1. Konsep budaya telah menjadi arus utama dalam bidang antropologi sejak awal mula dan memperoleh
perhatian dalam perkembangan awal studi perilaku organisasi. Geert Hofstede telah mengajukan konsep
budaya dalam teori organisasi, dalam hal ini sebagai salah satu dimensi dalam memahami perilaku
organisasi. Konsep ini menjadi penting dalam teori ekonomi dan manajemen saat ini, dalam era globalisasi,
ketika banyak perusahaan mutinasional beroperasi di berbagai negara dengan berbagai ragam budaya yang
berbeda.
Power Distance
Menurut Hofstede, “power distance” adalah suatu tingkat kepercayaan atau penerimaan dari suatu power
yang tidak seimbang di antara orang. Budaya di mana beberapa orang dianggap lebih superior
dibandingkan dengan yang lain karena status sosial, gender, ras, umur, pendidikan, kelahiran, pencapaian,
latar belakang atau faktor lainnya merupakan bentuk power distance yang tinggi. Pada negara yang
memiliki power distance yang tinggi, masyarakat menerima hubungan kekuasaan yang lebih autokratik dan
patrenalistik. Sementara itu budaya dengan power distance yang rendah cenderung untuk melihat
persamaan di antara orang dan lebih fokus kepada status yang dicapai daripada yang disandang oleh
seseorang.
Individualisme vs. Kolektivisme
Individualisme adalah lawan dari kolektivisme, yaitu tingkat di mana individu terintegrasi ke dalam
kelompok. Dari sisi individualis kita melihat bahwa terdapat ikatan yang longgar di antara individu. Setiap
orang diharapkan untuk mengurus dirinya masing-masing dan keluarga terdekatnya. Sementara itu dari
sisi kolektivis, kita melihat bahwa sejak lahir orang sudah terintegrasi ke dalam suatu kelompok. Bahkan
seringkali keluarga jauh juga turut terlibat dalam merawat sanak saudara dan kerabatnya.
Uncertainty Avoidance
Salah satu dimensi dari Hofstede adalah mengenai bagaimana budaya nasional berkaitan dengan
ketidakpastian dan ambiguitas, kemudian bagaimana mereka beradaptasi terhadap perubahan. Pada
negara-negara yang mempunyai uncertainty avoidance yang besar, cenderung menjunjung tinggi
konformitas dan keamanan, menghindari risiko dan mengandalkan peraturan formal dan juga ritual.
Kepercayaan hanyalah diberikan kepada keluarga dan teman yang terdekat. Akan sulit bagi seorang
negotiator dari luar untuk menjalin hubungan dan memperoleh kepercayaan dari mereka. Pada negara
dengan uncertainty avoidance yang rendah, atau memiliki toleransi yang lebih tinggi untuk ketidakpastian,
mereka cenderung lebih bisa menerima risiko, dapat memecahkan masalah, memiliki struktur organisasi
yang flat, dan memilki toleransi terhadap ambiguitas. Bagi orang dari masyarakat luar, akan lebih mudah
untuk menjalin hubungan dan memperoleh kepercayaan.
Contoh kasus: Mutasi GM dari AS ke Korea
John Denver, seorang GM berasal dari Amerika Serikat, baru saja dipindahtugaskan ke Korea Selatan. Guna
mempelajari perbedaan budaya kerja di Korea Selatan, John Denver dapat menggunakan hasil studi
Hofstede yang membandingkan berbagai negara pada dimensi Power Distance, Uncertainty Avoidance dan
Individualism.
Kajian Hofstede yang secara ringkas membandingan Amerika Serikat dan Korea Selatan (dan Thailand)
adalah sebagaimana terlihat pada Gambar di bawah. Dengan mengacu pada Hofstede Framework tersebut,
maka dapat dilihat bahwa Korea Selatan (dan Thailand) relatif terhadap Amerika Serikat adalah:
2. 1. Lebih tidak dapat menerima ketidakpastian
2. Power distance tinggi dan
3. Tingkat individualisme rendah.
Diolah dari sumber: Han, et. Al. (2006) International Business, 3rd Ed. Pp. 76-77
Gambar Hofstede Framework
Dengan demikian, sebagaimana disampaikan oleh Hofstede, seorang John Denver yang berasal dari
Amerika Serikat, ketika ditugaskan di Korea Selatan haruslah dapat:
1. Memahami perilaku masyarakat/komunitas Korea Selatan yang menganggap beberapa orang lebih
superior dibandingkan dengan yang lain karena status sosial, gender, ras, umur, pendidikan, kelahiran,
pencapaian, latar belakang dan lainnya.
2. Menyesuaikan dengan budaya Korea Selatan yang cenderung menjunjung tinggi konformitas dan
keamanan
3. Memahami bahwa kebanyakan orang Korea Selatan lebih suka menghindari risiko
4. Memiliki kemampuan untuk mengikuti peraturan formal dan juga ritual yang berlaku di Korea Selatan
5. Memahami bahwa di Korea Selatan, kepercayaan hanyalah diberikan kepada keluarga dan teman yang
terdekat
6. Memahami bahwa masyarakat Korea Selatan menerima hubungan kekuasaan yang lebih autokratik dan
patrenalistik. Bawahan mengenal kekuasaan orang lain melalui formalitas, misalnya posisi hierarki.
Referensi:
1. Han, et. Al. (2006) International Business, 3rd Ed.
2. The “Et cetera, et cetera, et cetera King” dan Hofstede; analisa film “The King and I (1956)” –
http://yolagani.wordpress.com
3. Wikipedia – http://en.wikipedia.org/wiki/Geert_Hofstede