Topik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptx
Peradilan administrasi pajak
1. P O L I T E K N I K K E U A N G A N N E G A R A - S T A N
2. SEJARAH PERADILAN PAJAK DI
INDONESIA
• Institusi Pertimbangan Pajak (IPP)
Untuk membatasi sengketa serta memberikan wadah serta solusi bagi para wajib pajak
yang tidak menerima atau menolak ketetapan pajak yang diterbitkan eksekutif dibentuk
Institusi Pertimbangan Pajak (IPP) didirikan pada tahun 1915 melalui Staatsblad 1915
Nomor 707 dan berkedudukan di Batavia. IPP hanya didirikan di ibukota negara yaitu
Batavia. Tujuan dari institusi ini adalah untuk memberikan sarana atau wadah atau
jembatan bagi wajib pajak dalam mempertahankan hak-hak dan mendapatkan
perlindungan di Pengadilan bidang pajak dan fiskus mempertahankan penegakan
kepatuhan pajak.
3. • Majelis Pertimbangan Pajak (MPP)
Demi terciptanya proses peradilan yang independen dalam menyelesaikan
sengketa perpajakan, maka pada tahun 1927 di adakanlah penyempurnaan ordonansi
sehingga lahirlah Ordonnantietot Regeling van het Beroep in Belastingzaken, Staatsblad.
Nomor 29 Tahun 1927 dengan nama Raad van Beroep Voor Belastingzaken atau biasa
disebut Raad van Beroep. MPP adalah sebuah badan peradilan administrasi bidang
perpajakan. Ordonansi mengenai pendirian MPP diubah dengan Undang-Undang No. 5
Tahun 1959 (L.N No. 13 Tahun1959) khususnya pasal 4 di mana kata Gouverneur der
Provincie West Java diganti dengan Ketua Mahkamah Agung.
MPP diberikan wewenang untuk memeriksa dan memutus permohonan banding
atas keberatan yang diajukan oleh wajib pajak. Penyelesaian sengketa pajak ini meliputi
selain pajak-pajak negara (pemerintah pusat), juga pajak-pajak daerah. Struktur
organisasi MPP, telah memenuhi sebagai suatu organisasi, yaitu dengan dibantu oleh
Sekretariat yang mengepalai kesekretariatan dan kegiatan administrasi yuridis dan
umum, seperti diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 20Tahun 1986. Dengan adanya
majelis tersebut, banyak sengketa pajakyang telah dapat diselesaikan, sehingga
kebenaran, keadilan danpengakan hukum di bidan perpajakan mulai dirasakan oleh
4. • Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP)
Melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun1997, dibentuk suatu badan semacam
peradilan yakni BadanPenyelesaian Sengketa Pajak (BPSP). Badan ini mempunyai
kewenanganyang lebih luas selain memeriksa dan memutus masalah sengketa pajak,
juga pabean dan cukai dan dimaksudkan menggantikan kedudukan Majelis
Pertimbangan Pajak. Meskipun bukan berbentuk Pengadilan, tetapi forum pemeriksaan
dan pemutus sengketa, terdiri atas Ketua dan anggota (berjumlah tiga orang), bertindak
sebagai hakim.Putusannya berbentuk putusan Ketua BPSP. Dengan adanya perluasan
peradilan termaksud. Anggota-anggota BPSP selain berasal dari pajak, para ahli
perpajakan (konsultan, anggota Dewan Perwakilan Rakyat), pengusaha, juga ahli-ahlidi
bidang kepabeanan dan cukai.
Masalah sengketa pajak mempunyai corak, sifat, dan karakteristik sendiri dapat
diserahkan kepada suatu peradilan khusus. Sedangkan sengketa atas keputusan dalam
lingkup administrasi negara yang lain tetap diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tata
Usaha Negara. Pada akhirnya pada tahun 2002 dibentuk dan diberlakukan Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
5. • Pengadilan Pajak
Berdasarkan pertimbangan bahwa dalam pelaksanaan penyelesaian Sengketa Pajak
melalui BPSP masih terdapat ketidakpastian hukum yang dapat menimbulkan ketidakadilan,
dan penyelesaian sengketa pajak harus dilakukan dengan adil melalui prosedur dan proses
yang cepat, murah dan sederhana, maka dibentuklah Pengadilan Pajak berdasarkan Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 2002.
Definisi Pengadilan Pajak merujuk dalam Pasal 2Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2002 tentang Pengadilan Pajak. Pengadilan Pajak terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota,
Sekretaris dan Panitera. Pimpinan Pengadilan pajak terdiri seorang Ketua dan paling banyak 5
(lima) orang Wakil Ketua. Pengadilan pajak berkedudukan di ibukota Negara dan Sidang
Pengadilan Pajak dilakukan di tempat kedudukannya (Apabila dipandang perlu dapat
dilakukan di tempat lain yang ditetapkan oleh Ketua).
6. PENGERTIAN
• Defenisi peradilan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah segala sesuatu
mengenai perkara pengadilan.
• Peradilan administrasi pajak adalah upaya hukum yang dilakukan oleh Wajib Pajak
dalam rangka mencari keadilan terhadap surat ketetapan pajak yang diterbitkan oleh:
1. Direktur Jenderal Pajak, untuk pajak-pajak pusat, antara lain:
2. Kepala Daerah, untuk pajak-pajak daerah, antara lain:
Pemotongan
atau
pemungutan
oleh pihak ketigaSKPN
SKPDLB Surat
Ketetapan
Pajak Daerah
(SKPD)SKPDKBT
SKPDKB
SKPN
SKPLB
SKPKBT
SKPKB Pemotongan
atau
pemungutan
oleh pihak ketiga
7. PERADILAN ADMINISTRASI PAJAK
DIBAGI MENJADI DUA
1. Peradilan Administrasi Tidak Murni
• Disebut tidak murni karena dalam peradilan ini hanya melibatkan dua pihak, yaitu pihak
Wajib Pajak dan fiskus tanpa melibatkan pihak ketiga yang independen.
• Fiskus sebagai pihak yang bersengketa sekaligus menjadi pihak yang mengambil keputusan
dalam persilisihan pajak yang bersangkutan.
• Contoh peradilan administrasi tidak murni dapat dilihat dalam pengajuan keberatan yang
diatur dalam Pasal 25 dan 26 UU No. 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir kali
dengan UU No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Wajib Pajak mengajukan keberatan (doleansi) karena adanya perselisihan mengenai besarnya
jumlah utang pajak, oleh karena itu, ada dua hal yang harus diperhatikan:
• a. Terhadap surat keberatan yang masuk harus diambil keputusan
• b. Pihak yang mengambil keputusan adalah aparatur pajak (Dirjen Pajak, Kakanwil Pajak)
yang disebut sebagai hakim doleansi
8. 2. Peradilan Administrasi Murni
• Peradilan administrasi murni adalah peradilan yang melibatkan tiga pihak, yaitu Wajib Pajak,
Fiskus, dan Hakim yang mengadili.
• Wajib pajak dan Fiskus adalah pihak yang bersengketa, sedangkan Hakim atau Majelis
Hakim adalah pihak yang akan memutuskan sengketa tersebut.
9. KEDUDUKAN PENGADILAN PAJAK
DALAM SISTEM PERADILAN
• Pengadilan Pajak yang dibentuk berdasarkan UU No. 14 Tahun 2002 tentang pengadilan
pajak ini mengundang banyak perhatian.
• Ahli hukum menilai keberadaan pengadilan pajak bertentangan dengan UU No. 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman karena tidak termasuk dalam empat peradilan
Indonesia, yakni pengadilan umum, pengadilan agama, pengadilan militer dan
pengadilan tata usaha negara (PTUN).
• Bahkan bertentangan dengan UUD 1945 pasal 24 ayat (2) amandemen ketiga yang
berbunyi "Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara,
dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi "
• Sedangkan di pihak lain, pasal 2 UU No. 14 Tahun 2002 menyatakan, Pengadilan Pajak
adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi wajib pajak atau
penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak.
10. KEDUDUKAN PENGADILAN PAJAK
DALAM SISTEM PERADILAN
Pasca Amandemen ke-4 UUD 1945, telah diundangkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menggantikan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan Perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara yaitu Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004.
Dari kedua Undang-Undang tersebut kedudukan Pengadilan Pajak secara eksplisit dinyatakan
sebagai pengadilan khusus di lingkungan peradilan tata usaha negara.
Di samping itu berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi atas Perkara Nomor 004/PUU-
11/2004, dalam pertimbangan Pokok Perkara dinyatakan bahwa adanya ketentuan yang
menyatakan bahwa pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh
Mahkamah Agung, bahwa pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan
kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung, dan bahwa di lingkungan
Pengadilan Tata Usaha Negara dapat diadakan pengkhususan yang diatur dengan undang-
undang telah cukup menjadi dasar yang menegaskan Pengadilan Pajak termasuk dalam lingkup
peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 24 ayat
(2) UUD 1945.
11. KEDUDUKAN PENGADILAN PAJAK
DALAM SISTEM PERADILAN
Selanjutnya dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2007 secara tegas juga dinyatakan bahwa
putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan
pengadilan khusus di lingkungan peradilan tata usaha
negara.
13. Sengketa
Pajak
Sebagai upaya mencari keadilan dengan peradilan administrasi pajak timbul
karena adanya “sengketa pajak‟ antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal
Pajak
Sengketa pajak ini dijadikan sebagai dasar-dasar umum di dalam pengajuan ke
Peradilan Administrasi Pajak.
Sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara
Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai
akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan
kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan
perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan
Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. (Pasal 1 angka 5 UU No.
14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak).
Sengketa Pajak timbul dengan diterbitkannya surat ketetapan pajak atau
diterbitkannya surat tindakan penagihan pajak.
Upaya hukum untuk menyelesaikan sengketa pajak yang dapat dilakukan oleh
Wajib Pajak adalah: Pengajuan Surat Keberatan; Pengajuan Banding ke
Pengadilan Pajak; Gugatan; Peninjauan Kembali.
14. KEBERATAN• Upaya hukum keberatan dilakukan masih
berada dalam lingkungan lembaga yang sama
yaitu Direktorat Jenderal Pajak.
• Peradilan administrasi seperti ini lazim disebut
quasi peradilan/peradilan doleansi (peradilan
administrasi tidak murni), dimana:
a. Tidak ada sidang peradilan;
b. Tidak ada panitera sidang;
c. Tidak ada saksi maupun saksi ahli;
d. Tidak mempertemukan pihak-pihak yang
bersengketa;
e. Tidak ada pembacaan keputusan; dan
f. Keputusan dibuat oleh Pejabat yang
menerbitkan surat ketetapan.
Dalam pelaksanaan
ketentuan peraturan
perundang-undangan
perpajakan kemungkinan
terjadi bahwa wajib pajak
(WP) merasa kurang puas
atas suatu ketetapan pajak
yang dikenakan kepadanya
atau atas
pemotongan/pemungutan
pihak ketiga. Dalam hal ini
WP dapat mengajukan
keberatan kepada Dirjen
Pajak melalui KPP dimana
Wajib Pajak tersebut
15. KEBERATAN
Ayat (1): Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya
kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu:
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
c. Surat Ketetapan Pajak Nihil;
d. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau
e. pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga
berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan
perpajakan.
Ayat (2): Keberatan diajukan secara tertulis dalam
bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang
terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, atau
jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan
disertai alasan yang menjadi dasar penghitungan.
Ayat (3): Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu
3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak
atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kecuali apabila Wajib
Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut
tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
Dasar hukum:
Pasal 25 UU No. 6 Tahun
1983 sebagaimana telah
diubah terakhir kali dengan
UU No. 16 Tahun 2009
tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan
dengan peraturan
pelaksanaannya pada
Peraturan Menteri Keuangan
No.194/PMK.03/2007.
16. KEBERATAN
Ayat (3a): Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan
atas surat ketetapan pajak, Wajib Pajak wajib melunasi
pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah
yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir
hasil pemeriksaan, sebelum surat keberatan disampaikan.
Ayat (4): Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat
(3), atau ayat (3a) bukan merupakan surat keberatan
sehingga tidak dipertimbangkan.
Ayat (5): Tanda penerimaan surat keberatan yang
diberikan oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang
ditunjuk untuk menerima surat keberatan atau tanda
pengiriman surat keberatan melalui pos dengan bukti
pengiriman surat, atau melalui cara lain yang diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
menjadi tanda bukti penerimaan surat keberatan.
Ayat (6): Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk
keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal Pajak
wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang
menjadi dasar pengenaan pajak, penghitungan rugi, atau
pemotongan atau pemungutan pajak.
Dasar hukum:
Pasal 25 UU No. 6 Tahun
1983 sebagaimana telah
diubah terakhir kali dengan
UU No. 16 Tahun 2009
tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan
dengan peraturan
pelaksanaannya pada
Peraturan Menteri Keuangan
No.194/PMK.03/2007.
17. Dasar hukum:
Pasal 25 UU No. 6 Tahun
1983 sebagaimana telah
diubah terakhir kali dengan
UU No. 16 Tahun 2009
tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan
dengan peraturan
pelaksanaannya pada
Peraturan Menteri Keuangan
No.194/PMK.03/2007.
KEBERATAN
Ayat (7): Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan,
jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) atas jumlah pajak yang
belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh
sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat
Keputusan Keberatan.
Ayat (8): Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat
pengajuan permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (7) tidak termasuk sebagai utang pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a).
Ayat (9): Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau
dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi
berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah
pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak
yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
Ayat (10): Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan
banding, sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima
puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak
dikenakan.
18. KEBERATAN
Syarat–syarat mengajukan keberatan
Diajukan secara tertulis dalam bahasa indonesia;
Mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak
yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut
penghitungan wajib pajak dengan disertai alasan-alasan yang
menjadi dasar penghitungan;
1 (satu) surat keberatan diajukan hanya untuk 1 (satu) surat
ketetapan pajak, untuk 1 (satu) pemotongan pajak, atau untuk
1 (satu) pemungutan pajak.
Wajib pajak telah melunasi pajak yang masih harus dibayar
paling sedikit sejumlah yang telah disetujui wajib pajak dalam
pembahasan akhir hasil pemeriksaan;
Diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal
dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan
atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga kecuali wajib pajak
dapat menunjukan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat
dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan wajib pajak (force
majeur);dan
Surat keberatan ditandatangani oleh wajib pajak, dan dalam
hal surat keberatan ditandatangani oleh bukan wajib pajak,
surat keberatan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa
khusus.
Dalam hal surat keberatan yang
disampaikan oleh Wajib Pajak
belum memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud pada
huruf a, huruf b, huruf c, huruf
d, atau huruf f, Wajib Pajak
dapat menyampaikan perbaikan
surat keberatan dengan
melengkapi persyaratan yang
belum dipenuhi sebelum jangka
waktu 3 (tiga) bulan
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf e terlampaui.
Dalam hal WP menyampaikan perbaikan
surat keberatan, tanggal penyampaian
perbaikan surat keberatan merupakan
tanggal surat keberatan diterima.
19. Pihak yang mengajukan
keberatan adalah:
a. Bagi WP Badan oleh
Pengurus
b. Bagi WP orang pribadi
oleh WP yang bersangkutan
c. Pihak yang
dipotong/dipungut oleh
pihak ketiga
d. Kuasa yang ditunjuk oleh
mereka di atas dengan surat
kuasa khusus pengajuan
keberatan.
Jangka waktu pengajuan keberatan:
Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga)
bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau
sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak
kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa
jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena
keadaan di luar kekuasaannya.
Untuk surat keberatan yang disampaikan langsung ke
KPP, maka jangka waktu 3 bulan dihitung sejak tanggal
dikirim surat ketetapan pajak atau sejak dilakukan
pemotongan atau pemungutan pajak kecuali apabila
Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu
tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar
kekuasaannya.
Untuk surat keberatan yang disampaikan melalui pos
(harus dengan pos tercatat), maka jangka waktu 3
bulan dihitung sejak tanggal dikirim surat ketetapan
pajak atau sejak dilakukan pemotongan atau
pemungutan pajak kecuali apabila Wajib Pajak dapat
menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat
dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
KEBERATAN
20. Apabila jangka waktu
tersebut telah terlampaui
dan Direktur Jenderal Pajak
tidak menerbitkan Surat
Keputusan Keberatan,
keberatan yang diajukan
Wajib Pajak dianggap
dikabulkan dan Direktur
Jenderal Pajak wajib
menerbitkan Surat
Keputusan Keberatan
sesuai dengan keberatan
Wajib Pajak.
KEPUTUSANKE
BERATAN
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama
12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan
diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang
diajukan.
Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat
berupa:
mengabulkan seluruhnya atau sebagian,
menolak, atau
menambah besarnya jumlah pajak yang masih harus
dibayar.
Apabila Dirjen Pajak mengeluarkan keputusan menolak
keberatan Wajib Pajak, maka pilihannya hanya ada dua,
yaitu:
Wajib Pajak harus tetap melunasi utang pajak sebesar
yang tercantum dalam keputusan keberatan
Wajib Pajak dapat mengajukan banding ke Pengadilan
Pajak.
atau
21. BANDING
Banding adalah upaya
hukum yang dapat
dilakukan oleh wajib
pajak atau penanggung
pajak terhadap suatu
keputusan yang dapat
diajukan banding,
berdasarkan peraturan
perundang-undangan
perpajakan yang berlaku.
Wajib Pajak dapat mengajukan
permohonan banding hanya
kepada badan peradilan pajak atas
Surat Keputusan Keberatan.
Landasan hukum upaya banding adalah
berdasarkan UU No. 14 Tahun 2002
tentang Pengadilan Pajak dan Pasal 27
UU KUP No. 16 Tahun 2009.
Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang
melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi WP
atau penanggung pajak yang mencari keadilan
terhadap Sengketa Pajak. Tugas Pengadilan
adalah memutuskan Sengketa pajak.
Menurut Pasal 27 ayat (2) UU KUP No. 16 Tahun 2009,
putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan
pengadilan khusus di lingkungan peradilan tata usaha
negara. Artinya, tidak dimungkinkan lagi Wajb Pajak
mengajukan gugatan atas keputusan keberatan
maupun Pengadilan Pajak ke PTUN. Meskipun
demikian, Wajib Pajak dapat mengajukan upaya
hukum Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung.
22. BANDING
Pasal 27 UU No. 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir
kali dengan UU No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan secara lengkap berbunyi sebagai berikut:
Ayat (1): Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding
hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan
Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1).
Ayat (2): Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan
pengadilan khusus di lingkungan peradilan tata usaha negara.
Ayat (3): Permohonan banding diajukan secara tertulis dalam
bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas paling lama 3
(tiga) bulan sejak Surat Keputusan Keberatan diterima dan
dilampiri dengan salinan Surat Keputusan Keberatan
tersebut.
Ayat (4): Dihapus
Ayat (4a): Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan
pengajuan permohonan banding, Direktur Jenderal Pajak wajib
memberikan keterangan secara tertulis halhal yang menjadi
dasar Surat Keputusan Keberatan yang diterbitkan.
Ayat (5): Dihapus.
23. BANDING
Ayat (5a): Dalam hal Wajib Pajak mengajukan banding, jangka
waktu pelunasan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(3), ayat (3a), atau Pasal 25 ayat (7), atas jumlah pajak yang
belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai
dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
Ayat (5b): Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan
permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5a)
tidak termasuk sebagai utang pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a).
Ayat (5c): Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan
permohonan banding belum merupakan pajak yang terutang sampai
dengan Putusan Banding diterbitkan.
Ayat (5d): Dalam hal permohonan banding ditolak atau
dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa
denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak
berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak
yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
Ayat (6): Badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan dalam Pasal 23 ayat (2) diatur dengan undang-undang.
24. GUGATAN
Gugatan adalah upaya
hukum Wajib Pajak atau
Penanggung Pajak
terhadap pelaksanaan
penagihan pajak
terhadap keputusan yang
dapat diajukan gugatan
berdasarkan peraturan
perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 23 ayat (2) UU No. 6 Tahun 1983 sebagaimana
telah diubah terakhir kali dengan UU No. 16 Tahun
2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan menyatakan bahwa Gugatan Wajib Pajak
atau Penanggung Pajak terhadap:
Pelaksanaan surat paksa, surat perintah
melaksanakan penyitaan, atau pengumuman lelang;
Keputusan pencegahan dalam rangka penagihan
pajak;
Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan
keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam
pasal 25 ayat (1) dan pasal 26; atau
Penerbitan surat ketetapan pajak atau surat
keputusan keberatan yang dalam penerbitannya tidak
sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah
diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan
perpajakan, hanya dapat diajukan kepada badan
peradilan pajak.
25. Gugatan dapat diajukan
oleh
a. penggugat
b. ahli warisnya
c. seorang pengurus,
atau
d. kuasa hukumnya
SYARAT
PENGAJUAN
GUGATAN
a. Gugatan diajukan secara tertulis dalam bahasa
Indonesia kapada Pengadilan Pajak. Jangka waktu
untuk mengajukan gugatan terhadap pelaksana
penagihan pajak adalah 14 hari sejak tanggal
pelaksanaan penagihan.
b. Jangka waktu untuk mengajukan gugatan terhadap
keputusan selain gugatan adalah 30 hari sejak tanggal
diterimanya keputusan yang digugat.
c. Jangka waktu sebagaimana dimaksud diatas tidak
mengikat. Apabila jangka waktu tersebut tidak dapat
dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan
penggugat, maka dapat dimohonkan perpanjangan
jangka waktu.
d. Perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud di
atas adalah 14 hari terhitung sejak berakhirnya
keadaan di luar kekuasaan penggugat.
e. Terhadap saatu pelaksanaan penagihan atau satu
keputusan diajukan satu surat gugatan.
26. Gugatan disertai alasan-alasan yang jelas,
mencantumkan tanggal diterima, pelaksanaan
penagihan, atau keputusan yang digugat dan
dilampirkan salinan dokumen yang digugat.
Apabila selama proses gugatan, penggugat
meninggal dunia, gugatan dapat diajukan oleh ahli
warisnya, pengampunya dalam hal pemohon
banding pailit.
Apabila selama proses gugatan, pemohon banding
melakukan penggabungan, peleburan, pemecahan/
pemekaran usaha, atau likuidasi, pemohon
dimaksud dapat dilanjutkan oleh pihak yang
menerima pertangungjawaban karena
penggabungan, peleburan, pemecahan/pemekaran
usaha, atau likuidasi yang dimaksud.
Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya
penagihan pajak atau kewajiban perpajakan.
GUGATAN
27. P EMERIKS AAN DAN
P EMB UKT IAN
DALAM
P ERS IDANG AN
PEMERIKSAAN
Pemeriksaan adalah proses,
cara, perbuatan memeriksa
(KBBI).
Proses pemeriksaan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1) Pemeriksaan dengan acara biasa
Dilakukan oleh majelis
Sebelum pemeriksaan dilakukan pemeriksaan
mengenai kelengkapan dan atau kejelasan
banding/gugatan
Banding/gugatan tidak lengkap/tidak jelas sepanjang
bukan persyaratan, kelengkapan dan atau kejelasan
dapat diberikan dalam persidangan
Biaya untuk kedatangan saksi ke persidangan yang
diminta pihak bersangkutan dibebankan ke pihak yang
meminta
2) Pemeriksaan dengan acara cepat.
Dilakukan oleh majelis/hakim tunggal
Dilakukan terhadap:
Sengketa pajak tertentu
Gugatan tidak putus dlm jangka waktu 6 bulan sejak
gugatan diterima
Tdk dipenuhinya salah 1 dalam putusan pengadilan
pajak atau kesalahan tulis dan atau kesalahan hitung
Sengketa yang berdasarkan pertimbangan hukum
bukan merupakan wewenang pengadilan pajak
28. Alat bukti yang diperlukan dalam persidangan,
terdiri dari:
Surat/tulisan
Keterangan ahli
Keterangan para saksi
Pengakuan para pihak
Pengetahuan hakim
P EMERIKS AAN DAN
P EMB UKT IAN
DALAM
P ERS IDANG AN
PEMBUKTIAN
Pemeriksaan adalah proses,
cara, perbuatan
membuktikan (KBBI).
29. PENINJAUAN KEMBALI (PK)
Peninjauan kembali ke Mahkamah Agung merupakan upaya hukum luar
biasa setelah adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap atau ada hal
lain yang ditentukan undang-undang.
Ketentuan Pasal 91 UU Pengadilan Pajak menyatakan bahwa permohonan PK
hanya dapat diajukan berdasarkan lima alasan, yaitu:
a. Apabila putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau
tipu didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan
palsu;
b. Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan,
yang apabila diketahui pada tahap persidangan di Pengadilan Pajak akan
menghasilkan keputusan yang berbeda;
c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada
yang dituntut, kecuali yang diputuskan berdasarkan Pasal 80 ayat 1 huruf b
dan c;
d. Apabila mengetahui suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa
dipertimbangkan sebab-sebabnya;
e. Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
30. Pengajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan
sebagaimana dimaksud di atas huruf a dilakukan dalam jangka waktu
paling lambat 3 bulan terhitung sejak diketahui kebohongan atau tipu
muslihat atau sejak putusan hakim pengadilan pidana memperoleh
kekuatan hukum tetap.
Pengajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan
sebagaimana dimaksud pada huruf b dilakukan pada jangka waktu paling
lambat 3 bulan terhitung sejak ditemukan surat-surat bukti yang hari dan
tanggal ditemukannya harus dinyatakan dibawah sumpah dan disahkan
oleh pejabat yang berwenang.
Pengajuan peninjauan kembali berdasarkan alasan sebagaimana
dimaksud di pada huruf c, d, dan e dilakukan dalam jangka waktu paling
lambat 3 bulan terhitung sejak putusan dikirim.
31. Mahkamah Agung memeriksa dan memutuskan permohonan peninjauan kembali dengan
ketentuan:
a. Dalam jangka 6 bulan sejak permohonan peninjauan kembali diterima oleh MA
telah mengambil putusan, dalam hal Pengadilan Pajak mengambil putusan melalui
pemeriksaan acara biasa.
b. Dalam jangka waktu 1 bulan sejak permohonan peninjauan kembali diterima oleh
MA telah mengambil putusan, dalam hal Pengadilan Pajak mengambil putusan
melalui pemeriksaan acara cepat.
Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada Mahkamah
Agung melalui Pengadilan Pajak. Apabila di tempat tinggal atau tempat kedudukan
pemohon belum ada Pengadilan Pajak, permohonan diajukan ke PTUN. Apabila PTUN
juga belum ada, maka dapat diajukan ke Pengadilan Negeri. Permohonan peninjauan
kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan
Pajak.