Filsafat ketuhanan membahas upaya manusia untuk memahami Tuhan melalui pendekatan akal dan rasional. Ada berbagai pandangan seperti teisme yang meyakini keberadaan Tuhan, serta pandangan lain seperti deisme, agnostisisme, dan ateisme. Filsuf-filsuf seperti Aquinas dan Descartes berupaya membuktikan keberadaan Tuhan melalui argumen rasional seperti sebab akibat atau ontologis.
1. Filsafat ketuhanan
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Filsafat Ketuhanan adalah pemikiran tentang Tuhan dengan pendekatan akal budi, yaitu memakai
apa yang disebut sebagai pendekatan filosofis.[1]Bagi orang yang menganut agama tertentu (terutama
agama Islam, Kristen, Yahudi), akan menambahkan pendekatan wahyu di dalam usaha
memikirkannya.[1] Jadi Filsafat Ketuhanan adalah pemikiran para manusia dengan pendekatan akal
budi tentang Tuhan.[1] Usaha yang dilakukan manusia ini bukanlah untuk menemukan Tuhan
secara absolut atau mutlak, namun mencari pertimbangan kemungkinan-kemungkinan bagi manusia
untuk sampai pada kebenaran tentang Tuhan.[2]
Daftar isi
[sembunyikan]
1 Penelitian tentang Allah dalam Ilmu Filsafat
2 Agama : Studi tentang tabiat Allah dan kepercayaan
3 Teisme
o 3.1 Santo Agustinus(354-430)
o 3.2 Thomas Aquinas (1225-1274)
o 3.3 Descartes (1596-1650)
o 3.4 Imanuel Kant (1724-1804)
o 3.5 Hegel (1770-1831)
o 3.6 Schleiermacher (1768-1834)
o 3.7 Alfred North Whitehead (1861-1947)
4 Deisme
5 Agnostisisme
2. 6 Ateisme
o 6.1 Scientisme merupakan bagian dari Ateisme
o 6.2 Ludwig Feuerbach
o 6.3 Karl Marx
o 6.4 Sigmund Freud
o 6.5 Friedrich Nietzsche (1844-1899)
o 6.6 J. Paul Sartre (1905-1980)
7 Lihat pula
8 referensi
Penelitian tentang Allah dalam Ilmu Filsafat[sunting | sunting sumber]
Tuhan dalam gambaran "kubus" dalam judul Tuhan tidak bermain dadu : Tuhan menciptkan dunia penuh
Penelaahan tentang Allah dalam filsafat lazimnya disebut teologi filosofi.[3] Hal ini bukan menyelidiki
tentang Allah sebagai obyek, namun eksistensi alam semesta, yakni makhluk yang diciptakan, sebab
Allah dipandang semata-mata sebagai kausa pertama, tetapi bukan pada diri-Nya sendiri, Allah
sebenarnya bukan materi ilmu, bukan pula pada teodise.[3] Jadi pemahaman Allah di dalam agama
harus dipisahkan Allah dalam filsafat.[3] Namun pendapat ini ditolak oleh para agamawan, sebab
dapat menimbulkan kekacauan berpikir pada orang beriman. [3] Maka ditempuhlah cara ilmiah untuk
membedakan dari teologi dengan menyejajarkan filsafat ketuhanan dengan filsafat lainnya (Filsafat
manusia, filsafat alam dll).[3] Maka para filsuf mendefinisikannya sebagai usaha yang dilakukan untuk
menilai dengan lebih baik, dan secara refleksif, realitas tertinggi yang dinamakan Allah itu, idedan
gambaran Allah melalui sekitar diri kita. [3]
Agama : Studi tentang tabiat Allah dan kepercayaan[sunting | sunting
sumber]
Ide tentang Allah pada orang beragama secara umum biasanya dijelaskan dalam tabiat Allah; "Yang
Maha Tinggi" (Anselmus mengatakan: "Allah adalah sesuatu yang lebih besar dari padanya tidak
dapat dipikirkan manusia)Yang Maha Besar, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Baik dan
sebagainya.[3][4][1]Menurut Anselmus, ajaran-ajaran kristiani bisa dikembangkan dengan rasional, jadi
tanpa bantuan otoritas lain (Kitab Suci, wahyu, ajaran Bapa Gereja). [1]Bahkan ia bisa menjelaskan
eksistensi Allah dengan suatu argumen yang bisa diterima bahkan juga oleh mereka yang tidak
beriman.[1] Eksistensi Allah dimulai dari pikiran manusia yang menerima begitu saja ajaran agama,
3. namun juga menanyakannya dari siapa dan mengapa dirinya ada, alam alam, dan Allah sendiri bisa
diterima adanya.[2]
Beberapa sikap orang beriman dalam mencari pencerahan akan adanya Allah:
Manusia yang menerima begitu saja dikarenakan ajaran turun-temurun dari para pendahulunya,
manusia ditekankan harus percaya, bahkan tanpa bertanya. [2]
Manusia mulai bertanya mengapa dirinya ada?[2] Mengapa alam ada?[2]
Kemudian menanyakan Allah terkait; siapa, isinya, dan mengapa Dia ada?[2]
Semua jawaban itu akan dijawab oleh para ahli dalam bidang yang disebut teologi; theos dan logos,
ilmu tentang hubungan manusia dan ciptaan dengan Allah. [2] Jawaban-jawabannya bisa sangat
beragam, tergantung agama dan kepercayaan yang mana yang memberikan jawaban. [2] Namun
setidaknya ada beberapa kesimpulan yang mereka berikan sebagai jawaban:
- Allah ada, dan adanya Allah itu dapat dibuktikan secara rasional juga; - Allah ada, tetapi tidak dapat
dibuktikan adanya; - tidak dapat diketahui apakah Allah benar-benar ada; - Allah tidak ada, dan
ketentuan ini dapat dibuktikan juga.[2]
Oleh karena itu filsafat berusaha membuktikan keyakinan-keyakinan manusia itu melalui berbagai
jalan; metafisika, empirisme, rasionalisme, positivisme, spiritualisme dll.[2]
Teisme[
Teisme adalah faham yang mempercayai adanya Tuhan. [2] Berasal dari bahasa Yunani Θεός=Teos
dan νόμος=hukum=aturan=paham, jadi sebuah aturan atau paham tentang Tuhan atau pengakuan
adanya Tuhan.[2]
Di bawah ini beberapa pemikir yang mempercayai adanya Allah, maka dengan begitu mereka pasti
orang beragama:
Santo Agustinus(354-430)[
Santo Agustinus percaya bahwa Allah ada dengan melihat sejarah dari drama penciptaan, yang
melibatkan Allah dan manusia.[4] Allah menciptakan daratan untuk manusia, menciptakan manusia
(Adam) yang berdosa melawan Allah.[4] Lalu Adam dan Hawa diusir dari Taman Eden.[4] Kemudian
setelah manusia berkembang, mereka berdosa lebih lagi dan dihukum dengan air bah dalam
sejarah Nuh.[4] Orang-orang Yahudi yang diberikan perjanjian Allah ternyata tidak dapat
memeliharanya sehingga dihukum melalui bangsa-bangsa lain.[4] Lalu Allah yang maha kasih
menebus manusia melalui Yesus Kristus. [4] Dari sejarah ini Allah dapat selalu ada di tengah-tengah
manusia.[4] Memang Agustinus adalah Bapa gereja, Uskup dari Hippo yang membelaeksistensi Allah
dari pandangan-pandangan lain yang ingin meruntuhkan paham teisme.[4] Tuhan didefinisikan dari
sifat-sifatnya; maha tahu, maha hadir, kekal, pencipta segala sesuatu. [4]Namun lebih lagi, Tuhan
bukan ada begitu saja, namun selalu terhubung dalam peristiwa-peristiwa besar manusia.[4]
Thomas Aquinas (1225-1274)[
4. Santo Thomas Aquinas
Thomas Aquinas menggabungkan pemikiran Aristoteles dengan Wahyu Kristen.[4] Kebenaran iman
dan rasa pengalaman bukan hanya cocok, namun juga saling melengkapi; beberapa kebenaran,
seperti misteri dan inkarnasi dapat diketahui melalui wahyu, sebagaimana pengetahuan dari
susunan benda-benda di dunia, dapan diketahui melalui rasa pengalaman; seperti kesadaran
manusia akan eksistensi Allah, baik wahyu maupun rasa pengalaman dipakai untuk membentuk
persepsi tentang adanya Allah.[4]
Thomas Aquinas terkenal dengan lima jalan (dalam Bahasa Latin; quinque viae ad deum) untuk
mengetahui bahwa Allah benar-benar ada.[4]
Jalan 1 adalah gerak, bahwa segala sesuatu bergerak, setiap gerakan pasti ada yang
menggerakkan, namun pasti ada sesuatu yang menggerakkan sesuatu yang lain, namun tidak
digerakkan oleh sesuatu yang lain, Dialah Allah. [4]
Jalan 2 adalah sebab akibat, bahwa setiap akibat mempunyai sebabnya, namun ada penyebab
yang tidak diakibatkan, Dialah sebab pertaman, Allah.[4]
Jalan 3 adalah keniscayaan, bahwa di dunia ini ada hal-hal yang bisa ada dan ada yang bisa
tidak ada (contohnya adalah benda-benda yang dahulu ada ternyata ada yang musnah, namun
ada juga yang dulu tidak ada ternyata sekarang ada), namun ada yang selalu ada (niscaya)
Dialah Allah.[4]
Jalan 4 adalah pembuktian berdasarkan derajat atau gradus melalui perbandingan, bahwa dari
sifat-sifat yang ada di dunia ( yang baik-baik) ternyata ada yang paling baik yang tidak ada
tandingannya (sifat Allah yang serba maha) Dialah Allah.[4]
Jalan 5 adalah penyelenggaraan, bahwa segala ciptaan berakal budi mempunyai tujuan yang terarah
menuju yang terbaik, semua itu pastilah ada yang mengaturnya, Dialah Allah. [4]
Descartes (1596-1650)[sunting | sunting sumber]
Rene Descartes memikirkan Tuhan bermula dari prinsip utamanya yang merupakan “gabungan
antara pietisme Katolik dan sains.[5]Descartes adalah seorang filsuf rasionalis yang terkenal dengan
pemikiran ide Allah.[6] Tantangan yang mendorong Descartes adalah keragu-raguan radikalnya, The
Methode of Doubt , bahkan menurutnya,"indera bisa saja menipu, Yang Maha Kuasa dalam
bayangan kita juga bisa saja menipu, sebab kita yang membayangkan" . [7][6] Dalam
menjawab skeptisisme orang-orang pada masanya, maka dalam tinggalnya di Neubau, dekat
kotaUlm - Jerman, disebut sebagai “perjalanan menara”, kata lain dari meditasi yang dilakukan, dia
menemukan Cogito, ergo sum tahun 1618.[1][6] Karena orang pada zamannya meragukan apa yang
5. mereka lihat, maka hal ini dipatahkan oleh Descartes bahwa apa yang dipikirkan saja sebenarnya
sudah ada, minimal di pikiran.[6] Orang bisa menyangkal segala sesuatu, namun ia tidak bisa
menyangkal dirinya sendiri.[1] Jadi Allah di sini juga demikian, Allah sudah ada dengan sendirinya,
bahkan lebih jauh Descartes mencari bukti-bukti empiris yang dia warisi dari para
pendahulunya.[6]Keterbukaan untuk mengemukakan ide dalam pikiran, maka segala sesuatu yang
dapat dipikirkan pasti bisa ada.[1] Alkitab salah satu bukti eksistensi Allah, kemudian juga relasi bahwa
manusia, binatang, malaikat, dan obyek-obyek lain ada karena natural light yang adalah Allah
sendiri.[6]
Filsafat Ketuhanan menurut Descartes adalah berawal dari fungsi iman, yang pada akhirnya
berguna untuk menemukan Allah. Tanpa iman manusia cenderung menolak Allah. Ada dua hal yang
bisa ditempuh agar Aku sampai pada Allah:
Jalan yang pertama adalah sebab akibat, bahwa dirinya sendiri (manusia) pasti diakibatkan oleh
penyebab pertama, yaitu Allah.[1]
Jalan yang kedua adalah secara ontologis, yang diwarisinya dari Anselmus.[1] Allah yang ada itu
tidak mungkin berdiri sendiri, tanpa ada kaitan dengan suatu entitas lain, maka Allah pasti ada
dan bereksistensi.[1] Maka Allah yang ada dalam ide Descartes sempurna sudah, bahwa Dia ada
dan dapat diandalkan dalam relasi dengan entitas lainnya itu.[1]
Imanuel Kant (1724-1804)[sunting | sunting sumber]
Immanuel Kant dengan kata-kata "Langit berbintang di atasku dan hukum moral di batinku"
Ajaran Kant tentang Allah ditemui dalam hukum moralnya melalui beberapa tahap: 1. Allah adalah
suara hati, 2. Allah adalah tujuan moralitas, 3. Allah adalah pribadi yang menjamin bahwa orang yang
bertindak baik demi kewajiban moral akan mengalami kebahagiaan sempurna. [1] Menurut Kant ada
tiga jalan untuk membuktikan adanya Allah di luar spekulasi belaka, dan hal ini dimungkinkan:
dimulai dari menganalisa pengalaman kemudian menemui kualitas dari sense dunia kita, lalu
meningkat menjadi bukum kausalitas mencapai penyebab di luar dunia.[8]
berdasar hal pertama, kita masih pada tataran pengalaman yang tidak bisa dijelaskan.[8]
di luar konsep-konsep itu, manusia memiliki a priori dalam rasionya, dan itu menjadi penyebab
yang memang ada.[8]
6. Lalu dari usaha dari pengalaman dianalisa dengan a priori (pemikiran awal sebelum membutktikan
sesuatu) dalam otak kita, kita membagi tiga bentuk definisi atas pengalaman; Psikologi-teologi,
kosmologi dan ontologi.[8] Dari hal yang dialami (empiris) menuju transendensi; bahwa
manusia hanya akan berspekulasi saja.[8] Kritik Kant terhadap Thomas Aquinas juga mengenai hal-hal
spekulatif, padahal Allah nyata adanya. [8] Di sini Kant kemudian mengakui bahwa Allah sebagai
pemberi a priori dan pengalaman itu sendiri tidak terdapat dalam baik pengalaman maupun a priori,
namun melampaui hal itu.[8] Maka Kant sangat terkenal dengan kata-katanya '"Langit berbintang di
atasku dan hukum moral di dalam batinku".[8] Di sinilah iman diperlukan, sebab Allah pada
kenyataannya tidak bisa dibuktikan hanya dengan pengalaman inderawi semata.[8] Allah melampaui
hal-hal rasio murni.[8]
Hegel (1770-1831)
Hegel juga disebut filsuf idealisme Jerman.[9] Ajaran yang terkenal dari Hegel adalah dialektika, di
mana ada dua hal berbeda (bahkan kontras) yang bertemu dan membentuk hal baru. [1] Pertama-tama
Hegel membedakan antara rasio murni (dalam Kant) sebagai kesadaran manusia, namun ada yang
lebih dari itu yaitu intelek. Intelek itu senantiasa mengerjakan kinerja rasio dan intelektualitas
sehingga dialektika terus terjadi.[1] Roh Absolut yang adalah intelek itu bekerja dan menyatakan
dirinya dalam proses sejarah manusia.[1] Pekerjaan Roh itu dapat mencapai tujuannya dalam alam
semesta ketika terjadi dialektika antara subjek dan objek, antara yang terbatas dan tidak terbatas,
dan yang paling bisa dimengerti adalah antara yang imanen dan transenden. [1] Hegel berpendapat
Allah di dalam agama Kristen juga bekerja seperti peristiwa reformasi yang sebenarnya merupakan
peristiwa pemulih atau pengembali keadaan manusia menjadi baik kembali.[1] Dari peristiwa-peristiwa
itu maka Allah menurut Hegel dapat diartikan dalam tiga tahap: 1. Segala sesuatu yang terjadi dalam
sejarah adalah proses perjalanan Roh (Allah) yang menemukan dirinya sendiri 2. Melalui manusia
dengan kesadarannya, Roh itu menemukan dirinya (peristiwa revolusi oleh Napoleon misalny) 3.
Sehingga terjadi keselarasan arah gerak manusia dan arah gerak Roh
dalam emansipasi dan kebebasanmanusia, untuk itu Roh akan memakai nama "Akal budi". [1] Namun
Allah yang dinyatakan Hegel sebenarnya terikat pada manusia yang berproses dalam sejarah. [1]
Schleiermacher (1768-1834)
Schleiermacher adalah penganut Kant, namun baginya Allah lebih baik tidak ditelusuri
dengan metafisika belaka, namun perlu dihayati kehadirannya, yaitu dengan kontemplasi.[1] Baginya,
Allah yang tidak bisa ditangkap inderawi tidak bisa juga dilacak dengan rasio murni.[1] Istilah yang
dipakai oleh Schleiermacher untuk Allah adalah "Sang Universum". [1] Jika Kant mengenal Allah
sebagai pemberi hukum moral yang melampaui rasionya, Schleiermacher menganggap Allah yang
dimaksud Kant tidak memadai dalam kehidupan manusia, sebab Allah hanya
pemberiganjaran kepada orang yang baik dan penghukum orang yang kurang baik.[1] Sebab Allah,
bagi Schleiermacher tidak mungkin memberi hukuman kekal kepada manusia lantaran ia tidak
sempurna, hal ini dikarenakan bahwa manusia diciptakan Allah bukan agar ia sempurna, melainkan
agar ia berikhtiar mencapai kesempurnaan itu. [1]
Scleiermacher mendekati Allah bukan dari teori spekulatif, bukan dengan pendekatan moral-praktis,
melainkan pendekatan intuitif-batin, dalam bahasanya melalui kontemplasi dan perasaan.[1]"Di sinilah
agama merenungkan Sang Universum, di dalam caranya mengekspresikan diri dan tindakannya,
agama ingin mendegarkan bisikan suara Sang Universum itu dengan khidmat,... Dalam kepasifan
anak-anak, agama ingin ditangkap dan dipenuhi oleh daya pengaruhnya" [1] Agama adalah Sang
Universum sendiri.[1] Sang Universum ditangkap dari alam dunia yang
mamanifestasikannya.[1] Namun alam dunia bukanlah Sang Universum yang berdiri sendiri, namun
tetap memanifestasikan alam.[1] Pembedaan ini melaui dua tahap; 1. Alam adalah wahyuAllah, dan
7. ditangkap oleh sanubari manusia, 2. wahyu yang lebih tinggi dan lebih baik adalah manusia yang
menurut Schleiermacher tidak terbagi-bagi dan tidak terbatas, namun bereksistensi. [1] Dalam aktivitas
umat manusia itulah Allah menyatakan diri, alam diresapi oleh Yang Ilahi. [1] Namun manusia bukanlah
Allah sendiri.[1] Maka tugas agama adalah mencari menemukan Allah yang ada di luar
dirinya.[1] Agama harus tinggal dengan pengalaman-pengalaman langsung untuk mencari Allah dan
mencari keterhubungannya secara menyeluruh, bukan berfilosofi. [1]
Alfred North Whitehead (1861-1947)
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Teologi Proses
Alfred North Whitehead dijuluki sebagai bapak filsafat maupun teologi proses.[1] Pemikirannya
tergolong abstrak karena pengaruh bidang yang digelutinya, matematika dan pengetahuan empirisme
mengenai alam yang didapatkannya dari fisika terapan. [1] Dalam bukunya tentang Bagaimana Agama
Terjadi (1926) dia menyatakan;
“ "Dogma-dogma agama adalah upaya untuk memformulasikan secara presis
kebenaran-kebenaran yang tersibak di dalam pengalaman religius umat manusia.
Dengan cara yang sama dogma-dogma fisika (teori-teori, hukum, dan postulat)
merupakan upaya untuk memformulasikan secara presis kebenaran-kebenaran yang
tersingkap di dalam pencerapan inderawi umat manusia. [1] ”
Filsafat Proses Whitehead.
Filsafat prosesnya memakai dua pendekatan; 1. Prinsip proses, dan 2. Prinsip kreatifitas. [1]
Dari prinsip ini maka proses dibedakan dalam dua: 1. Prinsip bagi proses yang
bersifat mikrokopis (konkresi) adalah asas yang memungkinkan lahirnya wujud aktual baru dari
aktual-aktual lama yang sudah penuh.[1] 2. Prinsip bagi proses yang bersifat makrokopis (objektifikasi)
yang memungkinkan sesuatu yang sudah penuh berubah dan menjadi datum lagi.[1]
Prinsip kreatifitas itu disimpulkan secara logis berdasarkan analisisnya atas satua aktual sebagai
wujud ciptaannya.[1]
Allah dalam Filsafat proses Whitehead
Proses kreatifitas dan pembaruan dari satuan aktual-aktual terus terjadi, salah satu partisipannya
adalah Allah, namun Dia yang paling menonjol karena dia adalah yang awali dan yang akhiri. [1]1.
Yang awali : Allah memiliki dua peran sekaligus yaitu sebagai dasar awali yangyk adanya tatanan
dalam seluruh jagat raya dan sebagai dasar munculnya kebaruan dalam perwujudan suatu peristiwa
aktual.[1] 2. Yang akhiri: Allah sebagai penyerta yang tanggap dan menyelamatkan. [1]
Jadi Tuhan (Allah) bagi Whitehead memiliki 3 peran yang disebut di atas, dengan begitu dia bisa
mengendalikan setiap perubahan yang terjadi atas aktual-aktual lain dan mengakhirinya dengan
baik.[1]
Deisme
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Deisme
8. Deisme dianalogikan seperti Tukang Jam, yang menciptakan jam secara teratur dan membiarkannya berjalan sendiri
Deisme adalah pandangan khas tentang Allah di masa Pencerahan, berasal dari deus yang artinya
Allah.[9] Namun pandangan ini berbeda dengan teisme, sebab Allah dipercaya hanya pada waktu
penciptaan, selanjutnya tidak berhubungan dengan dunia lagi karena dunia yang sudah teratur dari
semula.[9] Allah dianalogikan seperti pencipta arloji yang bisa berjalan sangat teratur tanpa campur
tangan penciptanya.[9] Jadi Deisme hanya percaya Tuhan pertama kali, setelah itu dianggap tidak
ada.[9] Paham ini dianggap sebagai benih dari munculnya pandangan ateisme yang secara terbuka
menyangkal adanya Tuhan.[9] Pandangan yang muncul pada abad 18 di Perancis. [9]
Agnostisisme[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Agnostisisme
Agnostisisme adalah paham manusia yang tidak mau tahu atau tidak tahu tentang adanya
Tuhan.[9] Namun hal ini lebih disebabkan karena kebuntuan pemikiran untuk mendefinisikan
Tuhan.[9] Bagi para filsuf ini, Tuhan di berada di luar Jangkauan pemikiran manusia. [9]
Ateisme[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Ateisme
Ateisme berari penyangkalan adanya Allah.[2] Namun arti tentang Allah yang disangkal adanya, tidak
sama dengan pandagan semua orang, oleh karenanya arti ateisme berbeda-beda juga.[2]Lima model
ateisme yang diuraikan Magnis Suseno adalah ateisme dalam diri Ludwig Feuerbach, Karl
Marx, Friedrich Nietzsche, Sigmund Freud dan Jean Paul Sartre.[9]
Scientisme merupakan bagian dari Ateisme[sunting | sunting sumber]
Scientisme, sesuai dengan dogma rasionalis, memandang inteligensi manusia sebgai ukuran seluruh
inteligibilitas, scientisme membatasi rasionalisme sendiri dalam batas-batas pengetahuan saja,
sehingga roh manusia sendiri direduksi sampai dimensi ilmiah saja. [3] Segala sesuatu dipandang
sebagai obyek yang dapat diukur, bahkan subyek pada akhirnya nanti dibendakan juga. [3]Maka pada
akhirnya scientisme menolak metafisika, sehingga apa yang dipikirkan secara metafisik dibendakan
begitu saja, dan ini adalah bentuk ateisme.[3] Problem lebih lanjut adalah scientisme melawan
pemikiran agama dan iman.[3] Hal ini terjadi pada masa Galilei yang mengemukakan tentang bumi
yang diistilahkan geo-sentris.[3] Hal lain yang kemudian muncul juga padaCharles Darwin dengan
teori evolusi yang menyangkal kisah penciptaan manusia dalam naskah Alkitab.[3]
Ludwig Feuerbach[sunting | sunting sumber]
9. Ludw ig Feuerbach
Ateisme menurut Feuerbach (1804-1872) adalah memandang Tuhan dalam agama hanya
sebagai proyeksi dari kehendak manusia saja.[9] Dia menolak pandangan Hegel yang menyatakan
Tuhan mengungkapkan diri dalam kesadaran manusia. [9] Baginya, yang nyata bukan lah Tuhan, yang
nyata adalah manusia.[9] Tuhan hanyalah proyeksi manusia yang mendamba sifat -sifat yang tidak
dapat dicapainya.[9] Kehendak manusia untuk berkuasa, serba tahu, ada di mana-mana, dan tidak
terikat waktu itu kemudian dilemparkannya pada "hal lain" yang adalah Tuhan. [9] Sebab kepastian
yang nyata adalah yang dapat di tangkap inderawi, yaitu realitas manusia.[9] Pandangan seperti ini
nanti akan masuk dalam filsafat meterialisme. [9] Kebaikan pandangan Feuerbach ini adalah
menyatakan hakekat manusia untuk kreatif, berbelas kasih, baik, saling menyelamatkan dsb. [9] Aneh
bila manusia menyembah Tuhan yang adalah dirinya sendiri, maka manusia seharusnya menarik
agama ke dalam dirinya sendiri supaya ia menjadi kuat, baik, adil dana maha tahu. [9]
Karl Marx[sunting | sunting sumber]
Karl Marx terkenal dengan Agama adalah candu masyarakat
Menurut Karl Marx, agama adalah candu masyarakat, karena agama, masyarakat menjadi tidak maju
dan bersikap rasional.[9]Agama yang dimaksud Marx adalah agama Kristen Ateisme yang diajarkan
Marx adalah ateisme modern.[2]Agama yang mengajarkan Tuhan yang serba bisa hanya menipu dan
menyesatkan masyarakat.[9] Marx mengkritik Feuerbach yang hanya menyatakan bahwa Tuhan
adalah khayalan, namun tidak mencari sebabnya. [9] Bagi Marx sebab yang diberikan adalah manusia
lari kepada Tuhan karena penindasan yang mereka terima dari masyarakat kelas yang
dikritiknya.[9] Menurutnya agama hanya menjadi penghalang manusia untuk menyangkal dan
memperbaiki hidupnya yang sedang ditindas, seandainya Tuhan dan agama tidak ada, maka
manusia bisa hidup bebas dan bermartabat. [9] Di sinilah Tuhan sekiranya dicoret karena tidak
diperlukan.[9] Manusia seharusnya menolak kapitalisme yang sedang menindas mereka.[9]
10. Sigmund Freud[sunting | sunting sumber]
Sigmund Freud, mencari Tuhan dari psikoanalis
Filsafat Ketuhanan dalam pandangan Sigmund Freud dengan terori psikoanalisnya dimulai dengan
pertanyaan, "Apakah kepercayaan akan Allah dapat dipertanggungjawabkan?" [2] Hal ini berawal dari
analisanya tentang perkembangan manusia yang mempercayai agama yang terkadang tidak mencari
kebenaran-kebenaran di dalamnya.[2] Manusia yang hanya menerima begitu saja agama-agama yang
diajarkan kepadanya.[2] Ide Allah hanyalah ilusi, namun begitu dibutuhkan manusia seperti seorang
manusia yang membutuhkan seorang bapak yang melindunginya. [2] Namun Freud mengajukan
pertanyaan selanjutnya, "Apakah agama benar-benar baik bagi manusia?"[2]Jawabannya adalah
ambigu.[2] Yang ditekankan olehnya adalah seharusnya manusia bertanya akan imannya sehingga
dia tidak terjebak dalam bentuk-bentuk infantil dan neurotis.[2] Pendk kata, Freud tidak
memperdebatkan realitas Allah, namun lebih mengupas ilusi palsu kesadaran manusia. [2] Karena
bertanya, maka sesungguhnya penjelasan yang dikemukakan agama tidaklah memadai, Allah tidak
bisa dijelaskan dalam intelektual, sehingga perlu ditolak juga. [2]Terlebih lagi jika dicari manfaatnya,
agama hanya sebagai penghambat perkembangan pribadi, maka harus pula ditolak. [2]
Friedrich Nietzsche (1844-1899)[sunting | sunting sumber]
Friedrich Nietzsche sangat terkenal dengan Sabda Zarathustra (1883) bahwa "Tuhan telah
mati".[4] Inilah awal mula penolakannya terhadap Tuhan. [4] Penolakannya terhadap Tuhan sebenarnya
berasal dari kebenciannya melihat orang Kristen yang tidak menunjukkan kekristenan yang
seharusnya menampilkan kasih.[4] Kebenaran bagi dia sangat subyektif, dipikirkan manusia yang
sangat super kekuasaannya terhadap dirinya sendiri.[4]Subyektivitas itu juga dalam hal kebenaran
agama, apa yang disebut baik bisa saja sebenarnya sangat buruk, apa yang disebut buruk bisa saja
sebenarnya sangat baik.[4]Agama Kristen dianggap oleh Nietzsche sebagai bentuk Platonisme baru
yang memisahkan antara dunia, kosmologi, materi dan apa yang dapat ditangkap oleh
pancaindera.[3] Dari sini keburukan Kristen kata Nietzsche dipandang meremehkan hal -hal duniawi,
tampak seperti gnosis yang meremehkan hidup (tubuh, dunia, hawa nafsu) sehingga merupakan
11. hasrat akan kehampaan, kehendak akan dekadensi, sebagai penyakit, kelesuah dan kepay ahan
hidup.[3] Hal ini ditujukan kepada agama [Kristen]] yang memiliki label baik, sebenarnya sangatlah
buruk, yaitu dengan ajaran-ajarannya yang sebenarnya membelenggu manusia untuk
berkembang.[4]Bagi dia, manusia adalah ukuran segala sesuatu, bukan Tuhan yang disebut agama
Kristen.[4] Manusialah tuhan atas ciptaan ini dan yang mampu mengerjakan apa yang
diinginkannya.[4] Maka penolakan akan Tuhan adalah hal yang paling baik, sebab manusia menjadi
tidak bergantung pada Allah (Kristen) yang hanya membelenggu manusia itu, katanya. [4]
J. Paul Sartre (1905-1980)[sunting | sunting sumber]
Tuhan di mata Sartre kecil adalah sosok penghukum yang mengawasinya di manapun dia berada,
oleh karenanya dia tidak suka kehadiran Tuhan. [10] Tuhan juga tidak hadir ketika dia ingin
menemuinya.[10] Oleh karena itu Sartre sudah menolak Tuhan yang tidak nyata semenjak umur 12
tahun.[10] Sartre yang tadi dididik secara Katolik berpindah kepada kesusastraan, yang disebut
sebagai agama baru baginya.[10] Namun secara sistematis, dan khas eksistesialis, penolakan atas
Tuhan ini dilakukannya karena pemisahan radikal dalam tulisannya Ada dan Ketiadaan terjemahan
dari Being and Nothingness.[10] Baginya, di dunia ini tidak ada grand design yang mutlak, manusialah
yang bisa mengatur dirinya sendiri dengan eksistensinya. [4]Eksistensi manusia mendahului
esensinya; manusia ada dan kemudian menentukan "siapa dirinya". [4] Dia menyangkal Descartes
tentang Aku berpikir, maka aku ada, yang benar adalah Aku ada lalu aku berpikir.[4] Dari sinilah dia
meneruskannya dalam teori eksistensial fenomenologisnya, bahwa segala sesuatu harus dipisahkan
dalam dua bagian; etre en soi / ada dalam dirinya sendiri atau etre-pour soi / ada untuk dirinya
sendiri.[10] Segala sesuatu yang ada dalam dirinya sendiri berarti tidak pasif, tidak aktif, tidak afirmatif
juga tidak negatif, ada begitu saja, tanpa fundamen, tanpa dapat dirutunkan dari sesuatu lain, tidak
berkembang.[10] Sedangkan ada untuk dirinya sendiri adalah sebuah kesadaran], dan ini khas
manusia.[10] Dari pemisahan inilah, dia melabel Tuhan orang Kristen yang tidak berubah itu masuk
dalam golongan ada dalam dirinya sendiri, maka dari itu dia tidak lebih besar dari manusia yang
memiliki kesadaran untuk memilih esensinya sendiri. [10] Di sinilah penyangkalan Tuhan itu terjadi, dia
tidak mengakui Tuhan lebih tinggi dari manusia, maka Tuhan tidak diperlukan lagi. [10] Karena Tuhan
tidak lagi ada, maka manusia menjadi bebas dan bisa menentukan kondisi bangsanya.[10] Di sinilah
nilai positif Sartre yang kemudian menghabiskan seluruh kegiatan hidupnya untuk kebaikan manusia
(gerakan sosial).[10] Bahkan dia pernah memenangi nobel perdamaian karena pengabdiannya
terhadap kemanusiaan, namun ditolaknya.[10][4]