PT Freeport Indonesia melakukan pertambangan tembaga dan emas di Papua sejak 1967. Operasinya menyebabkan kerusakan lingkungan besar, seperti pencemaran air oleh limbah tambang yang dibuang ke sungai. Limbah melebihi baku mutu yang diizinkan dan meracuni ekosistem. Perusahaan tidak mampu mengelola limbah sesuai peraturan baru pemerintah.
Tugas 2,HBL, Artikel, Leni Anggraeni, Hapzi Ali, Universitas Mercu Buana. 2019
1. MAKALAH
HUKUM BISNIS dan LINGKUNGAN
DOSEN : Prof.Dr. Hapzi Ali, CMA
DISUSUN OLEH :
LENI ANGGRAENI 43218010177
UNIVERSITAS MERCU BUANA
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
PROGRAM STUDI AKUNTANSI
JULI 2019
2. PT. Freeport Indonesia adalah sebuah perusahaan pertambangan yang mayoritas
sahamnya dimiliki Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc.(AS). Perusahaan ini adalah
pembayar pajak terbesar kepada Indonesia dan merupakan perusahaan penghasil emas terbesar di
dunia melalui tambang Grasberg. Freeport Indonesia telah melakukan eksplorasi di dua tempat di
Papua, masing-masing tambang Erstberg (dari 1967) dan tambang Grasberg (sejak 1988), di
kawasan Tembaga Pura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Freeport berkembang menjadi
perusahaan dengan penghasilan 2,3 miliar dolar AS. Menurut Freeport, keberadaannya
memberikan manfaat langsung dan tidak langsung kepada Indonesia sebesar 33 miliar dolar dari
tahun 1992–2004. Angka ini hampir sama dengan 2 persen PDB Indonesia. Dengan harga emas
mencapai nilai tertinggi dalam 25 tahun terakhir, yaitu 540 dolar per ons, Freeport diperkirakan
akan mengisi kas pemerintah sebesar 1 miliar dolar.
Kawah Freeport
Kerusakan Lingkungan
Pada Maret 1973, Freeport memulai pertambangan terbuka di Ertsberg, kawasan yang
selesai ditambang pada tahun 1980-an dan menyisakan lubang sedalam 360 meter. Pada tahun
1988, Freeport mulai mengeruk cadangan raksasa lainnya, Grasberg, yang masih berlangsung
saat ini. Dari eksploitasi kedua wilayah ini, sekitar 7,3 juta ton tembaga dan 724, 7 juta ton emas
telah mereka keruk. Pada bulan Juli 2005, lubang tambang Grasberg telah mencapai diameter 2,4
kilometer pada daerah seluas 499 ha dengan kedalaman 800m. Diperkirakan terdapat 18 juta ton
cadangan tembaga, dan 1.430 ton cadangan emas yang tersisa hingga rencana penutupan
tambang pada 2041.
3. Pelanggaran lainnya adalah kerusakan lingkungan. Entah berapa besar tanah di sekitar
pertambangan yang telah rusak berat selama beroperasinya Freeport. Tentu saja ini memberikan
dampak yang tidak menguntungkan bagi ekologi Papua maupun kesehatan masyarakat.
Bayangkan saja, masyarakat mesti meminum air dari sumur-sumur yang telah sangat tercemar
limbah. Sekedar gambaran, dari produksi harian Freeport sebesar 200 ribu ton, menghasilkan
limbah pasir kimiawi (tailing) sekitar 190 ribu ton. Dapat dibayangkan bagaimana dahsyat
dampak buruknya bagi lingkungan setempat setiap harinya. Bahkan saat ini salju di puncak
gunung Jaya Wijaya pun telah mencair akibat pencemaran limbah buangan ini.
Freeport telah membuang tailing dengan kategori limbah B3 (Bahan Beracun Berbahaya)
melalui Sungai Ajkwa. Limbah ini telah mencapai pesisir laut Arafura. Tailing yang dibuang
Freeport ke Sungai Ajkwa melampaui baku mutu total suspend solid (TSS) yang diperbolehkan
menurut hukum Indonesia. Limbah tailing Freeport juga telah mencemari perairan di muara
sungai Ajkwa dan mengontaminasi sejumlah besar jenis mahluk hidup serta mengancam perairan
dengan air asam tambang berjumlah besar. Sebagian besar kehidupan air tawar telah hancur
akibat pencemaran dan perusakan habitat sepanjang daerah aliran sungai yang dimasuki tailing.
Total Padatan Tersuspensi (TSS) dari tailing secara langsung berbahaya bagi insang dan telur
ikan, serta organisme pemangsa, organisme yang membutuhkan sinar matahari (photosynthetic),
dan organisme yang menyaring makanannya (filter feeding). Tembaga menghambat kerja insang
ikan. Uji tingkat racun (toxicity) dan potensi peresapan biologis (bioavailability) di daerah
terkena dampak operasi Freeport-Rio Tinto menunjukkan bahwa sebagian besar tembaga larut
dalam air sungai terserap oleh mahluk hidup dan ditemukan pada tingkat beracun.
Juru Bicara PT. Freeport Indonesia Riza Pratama menyatakan perusahaannya tidak
mampu mengelola Limbah Bahan Beracun Berbahaya (Limbah B3) berupa tailing di daerah
penimbunan Ajkwa atau Modified Ajkwa Deposition Area (ModADA) di Kabupaten Mimika,
Papua, jika mengacu pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kepmen
LHK) Nomor 175/2018. Kepmen LHK 175/2018 adalah pengganti Kepmen LHK 431/2008 yang
dinilai sudah tidak sesuai dengan situasi saat ini. Diketahui, Kepmen LHK 431/2008
membolehkan perusahaan membuang tailing dengan total suspended solid (TSS) hingga 45 kali
ambang baku mutu yang diperkenankan.