Percobaan ini bertujuan untuk mengisolasi dan mengidentifikasi alkaloid piperin dari buah lada putih melalui ekstraksi soxhlet menggunakan etanol, pemisahan dengan KOH-etanol, dan kristalisasi yang menghasilkan kristal piperin. Kristal, filtrat, dan ekstrak kemudian diuji menggunakan kromatografi lapis tipis untuk mengidentifikasi piperin.
1. IV. PEMBAHASAN
Percobaan kali ini berjudul isolasi dan identifikasi alkaloid piperin dari
fructus Piperis albi. Adapun tujuan dari percobaan ini adalah mahasiswa mampu
memahami prinsip dan melakukan isolasi alkaloid piperin dari fructus Piperis albi
beserta analisi kualitatif hasil isolasi dengan metode kromatografi lapis tipis.
Sehingga dapat dipastikan bahwa sampel yang digunakan pada percobaan ini
adalah buah lada putih. Prinsip kerja yang digunakan pada percobaan ini adalah,
piperin disari dari buah piper dengan etanol 96%, dipisahkan dari senyawa resin
dengan penambahan KOH-etanol 10% b/v dan kristalisasi dilakukan dengan
etanol.
Pembuatan ekstrak diawali dengan pembuatan serbuk. Cara pembuatan
serbuknya dengan cara bagian tumbuhan yang berkhasiat di keringkan dan di
haluskan. Serbuk sampel lada putih kemudian diekstraksi dengan cara soxhletasi.
Tujuan ekstraksi adalah untuk menarik semua komponen kimia yang terdapat
dalam simplisia. Ekstraksi ini didasarkan pada perpindahan massa komponen zat
padat ke dalam pelarut dimana perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar muka,
kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut. Prinsip dari ekstrasi itu sendiri
adalah menyari zat aktif dari dalam sel tanaman dengan menggunakan pelarut
yang sesuai dengan cara osmosis kemudian zat aktif dibawa keluar dengan cara
berdifusi. Pelarut yang digunakan untuk mengekstraksi adalah etanol, digunakan
etanol karena sifatnya yang mampu melarutkan hampir semua zat, baik yang
bersifat polar, semi polar dan non polar serta kemampuannya untuk
mengendapkan protein dan menghambat kerja enzim sehingga dapat terhindar
proses hidrolisis dan oksidasi, sehingga diharapkan pada saat ekstraksi senyawa-
senyawa yang ada pada lada putih baik yang bersifat polar maupun nonpolar dapat
tersari semuanya.
Dilakukannya dengan metode ini karena bagian tumbuhan yang digunakan
adalah berupa buah yang teksturnya keras sehingga menggunakan sedikit
pemanasan. Alat-alat soxhletasi dirangkai sesuai petunjuk. Alat-alat soxhletasi
terdiri dari dari kondensor yang berfungsi sebagai pendingin dan mempercepat
proses pengembunan, tempat sampel yang berfungsi sebagai wadah untuk sampel
yang ingin diambil zatnya, pipa F yang berfungsi sebagai jalannya uap, bagi
2. pelarut yang menguap dari proses penguapan, sifon yang berfungsi sebagai
perhitungan siklus, bila pada sifon larutannya penuh kemudian jatuh ke labu alas
bulat maka hal ini dinamakan 1 siklus, labu alas bulat yang berfungsi sebagai
wadah bagi sampel dan pelarutnya, dan waterbath yang berfungsi sebagai
pemanas larutan. Serbuk dibungkus dalam selongsong dari kertas saring yang
diikat kedua sisinya dan bagian tengahnya dengan benang, kemudian diletakkan
di tempat sampel. Tujuan dari hal ini adalah untuk menghindari serbuk memenuhi
sifon kemudian jatuh ke labu alas bulat, atau dapat menyebabkan tersumbatnya
sifon sehingga pelarut tidak dapat melewatinya. Pelarut kemudian dimasukkan
sebanyak 2 ½ siklus agar dapat mengisi labu alas bulat, dimana pelarut yang
digunakan yaitu etanol. Ditunggu sampai 2 siklus dimana ketika pelarut masuk
kembali ke labu alas bulat setelah mmenuhi sifon dihitung 1 siklus. Pada setiap
sambungan bagian alat- alat soxhlet dioleskan lanolin agar lebih mudah dilepas
dan lebih mudah disambung antara satu bagian dengan bagian yang lainnya.
Setelah ekstraksi selesai, diperoleh filtrat. Etanol digunakan sebagai pelarut
karena selain merupakan pelarut yang paling umum digunakan untuk memisahkan
senyawa-senyawa polar, etanol juga memiliki sifat mudah menguap, sehingga
cocok digunakan pada metode soxhletasi dimana pelarut dipanaskan hingga
menguap dan terkondensasi kemudian menyari sampel serbuk.
3 mL filtrat dimasukkan ke dalam vial dan disimpan. Sisa filtrat yang lain
dimasukkan ke dalam cawan porselen kosong yang sebelumnya telah ditimbang.
Filtrat tersebut kemudian dipanaskan pada suhu mendekati titik didih etanol,
dimana titik didih etanol yaitu 780C. Hal ini bertujuan untuk menguapkan
pelarutnya. Pelarut yang ada diuapkan seluruhnya hingga didapatkan ekstrak
kental, ekstrak diuapkan hingga konsistensinya lebih kental (bobot tetap), lalu
ditambahkan 10 mL KOH-etanolik 10% sambil diaduk hingga terbentuk endapan,
fungsi dari penambahan ini adalah untuk memisahkan alkaloid dari senyawa resin.
Hasil campurannya kemudian disaring dengan kertas saring agar terpisah dari
resin. Filtrat tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam vial, dan didiamkan di
dalam lemari es sampai 1 minggu. Hal ini dilakukan agar terbentuk kristal.
Setelah 1 minggu, didapatkan hasil berupa kristal. Kemudian dipisahkan
dari cairan dengan menggunakan kertas saring yang ditetesi etanol. Hal ini agar
3. kristal lebih kuat lagi tersaring di kertas saring tersebut. Filtrat hasil saringan
tersebut, disimpan di dalam vial untuk diuji KLT. Sedangkan kristal dan kertas
saring tadi dikeringkan di dalam desikator selama 15 menit. Digunakan desikator
agar tidak melakukan pengeringan dengan pemanasan secara langsung yang dapat
menyebabkan kerusakan kristal. Hasilnya ditetesi etanol secukupnya untuk
melarutkan dan diuji dengan KLT. Dari hasil percobaan diperoleh berat ekstrak
cair sebesar 248,95 g, berat ekstrak kental sebesar 6,01 gram, berat kristal 0,68
gram, % rendemen ekstrak dari hasil perbandingan berat ekstrak dengan berat
simplisia awal, diperoleh sebesar 15,025 % dan % rendemen kristal dari hasil
perbandingan berat kristal dengan berat ekstrak, diperoleh sebesar 27,20 %.
Bahan yang digunakan untuk pengujian KLT adalah ekstrak yang telah
didapat pada percobaan sebelumnya, filtrat hasil penyaringan kristal dan juga
kristal yang didapatkan dari proses isolasi alkaloid yang sebelumnnya telah
dilakukan. Fungsi ekstrak adalah sebagai bahan pembanding atau kontrol positif
dari keberadaan golongan senyawa yang ingin diketahui. Alasan ekstrak dapat
digunakan sebagai kontrol positif adalah karena diketahui, ekstrak mengandung
semua senyawa yang ada dalam bagian tanaman yang diuji, baik itu polar dan non
polar. Ekstrak yang didapatkan dari praktikum sebelumnya itu melalui proses
pemisahan satu kali senyawa yang ada dalam bagian tanaman dengan
menggunakan pelarut etanol dimana etanol ini bersifat semi polar. Oleh karena
itu, baik senyawa polar ataupun non polar ikut terpisahkan dari bagian tanaman
dan larut dalam cairan etanol tersebut. Dan setelah etanolnya diuapkan diatas
penangas dengan titik didih etanol maka yang tersisa adalah senyawa metabolit
yang diharapkan dimana senyawa tersebut ada yang bersifat polar dan non polar.
Karena semua senyawa baik polar ataupun non polar terkandung dalam ekstrak,
maka ekstrak pun dapat digunakan sebagai pembanding senyawa polar dan non
polar yang ada di dalam buah lada putih.
Adapun filtrat, diperoleh dari hasil pemisahan kristal dengan pelarut yang
mempunyai dilakukan dengan menggunakan kertas saring. Karena dianggap,
kemungkinan adanya senyawa alkaloid di dalam filtrat tersebut yang tidak murni
sehingga tidak membentuk kristal. Hubungan antara ekstrak, filtrat dan kristal
yaitu diharapkan Rf pada kristal memiliki kemiripan bahkan diharapkan sama
4. dengan salah satu Rf yang terdapat pada ekstrak dan filtrat, sehingga dapat
dinyatakan bahwa proses isolasi tersebut berhasil.
Kromatografi Lapis Tipis atau Thin layer Chromatography adalah teknik
analisis sederhana untuk memisahkan komponen-komponen secara cepat
berdasarkan prinsip partisi (pemisahan) dan adsorpsi (penyerapan). Kromatografi
Lapis Tipis terbuat dari lempeng gelas atau logam yang tahan karat atau
lempengan tipis yang cocok sebagai penyangga. Prinsip kerja dari kromatografi
lapis tipis ini adalah pemisahan secara fisikokimia berdasarkan prinsip adsorpsi
dan partisi, dimana komponen kimia bergerak mengikuti cairan pengembang/ fase
gerak yang digunakan. Komponen kimia yang memiliki sifat yang sama dengan
adsorben/ fase diam akan terserap. Adapun komponen kimia yang memiliki sifat
yang berbeda dengan fase diam, akan terus bergerak dan mengalir hingga dapat
diidentifikasi. Sehingga, jika diidentikasi secara quantitatif, akan terlihat
perbedaan nilai Rf yang dihasilkan. Jika Rf yang dihasilkan memiliki nilai yang
tinggi, maka hal itu menunjukkan senyawa tanaman yang diuji cenderung
memiliki sifat kepolaran yang rendah atau bersifat non polar. Jika Rfnya rendah,
maka artinya senyawa yang terkandung dalam tanaman yang diuji banyak
mengandung senyawa polar. Hal itu dapat terjadi dikarenakan fase diam yang
dilewati komponen kimia tumbuhan bersifat polar. Sehingga, jika komponen
kimia yang lewat bersifat polar, maka dia akan terserap dan tertahan di adsorben,
dan komponen kimia yang bersifat non polar akan terus bergerak dan hasilnya
akan nampak sebagai Rf. Jika Rfnya tinggi, maka komponen kimia yang tertahan
pada fase diam hanya sedikit dan yang lolos dari fase diamlah yang banyak. Itu
artinya, komponen kimia yang polar cenderung sedikit dan yang non polar lah
yang banyak. Artinya, senyawa yang ada dalam fraksi tersebut banyak
mengandung senyawa non polar.
Prinsip dari percobaan kali ini adalah memisahkan substansi campuran
senyawa menjadi komponen-komponennya melalui proses adsorbsi (penyerapan)
dan partisi (pemisahan) dengan memperlihatkan nilai Rfnya masing-masing dan
hasilnya akan dibandingkan dengan pembanding. Pemisahan dapat terjadi karena
adanya daya serap absorben/ fase diam terhadap komponen kimia yang memiliki
sifat kepolaran yang berbeda atau tidak sama, sehingga komponen kimia bergerak
5. dengan kecepatan berbeda dan hal ini menyebabkan pemisahan. Fase gerak disini
berfungsi sebagai pembawa komponen senyawa sampai batas atas. Fase gerak
yang dikenal sebagai pelarut pengembang akan bergerak sepanjang fase diam
karena pengaruh kapiler pada pengembangan secara menaik (ascending) atau
karena pengaruh gravitasi pada pengembangan secara menurun
(descending). Dengan dilakukan pemisahan ini, diharapkan, senyawa seperti
flavonoi, alkaloid dan saponin yang pada praktikum sebelumnya diduga
terkandung didalam bagian daun karamunting, dapat terpisah dan diketahui
dengan pasti keberadaannya.
Kromatografi lapis tipis dalam pelaksanaannya lebih mudah dan lebih
murah dibandingkan dengan kromatografi kolom. Demikian juga peralatan yang
digunakan. Dalam kromatografi lapis tipis, peralatan yang digunakan lebih
sederhana dan dapat dikatakan hampir semua laboratorium dapat melaksanakan
setiap saat secara cepat. Kromatografi lapis tipis banyak digunakan untuk tujuan
analisis.Identifikasi pemisahan komponen dapat dilakukan dengan pereaksi
warna, fluorosensi atau dengan radiasi menggunakan sinar ultraviolet. Dapat
dilakukan elusi secara menaik (ascending), menurun (descending), atau dengan
cara elusi 2 dimensi.Ketepatan penentuan kadar akan lebih baik karena komponen
yang akan ditentukan merupakan bercak yang tidak bergerak.
Fase diam akan menahan komponen campuran sedangkan fase gerak akan
melarutkan zat komponen campuran. Komponen yang mudah tertahan pada fase
diam akan tertinggal. Sedangkan komponen yang mudah larut dalam fase gerak
akan bergerak lebih cepat. Fase gerak mengalir melalui fase diam dan membawa
komponen-komponen yang terdapat dalam campuran. Komponen-komponen yang
berbeda bergerak pada laju yang berbeda. Fase diam yang digunakan pada
percobaan ini adalah plat silika gel GF254. Maksud angka 254 adalah plat akan
menampakkan noda atau bercak pada saat disinari dengan sinar UV 254 nm, dan
jika disinari dengan sinar UV 366 nm, maka plat akan nampak gelap dan noda
pun akan tampak gelap juga. Silika gel GF254 artinya silika gel yang terdapat
pada plat KLT yaitu gypsum dengan fluoresensi pada panjang gelombang (λ) 254
nm karena adanya kromofornya dan bercak atau noda akan tampak berwarna
gelap sehingga dapat dihitung jarak noda untuk menghitung Rfnya. Sedangkan
6. pada saat plat disinari sinar UV 366 nm, plat dan noda tampak gelap, sehingga
jarak noda tidak dapat diketahui dan Rf tidak dapat dihitung.
Fase gerak atau eluen yang digunakan pada percobaan ini adalah eluen non
polar toluena : etil asetat (7:3). Dikatakan non polar karena toluena yang bersifat
non polar memiliki massa yang lebih tinggi dibandingkan dengan etil asetat yang
bersifat semi polar. Sehingga, eluen dari toluena : etil asetat menghasilkan eluen
yang bersifat non polar. Dengan demikian, jika komponen dapat larut dalam eluen
ini dan tidak tertahan pada fase diam, maka dapat dipastikan senyawa yang ada
dalam fraksi yang diuji banyak mengandung senyawa yang bersifat non polar.
Fase gerak non polar hanya dapat menarik senyawa non polar pada fraksi.
Jarak antara jalannya pelarut bersifat relatif adalah Rf. Oleh karena itu,
diperlukan suatu perhitungan tertentu untuk memastikan spot yang terbentuk
memiliki jarak yang sama walaupun ukuran jarak plat nya berbeda. Nilai
perhitungan tersebut adalah nilai Rf, nilai ini digunakan sebagai
nilai perbandingan relatif antar sampel. Nilai Rf juga menyatakan derajat retensi
suatu komponen dalam fase diam sehingga nilai Rf sering juga disebut
faktor retensi. Nilai Rf berbanding terbalik dengan polaritas komponen. Semakin
nonpolar suatu komponen, maka semakin besar nilai Rf nya begitupun sebaliknya.
Fase diam yang digunakan adalah plat silika gel yang bersifat polar. Sehingga,
jika eluen yang digunakan bersifat non polar dan akan menghasilkan nilai Rf yang
besar, maka itu berarti senyawa yang diuji memiliki sifat kepolaran yang tinggi.
Percobaan ini dilakukan dengan melakukan tahapan awal yaitu
menyiapkan alat dan bahan. Alat yang digunakan adalah batang pengaduk
digunakan untuk membantu pencampuran dalam pembuatan eluen, bejana KLT
atau chamber digunakan untuk meletakkan eluen dan lempeng KLT sehingga
totolan dapat naik, gelas beker digunakan sebagai wadah dalam membuat eluen,
lampu UV 254 nm dan 366 nm digunakan untuk melihat noda pada lempeng KLT
sehingga dapat diidentifikasi senyawa yang ada, oven digunakan untuk
mengaktifkan plat, penggaris digunakan untuk mengukur jarak noda dan eluen,
pipa kapiler digunakan untuk menotolkan larutan ekstrak dan fraksi pada lempeng
KLT dan plat silika gel GF254 yang untuk memisahkan komponenyang ada pada
ekstrak, filtrat dan kristal menjadi bercak atau noda berdasarkan tingkat
7. kepolarannya. Adapun bahan yang digunakan adalah ekstrak buah lada putih,
filtrat hasil isolasi piperin, kristal piperin, eluen non polar (toluena : Etil Asetat
dengan perbandingan 7 : 3) dan kertas saring.
Tahapan selanjutnya berupa pengaktifan plat silika gel GF254.
Pengaktifan gel ini dimaksudkan untuk menghindari kandungan air yang masih
tertinggal di dalamnya. Apabila terdapat kandungan air, maka dikhawatirkan akan
menganggu partisi dari senyawa-senyawa dalam suatu ekstrak ataupun fraksi. Hal
ini berkaitan dengan terganggunya partisi senyawa akibat adanya kepolaran yang
berbeda dari senyawa. Kepolaran yang tertinggi oleh air dapat mempengaruhi
tinggi noda terpartisi berbeda. Kepolaran air yang tinggi ini dapat menyebabkan
senyawa dengan tingkat kepolaran rendah akan terpartisi lebih tinggi oleh adanya
ikatan dengan silika. Senyawa yang dapat membentuk ikatan hidrogen akan mlkat
pada silika gel lebih kuat dibandingkan senyawa lainnya. Penjerapan merupakan
suatu pengikatan dari satu substansi pada permukaan. Penjerapan bersifat tidak
permanen, terdapat pergerakan yang konstan dari molekul antara yang
terjerappada permukaan silika gel dan yang kembali menuju pelarut. Semakin
kuat senyawa tersebut terjerap, maka akan semakin pendek jarak yang ditempuh
oleh senyawa tersebut pada lempengan yang artinya senyawa beersifat polar.
Plat silika gel yang telah diolah dioven pada suhu 105ºC selama 30 menit.
Alasan pemilihan suhu tersebut adalah karena telah melewati titik didih air yakni
100ºC. Dengan dipanaskan pada suhu tersebut, maka diharapkan air dan pelarut
penganggu lain yang mempunyai titik didih demikian, maka dia akan menguap
dan hanya tersisa komponen silika gelnya saja. Setelah plat diaktifkan, baru
dilanjutkan dengan pembuatan eluen. Seperti yang telah dijelaskan diatas, ada
eluen yang harus dibuat yaitu eluen non polar yakni toluena : etil asetat (7:3) yang
dibuat dengan cara mencampurkan larutan etil asetat sebanyak 3 mL dengan
toluena sebanyak 7 ml dalam gelas ukur 10 mL.
Setelah eluen dibuat, eluen dimasukkan ke dalam chamber kira-kira
setinggi 1 cm atau kurang lebih. Eluen yang digunakan tidak boleh lebih dari 1
cm, hal ini dikarenakan sesuai dengan prinsip kapilaritas, yaitu untuk menaikkan
spot (ascending). Kapilaritas adalah naiknya cairan eluen melalui pori-pori kapiler
lempeng.Batas ini juga disebut dengan spot. Spot berfungsi sebagai tempat
8. meletakkan sampel yang akan dipisahkan. Setelah eluen dimasukkan, kemudian
dimasukkan kertas saring ke dalam chammber dengan panjang melebihi
chammber sehingga kertas saring mempunyai panjang hingga keluar chammber.
Jenuh ditunjukkan oleh basahnya kertas saring yang dimasukkan ke dalam
chammber. Setelah itu, buat pola penotolan pada kertas sesuai dengan ukuran plat
silikanya. Setelah dibuat pola, plat silika gel diletakkan diatas pola yang sudah
dibuat hingga terlihat garis batas atas dan garis batas bawah pada plat silika gel.
Kemudian, dilakukan penotolan ekstrak pada garis batas bawah bagian kiri,
dilanjutkan penotolan filtrat, dan menotolkan kristal pada bagian yang paling
kanan dan segaris dengan ekstrak yaitu tepat pada garis batas bawah (berjarak 1
cm dari sisi tepi plat). Setelah melakukan penotolan, kemudian dilakukan proses
elusi. Plat yang telah ditotoli dimasukkan ke dalam chammber yang telah jenuh
(ditandai dengan basahnya seluruh kertas saring yang dimasukkan). Plat yang
dimasukkan sebanyak 2 buah dan usahakan plat dalam keadaan bentuk V. Bentuk
ini agar mempermudah eluen menyerap ke dalam plat (mempermudah gerakan
eluen untuk bergerak naik mengelusi plat). Batas pengelusiannya adalah sampai
batas atas plat yaitu dibawah 0,5 cm dari sisi tepi atas plat. Pada proses pengelusi,
chamber ditutup. Alasan untuk menutup chamber adalah untuk meyakinkan
bawah kondisi dalam botol terjenuhkan oleh uap dari pelarut. Alasan dari
mengapa chamber harus dibuat jenuh agar di dalam chamber tidak ada lagi udara
bebas yang mengalir yang dapat menganggu jalannya analisis. Untuk
mendapatkan kondisi ini, dalam botol biasanya ditempatkan beberapa kertas
saring yang terbasahi oleh pelarut. Kondisi jenuh dalam botol dengan uap
mencegah penguapan pelarut. Karena pelarut bergerak lambat pada lempengan,
komponen-komponen yang berbeda dari campuran pewarna akan bergerak pada
kecepatan yang berbeda dan akan tampak sebagai perbedaan bercak warna.
Setelah eluen berhasil mengelusi plat hingga batas yang ditentukan tadi, kemudian
plat dikeluarkan dari chamber secara perlahan, dan diangin-anginkan terlebih
dahulu dan langsung dilihat dibawah sinar UV 254 nm dan 366 nm.
Deteksi bercak digunakan 2 cara, yaitu fisika dan kimia. Untuk cara
fisika,digunakan sinar UV. Sejumlah senyawa alam akan berflouresensi yaitu
memancarkan cahaya tampak saat dikenai sinar UV atau mengabsorpsi sinar UV.
9. Senyawa yang mengabsorpsi sinar UV akan tampak sebagai daerah gelap di
bawah UV. Oleh kerana itu digunakan sinar UV dengan tujuannya untuk
mendeteksi senyawa yang dapat berfluoresensi, dimana senyawa tersebut
memiliki gugus kromofor. Gugus kromofor merupakan gugus yang dapat
memberi atau menghasilkan warna. UV digunakan dengan panjang gelombang
254 nm dan 366 nm. Panjang gelombang 254 nm tujuannya untuk menampakkan
solut sebagai bercak yang gelap. Sedangkan jika dibawah panjang gelombang 366
nm untuk menampakkan bercak yang berfluoresensi sehingga pada pengamatan
terlihat bercak berpendar (memancarkan cahaya).
Seperti yang telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya, ketika disinari
dengan sinar UV 254 nm, plat nampak berfluoresensi dan noda nampak gelap. Hal
ini dikarenakan plat silika gel yang digunakan adalah plat silika gel GF254 yang
artinya plat tersebut akan berfluoresensi pada sinar UV 254 nm dengan adanya
gugus kromofor. Dan pada saat disinari UV 366 nm, baik plat maupun bercak
tampak gelap. Padahal seharusnya diharapkan, jika disinari UV 366 nm, plat
nampak gelap dan noda akan berfluoresensi. Noda bisa berfluoresensi karena di
dalam noda tersebut terkandung gugus kromofor. Ini dapat terjadi jika digunakan
bahan pewarna seperti asam asetat. Dan di saat praktikum, tidak dilakukan
penyemprotan bahan pewarna. Selain itu, karena plat yang digunakan adalah
GF254, maka penyinaran yang cocok pun hanya pada sinar UV 254 nm dan pada
366 nm, akan tampak gelap dan tidak dapat dihitung Rfnya.
Langkah selanjutnya adalah menghitung nilai Rf dari noda-noda yang
telah dihasilkan. Jika nilai Rf-nya besar berarti daya pisah zat yang dilakukan
solvent (eluenya) maksimum sedangkan jika nilai Rf-nya kecil berarti daya pisah
zat yang dilakukan solvent (eluenya) minimum. Rf yang optimum yaitu berada
pada rentang 0.5 – 0.8. Rf sampel kemudian dibandingkan dengan Rf baku (Rf
ekstrak).
Rf untuk plat yang disinari UV 254 nm dengan eluen toluena : etil asetat (7
: 3) menunjukkan bahwa pada totolan ekstrak cair hasil soxletasi, terdapat 1 noda
dengan nilai Rf sebesar 0,92. Sedangkan untuk totolan filtrat hasil penyaringan
kristal, terdapat 1 noda dimana Rfnya adalah 0,81. Dan untuk Rf larutan kristal
menunjukkan adanya 1 noda dengan nilai Rf sebesar 0,73. Sedangkan Rf untuk
10. plat yang disinari UV 366 nm dengan eluen toluena : etil asetat (7 : 3)
menunjukkan bahwa baik pada totolan ekstrak cair hasil soxletasi, filtrat hasil
penyaringan kristal, dan larutan kristal menunjukkan tidak ada noda sehingga nilai
Rf tidak dapat ditentukan.
Berdasarkan literatur, nilai Rf standar dari piperin adalah 0,42 + 0,03
(Vyas et al., 2011). Jika nilai Rf percobaan memiliki nilai yang sama dengan nilai
Rf standar dari senyawa tersebut maka senyawa tersebut dapat dikatakan
memiliki karakteristik yang sama atau mirip. Sedangkan bila nilai Rfnya berbeda
senyawa tersebut dapat dikatakan merupakan senyawa yang berbeda. Selain itu,
hasil dinyatakan spesifik dengan bahan baku standar bila warna bercak antara
sampel dan standar memiliki harga Rf saling mendekati dengan selisih harga ≤
0.2. Sehingga dari hasil percobaan ini, yang paling mendekati dengan nilai Rf
standar dari piperin untuk identifikasi kualitatif piperin adalah Rf 0,73 dimana
nilai Rf ini dimiliki oleh sampel kristal yang diamati dengan sinar UV 254 nm.
Sehingga percobaan yang dilakukan belum berhasil mengisolasi alkaloid piperin
dari buah lada putih. Dari praktikum yang dilakukan, ada beberapa kesalahan
yang terjadi. Salah satunya adalah kemungkinan eluen yang dibuat masih belum
tercampur sempurna, sehingga proses elusi menghasilkan nilai Rf yang berbeda
dengan Rf standar.
Faktor-faktor yang mempengaruhi gerakan noda dalam kromatrografi lapis
tipis yang juga mempengaruhi harga Rf :
1. Struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan
2. Sifat dari penyerap dan derajat aktivitasnya.
3. Tebal dan kerataan dari lapisan penyerap.
4. Pelarut (dan derajat kemurniannya) fase bergerak
5. Derajat kejenuhan dari uap dalam mana bejana pengembangan yang
digunakan.
6. Teknik percobaan, Arah dalam mana pelarut bergerak di atas plat.
7. Jumlah cupilkan yang digunakan, Penetesan cuplikan dalam jumlah yang
berlebihan.
8. Suhu, Pemisahan-pemisahan sebaiknya dilakukan pada suhu tetap.
11. 9. Kesetimbangan, Ternyata bahwa kesetimbangan dalam lapisan tipis lebih
penting dalam kromatografi, hingga perlu mengusahakan atmosfer dalam
bejana jenuh dengan uap pelarut.
12. V. KESIMPULAN
Kesimpulan yang didapat dari percobaan ini adalah :
1. Prinsip kerja yang digunakan pada percobaan ini adalah, piperin disari dari
buah piper dengan etanol 96%, dipisahkan dari senyawa resin dengan
penambahan KOH-etanol 10% b/v dan kristalisasi dilakukan dengan etanol.
2. Isolasi yang dilakukan pada piperin menghasilkan senyawa dalam bentuk
kristal.
3. Isolasi dinyatakan berhasil karena setelah diuji dengan KLT, dihasilkan nilai
Rf yang sama dengan zat pembanding yaitu ekstrak dan filtrat hasil proses
kristalisasi