1. CONTOH MAKALAH HUKUM PAJAK
1.1 Latar Belakang
Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta Wajib
Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan untuk
pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Sesuai falsafah undang-undang perpajakan,
membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak dari setiap warga Negara
untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan negara dan pembangunan
nasional. Tanggung jawab atas kewajiban pembayaran pajak, sebagai pencerminan kewajiban
kenegaraan di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat sendiri untuk memenuhi
kewajiban tersebut. Hal tersebut sesuai dengan sistem self assessmentyang dianut dalam Sistem
Perpajakan Indonesia.
Eksistensi pajak merupakan sumber pendapatan utama sebuah negara, karena itu
merupakan isu strategis yang selalu menjadi pantauan masyarakat. Apalagi sekarang telah dilakukan
pembahasan RUU Pajak yang baru yang akan menggantikan UU No. 16/2000 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan. Penduduk Indonesia sebesar 215 juta jiwa merupakan potensi
pajak yang berlimpah. Ironisnya, hingga 2004 jumlah wajib pajak/ pembayar pajak hanya mencapai
3.670.060 jiwa dengan perincian 2.622.184 pembayar pajak orang pribadi dan 1.047.876 lainnya
pembayar pajak badan. Hal ini menandakan bahwa kebijakan perpajakan tidak cukup kuat untuk
melakukan ekstensifikasi pajak di samping proses pendataan wajib pajak yang kurang gencar
dilakukan.
Urgensi pajak bagi kelangsungan pembangunan tak lagi disangsikan. Karena itu wajar jika
pemerintah terus berupaya menggali berbagai potensi tax coverage (lingkup/cakupan pajak)
sekaligus menekankan tax compliance (kepatuhan pajak) dari masyarakat. Namun demikian,
kepatuhan pajak yang bersumber dari kesadaran masyarakat terhadap penunaian kewajiban
membayar pajak itu tentu bukan sesuatu yang berdiri sendiri. Berbagai persoalan perpajakan yang
kerap muncul, baik yang bersumber dari wajib pajak (masyarakat), aparatur pajak (fiscus), maupun
yang bersumber dari sistem perpajakan itu sendiri menunjukkan bahwa persoalan pajak merupakan
hal yang kompleks. Oleh karena itu, penanganannya perlu diupayakan secara sinergis dan
komprehensif.
Dengan sendirinya, berbagai upaya untuk menciptakan masyarakat agar memiliki apresiasi
yang baik terhadap kewajiban membayar pajak tidak terpaku pada wajib pajak belaka, tapi perlu
mempertimbangkan aspek-aspek lainnya secara korelatif. Dengan pertimbangan yang simultan,
solusi alternatif yang signifikan akan lebih memungkinkan. Dari begitu banyak dan keanekaragaman
hak dan kewajiban wajib pajak, salah satunya adalah wajib pajak orang pribadi yaitu orang yang
memperoleh penghasilan baik sebagai seorang direktur dari satu, beberapa, atau bahkan ratusan
perusahaan atau seorang pemegang saham atau komisaris atau pegawai menengah atau pegawai
rendah atau pekerja mandiri seperti dokter, notaris , pengacara.
Sebelum sampai pada pembahasan tentang Wajib Pajak Pribadi, sebagai cakrawala
pengetahuan perpajakan perlu diketahui terlebih dahulu tentang pengertian, jenis dan macam pajak
serta manfaat pajak yang berlaku di Indonesia.
2. 1.2 Perumusan Masalah
Wajib Pajak Pribadi adalah orang yang memperoleh penghasilan baik sebagai seorang
direktur dari satu, beberapa, atau bahkan ratusan perusahaan atau seorang pemegang saham atau
komisaris atau pegawai menengah atau pegawai rendah atau pekerja mandiri seperti dokter, notaries
, pengacara . Wajib Pajak Orang Pribadi memiliki resiko mengalami pemeriksaan pajak . Namun
sering kali terjadi berbagai permasalahan mengenai pembyaran pajak pribadi itu sendiri.
1. Bagaimanakah Perlakuan PPh atas pengalihan tanah?
2. Bagimanakah Perlakuan PPh atas kerugian yang timbul akibat terjadinya bencana alam?
1.3 Tujuan dan Manfaat
1.3.1 Tujuan:
Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan makalah ini adalah:
1. Supaya penulis pribadi dan para pihak yang membaca makalah ini mengetahui tentang macam-
macam serta penggolongan penggolongan pajak di Indonesia.
2. Untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan pengenaan pajak terhadap penghasilan.
3. Untuk mengetahui bagaimana mengenai kewajiban pajak bagi wanita.
1.3.2 Manfaat:
Manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Bagi para pihak yang membaca, hasil penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi
serta pengetahuan mengenai ilmu Hukum Pajak Khususnya mengenai hal Pajak Penghasilan.
2. Bagi penulis merupakan penerapan secara ilmiah ilmu Hukum Pajak khususnya Pajak Penghasilan.
3. Sebagai referensi bagi penulis lain yang juga menulis dalam h
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2 .1 Landasan Teori
Berkenaan mengenai pengenaan pajak, pajak mempunyai latar belakang falsafah. Falasafah
pajak ini lebih lanjut lagi berdasarkan falsafah negara yaitu pancasila. Pasal 23 UUD 1945,
merupakan dasar hukum pemungutan pajak yang berbunyi “segala pajak pajak untuk kegunaan kas
negara berdasarkan undang-undang” walaupun pasal 23 (2) UUD 1945, merupakan dasar hukum
pemungutan pajak, namun pada dasarnya dalam ketentuan ini tersirat Falsafah Pajak. Pajak harus
berdasar undang-undang karena dapat diibaratkan pajak adalah menyayat daging diri kita sendiri.
Pajak tidak memerikan imbalan yang secara langsung dapat dinikmati, atau dapat dikatakan pajak
tidak memberikan imbalan.
Selain memiliki dasar falsafah dalam pengenaan pajak terdapat asas-asas menurut Falsafah
Hukum yaitu asas-asas keadilan, untuk memberikan dasar menyatakan keadilannya, terdapat teori-
teori pajak yang dapat diterapkan dalam pemungutan pajak dalam masyarakat, dan juga terdapat
sistem pemungutan pajak diantaranya adalah:
2.2.1 Teori Pemungutan Pajak
3. 1. Teori asuransi: Pajak dianggap sama dengan premi yang harus dibayar rakyat karena negara yang
mempunyai tugas menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat dan lingkungan di seluruh wilayah
negara.
2. Teori Kepentingan: Teori kepentingan hanya memperhatikan pembagian beban pajak yang harus
dipungut pemerintah kepada rakyat yang disesuaikan dengan kepentingan masing-masing dalam
tugas-tugas pemerintah yang bermanfaat baginya termasuk perlindungan atas jiwa beserta harta
bendanya.
3. Teori Daya Pikul: Pajak harus dibayar menurut daya pikul atau kemampuan seseorang.
4. Teori Bakti: teori yang berdasar atas paham organisasi negara yang mengajarkan bahwa negara
negara sebagai organisasi mempunyai tugas untuk menyelenggarakan kepentingan umum. Dengan
organisasi dan tindakan negara seperti itu, di satu sisi negara mempunyai hak untuk memungut
pajak.
5. Teori Gaya Beli: penyelenggaraan kepentingan rakyat dapat dapat dianggap sebagai dasar keadilan
pemungutan pajak, bukan kepentingan individu dan juga bukan kepentingan negara melainkan
kepentingan masyarakat yang meliputi keduanya.
2.2.2 Asas Pemungutan Pajak
1. Asas Domisisli: Asas ini didasarkan pada domisili atau tempat tinggal wajib pajak di suatu negara.
Negara tempat tinggal seseorang berhak mengenakan pajak terhadap seseorang tersebut tanpa
melihat darimana sumber penghasilan atau pendapatanya diperoleh dan tanpa melohat kebangsaan
atau kewarga negarann wajib pajak tersebut.
2. Asas Sumber: Dalam asas ini pemungutan didasarkan pada adanya sumber pendapatan alam suatu
negara. Negara menjadi tempat sumber pendapatan tersebut berhak memungut pajak tanpa m
emperhatikan domisili dan kewarganegaraan wajib pajak.
3. Asas Kebangsaan: Pada asas inivpemungutan pajak didasarkan pada kebangsaan seseorang. Yang
berhak memungut pajak seseorang adalah negara yang menjadi kebangsaan orang tersebut.
2.2.3 Sistem Pemungutan Pajak
1. Official Assesment System: adalah sistem pemungutan pajak yang menyatakan bahwa jumlah pajak
yang dilunasi atau terhutang oleh wajib pajak dihitung dan ditetapkan oleh aparat pajak atau fiscus.
2. Self Assesment System: adalah sistem pemungutan pajak yang menyatakan bahwa jumlah pajak
yang dilunasi atau terhutang oleh wajib ajak dihitung sendiri oleh wajib pajak.
2.2 Dasar Hukum
* Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan
* Undang-undang No. 10/1994 Undang-Undang Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan. Pasal 4 ayat (2). “ Atas Pengasilan berupa bungan
deposito dan tabungan dan tabungan-tabungan lainya, penghasilan dari transaksi saham dan
sekuritas lainya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harat berupa tanah dan atau tabungan
serta pengasilan tertentu lainya, pengenaan pajaknya diatur dengan peraturan pemerintah.
* Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
* Undang-undang nomor: 7 tahun 1991tentang perubahan atas undang-undang nomor 7 tahun 1983
tentang pajak penghasilan
* Undang-undang nomor 46 tahun 1994 tentang pembayaran pajak penghasilan bagi orang pribadi
yang bertolak keluar negri
* UUD 1945 pasal23 ayat (2): segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang
* UU No. 6 Tahun 1983 ttg KUP jo. UU No. 9/1994
4. * UU No. 8 Tahun 1983 ttg PPN jo. UU No. 11/1994
* UU No. 12 Tahun 1985 ttg PBB sbg diubah dengan UU no. 12 Tahun 1994
* UU No. 13 Tahun 1985 ttg Bea Materai
* UU No. 21 Tahun 1997 ttg BPHTP sbg diubah dengan UU No. 20 tahun 2007
BAB III
PEMBAHASAN
Pengertian pajak
Beberapa ahli memberikan pengertian antara pajak antara yang satu dengan yang lainnya.
Diantara beberapa pengertian yang diberikan oleh para ahli adalah sebgai berikut.
1. Menurut Sommerfeld: pajak adalah suatu pengalihan sumber-sumber yang wajib dilakukan dari
sektor swasta kepada sektor pemerintah berdasarkan peraturan tanpa mendapat suatu imabalan
kemabali yang langsung dan seimbang, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas tugasnya dalam
pemerintahan
2. Menurut Prof. DR. Rochmat Soemitro: pajak adalah pengalihan kekayaan dari pihak rakyat
kepad negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan ‘surplus’nya digunakan untuk ‘public
saving’ yang merupakan sumber utama untuk membiayai ‘public investment’. Dari pengertian
itu dapat disimpulkan unsur-unsur yang terdapat dalam pajak ialah:
* Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksananya;
* Sifatnya dapat dipaksakan, hal ini berarti bahwa pelanggaran atas iuran perpajkan dapat dikenakan
sanksi;
* Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontra[restai secara langsung oleh
pemerintah;
* Pajak dipungut oleh Negara baik pemerintah pusat maupun daerah;
* Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya
masih surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment.
3. Menurut Prof. DR. M.J.H. Smeets: pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui
norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan tanpa ada kontra prestasi yang dapat ditunjukkan
dalam hal individual; maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah’
4. Menurut Ray M. Sommer, Hershel M. Andersen dan Horace R. Brock: “A tax can be defined
meaningfully as any nonpenal yet compulsory transfer of recourses from the private to the public
sector, levied on the basis of predetermined criteria without reference to specific benefits receifed, so
as to accomplish some of a nation’s economic and social objectives”
Sebenarnya masih banyak lagi para ahli dan pakar perpajakan yang mengemukakan pengertian
pajak dengan menggunakan kalimat masing-masing.
‘
5. Jenis Pajak
Secara umum, pajak yang berlaku di Indonesia dapat dibedakan menjadi Pajak Pusat dan
Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat yang dalam hal
ini sebagian dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak - Departemen Keuangan. Sedangkan Pajak
Daerah adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat Propinsi maupun
Kabupaten/Kota. Beberapa jenis pajak dapat dibagi menjadi :
1. Pajak Penghasilan (PPh) : PPH adalah pajak langsung dari pemerintah pusat yang dipungut atas
penghasilan dari semua orang yang berada di wilayah Republik Indonesia .
2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Orang Pribadi, perusahaan, maupun
pemerintah yang mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan PPN. Pada
dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, kecuali
ditentukan lain oleh Undang-undang PPN.
3. PajakPenjualan atas Barang Mewah (PPn BM) Selain dikenakan PPN, atas barang-barang kena
pajak tertentu yang tergolong mewah, juga dikenakan PPn BM. Yang dimaksud dengan Barang Kena
Pajak yang tergolong mewah adalah :
b. barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok.
c. Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu
d. Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi
e. Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status
f. Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu ketertiban
masyarakat.
4. Bea Meterai Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen, dengan menggunakan benda
materai atau benda lainya contohnya dengan menggunakan mesin teraan, pemeteraian, kemudian
dan surat setoran pajak bentuk KPU 35 Kode 006.
5. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) PBB adalah atas harta tak bergerak yang terdiri atas tanah dan
bangunan (property tax).
6. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) BPHTB adalah pajak yang dikenakan
atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Seperti halnya PBB, walaupun BPHTB dikelola
oleh Pemerintah Pusat namun realisasi penerimaan BPHTB seluruhnya diserahkan kepada
Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan.
Selain pajak-pajak yang dikelola pemerintah daerah diatas juga terdapat pajak yang dipungut
oleh Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota antara lain:
1. Pajak Propinsi
a. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Diatas Air,
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Diatas Air,
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor,
d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan,
2. Pajak Kabupaten Kota
a. Pajak Hotel,
b. Pajak Restoran,
c. Pajak Hiburan,
d. Pajak Reklame,
e. Pajak Penerangan Jalan,
6. f. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C,
g. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan,
Selain yang dibahas diatas, dalam parktek sering dikenakan pungutan yang disebut
sumbangan wajib. Sumbangan wajib biasanya tidak memiliki kejelasan balas jasa maupun
imabalanya. Sumbangan atau sumangan wajib yang didasarkan atas ketentuan yang sah dan
hasilnya masuk ke kas negara maka pungutan tersebut merupakan pungutan yang legal.
Manfaat Pajak
Sebagaimana halnya perekonomian dalam suatu rumah tangga atau keluarga, perekonomian
negara juga mengenal sumber-sumber penerimaan dan pos-pos pengeluaran. Pajak merupakan
sumber utama penerimaan negara. Tanpa pajak, sebagian besar kegiatan negara sulit untuk dapat
dilaksanakan. Penggunaan uang pajak meliputi mulai dari belanja pegawai sampai dengan
pembiayaan berbagai proyek pembangunan. Pembangunan sarana umum seperti jalan-jalan,
jembatan, sekolah, rumah sakit/puskesmas, kantor polisi dibiayai dengan menggunakan uang yang
berasal dari pajak. Uang pajak juga digunakan untuk pembiayaan dalam rangka memberikan rasa
aman bagi seluruh lapisan masyarakat. Setiap warga negara mulai saat dilahirkan sampai dengan
meninggal dunia, menikmati fasilitas atau pelayanan dari pemerintah yang semuanya dibiayai dengan
uang yang berasal dari pajak. Dengan demikian jelas bahwa peranan penerimaan pajak bagi suatu
negara menjadi sangat dominan dalam menunjang jalannya roda pemerintahan dan pembiayaan
pembangunan.
Disamping fungsi budgeter (fungsi penerimaan) di atas, pajak juga melaksanakan fungsi
redistribusi pendapatan dari masyarakat yang mempunyai kemampuan ekonomi yang lebih tinggi
kepada masyarakat yang kemampuannya lebih rendah. Oleh karena itu tingkat kepatuhan Wajib
Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya secara baik dan benar merupakan syarat
mutlak untuk tercapainya fungsi redistribusi pendapatan. Sehingga pada akhirnya kesenjangan
ekonomi dan sosial yang ada dalam masyarakat dapat dikurangi secara maksimal.
Pajak Penghasilan
Pajak penghasilan adalah pajak langsung dari pemerintah pusat yang dipungut pada seseorang atas
pengahsilan dari semua orang yang berda di wilayah Indonesia. Pajak Penghasilan merupakan pajak
yang dipungut setiap akhir tahun atau setelah tahun pajak berakhir. Pajak penghasilan diatur dalam
undang-undang diantaranya adalah
1. Undang-undang nomor: 7 tahun 1991tentangperubahan atas undang-undang nomor 7 tahun
1983 tentang pajak penghasilan
2. Undang-undang nomor 46 tahun 1994 tentang pembayaran pajak penghasilan bagi orang
pribadi yang bertolak keluar negri
3. UUD 1945 pasal23 ayat (2): segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-
undang
4. UU No. 6 Tahun 1983 ttg KUP jo. UU No. 9/1994
5. UU No. 7 Tahun 1983 ttg PPh jo. UU No. 10/1994
6. UU No. 8 Tahun 1983 ttg PPN jo. UU No. 11/1994
7. UU No. 12 Tahun 1985 ttg PBB sbg diubah dengan UU no. 12 Tahun 1994
8. UU No. 13 Tahun 1985 ttg Bea Materai
9. UU No. 21 Tahun 1997 ttg BPHTP sbg diubah dengan UU No. 20 tahun 2007
Dalam Undang-Unadang Pajak Penghasilan sendiri tidak dijelaskan apa yang dimaksud
dengan subjek PPh, namun secara umum pengertian Subjek Pajak adalah siapa yang dikenakan
pajak. UU PPh menegaskan ada tiga kelompok yang menjadi Subjek PPh yaitu:
7. 1. Orang pribadi dan warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
2. Badan yang terdiri dari Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, perseroan lainya, BUMN dan
BUMD dengan nama dan dalam bentuk apapun, Persekutuan, Perkumpulan, Firma, Kongsi, Koperasi
Yayasan atau organisasi yang sejenis, lembaga dana pensiun, dan Bentuk Badan Usaha lainnya.
3. Bentuk Usaha Tetap (BUT).
BUT adalah bentuk usaha yang dikenakan orang pribadi yang tidak beretempat tinggal di Indonesia
atau bertempat tinggal di Indonesia kurang dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau badan
yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan di Indonesia.
3.1 Perlakuan PPh atas pengalihan tanah.
Pengenaan PPh atas penghasilan dari pengalihan tanah dan/atau bangunan berdasa
rkan Undang-undang No. 10/1994 diatur pada Pasal 4 ayat (2). “Atas penghasilan berupa
bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan
sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau
bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.”
UU No. 10/1994 tersebut merupakan UU yang mengubah UU No. 7/1983. Dalam UU
No.7/1983 pasal 4 ayat (2) hanya mencakup pengenaan PPh atas bunga deposito berjangka dan
tabungan lainnya. Kemudian di dalam perubahan UU yang dituangkan dalam UU No.10/1994,
cakupan Pasal 4 ayat (2) diperluas sehingga mencakup juga penghasilan dari transaksi saham dan
sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan
serta penghasilan tertentu lainnya. Walaupun tidak ditegaskan penghasilan-penghasilan yang
dicakup oleh Pasal 4 ayat (2) diperlakukan sebagai final, pada kenyataannya hampir semua
penghasilan dimaksud dikenakan PPh final. Pengenaan pajak atas penghasilan-penghasilan yang
dicakup di Pasal 4 ayat (2) tersebut diatur dengan peraturan pemerintah.
Perlakuan pajak atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan telah
mengalami perubahan sejak diterbitkannya PP 48/1994 sampai yang terakhir yaitu PP 79/1999,
khususnya yang menyangkut orang pribadi. Berdasarkan PP 48/1994 orang pribadi yang melakukan
pengalihan hak atas tanah dan/bangunan dikenai PPh final sebesar 5% dari jumlah bruto. Perlakuan
PPh tersebut diterapkan kepada semua orang pribadi, tanpa membedakan apakah orang yang
bersangkutan mempunyai kegiatan usaha pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Perlakuan PPh ini kemudian diubah dengan PP 27/1996 yang membedakan antara orang
pribadi yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dengan
orang pribadi selain yang mempunyai usaha tersebut.
Berdasarkan PP 27/1996 pengenaan PPh final diterapkan terhadap:
1. orang pribadi yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dan
2. orang pribadi yang mempunyai penghasilan diatas PTKP, yang melakukan pengalihan hak dengan
nilai kurang dari Rp60 juta.
PP 27/1996 tidak secara jelas mengatur perlakuan PPh atas pengalihan hak tersebut apabila
dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai penghasilan di atas PTKP dan nilai pengalihannya
melebihi Rp60 juta. Apabila disimak bunyi Pasal 8 dari PP dimaksud maka perlakuan PPh final hanya
terbatas kepada dua kelompok wajib pajak sebagaimana disebutkan di atas.
Dengan demikian, apabila seorang wajib pajak orang pribadi yang usaha pokoknya bukan
menjual hak atas tanah dan/atau bangunan, maka keuntungan dari pengalihan tersebut akan
dikenakan PPh dengan tarif umum. Perlakuan ini sama dengan ketentuan dari PP 79/1999.
Perlakuan PPh terhadap orang pribadi yang usaha pokoknya bukan jual beli hak atas tanah dan/atau
8. bangunan memperoleh perlakuan yang kurang adil bila dibandingkan dengan orang pribadi yang
mempunyai usaha pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Pengenaan PPh yang tidak final
berarti bahwa PPh yang disetor sebesar 5% dari nilai pengalihan merupakan pembayaran
pendahuluan dari seluruh PPh yang terutang dalam tahun yang bersangkutan.
Kesulitan akan timbul dalam menghitung keuntungan dari pengalihan tersebut, terutama
untuk harta yang telah dimiliki dalam jangka waktu yang cukup lama. Hal ini akan menyebabkan
ketidakadilan dari segi beban pajak yang ditanggung terutama untuk harta yang sudah dimiliki dalam
kurun waktu yang lama. Harga perolehan yang relatif jauh lebih rendah dari harga peralihannya akan
menyebabkan beban pajak yang lebih tinggi. Faktor penyebabnya adalah bahwa Undang-Undang
Pajak Penghasilan tidak menerapkan indeksasi untuk harta tetap untuk menentukan harga perolehan
dari harta tetap untuk keperluan perpajakan.
Di samping itu, wajib pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha cenderung untuk
tidak melakukan pencatatan sehingga kemungkinan besar sulit untuk mentrasir kembali harga
perolehan dari harta dimaksud termasuk dokumen pendukungnya. Sebaliknya wajib pajak orang
pribadi yang menjalankan usaha jual beli tanah dan bangunan diterapkan pengenaan pajak yang
bersifat final, padahal wajib pajak kelompok ini seharusnya mempunyai catatan atau pembukuan,
sehingga harga perolehannya seharusnya dapat diketahui.
PP 27/1996 kemudian diubah dengan PP 79/1999 yang sepanjang menyangkut orang
pribadi, memberi penegasan bahwa wajib pajak orang pribadi yang usaha pokoknya bukan dari jual
beli hak atas tanah dan/atau bangunan, keuntungan dari pengalihan dimaksud dikenai pajak tetapi
tidak final.
3.2 Perlakuan PPh atas kerugian yang timbul akibat terjadinya bencana alam.
Pasal 6 Undang-undang PPh mengatur bahwa untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak,
penghasilan bruto dikurangi dengan biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa seperti
misalnya upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang,
bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi,
dan pajak kecuali PPh penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan
amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa
manfaat lebih dari satu tahun, iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya disahkan oleh Menteri
Keuangan, kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam
perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, kerugian
dari selisih kurs mata uang asing, biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di
Indonesia, biaya bea siswa, magang, dan pelatihan, piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih,
sepanjang memenuhi syarat-syarat tertentu;
Rincian dari biaya-biaya yang boleh dikurangkan sebagaimana disebutkan di atas yang
menyangkut "kerugian" adalah: kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan
digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan, kerugian dari selisih kurs mata uang asing. Salah satu jenis kerugian yang dapat
dikurangkan sebagai biaya adalah kerugian karena penjualan harta yang dimiliki dan digunakan
dalam usaha. Kerugian yang diderita karena harta yang dipergunakan dalam usaha menjadi rusak
akibat bencana harus dibebankan melalui mekanisme yang diatur di dalam Pasal 11 ayat (8).
Pasal 11 ayat (8) mengatur dua hal, yaitu penarikan harta karena harta tersebut dijual atau
dialihkan dan penarikan harta karena sebab lain Dalam hubungannya dengan bencana alam, maka
penarikan harta karena sebab lain cocok untuk situasi tersebut. Jadi apabila harta tersebut adalah
harta yang dapat disusutkan, maka jumlah nilai sisa bukunya dibebankan sebagai kerugian. Apabila
9. harta dimaksud diasuransikan maka jumlah penggantian asuransinya dibukukan sebagai
penghasilan.
Bagaimana perlakuannya terhadap harta yang tidak dapat disusutkan atau harta yang tidak
dipakai dalam usaha? UU PPh secara umum memperlakukan semua jenis penghasilan sama artinya
UU ini tidak menganut pemajakan berdasarkan jenis penghasilan seperti misalnya pengenaan pajak
atas penghasilan dari usaha berbeda dengan capital gains. Atas dasar pemikiran yang demikian
maka kerugian karena kehilangan harta yang disebabkan oleh bencana alam seharusnya juga dapat
dibebankan sebagai biaya. Apabila dalam suatu bencana yang terjadi juga memusnahkan barang
persediaan, seharusnya wajib pajak dapat membebankannya sebagai kerugian Masalahnya adalah
menghitung besarnya kerugian yang diderita karena kehilangan persediaan barang tersebut.
UU PPh mengatur tentang penilaian persediaan barang di Pasal 10 ayat (8). Penjelasan dari
pasal itu menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan persediaan barang meliputi tiga jenis barang,
yaitu barang jadi atau barang dagangan, barang dalam proses produksi, bahan baku dan bahan
pembantu. Ketentuan tersebut mengatur bahwa untuk keperluan penghitungan harga pokok, metode
yang diperbolehkan adalah dengan cara rata-rata atau dengan cara mendahulukan persediaan yang
didapat pertama. Sejalan dengan ketentuan tersebut, untuk menghitung kerugian yang diderita
karena bencana cara yang sama juga sebaiknya diperbolehkan. Penerapan cara penilaian barang
yang sama terhadap kerugian karena rusaknya persediaan barang akan memberikan perlakuan yang
seimbang dan netral. Apabila ketentuan dalam UU PPh memungkinkan untuk memberi kesempatan
mengklaim kerugian, masalah yang perlu dipikirkan adalah menentukan dokumen-dokumen yang
harus disajikan sebagai bukti bahwa telah terjadi kerugian karena bencana. Dokumen yang menunjuk
kan bahwa wajib pajak benar-benar merugi karena terjadinya bencana, diperlukan dalam beberapa
hal, antara lain untuk: penyesuaian terhadap setoran PPh dalam tahun berjalan (PPh Pasal 25);
kompensasi kerugian yang terjadi pada saat terjadinya bencana; bukti pada saat dilakukannya
pemeriksaan pajak; dan penundaan pemasukan SPT Tahunan (bila diperlukan)
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Perlakuan PPh atas keuntungan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan terhadap
wajib pajak orang pribadi menimbulkan ketidakadilan bagi wajib pajak orang pribadi biasa. Yang
dimaksud dengan wajib pajak orang pribadi biasa adalah mereka yang tidak melakukan kegiatan
usaha jual-beli hak atas tanah dan/atau bangunan. Wajib pajak kelompok ini akan memikul beban
pajak yang lebih besar dari pada mereka yang mempunyai usaha pokok jual beli hak atas tanah
dan/atau bangunan.
Undang-undang PPh hanya mengatur bahwa kerugian yang boleh dibebankan sebagai biaya
adalah:
1. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan
atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (Pasal 6 ayat (1) huruf
d)
2. kerugian dari selisih kurs mata uang asing (Pasal 6 ayat (1) huruf e)
3. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih sepanjang memenuhi persyaratan tertentu Pasal 6 ayat
(1) huruf h
Ketentuan diatas belum mencakup hak wajib pajak untuk membebankan kerugian yang
diderirta karena bencana alam oleh karena itu perlu dipertimbangkan untuk memperluas cakupan
Pasal 6 sehingga mencakup kerugian yang diderita karena bencana dimaksud.
10. Pengertian-pengertian dan pemahaman mengenai pajak seperti diatas yang perlu terus
disosialisasikan kepada masyarakat lewat kampanye sadar pajak dalam berbagai bentuknya, seperti
seminar, diskusi, penataran, lokakarya, simulasi, dan bentuk aktifitas lainnya Dengan upaya ini
diharapkan tumbuhnya apresiasi positif masyarakat terhadap pajak yang pada akhirnya sampai pada
suatu keinsyafan bahwa sadar pajak merupakan kunci pembangunan.
4.2 Saran
Sebaiknya perlakuan pajak atas pengalihan harta dimaksud diubah dengan mengenakan
pajak final terhadap wajib pajak orang pribadi yang tidak mempunyai usaha, sedangkan wajib pajak
orang pribadi yang kegiatan usahanya adalah pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dikenai
pajak dengan tarif umum.
Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan perlakuan PPh dimaksud perlu dipikirkan dan
ditentukan dokumen-dokumen yang dapat diterima oleh fiskus.Pembebanan kerugian atas harta yang
tidak dapat atau tidak boleh disusutkan mungkin dapat dilakukan seperti pembebanan penyusutan
atau amortisasi, artinya tidak dibebankan sekaligus. Hal ini perlu dipikirkan agar perlakuannya juga
seimbang dari sudut pandang Undang-undang PPh. Di samping itu perlu dipikirkan untuk mengatur
prosedur atas penyesuaian setoran PPh dalam tahun berjalan bagi wajib pajak yang mengalami
bencana. Wajib pajak yang masuk dalam kategori ini perlu mendapatkan perlakuan yang favourable
dengan tujuan agar usahanya dapat bangkit kembali sehingga pada gilirannya akan meningkatkan
kembali setoran PPh-nya seperti sebelum terjadinya bencana.
Banyaknya tokoh dari berbagai kalangan dan profesi yang terbukti mangkir membayar Pajak
Penghasilan (PPh) merupakan contoh buruk bagi masyarakat wajib pajak secara keseluruhan. Oleh
karena itu, keteladanan dalam hal penunaian kewajiban pajak perlu mendapat perhatian tersendiri.
Keteladanan ini tentu saja harus dimulai dari jajaran pemerintah sendiri sebagai pengelola pajak. Jika
pemerintah mampu memberikan teladan dan juga diikuti tokoh-tokoh dan public figur lainnya,
agaknya masyarakat akan lebih mudah untuk menyadari betapa pentingnya pajak bagi kehidupan
dan masa depan negaranya. Sebaliknya, jika pemerintah, para pemimpin, dan tokoh-tokoh populis
sudah memperlihatkan keingkarannya terhadap kewajiban pajak ini, masyarakat di bawah akan lebih
sulit lagi tersadarkan untuk membayar pajak.
DAFTAR PUSTAKA
Soemitro, Rochmat. 1992. Pengantar Singkat Hukum Pajak , PT Eresco, Bandung
Muqodim, 2000. Perpajakan Buku Satu, UII Press dan Ekonesia , Jogyakarta
Brotodiharjo Santoso R, 1993. Pengantar Ilmu Hukum Pajak , PT Eresco, Bandung
Burton, Richard dan Ilyas Wirawan B. 2001. Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta
Alrasid,Harun. Naskah UUD 1945, 2003. Universitas Indonesia, UII Press
Hostaritua, Situmorang. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan
Pandiangan, Liberti. 2002. Undang-Undang Perpajakan Indonesia,Erlangga,
Soemitro, Rocmat.1991. Pajak Ditinjau Dari SegiHukum, PT Eresco, Bandung