Dokumen ini membahas mengenai potensi Situbondo sebagai kawasan industri dan dampaknya terhadap lingkungan. Beberapa investor ingin membangun pabrik di Situbondo dekat Taman Nasional Baluran yang dapat mencemari lingkungan. Pemerintah harus merelokasi industri dan menerapkan ekoindustri untuk melindungi lingkungan serta mengembangkan pariwisata kelautan sebagai alternatif pembangunan berkelanjutan.
Perda no. 2 tahun 2010 tentang rtrw kota probolinggo 2009 2028
MENJADI KAWASAN INDUSTRI HIJAU DI SITUBONDO
1. MANAJEMEN SUMBER DAYA KELAUTAN
sITUBONDO MENUJU KAWASAN INDUSTRI BAIK
ATAU TIDAK?
Oleh:
Wazirotus Sakinah (NRP. 4114205005)
Dosen Pengampu:
2. Drs. Mahmud Mustain, M.Sc., P.hD
PROGRAM STUDI TEKNIK MANAJEMEN PANTAI
PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS TEKNOLOGI KELAUTAN
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA
2014
SITUBONDO MENUJU KAWASAN INDUSTRI BAIK
ATAU TIDAK?
Jika kita mendengar kata Situbondo, mungkin yang terlintas dipikiran kita adalah Taman
Nasional Baluran atau Pantai Pasir Putih. Memang, keduanya adalah wisata alam yang terletak
di kabupaten Situbondo. Situbondo sendiri merupakan kabupaten di Jawa Timur yang terletak
di pesisir utara pulau Jawa. Dengan panjang pantai yang mencapai 160 kilometer, bukanlah
suatu hal yang aneh jika wilayah ini kaya akan sumber daya alam bahari, termasuk perikanan
dan juga ekosistem laut yang sangat berharga bagi keseimbangan alam.
Sebagai wilayah pesisir, seharusnya Situbondo dapat menjadi kota maritim yang maju, namun
kenyataannya daerah ini seperti mengalami mati suri yang berkepanjangan. Tidak ada
pembangunan yang cukup berarti di pesisirnya, bahkan di daerah perkotaannya pun hanya
ramai oleh lalu lalang truk dan mobil-mobil besar pengangkut barang yang numpang lewat
saja. Berbeda sekali dengan kabupaten tetangganya, Banyuwangi yang kini sudah mulai jalan
cepat menuju kemajuan pembangunan kota dengan menebarkan pesona wisata alamnya pada
wisatawan lokal maupun mancanegara. Dari sektor perikanan memang sudah cukup banyak
tambak-tambak yang dibuat dengan sangat sederhana oleh masyarakat setempat, mata
pencaharian mereka pun sebagian besar adalah nelayan. Pengelolaan kawasan pesisirnya
3. memang sudah mulai dibuka sebagai wisata alam seperti Pantai Pasir Putih di Bungatan dan
Pantai Bama di dalam Taman Nasional Baluran, kedua pantai ini memberikan pemandangan
pasir yang putih dan ekosistem laut terutama terumbu karang yang menawan. Namun,
sayangnya pemanfaatannya sebagai wisata alam ini tidak diikuti dengan upaya perlindungan
dan konservasi yang baik, hal ini dapat diketahui dari kondisi Pantai Pasir Putih yang
mengalami kemerosotan. Hutan mangrove yang dulunya tumbuh lebat di sepanjang pesisir kini
sudah mulai banyak yang rusak, begitu juga dengan terumbu karangnya. Pantai Bama mungkin
masih bisa dikatakan baik, namun tidak jarang pengunjung yang kebanyakan para peneliti asing
mengambil beberapa bongkah terumbu karang dan beberapa spesies biota laut sebagai sampel
untuk kemudian dibawa pulang, bisa kita bayangkan apa yang akan terjadi nantinya jika
kejadian itu terus berlanjut apalagi tiket masuk bagi wisatawan asing pun terbilang sangat
murah, hanya Rp 20 ribu saja. Tidak berhenti sampai disini, baru-baru ini justru ada isu yang
lebih mengerikan, yaitu pendirian pabrik nikel di dekat kawasan lindung Taman Nasional
Baluran.
Sebagai Pemerintah daerah, Dadang Wigiarto selaku Bupati Situbondo pastilah menginginkan
kotanya maju, salah satunya dengan mengubah Situbondo menjadi kawasan industri. Dalam
menghadapi MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) 2015, setidaknya ada 8 investor asing yang
ingin menanamkan modalnya di kabupaten Situbondo. Menurut salah satu dari investor
tersebut, Hurio Matsusita yang berasal dari Jepang, potensi sumber daya alam di Situbondo
sangat menarik untuk dikelola secara maksimal. Pemerintah daerah dan masyarakat setempat
sendiri merasa potensi SDA mereka memang cukup banyak namun mereka menunggu
datangnya investor untuk mengelola potensi tersebut, dengan alasan tidak ada cukup dana
untuk mengelolanya sendiri. Karena itulah kedatangan para investor tersebut disambut dengan
tangan terbuka oleh Pemerintah Daerah. Dampak positif dari datangnya para investor adalah
dengan banyaknya penyerapan tenaga kerja di Situbondo, selain itu tentu
akan meningkatkan devisa bahkan menambah jumlah PAD kabupaten Situbondo. Kebanyakan
investor datang dari industri penambangan, kedelapan investor tersebut adalah PT Golden
Buana Lestari, Cakwarala Tbk Biji Besi Nekel, Semen Merah Putih, PT
Pertamina Buka Depo Spbe, Sentral Spbe Situbondo, Garuda Indonesia Air Lines, Hotel Ibis
Stel. Keberadaan industri-industri ini memang nantinya akan mampu membuat Situbondo
terbangun dari mati surinya, namun sayangnya Pemerintah Daerah kurang merespon dampak
negatifnya terhadap lingkungan. Pemerintah daerah seperti menutup sebelah mata terhadap hal
4. tersebut, dapat dibuktikan dengan penempatan pabrik nikel yang bersebelahan langsung
dengan Taman Nasional Baluran.
Lokasi pembangunan pabrik nikel seluas 367, 8 Hektar ini berbatasan langsung dengan Taman
Nasional (TN) Baluran yang merupakan kawasan konservasi, hal ini menjadi permasalahan
akan keberadaan pabrik nikel yang berpotensi memberikan dampak lingkungan yang negatif
bagi Taman Nasional. Tidak hanya itu, pantai yang akan digunakan sebagai dermaga pun
diambil dari zona khusus TN Baluran. Jika pembangunan smelter telah selesai dan pabrik mulai
beroperasi, sudah pasti limbah pun mulai datang berikut dengan pencemaran yang kebanyakan
adalah gas SO2. Gas buang SO2 yang menguap ke udara akan menimbulkan hujan asam. Hujan
asam yang turun akan meningkatkan derajat keasaman tanah dan air yang tentunya
membahayakan kelangsungan hidup vegetasi dan satwa. Sejumlah besar limbah seringkali juga
berakhir di laut yang tentunya akan membahayakan biota laut. Salah satu contoh nyata dari
kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh smelter adalah peristiwa yang terjadi di Norilsk,
Rusia. Dulunya kota itu merupakan kompleks smelting logam berat terbesar di dunia. Dalam
setahun, lebih dari 4 juta ton cadmium, tembaga, timah, nikel, arsenik, selenium, dan zinc
terlepas ke udara. Kadar tembaga dan nikel di udara melebihi ambang batas yang
diperbolehkan, dan sebagai akibatnya dalam radius 48 km dari smelter, tidak ada satu pohon
pun yang bertahan hidup. . Harapan kehidupan manusia disana paling tidak 10 tahun di bawah
rata-rata di kota-kota Rusia lainnya.
Jika laut dan tanah telah tercemar dan derajat keasamannya telah meningkat maka hutan
mangrove yang pada awalnya sebagai rumah para ikan akan mengalami kerusakan berat.
Kerusakan mangrove tentu akan mengakibatkan kerugian, kerugian yang dapat dilihat
langsung adalah turunnya hasil tangkapan para nelayan. Dari segi ekologi, rusaknya mangrove
mengakibatkan berkurangnya nutrien yang dibutuhkan biota laut selain itu kerusakan ini juga
mengakibatkan hilangnya tempat berkembang biak bagi beberapa spesies, sehingga wajar jika
pendapatan nelayan menurun karena rusaknya hutan mangrove. Berdasarkan data yang
diberikan oleh sekretaris Lembaga Pengkajian Pengembangan (LPP) Mangrove Indonesia,
Ahmad Faisal Siregar, total nilai ekonomi yang disediakan hutan mangrove termasuk nilai
vegetasi dan kemampuannya menyerap karbon diperkirakan mencapai Rp 50 juta per hektar.
Apabila ditambahkan dengan biaya rehabilitasi, untuk luas sebesar 1x4 meter dengan
kedalaman 1,5 meter saja sudah membutuhkan dana sebesar Rp 10 juta. Jadi, total biaya yang
harus dikeluarkan untuk rehabilitasi per hektarnya saja sekitar Rp 250 juta, padahal rehabilitasi
tidaklah mudah dan memakan waktu cukup lama. Belum lagi akibat kerusakannya akan
5. menimbulkan abrasi dan potensi terjadinya tsunami dan bencana alam yang cukup tinggi. Ini
masih kerugian yang dihitung dari kerusakan mangrove saja, bagaimana dengan kerusakan
terumbu karang yang mungkin juga akan terjadi? Tentunya akan semakin banyak kerugian
yang diderita oleh Pemerintah nantinya. Padahal motto Kabupaten Situbondo sendiri adalah
Memayu Hayuning Tirto, yang berarti usaha mempertahankan kelestarian sumberdaya air.
Memang tidak selamanya industri memberikan dampak buruk, Pemerintah daerah juga bisa
meraup keuntungan yang lumayan besar dari berdirinya industri pertambangan. Sebagai
contoh, PT. Newmont Nusa Tenggara yang merupakan pabrik tambang yang telah berdiri
cukup lama di Nusa Tenggara. Total kontribusi ekonominya pada Pemerintahan adalah sebesar
Rp 90 triliun yang meliputi pembayaran pajak dan non-pajak, royalti, gaji karyawan, pembelian
barang dan jasa dalam negeri, serta dividen bagi pemegang saham nasional. Namun, jika
dihitung kerugian yang nantinya diakibatkan oleh industri tersebut seperti yang telah dijelaskan
diatas, bukan tidak mungkin jika nantinya kas Pemerintah justru akan mengalami defisit,
padahal yang sudah kita ketahui, tanpa adanya industri pun hutan mangrove di Situbondo sudah
mulai banyak yang rusak dan diabaikan. Lalu, apakah
Pemerintah harus menolak datangnya investor dan melarang pembangunan industri? Tidak
harus juga. Semua keinginan Pemerintah dapat dilakukan, baik keinginannya untuk
membangun kawasan industri maupun melakukan konservasi lingkungan.
Relokasi letak pabrik merupakan salah satu cara yang paling tidak mengurangi dampak negatif
pabrik terhadap lingkungan terutama kawasan konservasi. Pabrik tidak seharusnya
ditempatkan di sebelah kawasan konservasi secara langsung, sehingga polusi yang dihasilkan
tidak memberikan dampak negatif yang luas bagi kawasan konservasi. Tidak cukup hanya
merelokasi, impian Situbondo sebagai kawasan industri harus bisa membuatnya menjadi
kawasan industri terpadu sehingga dapat kemudian dibuat eco-industrial park yang ramah
lingkungan, pengelolaan limbah pun dilakukan oleh industri yang memang khusus mengelola
limbah sehingga antar industri nantinya dapat bersimbiosis mutualisme. Jika pencemaran dapat
dikurangi atau bahkan dihindarkan, tidak hanya melindungi kawasan konservasi, bahkan
peluang bisnis di sektor pariwisata bahari pun dapat dilakukan. Mencontoh dari tetangganya,
berdasarkan survei independen, Banyuwangi dapat mengantongi devisa sebesar Rp 52 milyar
dari wisatawan asing karena belanja per orang per harinya kurang lebih sebesar Rp 2 juta, ini
belum termasuk wisatawan lokal. Jika Banyuwangi dapat melakukannya, tidak mustahil
Situbondo juga dapat mengolah kekayaan pesisirnya menjadi pariwisata bahari yang dapat
mendatangkan banyak devisa sehingga kas Pemerintah yang pada awalnya mengalami devisit
6. justru bisa jadi akan menjadi surplus dengan kucuran dana dari kekayaan sumber daya
kelautannya maupun dari kawasan industrinya.