub bagian wilayah kota bahkan
keseluruhan kota sebagai sistem kehidupan yang memang memiliki ciri atau
nilai khas. Dengan demikian, Peranan konservasi bagi suatu kota bukan
semata bersifat fisik, namun mencakup upaya mencegah perubahan sosial.
Konsep yang dirumuskan untuk melakukan pekerjaan konservasi hendaklah
disusun dalam suatu rencana (conservation plan) berdasarkan: 1. Penetapan
objek konservasi, suatu upaya pemahaman dalam menilai aspek budaya
suatu objek dengan tolok ukur estetika, kesejarahan, keilmuan, kapasitas
9. demonstratif serta hubungan asosiasional; dan 2. Perumusan kebijakan
konservasi suatu upaya merumuskan informasi tentang nilai-nilai yang perlu
dilestarikan untuk kemudian dijadikan sebagai landasan penyusunan strategi
pelaksanaan konservasi.
Konservasi merupakan bagian integral dari perancangan kota, menurut
Sirvani (1985), meliputi rumusan kebijakan, rencana, pedoman, dan
program. Dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Kebijakan Perancangan Kota,
merupakan kerangka strategi pelaksanaan yang bersifat spesifik. 2. Rencana
Perancangan Kota, merupakan produk penting dalam perancangan kota
yang berorientasi pada produk maupun proses; 3. Pedoman Perancangan
Kota, dapat berupa pengendalian ketinggian bangunan, bahan, setback,
proporsi, gaya arsitektur, dan sebagainya; dan 4. Program Perancangan
Kota, biasanya mengacu pada proses pelaksanaan atau pada seluruh proses
perancangan. Menurut Shirvani (1985), menggunakan terminologi tersebut
untuk mengacu pada aspek perencanaan dan perancangan yang dapat
memelihara dan melestarikan lingkungan yang telah ada maupun yang
hendak diciptakan. Dengan demikian diharapkan akan didapatkan: a.
Kegiatan konservasi dan preservasi -sebagai bagian dari pelestarian-
merupakan usaha meningkatkan kembali kehidupan lingkungan kota tanpa
meninggalkan makna kultural maupun nilai sosial dan ekonomi kita; b.
Arahan konservasi suatu kawasan berskala lingkungan maupun bangunan,
perlu dilandasi motivasi budaya, aspek estetis, dan pertimbangan segi
ekonomi; dan c. Preservasi dan konservasi yang mengejawantahkan
simbolisme, identitas suatu kelompok ataupun aset kota, perlu dilancarkan.
Pada bagian lain, sasaran konservasi perlu dirumuskan secara tepat di
antaranya (Budihardjo, 1989): - Mengembalikan wajah objek konservasi; -
Memanfaatkan objek pelestarian untuk menunjang kehidupan masa kini; -
Mengarahkan perkembangan masa kini yang diselaraskan dengan
perencanaan masa lalu yang tercermin dalam objek pelestarian; dan -
Menampilkan sejarah pertumbuhan lingkungan kota dalam wujud fisik tiga
dimensi. Akan tetapi dalam penjabaran konsep di atas, perlu dirumuskan: -
Tolok ukur, kriteria, dan motivasi dari konservasi; dan - Bagian-bagian
bangunan atau tempat yang akan dikonservasi, atau bagian kota yang akan
dilestarikan.
Beberapa kriteria yang dapat digunakan dalam proses penentuan konservasi
adalah sebagai berikut: a. Kriteria Arsitektural, suatu kota atau kawasan
yang akan dipreservasikan atau dikonservasikan memiliki kriteria kualitas
arsitektur yang tinggi, di samping memiliki proses pembentukan waktu yang
lama atau keteraturan dan keanggunan (elegance); b. Kriteria Historis,
kawasan yang akan dikonservasikan memiliki nilai historis dan kelangkaan
yang memberikan inspirasi dan referensi bagi kehadiran bangunan baru,
meningkatkan vitalitas bahkan menghidupkan kembali keberadaannya yang
memudar; c. Kriteria Simbolis, kawasan yang memiliki makna simbolis
paling efektif bagi pembentukan citra suatu kota.
10. Kategori mempertimbangkan objek yang akan dikonservasi dapat
dikategorikan sebagai berikut: 1. Nilai (value) dari objek, mencakup nilai
estetik yang didasarkan pada kualitas bentuk maupun detailnya. Suatu
objek yang unik dan karya yang mewakili gaya zaman tertentu, dapat
digunakan sebagai contoh, suatu objek konservasi; 2. Fungsi objek dalam
lingkungan kota, berkaitan dengan kualitas lingkungan secara menyeluruh.
Objek merupakan bagian dari kawasan bersejarah dan sangat berharga bagi
kota. Objek juga merupakan landmark yang memperkuat karakter kota yang
memiliki keterkaitan emosional dengan warga setempat; dan 3. Fungsi
lingkungan dan budaya, penetapan kriteria konservasi tidak terlepas dari
keunikan pola hidup suatu lingkungan sosial tertentu yang memiliki tradisi
kuat, karena suatu objek akan berkaitan erat dengan fase perkembangan
wujud budaya tersebut.
Revitalisasi Kawasan Kota
Salah satu kegiatan dari konservasi adalah revitalisasi atau upaya untuk
mendaur-ulang (recycle) yang tujuannya untuk memberikan vitalitas baru,
dan meningkatkan vitalitas yang ada atau bahkan menghidupkan kembali
vitalitas (re-vita-lisasi) yang pada awalnya pernah ada namun telah
memudar. Kegiatan revitalisasi muncul karena adanya permasalahan yang
muncul sejalan dengan perkembangan kota yang begitu cepat dan
membawa perubahan yang cukup drastis. Perubahan tersebut seringkali
mengakibatkan timbulnya masalah yang pembenahannya seringkali
memaksa kota untuk mengabaikan pihak-pihak tertentu dengan
mengatasnamakan program peremajaan kota, penggusuran permukiman
kumuh yang dilakukan dengan alasan demi keindahan kota, perubahan
tatanan perdagangan tradisional menjadi tatanan modern, penghancuran
bangunan-bangunan lama dan diganti dengan bangunan baru dengan dalih
tidak memberikan kontribusi ekonomi bagi daerah. Selanjutnya, dapat
dikatakan bahwa revitalisasi adalah upaya untuk memvitalkan kembali suatu
kawasan atau bagian kota yang dulunya pernah vital/hidup akan tetapi
kemudian mengalami kemunduran/degradasi. Skala upaya revitalisasi biasa
terjadi pada tingkat mikro kota, seperti sebuah jalan, atau bahkan skala
bangunan, akan tetapi juga bias mencakup kawasan kota yang yang lebih
luas.
Revitalisasi kawasan diarahkan untuk memberdayakan daerah dalam usaha
menghidupkan kembali aktivitas perkotaan dan vitalitas kawasan untuk
mewujudkan kawasan yang layak huni (livable), mempunyai daya saing
pertumbuhan dan stabilitas ekonomi lokal, berkeadilan sosial, berwawasan
budaya serta terintegrasi dalam kesatuan sistem kota. Karakteristik dari
kawasan yang membutuhkan revitalisasi, adalah kawasan mati (tidak
berkembang lagi), kawasan yang perkembangannya melesat dari arah
semula, dan kawasan-kawasan yang “ditinggalkan”. Sejarah perkembangan
kota di Barat mencatat bahwa memang kegiatan revitalisasi ini diawali
11. dengan pemaknaan kembali daerah pusat kota setelah periode tahun 1960-
an. Bahkan ketika isu pelestarian di dunia Barat meningkat pada periode
pertengahan tahun 1970-an, kawasan (pusat) kota tua menjadi fokus
kegiatan revitalisasi.
Dilihat dari pengertian di atas, maka revitalisasi dapat menjadi alternatif
dalam memecahkan masalah pelestarian wajah kota lama, dan kebutuhan
ruang teratasi dengan meminimalisasikan pudarnya eksistensi kota lama.
Pada dasarnya proses revitalisasi kota terbagi menjadi beberapa tahapan,
yaitu sebagai berikut: intervensi fisik; rehabilitasi ekonomi; dan revitalisasi
sosial/institusional. Revitalisasi adalah salah satu pendekatan dalam
meningkatkan vitalitas suatu kawasan kota yang bias berupa penataan
kembali pemanfaatan lahan dan bangunan, renovasi kawasan maupun
bangunan-bangunan yang ada, sehingga dapat ditingkatkan dan
dikembangkan nilai ekonomis dan sosialnya, rehabilitasi kualitas lingkungan
hidup, peningkatan intensitas pemanfaatan lahan dan bangunannya (Sujarto
dalam Farma, 2002:23).
Oleh karena itu, revitalisasi kawasan kota dapat juga disebut sebagai konsep
pelestarian yang terintegrasi dengan “wajah” kota lama akan tetap
terpelihara, aktivitas saat ini dapat tertampung dan dapat memberikan
keuntungan ekonomi. Proses ini memerlukan dukungan dan peran aktif
masyarakat, sehingga segala usaha yang telah dilakukan oleh pemerintah
setempat tidak dipatahkan lagi oleh masyarakat. Disamping hal itu,
pemerintah diharapkan dapat bertindak dengan lebih tegas, yaitu dengan
memperjelas konsep-konsep konservasi kotanya, mempunyai produk-produk
berkekuatan hukum, menindak oknum-oknum yang melanggar, serta
mampu memotivasi partisipasi masyarakat.
Mengapa Warisan Budaya? (Why heritage?)
Adanya pengakuan bahwa warisan budaya (cultural heritage) yang di
dalamnya terdapat konservasi, adalah merupakan bagian dari
tanggungjawab seluruh tingkatan pemerintahan, dan anggota masyarakat,
sedangkan heritage itu sendiri, adalah bukan sekedar mendata masa
lampau, tetapi merupakan bagian integral dari identitas perkotaan saat ini
dan masa mendatang. Warisan budaya sebuah kota dapat dilihat dalam tiga
bagian faktor:
- Social factors, termasuk di dalamnya menambah citra dan identitas
kota, integrasi ke dalam kehidupan sehari-hari, dan pengembangan
sistem nilai dari masyarakat.
- Politico-economic, menyertakan peran dari heritage pada pariwisata,
dan kepentingan arkeologi dan kesejarahan.
12. - Planning factors, terutama dipergunakan pada architectural
heritage, redevelopmen dan regenerasi objek heritage untuk dipreservasi
serta integrasinya ke dalam proses pengembangan yang lebih besar pada
kota secara keseluruhan.
Untuk meletakkan isu dari heritage conservation dengan melihat seluruh
proses dari pengembangan kota, baik itu berhubungan dengan isu yang lain,
seperti pengembangan wisata, revitalisasi dari ekonomi daerah dan
pemerintah daerah.
Beberapa contoh dari kota-kota yang telah melakukan heritage
conservation
Kathmandu: It’s the People’s Heritage (Participation and Awareness-
Building)
- Penanggungjawab adalah pemerintah daerah Kathmandu Municipal
Corporation (KMC) yang merealisasikan keinginan untuk
mengintegrasikan konservasi warisan budaya ke dalam proses yang lebih
luas dari komunitas dan partisipasi masyarakat.
- Keterlibatan komunitas sangat penting untuk keberhasilan dari beberapa
langkah heritage, dan implikasinya untuk kebanggaan masyarakat dan
citra kota.
- Preservasi warisan budaya secara langsung berhubungan dengan
ekonomi kota, dan pariwisata menjadi aktivitas yang utama.
- KMC mendirikan Heritage and Tourism Department tahun 1977.
Mengembangkan beberapa strategi heritage conservation di antaranya:
program pendidikan dan kesadaran untuk publik; heritage tour untuk
anak-anak sekolah, media radio dan televisi; partisipasi masyarakat;
kerjasama publik-privat; dan financial incentives.
Penang: Preserving for the Future (Institutional and Policy
Environment)
- kehidupan kota dengan arsitektur tradisional yang utuh, streetscape dan
aktivitas sosio-ekonomi –menjaga nilai jual sebagai ‘produk wisata’.
- untuk mengembangkan dan menjaga identitas urban yang unik, kota
difokuskan dengan memperhubungkan perencanaan fisik, kerangka
kebijakan, dan master plan untuk menciptakan wilayah urban yang
berkelanjutan dan dipertahankan untuk generasi mendatang.
13. - inisiatif program dan studi yang mengkombinasikan konservasi dengan
tujuan luas dari local sustainability.
- mempersatukannya ke dalam rencana dan projek pariwisata, pada
dasarnya menambah nilai ekonomi daerah, tetapi lebih untuk masa
mendatang.
- inisiatif ekonomi yang berkelanjutan dijamin oleh kerjasama dengan
sektor privat dalam bangunan potensi wisata untuk pengunjung dan
penduduk setempat.
Manila: Getting the Framework Right (Documentation and Preservation)
- Untuk Pilipina, Intramuros (berarti, di kelilingi dinding)
merepresentasikan permulaan dari pendataan sejarah mengenai
perkembangan perkotaan (urban development).
- Usaha dalam restorasi dan redevelopmen dari Intramuros dimulai tahun
1965 untuk mencegah kerugian selanjutnya dan menggabungankan ke
dalam mainstream dari urban development.
- Usaha dari preservasi Intramuros dilakukan dengan memisahkan urban
planning dan biro pengembang bagi kawasan bersejarah. Intramuros
Administration (IA) adalah bertanggungjawab untuk redevelopmen dan
restorasi.
- Tindakan lain juga telah dilakukan, mengklasifikasi Intramuros sebagai
‘cultural zone’, merencanakan master plan kawasan yang terintegrasi,
menghapus tata guna tanah yang tak sesuai, petunjuk perancangan dan
peraturan urban streetscape untuk pengembangan mendatang, restorasi
bangunan bersejarah, dan sebagainya.
Urban Conservation: The Case of Imai-cho, Japan
Dentoteki Kenzobutsu Gun Hozon Chiki atau preservasi untuk kolompok
bangunan bersejarah – Den Ken Chiki – adalah peraturan yang dikeluarkan
oleh Pemerintah Jepang, di bawah badan perlindungan benda cagar budaya.
Istilah ‘preservasi’, mencerminkan pandangan statis dari pekerjaan
pemerintah terhadap bangunan kuno dan kawasan bersejarah, sedangkan
Den Ken Chiki, lebih dinamis secara alami, dengan konservasi kawasan
bersejarah meliputi di dalamnya preservasi, restorasi, rekonstruksi dan
penataan ulang, pertimbangan ekonomi, sosio-kultural, aspek hukum dan
administratif. Perlu untuk diketahui, bahwa di kawasan tersebut, lebih dari
80% rumah tinggalnya sampai saat ini masih bertahan, yang rata-rata
14. dibangun pada era Edo (1596 ~1868).
Konservasi dan pembangunan berkelanjutan di kota bersejarah
Vigan
Kota Vigan merupakan kota yang terletak di Propinsi Ilocos Sur, Filipina,
yang memiliki banyak bangunan bersejarah, yang terdiri dari 180 buah
gedung pemerintahan dan rumah ibadah, gudang, taman, yang memiliki
arsitektur abad ke-18 dan ke-19, yang merupakan percampuran antara
arsitektur Spanyol, Mexico, Cina, dan arsitektur lokal. Penataan Kota Vigan
memiliki ciri tata kota Hispanic. Peninggalan-peninggalan tersebut dapat
bertahan dari kerusakan, yang antara lain disebabkan oleh alam, perang
dunia dan kebakaran besar yang terjadi pada tahun 1950 hingga 1970 yang
menghancurkan banyak bangunan bersejarah. Kebudayaan yang
dilestarikan juga termasuk industri tradisional, seperti pembuatan guci, batu
bata dan ubin, perabotan kayu, garam, maguey rope, tukang besi,
pemotong batu, dan hand-woven abel fabrics.
Untuk melindungi warisan budaya sejarah Kota Vigan, maka dilakukan
upaya preservasi dan konservasi. Pada awalnya (awal tahun 1990-an),
usaha pelestarian ini banyak mendapat halangan dari pemerintah lokal dan
para pengusaha, untuk mendukung hal tersebut UNESCO memberikan solusi
preservasi dan konservasi Kota Vigan, sehingga dapat merubah seluruh
kultur masyarakat untuk mendukung pelaksanaan kegiatan tersebut.
Untuk mendukung kegiatan preservasi dan konservasi, para stakeholder
lokal perlu meninjau kembali arah pembangunan daerahnya untuk di
arahkan ke budaya, yang antara lain mencakup hal-hal sebagai berikut:
menarik para wisatawan, pemanfaatan kembali bangunan-bangunan kuno
untuk berbagai macam kegiatan (museum, toko, penginapan, kantor, rumah
makan, dan sebagainya), revitalisasi seni dan kerajinan tradisional,
perbaikan dan pembangunan kembali bangunan untuk melestarikan budaya,
mengembalikan keaslian di daerah pusat pelestarian pusat pelestarian
(historic core), dan merehabilitasi jalur sungai kuno di sekeliling Kota Vigan
untuk menghidupkan kembali industri di sekitar sungai dan mendukung
kegiatan pariwisata. Pada kegiatan preservasi dan konservasi akan selalu
berkoordinasi dengan badan-badan yang terlibat dalam kegiatan ini, seperti
badan internasional, nasional, dan lokal.
Penutup
Menampilkan kembali atau mempertahankan ruang kota masa lalu berarti
memperhatikan elemen-elemen jalan (street-furniture) dan pembentuk
ruangnya, baik tata hijau (soft-landscape) maupun perkerasannya (hard-
landscape). Banyak contoh kota di dunia yang sudah membagi
area/kawasan mana yang perlu dipreservasi dan mana yang tidak. Ke arah
mana preservasi kawasan tersebut berjalan, perangkat apa saja yang
dibutuhkan, jadi pelestarian bukanlah ceritera masa lalu, atau upaya untuk
15. mengawetkan suatu kawasan bersejarah, namun lebih ditujukan sebagai
alat dalam mengolah transformasi kawasan. Upaya tersebut merupakan
langkah yang bertujuan untuk memberikan kualitas kehidupan bagi
masyarakat agar lebih baik, dan berdasarkan pada kekuatan-kekuatan aset
sejarah lama yang terdapat di kawasannya. Hal ini sebaiknya dititikberatkan
pada upaya pemanfaatan yang kreatif melalui pelaksanaan program
partisipasi melalui kegiatan ekonomi dan budaya kawasan. Untuk itu,
perancangan kota harus menjadi perangkat pengarah dan pengendalian
untuk mewujudkan lingkungan binaan yang akomodatif terhadap tuntutan
kebutuhan dan fungsi baru. Dengan demikian, tanggung jawab terhadap
pelestarian kota adalah tanggung jawab bersama yang membutuhkan
tanggung jawab sektoral, multi dimensi, dan disiplin, serta berkelanjutan
(sustainable).
Sumber Acuan
Tjandrasasmita, U. 2000. Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota
Muslim di Indonesia Dari Abad XIII sampai XVIII Masehi, Kudus: Menara
Kudus.
Adrisiyanti, I. 2000. Arkeologi Perkotaan Mataram Islam, Jendela:
Yogyakarta.
Budihardjo, E. 1997. Arsitektur Pembangunan dan Konservasi, Jakarta:
Djambatan.
Danisworo, M. 1996. Penataan Kembali Pusat Kota, Suatu Analisis Proses,
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, VII (22): 70-76.
Farma, A.S. 2002. Strategi Perancangan dalam Meningkatkan Vitalitas
Kawasan Perdagangan Johar Semarang. Tesis, Program Magister
Perencanaan Wilayah dan Kota – Bidang Rancang Kota, Bandung: ITB.
Pontoh, N.K. 1992. Preservasi dan Konservasi Suatu Tinjauan Teori
perancangan, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, IV (6): 34-39.
Srinivas, H. 1999. Prioritizing Cultural Heritage in the Asia-Pacific Region:
Role of City Governments, Urban Heritage and Conservation, pp. 1-4.
Srinivas, H. 1999. Mediation for Urban Conservation: The Case of Imai-cho,
Japan, Urban Heritage and Conservation, pp. 1-4.
16. Stelter, G.A. 1996. Introduction to the Study of Urban History, Part I
General Concept and Sources, University of Guelph 49 -464 Reading a
Community, pp. 1-7.
Makalah ini telah disampaikan pada STADIUM GENERAL “Perancangan
Kota Untuk Kota Kecil” Jurusan Teknik Planologi Institut Teknologi
Nasional, Malang 21 Juni 2004.