SlideShare a Scribd company logo
1 of 214
Download to read offline
ii
!
" "
# " " $
% " " #
%
& ' "
" ( " #
) * #
+
* #
, #
#
"
- $ .//0
" !!+
iii
Daftar Isi
BAB I PENGANTAR HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
A. Pengantar dan Definisi
1. Definisi
a. Definisi Schmitthoff
b. Definisi Rafiqul Islam
c. Definisi Michelle Sanson
d. Definisi Hercules Booysen
2. Pendekatan Hukum Perdagangan Internasional
a. Hubungan Hukum Perdagangan Internasional dan Bidang Hukum
Lainnya
b. Hukum Perdagangan Internasional bersifat Interdisipliner
B. Prinsip-prinsip Hukum Perdagangan Internasional
1. Prinsip Dasar Kebebasan Berkontrak
2. Prinsip Dasar Pacta Sunt Servanda
3. Prinsip Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase
4. Prinsip Kebebasan Komunikasi (Navigasi)
C. Eksistensi dan Tujuan Hukum Perdagangan Internasional
D. Perkembangan Hukum Perdagangan Internasional
E. Unifikasi dan Harmonisasi Hukum Perdagangan Internasional
1. Perlunya Unifikasi dan Harmonisasi Hukum Perdagangan
Internasional
2. Lembaga-lembaga Yang Bergerak dalam Unifikasi dan Harmonisasi
Hukum
a. World Trade Organization (WTO)
b. The International Institute for the Unification of Private Law
(UNIDROIT)
c. The United Nations Commission on International Trade Law
(UNCITRAL)
d. Kamar Dagang Internasional (ICC)
F. Penutup
BAB II. SUBYEK HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
A. Pengantar
B. Negara
1. Peran Negara
2. Imunitas Negara
C. Organisasi Perdagangan Internasional
D. Individu
1. Perusahaan Multinasional
2. Bank
E. Penutup
BAB III. SUMBER HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
iv
A. Pengantar
B. Sumber Hukum Perdagangan Internasional
1. Perjanjian Internasional
2. Hukum Kebiasaan Internasional
3. Prinsip-prinsip Hukum Umum
4. Putusan Badan Pengadilan dan Doktrin
5. Kontrak
6. Hukum Nasional
C. Penutup
BAB IV. ATURAN-ATURAN HUKUM PERDAGANGAN MENURUT GATT
A. Pengantar
B. Sejarah GATT
C. Ketentuan-ketentuan Perdagangan dalam GATT
D. Prinsip-prinsip GATT
E. Garis-garis besar Ketentuan GATT
F. Penutup
BAB V. LETTER OF CREDIT DALAM HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
A. Pengantar
B. Bentuk-bentuk Pembiayaan Perdagangan Internasional
1. Kredit Berdokumen (Documentary Credit)
2. Bentuk Khusus Kredit Berdokumen
C. Penutup
BAB VI. E-COMMERCE MENURUT UNCITRAL MODEL LAW ON ELECTRONIC COMMERCE
1996
A. Pengantar
B. Masalah Hukum: Pengawasan
C. UNCITRAL Model Law
1. Pengantar
2. Penerapan Persyaratan Hukum terhadap Pesan Data
3. Kekuatan Pembuktian Pesan Data
4. Penyimpanan Pesan Data
5. Komunikasi Pesan Data
6. Bentuk dan Keabsahan Kontrak
7. Pengakuan terhadap Pesan Data
8. Pengakuan Penerimaan
9. Waktu dan Tempat Pengiriman dan Penerimaan Pesan Data
10. Bagian II: Obyek tertentu: Pengiriman Brg
11. Dokumen Pengangkutan (Bill of Lading)
12. Tanda Tangan Digital dan Pejabat Verifikasi
D. Penutup
BaAB VII. PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
v
A. Pengantar
B. Para Pihak dalam Sengketa
C. Prinsip-prinsip Penyelesaian Sengketa
1. Prinsip Kesepakatan Para Pihak (Konsensus)
2. Prinsip Kebebasan Memilih Cara-cara Penyelesaian Sengketa
3. Prinsip Kebebasan Memilih Hukum
4. Prinsip Itikad Baik (Good Faith)
5. Prinsip Exhaustion of Local Remedies
D. Forum Penyelesaian Sengketa
1. Negosiasi
2. Mediasi
3. Konsiliasi
4. Arbitrase
5. Pengadilan (Nasional dan Internasional)
E. Hukum Yang Berlaku
1. Pengantar
2. Kebebasan Para Pihak
F. Pelaksaan Putusan Sengketa Dagang
1. Pengantar
1. Pelaksanaan Putusan APS
2. Pelaksanaan Putusan Arbitrase (Asing)
3. Pelaksanaan Putusan Pengadilan
G. Penutup
BAB I
PENGANTAR HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
A. Pengantar dan Definisi
Hukum perdagangan internasional adalah bidang hukum yang
berkembang cepat. Ruang lingkup bidang hukum ini pun cukup luas.
Hubungan-hubungan dagang yang sifatnya lintas batas dapat
mencakup banyak jenisnya. Dari bentuknya yang sederhana, yaitu
dari barter, jual beli barang atau komoditi (produk-produk
pertanian, perkebunan, dan sejenisnya), hingga hubungan atau
transaksi dagang yang kompleks.
Kompleksnya hubungan atau transaksi dagang internasional
ini sedikit banyak disebabkan oleh adanya jasa teknologi
(khususnya teknologi informasi). Sehingga, transaksi-transaksi
dagang semakin berlangsung dengan cepat. Batas-batas negara bukan
lagi halangan dalam bertransaksi. Bahkan dengan pesatnya
teknologi, dewasa ini para pelaku dagang tidak perlu mengetahui
atau mengenal siapa rekanan dagangnya yang berada jauh di belahan
bumi lain. Hal ini tampak dengan lahirnya transaksi-transaksi
yang disebut dengan e-commerce.
Ada berbagai motif atau alasan mengapa negara atau subyek
hukum (pelaku dalam perdagangan) melakukan transaksi dagang
internasional. Yang menjadi fakta adalah bahwa perdagangan
internasional sudah menjadi tulang punggung bagi negara untuk
menjadi makmur, sejahtera dan kuat. Hal ini sudah banyak terbukti
dalam sejarah perkembangan dunia.
Besar dan jayanya negara-negara di dunia tidak terlepas
dari keberhasilan dan aktivitas negara-negara tersebut di dalam
perdagangan internasional. Sebagai satu contoh, kejayaan Cina
masa lalu tidak terlepas dari kebijakan dagang yang terkenal
dengan nama ‘Silk Route’ atau jalan suteranya. Silk Route tidak
lain adalah rute-rute perjalanan yang ditempuh oleh saudagar-
saudagar Cina untuk berdagang dengan bangsa-bangsa lain di
dunia.1
Setelah kejayaan Cina, menyusul negara-negara lain seperti
Spanyol dengan Spanish Conquistadors-nya, Inggris dengan The
British Empire-nya (beserta perusahaan multinasionalnya yang
pertama di dunia, yakni ‘the East-India Company’, Belanda dengan
VOC-nya, dll. Kejayaan negara-negara ini tidak terlepas dari
kebijakan pemerintahnya untuk melakukan transaksi dagang
internasional.
Kesadaran untuk melakukan transaksi dagang internasional
ini juga telah cukup lama disadari oleh para pelaku pedagang di
tanah air sejak. Adalah Amanna Gappa, seorang kepala suku Bugis
yang sadar akan pentingnya dagang (dan pelayaran) bagi
kesejahteraan sukunya. Keunggulan suku bugis dalam berlayar
dengan hanya menggunakan perahu-perahu bugis yang kecil telah
mengarungi lautan luas hingga ke Malaya (sekarang menjadi wilayah
Singapura dan Malaysia).2
Yang menjadi esensi untuk bertransaksi dagang ini adalah
dasar filosofinya. Telah dikemukakan bahwa berdagang ini adalah
1
Jonathan Reuvid, (ed.), The Strategic Guide to International Trade,
London: Kogan Page, 1997, para. xv.
2
PH.O.L. Tobing, Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amanna Gappa, Ujung
Pandang: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, 1977, hlm. 154. Di
Singapura, misalnya, ada suatu daerah yang khusus untuk menghormati
suku Bugis ini karena keunggulan mereka sebagai pelaut dan pedagang.
Pemerintah Singapura memberi nama pada suatu daerah di tengah Singapura
dengan nama Bugis (di wilayah Bugis Junction). Di Bugis Junction ini
kita dapat melihat replika perahu kecil suku Bugis yang berlayar ke
Malaka (sekarang Singapura). Bahkan pernah ada data yang mengungkapkan
bahwa perahu Bugis telah juga mengunjungi wilayah utara benua
Australia. Prestasi ini telah membuat kagum banyak bangsa di dunia.
Bahkan banyak ahli hukum dari berbagai dunia, khususnya Inggris dan
Belanda, yang mempelajari hukum-hukum bangsa Bugis ini yang disalin
oleh Amanna Gappa. Mereka mempelajari hukum-hukum pelayaran dan hukum
dagang bangsa Bugis untuk kemungkinan diterapkan pada keadaan dewasa
ini. Menurut hemat penulis, sesungguhnya, apa yang diperbuat oleh ahli-
ahli hukum Belanda dan ahli hukum Inggris tersebut merupakan pukulan
telak pada ahli hukum di tanah air. Kenapa justru ahli hukum asing yang
mempelajari dan menggali hukum dagang (internasional) Bugis, bukannya
bangsa kita sendiri.
suatu “kebebasan fundamental” (fundamental freedom).3
Dengan
kebebasan ini siapa saja harus memiliki kebebasan untuk
berdagang. Kebebasan ini tidak boleh dibatasi oleh adanya
perbedaan agama, suku, kepercayaan, politik, sistem hukum, dll.
Piagam Hak-hak dan Kewajiban Negara (Charter of Economic
Rights and Duties of States) juga mengakui bahwa setiap negara
memiliki hak untuk melakukan perdagangan internasional. (“Every
State has the right to engage in international trade”) (Pasal 4).
3
Lihat buku penulis, Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional: Suatu
Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, cet. 3, 2002, Bab I.
1. Definisi
Cepatnya perkembangan bidang hukum ini ternyata masih belum
ada kesepakatan tentang definisi untuk bidang hukum ini. Hingga
dewasa ini terdapat berbagai definisi yang satu sama lain
berbeda.
a. Definisi Schmitthoff
Definisi pertama adalah definisi yang dikeluarkan oleh
Sekretaris Jenderal PBB dalam laporannya tahun 1966.4
Definisi
ini sebenarnya adalah definisi buatan seorang guru besar ternama
dalam hukum dagang internasional dari City of London College,
yaitu Professor Clive M. Schmitthoff. Sehingga dapat dikatakan
bahwa definisi yang tercakup dalam Laporan Sekretaris Jenderal
tersebut tidak lain adalah laporan Schmitthoff.
Schmitthoff mendefinisikan hukum perdagangan internasional
sebagai: “... the body of rules governing commercial relationship
of a private law nature involving different nations”.5
Dari definisi tersebut dapat tampak unsur-unsur berikut:
1) Hukum perdagangan internasional adalah sekumpulan aturan
yang mengatur hubungan-hubungan komersial yang sifatnya
hukum perdata,
2) Aturan-aturan hukum tersebut mengatur transaksi-transaksi
yang berbeda negara.
Definisi di atas menunjukkan dengan jelas bahwa aturan-
aturan tersebut bersifat komersial. Artinya, Schmitthoff dengan
tegas membedakan antara hukum perdata (“private law nature”) dan
hukum publik.
Dalam definisinya itu, Schmitthoff menegaskan bahwa ruang
lingkup bidang hukum ini tidak termasuk hubungan-hubungan
komersial internasional dengan ciri hukum publik. Termasuk dalam
4
United Nations, Progressive Development of the Law of International
Trade: Report of the Secretary General of the United Nations 1966, New
York: United Nations, 1966, hlm. 1. (Selanjutnya disebut Secreatry
General Report).
5
Secretary General Report, op.cit., para. 10.
bidang hukum publik ini yakni aturan-aturan yang mengatur tingkah
laku atau perilaku negara-negara dalam mengatur perilaku
perdagangan yang mempengaruhi wilayahnya.6
Dengan kata lain, Schmitthoff menegaskan wilayah hukum
perdagangan internasional tidak termasuk atau terlepas dari
aturan-aturan hukum internasional publik yang mengatur hubungan-
hubungan komersial. Misalnya, aturan-aturan hukum internasional
yang mengatur hubungan dagang dalam kerangka GATT atau aturan-
aturan yang mengatur blok-blok perdagangan regional, aturan-
aturan yang mengatur komoditi, dsb.7
Dalam salah satu tulisannya
Schmitthoff dengan jelas menegaskan sebagai berikut:
“First, the modern law of international trade is not a
branch of international law; it does not form part of the
jus gentium, but it is applied in every national
jurisdiction by tolerance of the national sovereign whose
public policy may override or qualify a particular rule of
that law.”8
Dari latar belakang definisi tersebut pun berdampak pada
ruang lingkup cakupan hukum dagang internasional. Schmitthoff
menguraikan bidang-bidang berikut sebagai bidang cakupan bidang
hukum ini:
1) Jual beli dagang internasional: (i) pembentukan kontrak; (ii)
perwakilan-perwakilan dagang (agency); (iii) Pengaturan
penjualan eksklusif;
6
Secretary General Report, op.cit., para. 11.
7
Secretary General Report, op.cit., para. 11.
8
Schmitthoff, “The Unification of the Law of International Trade,”
(1968) JBL 109 (pendapat Schmitthoff ini juga adalah pendapat sarjana
terkemuka hukum perdagangan internasional Profesor Aleksander
Goldštajn). Menurut hemat penulis salah satu kelemahan dari definisi
ini adalah sulitnya diterima bahwa berlakunya hukum perdagangan
internasional ke dalam jurisdiksi nasional negara-negara di dunia
adalah berdasarkan apa yang beliau sebut “tolerance of the national
sovereign.” Dalam hukum, sulit diterima adanya toleransi ini. Yang ada
adalah penundukan diri baik secara diam-diam maupun tegas seperti dalam
ratifikasi atau aksesi suatu perjanjian internasional (dalam hal ini
hukum perdagangan internasional) oleh suatu negara. Seperti kita
ketahui, masalah ratifikasi atau aksesi terhadap suatu perjanjian
internasional (tidak terkecuali perjanjian di bidang hukum perdagangan
2) Surat-surat berharga
3) Hukum mengenai kegiatan-kegiatan tentang tingkah laku mengenai
perdagangan internasional
4) Asuransi
5) Pengangkutan melalui darat dan kereta api, laut, udara,
perairan pedalaman
6) Hak milik industri
7) Arbitrase komersial.9
b. Definisi M. Rafiqul Islam
Dalam upayanya memberi batasan atau definisi hukum
perdagangan internasional, Rafiqul Islam menekankan keterkaitan
erat antara perdagangan internasional dan hubungan keuangan
(financial relations). Dalam hal ini Rafiqul Islam memberi
batasan perdagangan internasional sebagai "... a wide ranging,
transnational, commercial exchange of goods and services between
individual business persons, trading bodies and States".10
Hubungan finansial terkait erat dengan perdagangan
internasional. keterkaitan erat ini tampak karena hubungan-
hubungan keuangan ini mendampingi transaksi perdagangan antara
para pedagang (dengan pengecualian transaksi barter atau counter-
trade).11
internasional) tunduk pada prinsip-prinsip hukum internasional publik,
dalam hal ini prinsip hukum perjanjian internasional.
9
Secretary General Report, op.cit., para. 10.
10
Rafiqul Islam, International Trade Law, NSW: LBC, 1999, hlm. 1.
Sarjana-sarjana dewasa ini cenderung untuk membagi ruang lingkup
perdagangan internasional ke dalam dua bagian:perdagangan barang dan
jasa (sebagaimana halnya dengan Rafiqul Islam di atas). Lihat misalnya,
Pablo Vilanueva, "Patterns and Trends in World Trade," dalam: Jonathan
Reuvid (ed.), The Strategic Guide to International Trade, Kogan page
(tt), hlm 3. (Villanueva menggambarkan bidang perdagangan internasional
ke dalam dua bidang: (1) Perdagangan barang (merchandise trade) yang
mencakup mineral, produk pertanian, barang industri; dan (2) jasa
komersial (commercial services) yang mencakup perbankan, konsultasi dan
pariwisata).
11
Pengecualian terhadap kedua bentuk transaksi tersebut karena memang
untuk kedua transasi tersebut tidak terkait dengan adanya hubungan
keuangan. (Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 1).
Dengan adanya keterkaitan erat antara perdagangan
internasional dan keuangan, Rafiqul Islam mendefinisikan "hukum
perdagangan dan keuangan ("international trade and finance law")
sebagai suatu kumpulan aturan, prinsip, norma dan praktek yang
menciptakan suatu pengaturan (regulatory regime) untuk transaksi-
transaksi perdagangan transnasional dan sistem pembayarannya,
yang memiliki dampak terhadap perilaku komersial lembaga-lembaga
perdagangan.12
Kegiatan-kegiatan komersial tersebut dapat dibagi
ke dalam kegiatan "komersial" yang berada dalam ruang lingkup
hukum perdata internasional atau Conflict of Laws; perdagangan
antar pemerintah atau antar negara, yang diatur oleh hukum
internasional publik.13
Dari batasan tersebut tampak bahwa ruang lingkup hukum
perdagangan internasional sangat luas.14
Karena ruang lingkup
kajian bidang hukum ini sifatnya adalah lintas batas atau
transnasional, konsekuensinya adalah terkaitnya lebih dari satu
sistem hukum yang berbeda.
c. Definisi Michelle Sanson
Sarjana lainnya yang mencoba memberi batasan bidang hukum
ini adalah sarjana Australia Sanson. Sanson memberi batasan
bidang ini sesuai dengan pengeritan kata-kata dari bidang hukum
ini, yaitu hukum, dagang dan internasional (dengan kata dasar
nasion atau negara).
Hukum perdagangan internasional menurut definisi Sanson
‘can be defined as the regulation of the conduct of parties
12
Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 1.
13
Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 1. Selengkapanya Rafiqul Islam menulis
sebagai berikut: "international trade and finance law is a body of
rules, principles, norms and their associated payments systems, with a
controlling impact on the commercial behaviour of the trading
entities").
14
Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 1.
involved in the exchange of goods, services and technology
between nations.’15
Definisi di atas sederhana. Ia tidak menyebut secara jelas
bidang hukum ini jatuh ke bidang hukum yang mana: hukum privat,
publik, atau hukum internasional. Sanson hanya menyebut bidang
hukum ini adalah the regulation of the conduct of parties. Para
pihaknya pun dibuat samar, hanya disebut parties. Sedangkan obyek
kajiannya, Sanson agak jelas: yaitu jual beli barang, jasa dan
teknologi.
Meskipun memberi definisi yang mengambang tersebut, Sanson
membagi hukum perdagangan internasional ini ke dalam dua bagian
utama, yaitu hukum perdagangan internasional publik (public
interntional trade law) dan hukum perdagangan internasional
privat (private international trade law).16
Yang pertama, public international trade law adalah hukum
yang mengatur perilaku dagang antar negara. Sedangkan yang kedua,
private international trade law adalah hukum yang mengatur
perilaku dagang secara orang perorangan (private traders) di
negara-negara yang berbeda.17
Meskipun ada pembedaan ini, namun para sarjana mengakui
bahwa batas-batas kedua istilah ini pun sangat sulit untuk dibuat
garis batasnya. Sanson menyatakan bahwa ‘the modern development
is that the distinction between publik and privat international
trade law has less meaning.’18
15
M. Sanson, Essential International Trade Law, Sydney: Cavendish,
2002, hlm. 3.
16
M. Sanson, op.cit., hlm. 4. Lihat pula pendekatan Rafiqul Islam,
supra, dan Schmitthoff, supra..
17
M. Sanson, op.cit., hlm. 4.
18
M. Sanson, op.cit., hlm. 4. Sanson dengan benar memberi contoh
tentang hukum WTO. Perjanjian WTO adalah bidang hukum perdagangan
internasional publik. Tetapi aturan hukumnya terjewantahkan ke dalam
bidang-bidang privat, misalnya saja dalam hal tarif, dumping,
perpajakan. (Ibid).
Mirip dengan Sanson, Rafiqul Islam melihat hubungan atau
keterkaitan ini juga sulit untuk tidak bersentuhan dan saling
mempengaruhi. Beliau menulis:
‘The effect of public international law on private
transactons is indirect but can be very profound in certain
aspects. Some such aspects of private transactions will be
considered merely because public international law has
shaped, or is in the process of reshaping, their legal
order.’19
d. Definisi Hercules Booysen
Booysen sarjana Afrika Selatan tidak memberi definisi
secara tegas. Beliau menyadari bahwa ilmu hukum sangatlah
kompleks. Karena itu, upaya untuk membuat definisi bidang hukum,
termasuk hukum perdagangan internasional, sangatlah sulit dan
jarang tepat.20
Karena itu dalam upayanya memberi definisi tersebut, beliau
hanya mengungkapkan unsur-unsur dari definisi hukum perdagangan
internasional. Menurut beliau ada tiga unsur, yakni:
(1) Hukum perdagangan internasional dapat dipandang sebagai suatu
cabang khusus dari hukum internasional (international trade
law may also be regarded as a specialised branch of
international law).
(2) Hukum perdagangan internasional adalah aturan-aturan hukum
internasional yang berlaku terhadap perdagangan barang, jasa
dan perlindungan hak atas kekayaan intelektual (HAKI).
(International trade law can be described as those rules of
international law which are applicable to trade in goods,
services and the protection of intellectual property).
Bentuk-bentuk hukum perdagangan internasional seperti ini
19
Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 1.
20
Interlegal's Definitions (http://home.yebro.co.za/~interlegal/
definitions.htm). Bandingkan dengan pendapat Reuvid, bahwa istilah
‘Perdagangan internasional’ mencakup bidang dan teknik dagang yang
sangat luas (‘internasional trade covers a bewildering mumber of
activities and procedures’ (Jonathan Reuvid, (ed.), hlm. xv).)
misalnya saja adalah aturan-aturan WTO, perjanjian
multilateral mengenai perdagnagan mengenai barang seperti
GATT, perjanjian mengenai perdagangan di bidang jasa
(GATS/WTO, dan perjanjia mengenai aspek-aspek yang terkait
dengan HAKI (TRIPS).21
Dalam lingkup definisi ini diakui bahwa negara bukanlah
semata-mata pelaku utama dalam bidang perdagangan
internasional. Negara lebih berperan sebagai regulator
(pengatur). Karena itu hukum perdagangan internasional juga
mencakup aturan-aturan internasional mengenai transaksi-
transaksi nyata yang bersifat internasional dari para
pedagang (international law merchants). Karenanya,
international law merchants ini adalah bagian dari hukum
perdagangan internasional.22
(3) Hukum perdagangan internasional terdiri dari aturan-aturan
hukum nasional yang memiliki atau pengaruh langsung terhadap
perdagangan internasional secara umum. Karena sifat aturan-
aturan hukum nasional tersebut, maka atura-aturan tersebut
merupakan bagian dari hukum perdagangan internasional. contoh
dari aturan hukum nasional seperti itu adalah perundang-
undangan yang ekstrateritorial (the extraterritorial
legislation).23
Dari 4 (empat) definisi di atas tampak semuanya ada
benarnya. Tetapi penulis lebih pro kepada definisi Rafiqul Islam.
Dari batasan Rafiqul Islam di atas, tampak adanya keterkaitan
erat antara hukum perdagangan internasional dengan hukum
internasional publik. Memang sekilas tampak bahwa dampak dan
pengaruh hukum internasional publik ini tidak langsung. Namun
demikian pengaruh ini dapat berdampak cukup luas terhadap
21
Interlegal's Definitions (http://home.yebro.co.za/~interlegal/
definitions.htm).
22
Interlegal's Definitions (http://home.yebro.co.za/~interlegal/
definitions.htm).
23
Interlegal's Definitions (http://home.yebro.co.za/~interlegal/
definitions.htm).
beberapa aspek dari hukum perdagangan internasional. Hal ini
disebabkan karena hukum internasional publik dalam beberapa hal
telah membentuk dan sedang dalam proses pembentukan ketentuan-
ketentuan yang mengatur aspek-aspek perdata dari transaksi
perdagangan internasional.24
24
Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 1.
2. Pendekatan Hukum Perdagangan Internasional
a. Hubungan antara Hukum Perdagangan Internasional dan Bidang
Hukum lainnya
Satu catatan lain yang juga penting adalah hubungan antara
hukum perdagangan internasional dan hukum lainnya yang terkait
dengan perdagangan internasional. Di bagian awal tulisan ini
tampak luasnya bidang cakupan hukum perdagangan internasional
ini. Luasnya bidang cakupan membuat cakupan yang dikajinya sulit
untuk tidak tumpang tindih dengan bidang-bidang lainnya. Misalnya
dengan hukum ekonomi internasional, hukum transaksi bisnis
internasional, hukum komersial internasional, dll.25
Catatan di atas menunjukkan kedudukan penulis yang mengakui
adanya keterkaitan antara hukum perdagangan internasional dengan
hukum internasional. Di sisi lain, penulis berpendirian bahwa
hukum ekonomi internasional adalah juga bagian atau cabang dari
hukum internasional.26
Masalahnya adalah di mana letak atau garis batas di antara
hukum perdagangan dengan bidang-bidang hukum lain disebut di
atas, khususnya hukum ekonomi internasional. Ada bidang-bidang
yang sama-sama tunduk pada dua bidang hukum ini. Misalnya saja,
pembahasan mengenai subyek-subyek dan sumber-sumber dari kedua
bidang hukum sedikit banyak hampir sama.27
Sementara ini pendekatan yang ditempuh untuk membedakan
kedua bidang hukum ini adalah melihat subyek hukum yang tunduk
kepada kedua bidang hukum tersebut. Hukum ekonomi internasonal
lebih banyak mengatur subyek hukum yang bersifat publik (policy),
seperti misalnya hubungan-hubungan di bidang ekonomi yang
dilakukan oleh negara atau organisasi internasional. Sedangkan
25
Cf., M. Sanson, op.cit., hlm. 2.
26
Lihat buku penulis, Hukum Ekonomi Internasional: Suatu Pengantar,
Jakarta: Rajagrafindo, cet. 3, 2003, Bab I.
27
Lihat lebih lanjut mengenai hukum ekonomi internasional ini, buku
penulis, Hukum Ekonomi Internasional: Suatu Pengantar, Jakarta:
Rajagrafindo, cet. 3, 2003, Bab I dst.
hukum perdagangan internasional lebih menekankan kepada hubungan-
hubungan hukum yang dilakukan oleh badan-badan hukum privat.
Dalam kenyataannya pendirian tersebut tidak begitu valid.
Hukum ekonomi internasional dalam kenyataannya juga mengatur
kegiatan-kegiatan atau transaksi-transaksi badan hukum privat
atau yang terkait dengan kepentingan privat, misalnya mengenai
perlindungan dan nasionalisasi atau ekspropriasi perusahaan
asing. Selain itu, meskipun hukum ekonomi internasional mengatur
subyek-subyek hukum publik atau negara, namun aturan-aturan
tersebut bagaimana pun juga akan berdampak pada individu atau
subyek-subyek hukum lainnya di dalam wilayah suatu negara.
b. Hukum Perdagangan Internasional Bersifat Interdisipliner
Karakteristik lain dari hukum perdagangan internasional ini
adalah pendekatannya yang interdisipliner. Untuk dapat memahami
bidang hukum ini secara komprehensif, dibutuhkan sedikit banyak
bantuan disiplin-disiplin (ilmu) lain. Dalam bidang hukum ini
terkait dengan bidang pengangkutan (darat, udara dan khususnya
laut). Hal ini membutuhkan bantuan dan pemahaman disiplin ilmu
pelayaran.
Keterkaitan dengan pembayaran dalam perdagangan
internasional akan terkait dengan praktik perbankan dan lembaga
keuangan lainnya. Hal ini membutuhkan bantuan dan pemahaman
disiplin ilmu perbankan dan keuangan.
Keterkaitan dengan perdagangan itu sendiri akan terkait
dengan praktik dan teknik-teknik perdagangan. Hal ini membutuhkan
bantuan dan pemahaman ilmu praktik perdagangan.
Disiplin-disiplin ilmu lainnya yang terkait lainnya
misalnya adalah teknologi, ekonomi. Yang juga penting adalah ilmu
politik, yaitu bagaimana kebijakan politik suatu negara yang
berpengaruh terhadap kebijakan dagang suatu negara.
B. Prinsip-prinsip Dasar Hukum Perdagangan Internasional
Prinsip-prinsip dasar (fundamental principles) yang dikenal
dalam hukum perdagangan internasional diperkenalkan oleh sarjana
hukum perdagangan internasional Profesor Aleksancer Goldštajn.
Beliau memperkenalkan 3 (tiga) prinsip dasar tersebut, yaitu (1)
prinsip kebebasan para pihak dalam berkontrak (the principle of
the freedom of contract); (2) prinsip pacta sunt servanda; dan
(3) prinsip penggunaan arbitrase.28
1. Prinsip Dasar Kebebasan Berkontrak
Prinsip pertama, kebebasan berkontrak, sebenarnya adalah
prinsip universal dalam hukum perdagangan internasional. Setiap
sistem hukum pada bidang hukum dagang mengakui kebebasan para
pihak ini untuk membuat kontrak-kontrak dagang (internasional).
Schmitthoff menanggapi secara positif kebebasan pertama
ini. Beliau menyatakan:
“The autonomy of the parties’ will in the law of contract
is the foundation on which an autonomous law of
international trade can be built. The national sovereign
has,..., no objection that in that area an autonomous law
of international trade is developed by the parties,
provided always that that law respects in every national
jurisdiction the limitations imposed by public policy.”29
Kebebasan tersebut mencakup bidang hukum yang cukup luas.
Ia meliputi kebebasan untuk melakukan jenis-jenis kontrak yang
para pihak sepakati. Ia termasuk pula kebebasan untuk memilih
forum penyelesaian sengketa dagangnya. Ia mencakup pula kebebasan
untuk memilih hukum yang akan berlaku terhadap kontrak, dll.
Kebebasan ini sudah barang tentu tidak boleh bertentangan
dengan UU, kepentingan umum, kesusilaan, kesopanan, dan lain-lain
persyaratan yang ditetapkan oleh masing-masing sistem hukum.
2. Prinsip Dasar Pacta Sunt Servanda
28
Aleksander Goldštajn, “The New Law of Merchant,” (1961) JBL 12.
29
Clive M. Schmitthoff, Commercial Law in a Changing Economic Climate,
London: Sweet and Maxwell, 1981, hlm. 22. (Selanjutnya disebut
“Commercial Law”).
Prinsip kedua, pacta sunt servanda adalah prinsip yang
mensyaratkan bahwa kesepakatan atau kontrak yang telah
ditandatangani harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya (dengan
itikad baik). Prinsip ini pun sifatnya universal. Setiap sistem
hukum di dunia menghormati prinsip ini.
3. Prinsip Dasar Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase
Prinsip ketiga, prinsip penggunaan arbitrase tampaknya
terdengar agak ganjil. Namun demikian pengakuan Goldštajn
menyebut prinsip ini bukan tanpa alasan yang kuat. Arbitrase
dalam perdagangan internasional adalah forum penyelesaian
sengketa yang semakin umum digunakan. Klausul arbitrase sudah
semakin banyak dicantumkan dalam kontrak-kontrak dagang.30
Oleh
karena itulah prinsip ketiga ini memang relevan.
Goldštajn menguraikan kelebihan dan alasan mengapa
penggunaan arbitrase ini beliau jadikan prinsip dasar dalam hukum
perdagangan internasional:
“Moreover, to the extent that the settlement of differences
is referred to arbitration, a uniform legal order is being
created. Arbitration tribunals often apply criteria other
than those applied in courts. Arbitrators appear more ready
to interpret rules freely, taking into account customs,
usage and business practice. Further, the fact that the
enforcement of foreign arbitral awards is generally more
easy than the enforcement of foreign court decisions is
conducive to a preference for arbitration.”31
4. Prinsip Dasar Kebebasan Komunikasi (Navigasi)
Di samping tiga prinsip dasar tersebut, prinsip dasar
lainnya yang menurut penulis relevan adalah prinsip dasar yang
dikenal dalam hukum ekonomi internasonal, yaitu prinsip kebebasan
untuk berkomunikasi (dalam pengertian luas, termasuk di dalamnya
kebebasan bernavigasi). Komunikasi atau navigasi adalah kebebasan
para pihak untuk berkomunikasi untuk keperluan dagang dengan
siapa pun juga dengan melalui berbagai sarana navigasi atau
30
Lihat secara khusus, Rene David, Arbitration in International Trade,
The Hague: Kluwer, 1985 (membahas panjang lebar tentang peran arbitrase
dalam perdagangan internasional).
31
Aleksander Goldštajn, “The New Law of Merchant,” (1961) JBL 12.
komunikasi, baik darat, laut, udara, atau melalui sarana
elektronik. Kebebasan ini sangat esensial bagi terlaksananya
perdagangan internasional. Aturan-aturan hukum (internasional)
memfasilitasi kebebasan ini.32
Dalam berkomunikasi untuk maksud berdagang ini kebebasan
para pihak tidak boleh dibatasi oleh sistem ekonomi, sistem
politik, atau sistem hukum. Bandingkan dengan pendapat profesor
Goldštajn di bawah ini ketika beliau membahas hubungan antara
sistem ekonomi dan politik dalam kaitannya dengan hukum
perdagangan internasional:
“The law governing trade transactions is neither capitalist
nor socialist; it is a means to an end, and therefore, the
fact that the beneficiaries of such transactions are
different in this or that country is no obstacle to the
development of international trade. The law of
international trade is based on the general principles
accepted in the entire world.”33
(Huruf miring oleh
penulis).
Pernyataan terakhir Goldštajn di atas, yaitu bahwa hukum
perdagangan internasional didasarkan pada prinsip-prinsip umum
yang diterima di seluruh dunia menyatakan seolah-seolah hukum
perdagangan internasional dapat diterima oleh sistem hukum di
dunia. Pendapat ini benar. Sarjana terkemuka lainnya, Profesor
Tammer, memperkuat pernyataan tersebut:
“The law of external trade of the countries of planned
economy does not differ in its fundamental principles from
the law of external trade of other countries, such as,
e.g., Austria or Switzerland. Consequently, international
trade law specialists of all countries have found without
difficulty that they speak a ‘common language.”34
32
Lihat lebih lanjut, Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional: Suatu
Pengantar, Jakarta: Rajawali pers, cet. 3, 2003, hlm. 29.
33
Schmitthoff, op.cit., (Commercial Law), hlm. 19.
34
Schmitthoff, ‘The Unification of the Law of Internatioal Trade,’
(1968) JBL 109 (mengutip Tammer, The Sources of the Law International
Trade, 1964, hlm. 42).
C. Eksistensi dan Tujuan Hukum Perdagangan Internasional
Hubungan-hubungan perdagangan internasional antar negara
sudah ada sejak lama. Hubungan-hubungan ini sudah ada sejak
adanya negara-negara dalam arti negara kebangsaan, yaitu bentuk-
bentuk awal negara dalam arti modern. Perjuangan negara-negara
ini untuk memperoleh kemandirian dan pengawasan (kontrol)
terhadap ekonomi internasional telah memaksa negara-negara ini
untuk mengadakan hubungan-hubungan perdagangan yang mapan dengan
negara-negara lainnya. Mereka menyadari bahwa perdagangan adalah
satu-satunya cara untuk pembangunan ekonomi mereka.35
Seperti telah dikemukakan di awal tulisan ini, sejak dulu
dan bahkan dewasa ini semakin banyak negara sadar bahwa kebijakan
menutup diri sudah jauh-jauh ditinggalkan. Pendirian ini semakin
mendorong negara untuk memperluas aktivitas perdagangannya.36
Cara pandang ini sedikit banyak dilatarbelakangi dan
dipengaruhi oleh beberapa aliran atau teori ekonomi. Pada awal
perkembangannya, terutama abad ke 15 dan 16, teori atau aliran
yang mula lahir adalah teori merkantilisme. Para merkantilis
berpendirian perdagangan internasional sebagai instrumen
kebijakan nasional. Mereka menekankan pentingnya ekspor sebesar-
besarnya dan menekan impor serendah-rendahnya. Keuntungan dari
selisih ekspor - impor merupakan keuntungan bagi negara (yang
waktu itu diwujudkan dalam bentuk emas).
Reaksi dari aliran itu adalah teori keunggulan komparatif
yang diperkenalkan oleh David Ricardo (1772-1823). Ricardo
menekankan spesialisasi dari hasil suatu produk. Smith menganggap
perdagangan internasional sebagai salah satu bagian dari
keunggulan komparatif (principle of comparative advantage). Teori
beliau menyatakan bahwa untuk menjadi pemain utama dalam
35
Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 1.
36
Lihat antara lain: Ademuni-Odeke, The Law of International Trade,
London: Blackstone, 1999, hlm. 3-4.
perdagangan, faktor yang penting bukanlah ukuran, tetapi
bagaimana memaksimalkan potensi.37
Contoh klasik adalah Jepang. Dari segi geografis, kekayaan
alam dan luas wilayah, Jepang relatif kurang beruntung. Tetapi
dengan kekuatan manajemen dalam perdagangan internasionalnya,
negeri ini berhasil menjadikannya sebuah negara yang paling
penting di dunia dewasa ini.
Semakin luasnya aktivitas perdagangan ini yang dewasa ini
dikenal dengan "liberalisasi perdagangan", sistem keuangan atau
pasar internasional yang stabil untuk memberikan modal untuk
melaksanakan perdagangan internasional tersebut. Karena itu,
keterkaitan antara perdagangan internasional dan sistem keuangan
atau moneter internasional menjadi semakin penting.38
Tidak terlalu mengherankan apabila masyarakat internasional
kemudian menyelenggarakan konperensi Bretton Woods guna
mendirikan Bank Dunia - IMF untuk maksud ini. Berdirinya ke-2
lembaga keuangan ini semata-mata untuk menjaga agar sistem
moneter internasional dapat terpelihara (stabil) dan juga memberi
pinjaman jangka pendek guna menanggulangi kesulitan neraca
pembayaran yang disebabkan oleh adanya defisit perdagangan
ekspor-impor negara-negara.39
Krisis keuangan internasional pada
tahun 1970-an juga telah mempertegas pentingnya hubungan erat
ini.
Dalam upaya negara-negara ini meningkatkan pertumbuhan
ekonomi mereka, dewasa ini mereka cenderung membentuk blok-blok
perdagangan baik bilateral, regional maupun multilateral. Dalam
kecenderungan ini pun peran perjanjian internasional menjadi
semakin penting.40
37
Lihat misalnya, Ademuni-Odeke, Ibid., hlm. 3-4, M. Sanson, op.cit.,
hlm. 3; Jonathan Reuvid, op.cit., para. xv.
38
Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 2.
39
Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 2.
40
Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 2.
Semakin pentingnya peran perjanjian-perjanjian di bidang
ekonomi atau perdagangan ini pun telah melahirkan aturan-aturan
yang mengatur perdagangan internasional di bidang barang, jasa
dan penamaman modal di antara negara-negara.41
Tujuan hukum perdagangan internasional sebenarnya tidak
berbeda dengan tujuan GATT (General Agreement on Tariffs and
Trade, 1947) yang termuat dalam Preambule-nya. Tujuan tersebut
adalah:
(a)untuk mencapai perdagangan internasional yang stabil dan
menghindari kebijakan-kebijakan dan praktek-praktek
perdagangan nasional yang merugikan negara lainnya.
(b)untuk meningkatkan volume perdaganan dunia dengan menciptakan
perdagangan yang menarik dan menguntungkan bagi pembangunan
ekonomi semua negara;
(c)meningkatkan standar hidup umat manusia; dan
(d) meningkatkan lapangan tenaga kerja.
Tujuan lainnya yang juga relevan adalah:
(e)untuk mengembangkan sistem perdagangan multilateral, bukan
sepihak suatu negara tertentu, yang akan mengimplementasikan
kebijakan perdagangan terbuka dan adil yang bermanfaat bagi
semua negara;42
dan
(f)meningkatkan pemanfaatan sumber-sumber kekayaan dunia dan
meningkatkan produk dan transaksi jual beli barang.43
Ada pula yang menyatakan bahwa aturan-aturan perdagangan
internasional juga pada analisis akhirnya akan menciptakan
perdamaian dan keamanan internasional. Hal ini antara lain
dinyatakan oleh Menteri Luar Negeri AS, Hull. Tesis ini tampaknya
41
Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 2.
42
Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 2. Lihat pula tujuan menurut Aleksander
Goldštajn yang menyatakan: “only deliberate regulation on the
international level will make it possible to do justice, on the basis
of equality, to the interests and general welfare of all members of the
international community.” (Aleksander Goldštajn, “The New Law of
Merchant,” (1961) JBL 12.
benar. Manakala dua atau lebih negara berhubungan dan
bertransaksi dagang dan mereka memperoleh keuntungan dari
perdagangan tersebut, otomatis keadaan dunia menjadi sedikit
banyak lebih baik. Artinya, situasi dan kondisi dunia akan
semakin kondusif.
Sebenarnya tesis Hull tersebut sudah lama dikumandangkan
oleh Immanuel Kant, yang selama ini dikenal juga sebagi bapak
hukum internasional. Dalam tulisannya berjudul ‘On Eternal
Peace,’ Kant menyatakan bahwa ‘spirit of trade could not co-exist
with war.’44
Yang juga cukup menarik adalah tesis Hull di atas juga
telah cukup lama disadari di tanah air. Salah seorang kepala suku
Bugis ternama, yaitu Amanna Gappa, juga menyadari bahwa tujuan
(unifikasi) hukum dagang adalah untuk mencegah persaingan di
antara suku bangsanya dan juga memajukan kerjasama di antara
mereka guna kesejahteraan di antara mereka.45
Terjemahan saduran
hasil penelitian terhadap suku terkenal Bugis ini yang terkenal
dengan hukum pelayaran dan dagangnya tergambarkan sebagai
berikut:
“One of thse chiefs was Amanna Gappa (=father of Gappa) who
headed his countrymen at Makassar. Most probably he was a
very intelligent and energetic man and he may have been the
first to realize the great importance of navigation and
trade for his people as the only fields of endeavour in
which they could earn a living. We may assume that this was
the bacground of his taking initiative in inviting his
colleagues from other parts of Indonesia in order to
collect the different rules which were in force in their
respective regions and to compile a uniform navigation and
trade law. By doing so he tried to prevent heavy
competition among his countrymen and to stimulate co-
operation for their own welfare.”46
(Huruf miring oleh
kami).
43
Cf., Preamble GATT dan Preamble Perjanjian WTO (Marrakesh Agreement
Establishing The World Trade Organization).
44
Lihat, Lew and Stanbrook, Interational Trade: Law and Practice, Bath:
Euromoney, 1983, hlm. Xxi.
45
Lihat lebih lanjut, PH. O.L. Tobing, op.cit., hlm. 154.
46
Lihat lebih lanjut, PH. O.L. Tobing, op.cit., hlm. 154.
Meskipun adanya tujuan bagus tersebut di atas, hukum
perdagangan internasional masih memiliki cukup banyak kelemahan.
Kelemahan tersebut tampaknya juga dapat ditemui dalam bidang-
bidang hukum lainnya, yakni terdapatnya pengecualian-pengecualian
atau klausul-klausul 'penyelamat' yang bersifat memperlonggar
kewajiban-kewajiban hukum. Kelemahan spesifik tersebut yaitu:
(a)hukum perdagangan internasional sebagian besar bersifat
pragmatis dan permisif. Hal ini mengakibatkan aturan-aturan
hukum perdagangan internasional kurang obyektif di dalam
'memaksakan' negara-negara untuk tunduk pada hukum. Dalam
kenyataannya, negara-negara yang memiliki kekuatan politis dan
ekonomi memanfaatkan perdagangan sebagai sarana kebijakan
politisnya.
(b)Aturan-aturan hukum perdagangan internasional bersifat
mendamaikan dan persuasif (tidak memaksa). Kelemahan ini
sekaligus juga kekuatan bagi perkembangan hukum perdagangan
internasional yang menyebabkan atau memungkinkan perkembangan
hukum ini di tengah krisis.47
47
Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 2-3.
D. Perkembangan Hukum Perdagangan Internasional
Dari uraian di atas tampak bahwa hukum perdagangan
internasional telah ada sejak lahirnya negara dalam arti modern.
Sejak saat itu, hukum perdagangan internasional telah mengalami
perkembangan yang cukup pesat sesuai dengan perkembangan
hubungan-hubungan perdagangan.
Dilihat dari perkembangan sumber hukumnya (dalam arti
materil), maka perkembangan hukum perdagangan internasional dapat
dikelompokkan ke dalam 3 tahap, yakni:
(1) Hukum perdagangan internasional dalam masa awal pertumbuhan.
Hukum perdagangan internasional lahir pada awalnya dari
praktek para pedagang. Hukum yang diciptakan oleh para pedagang
ini lazim disebut pula sebagai lex mercatoria (law of merchant).48
Pada awal perkembangannya ini Lex Mercatoria tumbuh dari
adanya 4 faktor berikut:
(a) lahirnya aturan-aturan yang timbul dari kebiasaan dalam
berbagai pekan raya (the law of the fairs);
(b) lahirnya kebiasaan-kebiasaan dalam hukum laut;
(c) lahirnya kebiasaan-kebiasaan yang timbul dari praktek
penyelesaian sengketa-sengketa di bidang perdagangan; dan
(d) berperannya notaris (public notary) dalam memberi pelayanan
jasa-jasa hukum(dagang).49
(2) Hukum perdagangan internasional yang dicantumkan dalam hukum
nasional
Dalam tahap perkembangan ini, negara-negara mulai sadar
perlunya pengaturan hukum perdagangan internasional. Mereka lalu
mencantumkan aturan-aturan perdagangan internasional dalam kitab
48
United Nations, Progressive Development of the Law of Internatoinal
Trade: Report of the Secretary-General of the United Nations, 1966,
para. 20; Chia-Jui Cheng (ed.), Clive M. Schmitthoff's Select Essay on
International Trade Law, Doredrecht/Boston/London: Martinus Nijhoff &
Graham & Trotman, 1988, hlm. 21.
49
Schmitthoff, “The Unification of the Law of International Trade,”
(1968) JBL 106.
undang-undang hukum (perdagangan internasional) mereka. Aturan-
aturan tersebut sedikit banyak adalah aturan-aturan yang mereka
adopsi dari lex mercatoria. Misalnya saja Perancis membuat Kitab
Undang-undang Hukum Dagang-nya (code de commerce) tahun 1807,
Jerman menerbitkan Allgemeine Handelsgezetbuch tahun 1861, dll.50
(3) Lahirnya aturan-aturan hukum perdagangan internasional dan
Munculnya Lembaga-lembaga Internasional yang mengurusi
Perdagangan Internasional.
Dalam perkembangan ketiga ini, aturan-aturan hukum
perdagangan internasional lahir sebagian besar karena dipengaruhi
oleh semakin banyaknya berbagai perjanjian internasional yang
ditandatangani baik secara bilateral, regional, maupun
multilateral.51
Secara khusus tahap ketiga ini muncul secara signifikan
setelah berakhirnya Perang Dunia II. Salah satu perjanjian
multilateral yang ditandangani pada masa ini adalah disepakati
lahirnya GATT tahun 1947. Tahap ketiga ini disebut juga dengan
tahap “internationalism”. Schmitthoff menyatakan sebagai berikut:
“We are beginning to rediscover the international character
of commercial law and the circle now contemplates itself:
the general trend of commercial law everywhere is to move
away from the restrictions of national law to a universal,
international conception of the law of international
trade.”52
Sejak berdiri hingga dewasa ini aturan-aturan perdagangan
GATT telah berkembang dan mengalami pembangunan yang cukup
penting. Bahkan dalam putaran perundingan tahun 1986-1994,
negara-negara anggota GATT telah sepakat untuk membentuk suatu
badan atau lembaga internasional baru, yaitu WTO.
Perubahan dari GATT ke WTO berdampak luas terhadap bidang
hukum perdagangan internasional. Alasannya, bidang pengaturan
50
United Nations, op.cit., para. 20; Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit.,
hlm. 48.
51
United Nations, op.cit., para. 20.
52
Schmitthoff, “The Unification of the Law of International Trade,”
(1968) JBL 108.
yang tercakup di dalam WTO sekarang ini adalah kompleks. Ia tidak
semata-mata lagi mengatur tarif dan barang, tetapi juga mengatur
jasa, hak kekayaan intelektual, penanaman modal, lingkungan,
dll.53
Ciri kedua dalam perkembangan tahap ketiga ini yakni
munculnya organisasi internasional. Salah satu badan yang
menonjol adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sebetulnya
peran PBB di bidang perdagangan internasional tidaklah langsung.
Peran PBB di bidang ekonomi dan perdagangan ini termuat dalam
pasal 1:3 Piagam PBB, yakni aturan tentang tujuan PBB yakni
mencapai kerjasama internasional di dalam antara lain
menyelesaikan masalah-masalah ekonomi internasional.
Tujuan-tujuan PBB di atas diupayakan pemenuhannya melalui
berbagai langkah berikut:
i. Negara-negara anggota PBB mendirikan the United Nations
Conference on Trade and Development (UNCTAD) pada tahun 1964.
Tujuan utamanya adalah untuk memberikan kesempatan yang lebih
besar kepada negara sedang berkembang untuk ikut serta dalam
merumuskan kebijakan-kebijakan perdagangan, dengan memperhatikan
kepentingan-kepentingan khusus negara-negara sedang berkembang
ini.54
ii. negara-negara anggota PBB mengesahkan the Charter of Economic
Rights and Duties of States pada tahun 1974 (serta disahkannya
the Declaration and Programme of Action on the Establishment of
the New International Economic Order). Pembentukan Piagam ini
diawali dengan langkah Majelis Umum PBB mengesahkan the
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights
pada tahun 1966.
53
Uraian tentang perkembangan dari GATT ke WTO, lihat antara lain: Ray
August, Internatoinal Business Law: Text, Cases and Readings, New
Jersey: Prentice Hall, 3rd
.ed., 2000, hlm. 355-360.
54
Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 6.
Dokumen-dokumen penting ini pada pokoknya mengakui dan
memberi perlakuan khusus kepada negara-negara sedang berkembang
di bidang perdagangan, keuangan dan penanaman modal.55
Ciri ketiga yang juga menonjol adalah disepakatinya
pendirian badan-badan ekonomi regional di suatu kawasan region
tertentu. Blok perdagangan regional yang mula-mula membawa
pengaaruh cukup luas adalah the European Single Market (1992) dan
segera diikuti oleh blok perdagangan Amerika Utara (The North
American Free Trade Agreeement atau NAFTA) (1994).
Di kawasan Asia Tenggara, negara-negara ASEAN mengikuti
langkah serupa dengan membentuk Asean Free Trade Area (AFTA).
AFTA berlaku efektif sejak 1 Januari 2003.56
Kecenderungan pembentukan kelompok-kelompok regional ini di
satu sisi positif. Namun di sisi lain organisasi-organisasi
regional tersebut menimbulkan kekhawatiran dari masyarakat
internasional karena terdapatnya blok-blok perdagangan tersebut
melahirkan peraturan-peraturan regional eksklusif yang ternyata
menyimpangi ketentuan-ketentuan umum yang terdapat dalam
GATT/WTO.
55
Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 6.
56
Uraian lebih lanjut mengenai AFTA ini lihat: Huala Adolf, Hukum
Ekonomi Internasional ..., op.cit., hlm. 110-124.
E. Unifikasi dan Harmonisasi Hukum Perdagangan Internasional
1. Perlunya Unifikasi dan Harmonisasi Hukum
Di atas dikemukakan bahwa negara-negara mencantumkan
atuaran-aturan hukum perdagangan internasional dalam hukum
nasionalnya. Aturan-aturan hukum nasional di bidang perdagangan
internasional ini karenanya menjadi sumber hukum yang cukup
penting dalam hukum perdagangan internasional.
Tetapi adanya berbagai aturan hukum nasional ini sedikit
banyak kemungkinan dapat berbeda antara satu sama lainnya.
Perbedaan ini kemudian dikhawatirkan akan juga mempengaruhi
kelancaran transaksi perdagangan itu sendiri.
Masalah ini sebelumnya sudah cukup lama disadari oleh
bangsa-bangsa di dunia, termasuk organisasi dunia PBB. Dalam
resolusi Majelis Umum PBB No 2102 (XX), PBB menyatakan bahwa:
"Conflicts and divergencies arising from the laws of different
states in matters relating to international trade constitute an
obstacle to the development of world trade."57
Untuk menghadapi masalah ini, sebenarnya ada 3 teknik yang
dapat dilakukan. Pertama, negara-negara sepakat untuk tidak
menerapkan hukum nasionalnya. Sebaliknya mereka menerapkan hukum
perdagangan internasional untuk mengatur hubungan-hubungan hukum
perdagangan mereka.
Kedua, apabila aturan hukum perdagangan internasional tidak
ada dan atau tidak disepakati oleh salah satu pihak, maka hukum
nasional suatu negara tertentu dapat digunakan. Cara penentuan
hukum nasional yang akan berlaku dapat digunakan melalui
penerapan prinsip choice of laws. Choice of Laws adalah klausul
pilihan hukum yang disepakati oleh para pihak yang dituangkan
dalam kontrak (internasional) yang mereka buat.58
57
United Nations, op.cit., para. 14.
58
Klausul choice of law tidak wajib sifatnya untuk harus ada dalam
kontrak-kontrak internasional. Tetapi keberadaan klausul ini akan
sedikit banyak membantu para pihak dalam penyelesaian sengketanya
(apabila sengketa memang timbul) di kemudian hari (Lihat Sudargo
Gautama, Kontrak Dagang Internasional, Bandung: Alumni, 1977, hlm. 26.
Ketiga, teknik yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan
unifikasi dan harmonisasi hukum aturan-aturan substantif hukum
perdagangan internasional.59
Teknik ketiga ini dipandang cukup
efisien. Cara ini memungkinkan terhindarnya konflik di antara
sistem-sistem hukum yang dianut oleh masing-masing negara.
Kedua kata ini hampir sama maksudnya, namun ada nuansa atau
perbedaan yang perlu untuk dicatat. Kedua kata sama-sama berarti
upaya atau proses menyeragamkan substansi pengaturan sistem-
sistem hukum yang ada. Penyeragaman tersebut mencakup
pengintegrasian sistem hukum yang sebelumnya berbeda.
Perbedaan kedua kata tersebut terletak pada derajat
penyeragaman tersebut. Dalam unifikasi hukum, penyeragaman
mencakup penghapusan dan penggantian suatu sistem hukum dengan
sistem hukum yang baru.60
Contohnya adalah pemberlakuan Perjanjian
TRIPS/WTO.
Dengan diperkenalkannya substansi bidang-bidang perjanjian
TRIPS/WTO yang mencakup ketentuan mengenai hak cipta, merek
dagang, indikasi geografis, disain industri, paten, dll.,
meletakkan kewajiban kepada negara anggota untuk membuat aturan-
aturan HAKI nasionalnya yang sesuai dengan substansi perjanjian
TRIPS/WTO.
(Sudargo Gautama menulis: “Tegaslah apabila tidak dilakukan pilihan
hukum, maka berbagai kemungkinan dan berbagai kesulitan yang akan
timbul tentang hukum yang harus dipakai ii. Maka para lawyers condong
untuk selalu menganjurkan para clientnya jangan lewati kesempatan untuk
menentukan hukum yang berlaku itu. Dan jika mungkin, maka kamu harus
selalu pakai hukum nasional dari negaramu sendiri karena ini adalah
hukum yang paling kamu kenal dan paling dikenal oleh Hakim-Hakim yang
akan mengadili perkaramu itu”).
59
United Nations, op.cit., para. 15.
60
Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 109. UNCITRAL, badan PBB yang
mengurus hukum perdagangan internasional menggambarkan perbedaan kedua
kata tersebut: “While the terms are closely interrelated,
"harmonization" may conceptually be thought of as the process through
which domestic laws may modified to enhance predictability in cross-
border commercial transactions; and "unification" may be seen as the
adoption by States of a common legal standard governing particular
aspects of international business transactions.”
(http://www.uncitral.org/en-index.htm).
Harmonisasi hukum tidak sedalam unifiksi hukum. Tujuan
utama harmonisasi hukum hanya berupaya mencari keseragaman atau
titik temu dari prinsip-prinsip yang bersifat fundamental dari
berbagai sistem hukum yang ada (yang akan diharmonisasikan).61
Untuk dapat melaksanakan unifikasi dan harmonisasi hukum
ini karenanya hanya dapat dicapai oleh para ahli hukum yang
mendalami atau menguasai perbandingan hukum. Upaya ini dapat
dilakukan oleh suatu tim ahli perbandingan hukum yang terdiri
dari para ahli hukum yang berlatar belakang sistem hukum yang
berbeda-beda yang hendak diupayakan unifikasi dan harmonisasi
hukumnya.
Dalam upaya unifikasi dan harmonisasi hukum, masalah
esensialnya adalah bagaimana metode yang akan diterapkannya.
Dalam kaitan itu, masalah-masalah mengenai perbedaan konsepsi dan
perbedaan bahasa yang terdapat dalam berbagai sistem hukum
tersebut hanya dapat ditanggulangi dengan cara menerapkan metoda
komparatif.62
Menurut Schmitthoff, dalam metode komparatif, dikenal 3
metode, yaitu metode dengan memberlakukan:
a. perjanjian/konvensi internasional (international convention);
b. hukum seragam (uniform laws); dan
c. aturan seragam (uniform rules).63
Ad. a. Perjanjian atau Konvensi Internasional
Penerapan atau pemberlakuan perjanjian atau konvensi
internasional adalah cara yang paling banyak digunakan dalam
61
Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 109.
62
Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 109.
63
Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 110. Cf., Katerina Pistor
mengemukakan pula (1) perjanjian bilateral sebagai instrumen untuk
unifikasi hukum (bandingkan dengan perjanjian internasional dari konsep
Schmitthoff); dan (2) aturan-aturan yang bersifat rekomendatif
(bandingkan dengan uniform laws and uniform rules-nya Schmitthoff).
(Katerina Pistor, "The Standardization of Law and Its Effect on
Developing Countries," 50 Am.J.Comp.L. 97 (2002). Pistor mengungkapkan
pula, dengan adanya upaya ini maka biaya utnuk transaksi dagang dapat
menjadi berkurang. Selain itu, yang juga penting, unifikasi hukum dapat
mencapai unifikasi hukum. Cara ini dipandang tepat untuk
memperkenalkan suatu ketentuan hukum yang bersifat memaksa ke
dalam sistem hukum nasional.64
Pemberlakuan perjanjian TRIPS/WTO
di atas merupakan salah satu contoh.
Gambaran lainnya adalah CISG 1980 atau Konvensi mengenai
Kontrak Jual Beli Barang Internasional. Konvensi ini dapat
dipandang sebagai upaya mengunifikasi hukum kontrak jual beli
barang internasional. Para perancang konvensi ini telah berupaya
mengkawinkan prinsip-prinsip kontrak yang dikenal dalam sistem
hukum Civil Law dan sistem hukum Common Law.
Salah satu pembatasan cara ini adalah adanya kehendak dari
sesuatu negara untuk mengikatkan diri atau meratifikasi
perjanjian atau konvensi internasional tersebut. Dalam
kenyataannya, untuk mencapai kehendak tersebut banyak bergantung
pada faktor ekonomi, politis, juridis, dll.
b. Hukum seragam (Uniform Laws)
Hukum seragam tidak lain adalah model-model hukum yang
dapat kita lihat misalnya dalam model hukum arbitrase UNCITRAL
1985 (Model Law on International Commercial Arbitration). Model
hukum ini memberikan keleluasaan kepada negara-negara yang hendak
menerapkannya ke dalam hukum nasionalnya.
Keleluasaan tersebut mencakup keleluasaan kepada negara
yang bersangkutan apakah akan menerapkan secara penuh aturan-
aturan substantif Model Law. Kemungkinan lain, negara tersebut
memutuskan untuk menerapkannya dengan melakukan beberapa revisi
atau menerapkan beberapa pengecualian terhadap aturan-aturan di
dalamnya.
Sifat hukum seragam tidak mengikat. Ia hanya bersifat
persuasif. Karena itu derajat pengadopsian atau penerapannya
sangat bergantung kepada masing-masing negara. Model hukum ini
memberi sumbangan bagi perbaikan kualitas (lembaga-lembaga) hukum di
suatu negara (ibid).
64
Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 110.
karena itu berbeda dengan perjanjian atau konvensi internasional.
Pada saat suatu negara turut serta, aksesi atau meratifikasi
suatu perjanjian atau konvensi internasional, maka pada
prinsipnya seluruh aturan perjanjian mengikat negara tersebut.
c. Aturan Seragam (Uniform Rules)
Aturan-aturan seragam lebih rendah tingkatannya daripada
hukum seragam (Uniform Laws). Bentuk aturan seragam tampak antara
lain dalam modal-model kontrak standar atau kontrak baku. Contoh
bentuk aturan seperti ini adalah the Uniform Customs and Practice
for Documentary Credits (1974) yang dikeluarkan oleh ICC. Aturan
hukum ini telah diterapkan dan dipraktekkan oleh para subyek
hukum perdagangan internasional di dunia.65
Bentuk lainnya adalah klausul standar (baku) yang
dicantumkan oleh para pihak dalam kontrak-kontrak yang mereka
buat.66
Tidak jarang pula lembaga-lembaga atau asosiasi-asosiasi
memperkenalkan klausul-klausul yang perlu dicantumkan dalam suatu
kontrak apabila para pihak hendak memanfaatkan fasilitas lembaga
atau asosiasi yang bersangkutan.
Hal ini antara lain banyak ditemui dalam klausul-klausul
arbitrase baik nasional maupun asing. Klausul-kluasul standar
arbitrase tersebut dimaksudkan agar para pihak tidak perlu lagi
merancang klausul choice of forum-nya, dalam hal ini arbitrase.67
Bagaimana unifikasi dan harmonisasi dapat bekerja, agak
sulit untuk dipaparkan di sini. Namun demikian, Katerina Pistor,
guru besar di Columbia Law School, mengemukakan istilah yang
dinamakannya standardization of law (standardisasi hukum).
Maksud standardisasi di sini mengacu kepada suatu tahap
dari kekhususan dari suatu hukum (the level of specificity of
law). Standar hanya mencakup prinsip-prinsip hukum (legal
65
Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 111.
66
Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 111.
67
Lihat Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional, Jakarta:
Rajagrafindo, cet. 3, 2003.
principles), bukan atau tidak aturan-aturan hukumnya (legal
rules).68
Upaya unifikasi dan harmonisasi hukum ini telah cukup
serius dilakukan khususnya oleh the World Trade Organization
(WTO), the International Institute for the Unification of Private
Law (UNIDROIT), The Hague Conference of Private International Law
dan PBB khususnya the United Nations Commission on International
Trade Law (UNCITRAL) dan the United Nations Conference on
International Trade and Law (UNCTAD).
Di samping itu terdapat pula lembaga-lembaga internasional
non-pemerintah yang juga berkepentingan dengan upaya unifikasi
dan harmonisasi hukum perdagangan internasional, yakni, antara
lain, International Chamber of Commerce (ICC atau Kamar Dagang
Internasional), dan International Law Association (ILA atau
Asosiasi Hukum Internasional).69
2. Lembaga-lembaga yang Bergerak dalam Unfikasi dan Harmoniasi
Hukum
Berikut adalah uraian secara ringkas beserta upaya badan-
badan atau organisasi-organisasi internasional tersebut di bidang
unifikasi dan harmonisasi hukum perdagangan internasional. Tidak
semua upaya badan atau organisasi internasional akan diuraikan.
Pembahasan dibatasi pada WTO, UNCITRAL, UNIDROIT dan ICC.
68
Katarina Pistor, op.cit., hlm 97.
69
Schmitthoff, op.cit., “Commercial Law,” hlm. 24 (beliau mengemukakan
formulating agencies dalam mengupayakan unifikasi hukum perdagangan
internasional, yaitu: (1) UNCITRAL; (2) The International Institute for
the Unification of Private Law (UNIDROIT, Rome); (3) The Hague
Conference on Private International Law (The Hague); dan (4) The
Council for Mutual Economic Assistance (CMEA, Moscow). Sedangkan
organisasi internasional swasta (non pemerintah) yaitu: (5) ICC; (6)
The International Maritime Committee (IMC, Antwerp); dan (7) The
International Law Association (ILA, London).
a. World Trade Organization (WTO)
1. Pengantar
World Trade Organization atau WTO dihasilkan dari Putaran
Uruguay GATT (1986-1993). Organisasi ini memiliki kedudukan yang
unik karena ia berdiri sendiri dan terlepas dari badan kekhususan
PBB.
Pembentukan WTO ini merupakan realisasi dari cita-cita lama
negara-negara pada waktu merundingkan GATT pertama kali (1948).
Yakni hendak mendirikan suatu organisasi perdagangan internasional
(yang dulu namanya adalah International Trade Organization atau
ITO).
Struktur WTO akan dikepalai oleh suatu badan tertinggi yang
disebut Konperensi Tingkat Menteri (Ministerial Conference). Badan
ini akan bersidang sedikitnya sekali dalam dua tahun. Badan ini
terdiri dari para perwakilan dari semua anggota WTO. Semua
keputusan mengenai kebijakan yang berkaitan dengan perdagangan
multilateral dilakukan melalui badan ini.
Untuk pelaksanaan pekerjaannya sehari-hari, badan tertinggi
ini dibantu oleh badan-badan kelengkapan utama, yaitu Dewan Umum
(General Council) yang terdiri dari semua anggota WTO. Badan ini
bertugas memberikan laporan mengenai kegiatan-kegiatannya kepada
the Ministerial Conference.
General Council memiliki dua fungsi lainnya. Pertama, sebagai
suatu Badan Penyelesaian sengketa (Dispute Settlement Body).
Fungsi kedua, sebagai badan peninjau kebijakan perdagangan negara-
negara anggota GATT (Trade Policy Review Body).
Selain itu, badan ini juga bertugas mengamati masalah-masalah
perdagangan yang akan dicakup oleh WTO. Ia akan menetapkan tiga
badan subsider yakni The Council for Trade in Goods, Council for
Trade in Services, dan Council for TRIPs.
The Council for Trade in Goods mengawasi pelaksanaan dan
berfungsinya semua perjanjian mengenai perdagangan barang (Annex
1A Perjanjian WTO) meskipun sebetulnya untuk perjanjian-pejanjian
tertentu umumnya mereka memiliki badan pengawasnya sendiri. Dua
dewan lainnya memiliki tanggung jawabnya masing-masing berkaitan
dengan perjanjian WTO dan badan-badan tersebut dapat mendirikan
badan-badan subsider lainnya manakala dipandang perlu.
Tiga badan lainnya didirikan oleh the Ministerial Conference
dan mereka melaporkan pekerjaannya kepada the General Council.
Ketiga badan tersebut adalah the Committee on Trade and
Development, yakni badan yang bertanggung jawab untuk masalah-
masalah yang terdapat di negara-negara sedang berkembang. Kedua,
the Committee on Balance of Payments bertanggung jawab untuk
menyelenggarakan konsultasi di antara negara-negara anggota WTO
dan negara-negara yang melaksanakan tindakan-tindakan restriktif
perdagangan (Pasal XII dan XVII GATT), yakni tindakan- tindakan
untuk menghadapi kesulitan-kesulitan neraca pembayarannya.
Ketiga, the Committee on Budget, Finance and Administration
bergerak dalam mengatur masalah-masalah keuangan dan anggaran
WTO.70
Di samping badan-badan tersebut, WTO membentuk pula badan-
badan khusus yang mengawasi pelaksanaan perjanjian-perjanjian
plurilateral (yang sifatnya sukarela), yakni badan untuk
perdagangan pesawat udara sipil, badan untuk pengadaan barang
pemerintah (government procurement), badan untuk produk susu dan
daging (dairy products and bovine meat). Badan-badan khusus ini
melaporkan tugas-tugasnya kepada the General Council.
Sekretariat WTO berkedudukan di Jenewa, Swiss. Sampai tulisan
ini dibuat, Sekretariat WTO memiliki sekitar 450 staf dan diketuai
oleh seorang Direktur Jenderal (Diretor General) dan 4 orang
pembantu Direktur Jenderal.
Dalam membuat putusan, WTO melanjutkan praktek yang telah
lama dilakukan dalam GATT, yaitu melalui konsensus. Namun dalam
hal konsensus ini gagal, maka putusan akan diambil melalui
pemungutan suara atau voting.
70
WTO, Trading into the Future,.Geneva, 1995, hlm. 13.
Di samping itu, ada 4 hal atau situasi dalam perjanjian WTO
yang memungkinkan dilakukannya voting. Pertama, mayoritas 2/3 dari
anggota WTO diperlukan untuk mengesahkan suatu penafsiran
perjanjian perdagangan multilateral.
Kedua, mayoritas 2/3 dari anggota WTO diperlukan bagi the
Ministerial Conference untuk memutuskan penanggalan suatu
kewajiban yang dikenakan terhadap suatu negara oleh suatu
perjanjian multilateral.
Ketiga, keputusan untuk merubah ketentuan perjanjian
multilateral dapat disahkan melalui kesepakatan seluruh anggotanya
atau melalui mayoritas 2/3 dari anggota WTO. Perubahan-perubahan
demikian hanyalah berlaku bagi negara-negara yang menerimanya
saja.
Keempat, suatu mayoritas 2/3 dari negara anggota WTO
diperlukan untuk menerima masuknya suatu negara menjadi anggota
WTO.71
2. Kebijakan Unifikasi dan Harmonisasi WTO
WTO adalah salah satu contoh yang telah di sebut di atas,
di mana unifikasi aturan-aturan atau hukum perdagangan
internasional diterapkan terhadap negara-negara anggotanya. Pasal
XVI Perjanjian Pembentukan WTO menyatakan: "Each member shall
ensure the conformity of its laws, regulations and administrative
procedures with its obligations as provided in the annexed
Agreements." (Pasal XVI ayat 4 Agreement Establishing the World
Trade Organization).
Ketentuan pasal tersebut menjadi indikator penting
bagaimana WTO mewajibkan negara-negara anggotanya untuk
menyesuaikan aturan-aturan atau hukum perdagangannya dengan
aturan-aturan yang termuat dalam Annex perjanjian WTO. Bahkan
ketentuan pasal XVI tersebut juga mewajibkan negara anggotanya
untuk menyesuaikan administrative procedures-nya (birokrasi)
sesuai dengan administrative procedure-nya WTO.
71
WTO, Trading into the Future, Geneva, 1995, hlm. 14.
3. Perjanjian-perjanjian di Bawah Piagam WTO
Perjanjian-perjanjian yang termuat dalam lampiran (Annex)
WTO adalah perjanjian dalam TRIPS (telah diuraikan secara singkat
di atas). Perjanjian-perjanjian lainnya adalah:
GATT 1994; Agreement on Agriculture; Sanitary and Phytosanitary
Measures; Textiles and Clothing; Technical Barriers to Trade;
Trade-Related Investment Measures (TRIMs); Anti-dumping (Article
VI of GATT 1994); Customs valuation (Article VII of GATT 1994);
Preshipment Inspection; Rules of Origin; Import Licensing;
Subsidies and Countervailing Measures; Safeguards; General
Agreement on Trade in Services (GATS); Trade-Related Aspects of
Intellectual Property Rights (TRIPS); Dispute Settlement
Understanding.
Sebenarnya di samping unifikasi hukum, WTO juga berupaya
mendorong harmonisasi hukum, termasuk harmonisasi standar-standar
teknis-nya. Upaya harmonisasi ini telah lama diupayakan GATT
(pendahulu WTO). Pada tahun 1979, GATT berhasil mengeluarkan The
GATT Code on Technical Standards (Standard Code).
Aturan Standard Code ini mendorong negara-negara anggotanya
untuk mengharmonisasikan standar-standar produk domestiknya.
Upaya ini ditempuh agar kebijakan negara-negara mengenai standar
produk tidak malah menjadi penghalang bagi perdagangan dunia.72
Perjanjian lainnya yang dapat digolongkan ke dalam
harmonisasi hukum adalah perjanjian-perjanjian yang berada di
bawah 'Plurilateral Agreement'(Annex 4 Perjanjian WTO).
Perjanjian-perjanjian ini adalah: Agreement on Trade in Civil
Aircraft (Annex 4 (a)); Agreement on Government Procurement
(Annex 4 (b)); International Dairy Agreement (Annex 4 (c));
International Bovine Meat Agreement (Annex 4 (d)).
72
Michael Trebilcock and Robert Howse, The Regulation of International
Trade, London: Routledge, 1995, hlm. 29.
b. The International Institute for the Unification of Private Law
(UNIDROIT).
1. Pengantar
The International Institute for the Unification of Private
Law (UNIDROIT) adalah sebuah organisasi antar pemerintah yang
sifatnya independen. UNCITRAL dibentuk pada tahun 1926 sebagai
suatu badan pelengkap Liga Bangsa-Bangsa (LBB). Sewaktu LBB
bubar, UNIDROIT dibentuk kembali pada tahun 1940 berdasarkan
suatu perjanjian multilateral yakni Statuta UNIDROIT (the
UNIDROIT Statute). UNIDROIT berkedudukan di kota Roma.
Tujuan utama pembentukannya adalah melakukan kajian untuk
memodernisasi, mengharmonisasi dan mengkoordinasikan hukum
privat, khususnya hukum komersial (dagang) di antara negara atau
di antara sekelompok negara.
Keanggotaan UNIDROIT terbatas hanya untuk negara-negara
yang menundukkan dirinya kepada Statuta UNIDROIT. Negara-negara
ini berasal dari 5 benua dan mewakili berbagai sistem hukum,
ekonomi, politik dan budaya yang berbeda.
Dewasa ini UNIDROIT memiliki 59 negara anggota, yakni:
Argentina, Australia, Austria, Belanda, Belgium, Bolivia, Brazil,
Bulgaria, Canada, Chile, China, Colombia, Croatia, Cuba, Cyprus,
Republik Czech, Denmark, Mesir, Estonia, Federasi Rusia
Finlandia, Perancis, Jerman, Holy See (Tahta Suci), Hungaria,
India, Iran, Iraq, Ireland, Israel, Italy, Japan, Luxembourg,
Malta, Mexico, Nikaragua, Nigeria, Norwegia, Pakistan, Paraguay,
Poland, Portugal, Republik Korea, Romania, San Marino, Slovakia,
Slovenia, Africa Selatan, Spanyol, Swedia, Swiss, Tunisia, Turki,
Inggris, Amerika Serikat, Uruguay, Venezuela, Yugoslavia (Federal
Republic of), Yunani.
2. Kebijakan Harmonisasi dan Unifikasi UNIDROIT
Tujuan utama UNIDROIT sebenarnya adalah mempersiapkan
harmonisasi aturan-aturan hukum privat. Upaya ini dipandang
penting mengingat perkembangan teknologi baru, praktek-praktek
pedagangan, dll memerlukan aturan hukum yang baru. Biasanya
aturan-aturan baru tersebut juga dibuat oleh negara-negara.
Masalahnya adalah peraturan tersebut bisa saja berbeda antara
satu aturan hukum dengan aturan hukum lainnya. Karen itu aturan
tersebut perlu diharmonisasi, atau bahkan diunifikasi guna
memperlancar perdagangan internasional.
Masalahnya adalah harmonisasi atau unifikasi hukum tersebut
banyak bergantung kepada keinginan dan kerelaan negara-negara
untuk mau menerimanya.
Meskipun menyadari adanya kesulitan upaya tersebut,
UNIDROIT memiliki kedudukannya yang menguntungkan sebagai
organsiasi antar pemerintah. Dalam kaitan ini, UNDIROIT
menerapkan pemberlakuan konvensi atau perjanjian internasional
yang mensyaratkan penerimaan dari negara-negara anggotanya.
Tujuannya adalah menerapkan aturan-aturan konvensi tersebut ke
dalam sistem hukum negara-negara anggota yang menundukkan dirinya
kepada konvensi tersebut.
Penerimaan suatu aturan konvensi oleh negara akan jauh
lebih memudahkan pemberlakuan aturan-aturan konvensi tersebut ke
dalam wilayah negara anggotanya (termasuk kepada warga negara
atau subyek-subyek hukum di wilayah negara tersebut).
3. Konvensi atau Perjanjian Yang Dihasilkan UNIDROIT
Selama berdiri UNIDROIT telah melakukan lebih dari 70
kajian. Kajian-kajian ini ada yang telah menghasilkan berbagai
perjanjian atau konvensi internasional berikut:
(1) Convention relating to a Uniform Law on the Formation of
Contracts for the International Sale of Goods (The Hague
1964);
(2) Convention relating to a Uniform Law on the International
Sale of Goods (The Hague, 1964);
(3) International Convention on the Travel Contract (Brussels,
1970);
(4) Convention providing a Uniform Law on the Form of an
International Will (Washington, 1973);
(5) Convention on Agency in the International Sale of Goods
(Geneva, 1983);
(6) UNIDROIT Convention on International Financial Leasing
(Ottawa, 1988);
(7) UNIDROIT Convention on International Factoring (Ottawa,
1988);
(8) UNIDROIT Convention on Stolen or Illegally Exported Cultural
Objects (Rome, 1995);
(9) Convention on International Interests in Mobile Equipment
(Cape Town, 2001);
(10) Protocol to the Convention on International Interests in
Mobile Equipment on Matters specific to Aircraft Equipment
(Cape Town, 2001).
c. The United Nations Commission on International Trade Law
(UNCITRAL)73
1. Pengantar
1. The United Nations Commission on International Trade Law
(UNCITRAL) adalah badan kelengkapan khusus dari Majelis Umum PBB.
Badan ini dibentuk pada tahun 1966. Pembentukannya didasarkan
pada Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 2205 (XXI) tanggal 17
Desember 1966.
Tugas utamanya adalah mengurangi perbedaan-perbedaan hukum
di antara negara-negara anggota yang dapat menjadi rintangan bagi
perdagangan internasional. Untuk melaksanakan tugas tersebut
UNCITRAL berupaya memajukan perkembangan harmonisasi dan
unifikasi hukum perdagangan internasional secara progresif (the
progressive harmonization and unification of the law of
international trade).
Sejak berdiri UNCITRAL telah mempersiapkan berbagai
Konvensi, Model Hukum dan instrumen hukum lainnya yang mengatur
transaksi perdagangan atau aspek-aspek hukum bisnis lainnya yang
memiliki pengaruh terhadap perdagangan internasional.
2. Kebijakan Harmonisasi dan Unifikasi UNCITRAL
Dua kata harmonisasi dan unifikasi di atas memiliki
pengertian tersendiri bagi UNICTRAL. UNCITRAL beranggapan mandat
"Harmonization" dan "unification" hukum perdagangan
internasional ini dimaksudkan agar perdagangan internasional
dapat berlangsung secara lancar. Hal ini penting mengingat
perdagangan internasional acapkali terhalang atau tidak lancar
karena faktor-faktor seperti tidak adanya kepastian hukum (lack
of a predictable governing law), hukum yang ada sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan jaman.
73
http://www.uncitral.org/en-index.htm. Lihat pula: Gerold Hermann,
“United Nations Commission on International Trade Law,” dalam: R.
Bernhardt (ed.), Encyclopedia of Public International Law: Instalment
5, 1983, hlm. 298-301; Schmitthoff, op.cit., Commercial Law, hlm. 24-
25.
Karena itu upaya badan ini tidak lain adalah berupaya
membuat produk atau instrumen hukum yang modern yang dapat
memberi kebutuhan hukum untuk memperlancar perdagangan
internasional dan perkembangan ekonomi dunia.74
UNCITRAL merancang dan mengesahkan setiap instrumen hukum.
Dalam upaya ini, tidak semua negara anggota UNCITRAL turut serta.
Hanya negara-negara tertentu saja yang merupakan wakil dari
region-regiona di dunia.75
Pihak lain yang juga dapat turut serta dalam proses
perancangan tersebut adalah LSM internasional atau organisasi-
organisasi antar pemerintah yang berminat. Keputusan untuk
mengesahkan instrumen hukum dilakukan secara konsensus.
Instrumen hukum yang dirancang UNCITRAL bisa berupa
legislative texts umumnya berupa Konvensi.76
Legislative texts
74
Cf., mirip mandatnya dengan UNIDROIT., supra.
75
Terdapat lima kelompok regional yang terwakili dalam UNCITRAL. Mereka
adalah: (1) Negara-negara Afrika, yakni: Benin, Burkina Faso,
Cameroon, Kenya, Morocco, Rwanda, Sierra Leone, Sudan and Uganda; (2)
Negara-negara Asia:- China, Fiji, India, Iran (Islamic Rep. of), Japan,
Singapore, and Thailand; (3) Negara-negara Eropa Timur: Hungary,
Lithuania, Romania, Russian Federation, The former Yugoslav Republic of
Macedonia; (4) Amerika Latin dan Karibia: Argentina, Brazil, Colombia,
Honduras, Mexico, Paraguay and Uruguay; (5) Eropa Barat dan Lainnya:-
Austria, Canada, France, Germany, Italy, Spain, Sweden, United States
of America and United Kingdom.
76
Konvensi tersebut adalah: Convention on the Limitation Period in the
International Sale of Goods (New York, 1974); United Nations Convention
on Contracts for the International Sale of Goods (Vienna, 1980); United
Nations Convention on the Carriage of Goods by Sea, 1978 (Hamburg
Rules); United Nations Convention on the Liability of Operators of
Transport Terminals in International Trade (1991); United Nations
Convention on International Bills of Exchange and International
Promissory Notes (New York, 1988); United Nations Convention on
Independent Guarantees and Stand-by Letters of Credit New York, 1995);
Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards
(New York 1958) (the "New York" Convention); United Nations Convention
on Contracts for the International Sale of Goods (Vienna 1980) ("CISG");
Convention on the Limitation Period in the International Sale of Goods
(New York 1974); United Nations Convention on International Bills of
Exchange and International Promissory Notes (New York, 1988); United
Nations Convention on Independent Guarantees and Stand-by Letters of
Credit (New York, 1995); United Nations Convention on the Assignment of
Receivables in International Trade (2001); United Nations Convention on
the Carriage of Goods by Sea (1978) (the "Hamburg Rules"); United
misalnya saja: United Nations Convention on Contracts for the
International Sale of Goods; Convention on the Limitation Period
in the International Sale of Goods; United Nations Convention on
Independent Guarantees and Stand-by Letters of Credit; United
Nations Convention on International Bills of Exchange and
International Promissory Notes; United Nations Convention on the
Carriage of Goods by Sea, 1978 (Hamburg); United Nations
Convention on the Liability of Operators of Transport Terminals
in International Trade; and the United Nations Convention on the
Assignment of Receivables in International Trade.
Sedangkan instrumen hukum lainnya berupa legislative guides
dan non-legislative guides. Legislative guides misalnya adalah
instrumen-instrumen hukum berupa model law dan rules. Instrumen
ini merupakan instrumen yang tidak mengikat negara anggota.
Negara anggota bebas untuk mengikui atau tidak mengikuti
legislative guides tersebut.
Non-legislative texts adalah instrumen hukum lainnya yang
sifatnya juga tidak mengikat. Contoh instrumen hukum seperti ini
misalnya saja: UNCITRAL Arbitration Rules; UNCITRAL Conciliation
Rules; UNCITRAL Notes on Organizing Arbitral Proceedings;
UNCITRAL Legal Guide on Drawing Up International Contracts for
the Construction of Industrial Works; and UNCITRAL Legal Guide on
International Countertrade Transactions.
Nations Convention on the Liability of Operators of Transport Terminals
in International Trade (Vienna, 1991).
d. Kamar Dagang Internasional (ICC)77
1. Pengantar
The International Chamber of Commerce (ICC) didirikan pada
tahun 1919. Badan ini berkedudukan di Paris. Tujuannya pada waktu
itu, dan sampai sekarang masih terus berlaku, adalah melayani
dunia usaha dengan memajukan perdagangan, penanaman modal,
membuka pasar untuk barang dan jasa, serta memajukan aliran modal
(to serve world business by promoting trade and investment, open
markets for goods and services, and the free flow of capital).
Selama ini ICC dipandang sebagai corongnya dunia usaha
(pengusaha) untuk pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja,
dan kemakmuran. Peran ini sangat penting dalam kaitannya dengan
keadaan dunia saat ini. Negara-negara di dunia kerap membuat
kebijakan atau keputusan-keputusan yang dapat mempengaruhi
perdagangan. Karena itulah, peran atau adanya suatu badan dunia
yang menyuarakan para pedagang yang terkena oleh kebijakan atau
keputusan (suatu) negara menjadi sangat penting. Untuk itu, ICC
memiliki akses langsung kepada pemerintah negara-negara di dunia
melalui national committee ICC (KADIN Nasional) yang terdapat
hampir di setiap negara di dunia.
Peran penting lain ICC adalah sebagai badan dalam membuat
kebijakan-kebijakan atau aturan-aturan yang dapat memfasilitasi
perdagangan internasional. Peran lain yang juga cukup penting
adalah:
(1) sebagai forum penyelesaian sengketa khususnya melalui
arbitrase;78
77
http://www.iccwbo.org/home/menu_what_is_icc.asp; Schmitthoff,
op.cit., Commercial Law, hlm. 24-25.
78
ICC memiliki badan arbitrase serta aturan (rules) arbitrasenya. The
ICC International Court of Arbitration terbentuk pada tahun 1923 atas
jasa Presiden ICC pertama, yaitu Etienne Clémentel, mantan menteri
perdagangan Perancis. Badan arbitrase ICC telah terkenal menjadi badan
penyelesaian sengketa bisnis ternama. Pada tahun 2002 saja badan
arbitrase ICC menerima 590 kasus atau kira-kira 50 kasus per bulan.
(http://www.iccwbo.org/home/menu_what_is_icc.asp).
(2) sebagai forum untuk menyebarluaskan informasi dan kebijakan
serta aturan-aturan hukum dagang internasional di antara
pengusaha-pengusaha di dunia; dan
(3) memberikan pelatihan-pelatihan dan teknik-teknik dalam
merancang kontrak serta keahlian-keahlian praktis lainnya
dalam perdagangan internasional.
2. Kebijakan Harmonisasi Hukum ICC
ICC tidak berupaya menciptakan unifikasi hukum. Kebijakan
yang ditempuhnya adalah memberikan aturan-aturan dan standar-
standar (Rules and Standards) di bidang hukum perdagangan
internasional. Kedua bentuk aturan ini sifatnya tidak mengikat.
Hal ini sebenarnya tidak terlepas dari pendirian ICC bahwa
dunia usaha sebaiknya tidak atau dipengaruhi sedikit mungkin oleh
campur tangan penguasa (pemerintah). ICC karenanya tidak mau
menjadi penguasa seperti itu. Ia berpendirian, biarlah dunia
usaha saja yang mengatur atau membuat aturan bagi mereka sendiri.
Dana turan-aturan yang sifatnya atau yang datang dari luar,
termasuk aturan-aturan yang dibuat ICC, haruslah bersfiat
sukarelah saja.
Namun demikian aturan-aturan ICC (termasuk standar-standar
ICC) ini memiliki pengaruh yang cukup tinggi. Bahkan beberapa
aturan (Rules)-nya telah diikuti dengan sukarela dan seksama oleh
para pelaku dagang, seperti misalnya perbankan. Bahkan standar-
standar yang dikeluarkan oleh ICC telah banyak dimasukkan ke
dalam kontrak-kontrak dagang yang dibuat oleh para pelaku bisnis.
3. Aturan-aturan dan Standar yang Dikeluarkan ICC
Dewasa ini ICC memiliki 16 Komisi para ahli yang berasal
dari sektor swasta. Para ahli ini terdiri berbagai bidang
keahlian di bidang bisnis internasional. Keahlian bidang mereka
antara lain mencakup teknis-teknis perbankan (jasa keuangan),
perpajakan, hukum persaingan, telekomunikasi, HAKI, teknologi
informasi, pengangkutan (udara dan laut), penanaman modal dan
kebijakan perdagangan.
Para ahli dalam komisi-komisi tersebut berperan cukup
penting dalam merumuskan kebijakan, aturan-aturan dan standar-
standar yang digunakan atau diterapkan terhadap perdagangan
internasional, termasuk kontrak internasional, meskipun sifatnya
tidak mengikat.
Maksud utama dengan adanya aturan-aturan tersebut adalah
untuk mempermudah perusahaan-perusahaan atau para pedagang di
seluruh dunia untuk bertransaksi dagang. Selain itu yang juga
penting adalah untuk mempermudah mereka membuat kontrak-kontrak
dagang.
Selama ini, aturan-aturan yang sifatnya tidak mengikat atau
sukarelah tersebut adalah:79
(1) ICC International Code on Sponsorship (September 2030);
(2) Compendium of ICC Rules on Children and Young People and
Marketing (April 2003);
(3) Rules for Expertise (Januari 2003);
(4) Paction - the online model sales contract application
Create, negotiate and sign your model contracts online, 2002
(5) ICC DOCDEX Rules (Oktober 1997 dan Maret 2002);
(6) ICC International Code of Sales Promotion (Mei 2002);
(7) GUIDEC II: General Usage for International Digitally Ensured
Commerce (Oktober 2001); dan GUIDEC I (6 November 1997);
(8) Compendium of Rules for Users of the Telephone in Sales,
Marketing and Research (Juni 2001);
(9) ICC International Code of Direct Marketing (September 1998
dan Juni 2001);
(10) ICC International Code of Direct Selling (Juni 1999);
(11) ICC Rules of Conduct to Combat Extortion and Bribery (1999);
(12) ICC Recommended Code of Practice for Competition Authorities
on Searches and Subpoenas of Computer Records (16 Oktober
1998);
(13) Model Clauses for use in Contracts involving Transborder Data
Flows (23 September 1998);
(14) ICC Guidelines on Advertising and Marketing on the Internet
(April 1998);
(15) The Rules of Arbitration of the ICC (1 Januari 1998);
79
<http://www.iccwbo.org/home/statements_rules/menu_rules.asp>
(16) ICC International Code of Advertising Practice (April 1997);
(17) ICC International Customs Guidelines (10 Juli 1997);
(18) The Business Charter for Sustainable Development (1996);
(19) Rules for Pre-arbitral referee, (1 Januari 1990);
(20) The Uniform Customs and Practice for Documentary Credits
(UCP) 1933 dan 1994.
(21) The International Commercial Terms (Incoterms) (1936, 2000).
Dua produk hukum ICC yang disebut terakhir, yaitu UCP dan
Incoterms perlu mendapat sedikit catatan. UCP mengalami beberapa
kali revisi. Revisi terakhir adalah UCP 500, yang mulai berlaku
Januari 1994. UCP telah digunakan oleh bank di seluruh dunia.
Suatu tambahan terhadap UCP 500, yaitu the eUCP, ditambahkan pada
tahun 2002. eUCP mengatur penampilan semua atau sebagian doumen
elektronik.
Incoterms dibentuk untuk memberikan definisi baku secara
universal mengenai istilah-istilah yang digunakan dalam transaksi
perdagangan internasional, seperti misalnya Ex quay, CIF dan FOB.
Seperti halnya UCP, Incoterms telah mengalami beberapa revisi.
Revisi terakhir dilakukan pada tahun 2000 (Incoterms 2000), yang
mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2000.
Schmitthoff memuji peran badan ini dalam upayanya
merumuskan unifikasi hukum perdagangan internasional dengan
menyatakan bahwa “(ICC) contribution to the unification of
international trade law has been singular successful.”80
Sebagai catatan akhir dari bagian ini, penting pula
mengutip nasihat Schmitthoff. Beliau melihat keberadaan lembaga-
lembaga internaisonal yang berupaya mengunifikasi aturan-aturan
perdagangan internasional ini adalah positif. Namun beliau
mengingatkan agar lembaga-lembaga ini harus saling kerjasama agar
upaya unifikasi efektif.81
80
Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 213.
81
Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 214.
F. Penutup
Dari uraian di atas tampak bahwa hukum perdagangan
internasional adalah bidang hukum yang sangat luas ruang
lingkupnya. Hal ini sudah barang tentu merupakan tantangan bagi
para mahasiswa dan sarjana hukum untuk mendalami bidang ini.
Dari perkembangannya, tersirat pula pertumbuhan bidang
hukum ini yang sudah ada sejak manusia mulai merasakan
kekurangannya dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Untuk itu
manusia mulai berdagang. Metode transaksi awalnya sangatlah
sederhana: barter atau tukar menukar. Dalam perkembangannya,
orang sudah transaksi dengan menerapkan teknologi canggih:
perdagangan dengan sarana telekomunikasi.
Canggihnya transaksi perdagangan merupakan tantangan bagi
hukum perdagangan internasional. Bidang hukum ini ditantang untuk
mengakomodasi perkembangan cepat ini melalui aturan-aturan
hukumnya. Adanya aturan-aturan ini sangat dibutuhkan bagi pelaku
perdagangan untuk adanya kepastian hukum, sekaligus mendapatkan
perlindungan hukumnya.
Upaya hukum nasional sudah barang tentu sangat terbatas
kewenangan hukumnya untuk mengatur transaksi-tansaksi lintas
batas atau internasional. Peran hukum nasional hanya mencakup
aturan-aturan yang mengikat bagi kegiatan dan transaksi dagang
dalam wilayahnya.
Karena itu, upaya-upaya pengaturan perdagangan
internasional sedikit banyak bergantung pada peran organisasi
internasional baik yang sifatnya antar negara, misalnya WTO,
maupun yang sifatnya privat, misalnya Kamar Dagang Internasional
(International Chamber of Commerce).
Upaya organisasi internasional pun hingga dewasa ini lebih
banyak pada upaya harmonisasi hukum daripada upaya unifikasi
hukum. Upaya ini tampaknya wajar dilakukan mengingat perkembangan
hukum perdagangan internasional yang cukup progresif. Upaya
mengkristalisasi aturan hukum perdagangan internasional dalam
suatu dokumen perjanjian internasional yang sifatnya stabil dan
berlaku lama tampaknya sangat sulit.
Tujuan akhir dari hukum perdagangan internasional
sebenarnya adalah tujuan dari eksistensi hukum perdagangan
internasional itu sendiri. Di bagian awal Bab ini (yaitu bagian
B. Eksistensi dan Tujuan Hukum Perdagangan Internasional),
terungkap beberapa tujuan bidang hukum perdagangan internasional
ini yang terdengar sangat positif, yaitu antara lain,
mensejahterakan negara-negara (dan warga negaranya).
Satu hal yang perlu digaris bawahi di sini adalah bahwa
untuk mencapai tujuan positif tersebut mau tidak mau harus
dibarengi dengan pemahaman terhadap hukum perdagangan itu
sendiri. Artinya, masyarakat atau negara yang tidak mengetahui
aturan-aturan hukum perdagangan internasional janganlah berharap
dapat mengambil manfaat dari hukum perdagangan internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Ademuni-Odeke, The Law of International Trade, London: Blackstone,
1999.
August, Ray, Internatoinal Business Law: Text, Cases and Readings, New
Jersey: Prentice Hall, 3rd
.ed., 2000.
Chia-Jui Cheng (ed.), Clive M. Schmitthoff's Select Essay on
International Trade Law, Doredrecht/Boston/London: Martinus
Nijhoff & Graham & Trotman, 1988.
David, Rene, Arbitration in International Trade, The Hague: Kluwer,
1985.
Goldštajn, Aleksander, “The New Law of Merchant,” (1961) JBL 12.
Hermann, Gerold, “United Nations Commission on International Trade
Law,” dalam: R. Bernhardt (ed.), Encyclopedia of Public
International Law: Instalment 5, 1983.
Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional, Jakarta: Rajagrafindo,
cet. 3, 2003.
Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional: Suatu Pengantar, Jakarta:
Rajawali Pers, cet. 3, 2002.
Interlegal's Definitions (http://home.yebro.co.za/~interlegal/
definitions.htm).
Islam, Rafiqul M., International Trade Law, NSW: LBC, 1999.
Lew and Stanbrook, Interational Trade: Law and Practice, Bath:
Euromoney, 1983.
PH.O.L. Tobing, Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amanna Gappa, Ujung
Pandang: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, 1977.
Reuvid, Jonathan (ed.), The Strategic Guide to International Trade,
London: Kogan Page, 1997.
Sanson, Michelle, Essential International Trade Law, Sydney: Cavendish,
2002.
Schmitthoff, Clive M., ‘The Unification of the Law of Internatioal
Trade,’ (1968) JBL 106.
Schmitthoff, Clive M., Commercial Law in a Changing Economic Climate,
London: Sweet and Maxwell, 1981.
Sudargo Gautama, Kontrak Dagang Internasional, Bandung: Alumni, 1977.
Pistor, Katerina, "The Standardization of Law and Its Effect on
Developing Countries," 50 Am.J.Comp.L. 97 (2002).
Trebilcock, Michael and Robert Howse, The Regulation of International
Trade, London: Routledge, 1995.
United Nations, Progressive Development of the Law of International
Trade: Report of the Secretary-General of the United Nations, New
York: United Nations, 1966.
Vilanueva, Pablo, "Patterns and Trends in World Trade," dalam: Jonathan
Reuvid (ed.), The Strategic Guide to International Trade, Kogan
page (tt),.
WTO, Trading into the Future,.Geneva, 1995.
1
BAB II
SUBYEK HUKUM DALAM HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
A. Pengantar
Dalam aktivitas perdagangan internasional terdapat beberapa
subyek hukum yang berperan penting di dalam perkembangan hukum
perdagangan internasional. Maksud subyek hukum di sini adalah:
(1) para pelaku (stake holders) dalam perdagangan internasional
yang mampu mempertahankan hak dan kewajibannya di hadapan
badan peradilan; dan
(2) para pelaku (stake holders) dalam perdagangan internasional
yang mampu dan berwenang untuk merumuskan aturan-aturan
hukum di bidang hukum perdagangan internasional.
Dari batasan tersebut sebagai tolok ukur, maka subyek hukum
yang dapat tergolong ke dalam lingkup hukum perdagangan
internasional adalah negara, organisasi internasional, individu,
dan bank. Uraian berikut akan menganalisa lebih lanjut tiga
subyek hukum ini.
B. Negara
1. Peran Negara
Negara merupakan subyek hukum terpenting di dalam hukum
perdagangan internasional. Sudah dikenal umum bahwa negara adalah
subyek hukum yang paling sempurna. Pertama, ia satu-satunya
subyek hukum yang memiliki kedaulatan.
Berdasarkan kedaulatan ini, negara memiliki wewenang untuk
menentukan dan mengatur segala sesuatu yang masuk dan keluar dari
wilayahnya.1
Booysen menggambarkan kedaulatan negara ini sebagai
berikut:
1
Hercules Boosen, International Trade Law on Goods and Services,
Pretoria: Interlegal, 1999, hlm. 2.
2
“... a state can absolutely determine whether anything from
outside the state. The state would also have the power to
determine the conditions on which the goods may be imported
into the state or exported to another country. ... Every
state would have the power to regulate arbitrarily the
conditions of trade.”2
Dengan atribut kedaulatannya ini, negara antara lain
berwenang membuat hukum (regulator) yang mengikat segala subyek
hukum lainnya (yaitu individu, perusahaan), mengikat benda dan
peristiwa hukum yang terjadi di dalam wilayahnya, termasuk
perdagangan, di wilayahnya.
3
Kedua, negara juga berperan baik secara langsung maupun
tidak langsung dalam pembentukan organisasi-organisasi
(perdagangan) internasional di dunia, misalnya WTO, UNCTAD,
UNCITRAL, dll.4
Organisasi-organisasi internasional di bidang
perdagangan internasional inilah yang kemudian berperan dalam
membentuk aturan-aturan hukum perdagangan internasional.
Ketiga, peran penting negara lainnya adalah negara juga
bersama-sama dengan negara lain mengadakan perjanjian
internasional guna mengatur transaksi perdagangan di antara
mereka. Contoh perjanjian seperti ini adalah perjanjian
Friendship, Commerce and Navigation, perjanjian penanaman modal
bilateral, perjanjian penghindaran pajak berganda, dll.
5
Keempat, negara berperan juga sebagai subyek hukum dalam
posisinya sebagai pedagang. Dalam posisinya ini, negara adalah
salah satu pelaku utama dalam perdagangan internasional. Dalam
awal tulisan ini, negara dengan perusahaan negaranya mengadakan
transaksi dagang dengan negara lainnya. Negara memiliki sumber
daya alam, perkebunan, pertambangan, dll. Bahan-bahan alam ini
disamping dikelola untuk kebutuhan di dalam negeri juga
2
Hercules Booysen, op.cit., hlm. 2.
3
Hercules Booysen, op.cit., hlm. 2.
4
Hans Van Houtte, The Law of International Trade, London: Sweet and
Maxwell, 1995, hlm. 31.
5
Hans Van Houtte, op.cit., hlm. 31.
3
diperdagangkan (dijual) ke subyek hukum lainnya yang
memerlukannya.
Dalam melaksanakan fungsinya ini, tidak jarang negara
membuat badan-badan hukum milik negara. Di tanah air misalnya,
untuk mengeksplorasi, mengeksploitasi dan memasarkan hasil
pertambangan minyak, negara mendirikan Pertamina. Untuk mengelola
sumber daya air untuk kepentingan rakyat negara mendirikan
perusahaan air minum, dst.
Sebagai suatu institusi yang besar, negara membutuhkan
teknologi, infrastruktur, kendaraan, pesawat kenegaraan, sumber-
sumber kebutuhan yang dibutuhkan rakyatnya (pengadaan barang dan
jasa atau procurement). Untuk memenuhi semua ini, negara
membelinya dari para pihak yang menyediakannya (penjual atau
supplier). Dengan demikian, negara dapat bertindak sebagai pelaku
dalam transaksi perdagangan.6
Semua transaksi perdagangan tersebut tunduk pada aturan-
aturan hukum yang bentuk dan muatan pengaturannya bergantung pada
jenis transaksi. Manakala negara bertransaksi dagang dengan
negara lain, kemungkinan hukum yang akan mengaturnya adalah hukum
internasional. Manakala negara bertransaksi dengan subyek hukum
lainnya, maka hukum yang mengaturnya adalah hukum nasional (dari
salah satu pihak).
7
6
Hercules Booysen, op.cit., hlm. 4-5.
7
Hercules Booysen, Op.cit., hlm. 4.
4
2. Imunitas Negara
Salah satu masalah yang kerap timbul dalam kaitannya dengan
negara adalah atribut kedaulatan negara itu sendiri. Prinsip umum
yang diakui adalah bahwa dengan atribut kedaulatan, negara
memiliki imunitas terhadap pengadilan negara lain.
Arti imunitas di sini adalah bahwa negara tersebut memiliki
hak untuk mengklaim kekebalannya terhadap tuntutan (klaim)
terhadap dirinya. Sheldrick dengan tepat menggambarkan imunitas
negara ini sebagai berikut:
“Sovereign immunity is a long-established precept of public
international law which requires that a foreign government
or head of state cannot be sued without its consent. In its
traditional form, this rule applied to all types of suit,
criminal and civil, including those arising out of purely
commercial transactions undertaken by the foreign
sovereign.”8
Dalam perkembangannya, konsep imunitas ini mengalami
pembatasan. Minimal ada 4 pembatasan terhadap muatan imunitas
suatu negara ini.
Pertama, pembatasan oleh hukum internasional. Dalam
bertransaksi dagang, hukum internasional meskipun mengakui
imunitas negara ini, tetapi juga sekaligus membatasinya. Hukum
internasional regional di Eropa misalnya memiliki the European
Convention on State Immunity (16 Mei 1972). Konvensi
beranggotakan Austria, Belgia, Belanda, Siprus, Jerman, Inggris,
Luxemburg, dan Swis.9
Hukum internasional juga mensyaratkan negara-negara untuk
bekerjasama dengan negara lain untuk memajukan ekonomi. Deklarasi
mengenai prinsip-prinsip hukum internasional antara lain
menyatakan bahwa:
8
Andrew W. Sheldrick, “Capacity, sovereign immunity and acts of state,”
dalam: Lew and Stanbrook, Interational Trade: Law and Practice, Bath:
Euromoney, 1983, hlm. 164.
9
Hans Van Houtte, op.cit., hlm. 33.
5
“... states have the duty to co-operate with one another,
irrespective of the difference in their political, economic
and social system,...”10
Kedua, pembatasan oleh hukum nasional. Dewasa ini beberapa
negara memiliki UU mengenai imunitas yang sifatnya membatasi
imunitas negara-negara (asing) yang melakukan transaksi dagang di
dalam wilayahnya atau dengan warga negaranya. Negara-negara yang
memiliki UU seperti ini misalnya: Canada (State Immunity Act
1982); Australia (Foreign States Immunity Act 1985), Amerika
Serikat (Foreign Sovereign Immunities Act 1976), dan Inggris
(State Immunity Act 1978).
UU Inggris tahun 1978 menyatakan bahwa suatu negara tidak
dapat lagi mengklaim imunitasnya dalam persidangan yang terkait
dengan:
(a) sengketa-sengketa mengenai transaksi komersial (dagang)
yang dilakukan oleh suatu negara;
(b) sengketa-sengketa yang lahir dari adanya kontrak yang
dilaksanakan sebagian atau seluruhnya di Inggris;
(c) kontrak-kontrak ketenagakerjaan yang dibuat di Inggris
atau yang berkaitan dengan jasa-jasa yang dilaksanakan
sebagian atau seluruhnya di Inggris;
(d) tindakan-tindakan mengenai tort (dalam sistem hukum kita
semacam perbuatan melawan hukum) untuk menuntut ganti
rugi karena meninggal, luka-luka, atau kerugian terhadap
harta benda, di mana tindakan tersebut terjadi di
Inggris;
(e) sengketa-sengketa yang terkait dengan keanggotaan dalam
suatu perusahaan baik yang terdaftar atau yang memiliki
kegiatan usaha utamanya di Inggris;
10
Hercules Booysen, op.cit., hlm. 33 dan 33n.
6
(f) sengketa-sengketa yang terkait dengan klaim-klaim
pengangkutan di laut terhadap kapal atau muatan atau yang
digunakan untuk tujuan-tujuan komersial; dan
(g) sengketa-sengeta yang terkait dengan perpajakan atau
cukai.11
Ketiga, pembatasan secara diam-diam dan sukarela.
Pembatasan ini dianggap terjadi manakala suatu negara secara
sukarela menundukkan dirinya ke hadapan suatu badan peradilan
yang mengadili sengketanya. Apabila pengadilan memanggil negara
tersebut untuk mengadiri persidangan dan negara tersebut
mematuhinya, maka negara tersebut dianggap telah dengan sukarela
menanggalkan imunitasnya.12
Keempat, kemungkinan lain yang menjadi indikasi pembatasn
imunitas ini adalah apabila negara memasukkan klausul arbitrase
ke dalam kontrak dagangnya. Dengan demikian dapat dianggap bahwa
negara tersebut telah menanggalkan imunitasnya untuk menghadap ke
badan arbitrase yang dipilihnya untuk menyelesaikan sengketa
dagangnya.13
Dengan adanya pembatasan-pembatasan tersebut, kekebalan
suatu negara untuk hadir di hadapan badan peradilan (nasional
asing, internasional atau arbitrase) tidak lagi berlaku. Namun
masalah sesungguhnya dalam kaitanya dengan pembatasan negara di
hadapan badan peradilan adalah pelaksanaan putusan pengadilannya.
Hal inilah yang menjadi nasalah utama yang justru sangat krusial.
Percumalah doktrin dan aturan-aturan mengenai imunitas ini
11
Scheldrick, op.cit., hlm. 163 dan 164.
12
Hans van Houtte, op.cit., hlm. 33.
13
Hans van Houtte, op.cit., hlm. 33. Dengan adanya pembatasan-
pembatasan terhadap imunitas ini kemudian lahir teori yang disebut
dengan teori pembatasan imunitas negara (“restrictive theory
doctrine”). (Scheldrick, op.cit., hlm. 163). Teori ini juga menyatakan
bahwa negara dengan melakukan tindakan-tindakan yang bersifat non-
pemerintah (publik) atau ‘non-governmental activities’, negara tersebut
secara implisit telah menanggalkan hak-haknya untuk mengklaim imunitas.
(Scheldrick, op.cit., hlm. 163).
7
apabila di kemudian hari ternyata putusan pengadilan tidak dapat
dilaksanakan.
Berdasarkan hukum internasional, suatu badan peradilan
tidak dapat menyita harta milik negara lain atau memaksakan
putusannya terhadap harta milik negara lain yang digunakan atau
yang memiliki fungsi pelayanan publik (public services).14
Hukum
internasional melarang suatu negara menahan kapal perang asing
yang sedang menyandar di pelabuhan suatu negara asing atau
menyita bangunan kedutaan negara asing.15
Menurut Houtte, pelaksanaan putusan pengadilan hanya
memungkinkan terhadap aset-aset yang negara asing yang
bersangkutan tidak dibutuhkan untuk melaksanakan fungsi-fungsi
pelayanan publik.16
14
Hans van Houtte, op.cit., hlm. 34.
15
Hans van Houtte, op.cit., hlm. 34.
16
Hans van Houtte, op.cit., hlm. 34. (Pendapat ini juga mengutip
berbgai sarjana antara lain C. Schreur).
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf
Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf

More Related Content

What's hot

Perjanjian nominat dan anominat
Perjanjian nominat dan anominatPerjanjian nominat dan anominat
Perjanjian nominat dan anominatIAIN Ponorogo
 
Ppt Perlindungan Konsumen
Ppt Perlindungan KonsumenPpt Perlindungan Konsumen
Ppt Perlindungan Konsumenrianymonika
 
Presentasi Direktorat Hak Cipta
Presentasi Direktorat Hak CiptaPresentasi Direktorat Hak Cipta
Presentasi Direktorat Hak CiptaErick Saropie
 
Hukum perikatan powerpoint1
Hukum perikatan powerpoint1Hukum perikatan powerpoint1
Hukum perikatan powerpoint1Rizki Gumilar
 
Hukum dan politik agraria kolonial
Hukum dan politik agraria kolonialHukum dan politik agraria kolonial
Hukum dan politik agraria kolonialindra wijaya
 
Hukum Perjanjian Tukar Menukar
Hukum Perjanjian Tukar MenukarHukum Perjanjian Tukar Menukar
Hukum Perjanjian Tukar MenukarEvi Rohmatul Aini
 
Contoh kasus hukum perdata internasional
Contoh kasus hukum perdata internasionalContoh kasus hukum perdata internasional
Contoh kasus hukum perdata internasionalEvirna Evirna
 
HAK MEREK UU NO. 15 TAHUN 2001.ppt
HAK MEREK UU NO. 15 TAHUN 2001.pptHAK MEREK UU NO. 15 TAHUN 2001.ppt
HAK MEREK UU NO. 15 TAHUN 2001.pptJUMADISAFF1
 
Subjek dan objek hukum
Subjek dan objek hukumSubjek dan objek hukum
Subjek dan objek hukumEga Jalaludin
 
84044823 contoh-kasus-hukum-perdata-internasional 3
84044823 contoh-kasus-hukum-perdata-internasional 384044823 contoh-kasus-hukum-perdata-internasional 3
84044823 contoh-kasus-hukum-perdata-internasional 3Adi Nugraha
 
Hukum acara perdata - Jawaban tergugat, eksepsi, dan rekonvensi (Idik Saeful ...
Hukum acara perdata - Jawaban tergugat, eksepsi, dan rekonvensi (Idik Saeful ...Hukum acara perdata - Jawaban tergugat, eksepsi, dan rekonvensi (Idik Saeful ...
Hukum acara perdata - Jawaban tergugat, eksepsi, dan rekonvensi (Idik Saeful ...Idik Saeful Bahri
 

What's hot (20)

Perjanjian Jual Beli
Perjanjian Jual BeliPerjanjian Jual Beli
Perjanjian Jual Beli
 
HUKUM PERSAINGAN USAHA
HUKUM PERSAINGAN USAHAHUKUM PERSAINGAN USAHA
HUKUM PERSAINGAN USAHA
 
Perjanjian nominat dan anominat
Perjanjian nominat dan anominatPerjanjian nominat dan anominat
Perjanjian nominat dan anominat
 
Ppt Perlindungan Konsumen
Ppt Perlindungan KonsumenPpt Perlindungan Konsumen
Ppt Perlindungan Konsumen
 
Presentasi Direktorat Hak Cipta
Presentasi Direktorat Hak CiptaPresentasi Direktorat Hak Cipta
Presentasi Direktorat Hak Cipta
 
Hukum perikatan powerpoint1
Hukum perikatan powerpoint1Hukum perikatan powerpoint1
Hukum perikatan powerpoint1
 
Hukum agraria
Hukum agraria   Hukum agraria
Hukum agraria
 
Hukum dan politik agraria kolonial
Hukum dan politik agraria kolonialHukum dan politik agraria kolonial
Hukum dan politik agraria kolonial
 
hukum perikatan
hukum perikatanhukum perikatan
hukum perikatan
 
Hukum Perjanjian Tukar Menukar
Hukum Perjanjian Tukar MenukarHukum Perjanjian Tukar Menukar
Hukum Perjanjian Tukar Menukar
 
Hukum pasar modal
Hukum pasar modalHukum pasar modal
Hukum pasar modal
 
Contoh kasus hukum perdata internasional
Contoh kasus hukum perdata internasionalContoh kasus hukum perdata internasional
Contoh kasus hukum perdata internasional
 
Hak cipta
Hak ciptaHak cipta
Hak cipta
 
HAK MEREK UU NO. 15 TAHUN 2001.ppt
HAK MEREK UU NO. 15 TAHUN 2001.pptHAK MEREK UU NO. 15 TAHUN 2001.ppt
HAK MEREK UU NO. 15 TAHUN 2001.ppt
 
Hukum perjanjian kuliah 2
Hukum perjanjian kuliah 2Hukum perjanjian kuliah 2
Hukum perjanjian kuliah 2
 
Subjek dan objek hukum
Subjek dan objek hukumSubjek dan objek hukum
Subjek dan objek hukum
 
84044823 contoh-kasus-hukum-perdata-internasional 3
84044823 contoh-kasus-hukum-perdata-internasional 384044823 contoh-kasus-hukum-perdata-internasional 3
84044823 contoh-kasus-hukum-perdata-internasional 3
 
Hukum dagang
Hukum dagangHukum dagang
Hukum dagang
 
Hukum acara perdata - Jawaban tergugat, eksepsi, dan rekonvensi (Idik Saeful ...
Hukum acara perdata - Jawaban tergugat, eksepsi, dan rekonvensi (Idik Saeful ...Hukum acara perdata - Jawaban tergugat, eksepsi, dan rekonvensi (Idik Saeful ...
Hukum acara perdata - Jawaban tergugat, eksepsi, dan rekonvensi (Idik Saeful ...
 
HUKUM KONTRAK
HUKUM KONTRAKHUKUM KONTRAK
HUKUM KONTRAK
 

Similar to Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf

International trade law
International trade lawInternational trade law
International trade lawganangsetiadi
 
MANAJAMEN KONTRAK HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL.pptx
MANAJAMEN KONTRAK HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL.pptxMANAJAMEN KONTRAK HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL.pptx
MANAJAMEN KONTRAK HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL.pptxRIhsanFadhelAhmad1
 
14. hbl,clara monalisa,hapzi ali,hukum perdagangan internasional, universitas...
14. hbl,clara monalisa,hapzi ali,hukum perdagangan internasional, universitas...14. hbl,clara monalisa,hapzi ali,hukum perdagangan internasional, universitas...
14. hbl,clara monalisa,hapzi ali,hukum perdagangan internasional, universitas...claramonalisa09
 
14. hbl,clara monalisa,hapzi ali,hukum perdagangan internasional, universitas...
14. hbl,clara monalisa,hapzi ali,hukum perdagangan internasional, universitas...14. hbl,clara monalisa,hapzi ali,hukum perdagangan internasional, universitas...
14. hbl,clara monalisa,hapzi ali,hukum perdagangan internasional, universitas...claramonalisa09
 
14.HBL,Jihan Nabilah Ekayono Putri, Hapzi Ali , Hukum Perdagangan Internasion...
14.HBL,Jihan Nabilah Ekayono Putri, Hapzi Ali , Hukum Perdagangan Internasion...14.HBL,Jihan Nabilah Ekayono Putri, Hapzi Ali , Hukum Perdagangan Internasion...
14.HBL,Jihan Nabilah Ekayono Putri, Hapzi Ali , Hukum Perdagangan Internasion...Jihan Nabilah
 
Hbl,agung pangestu,hapzi ali,hukum perdagangan internasional, universitas me...
Hbl,agung pangestu,hapzi  ali,hukum perdagangan internasional, universitas me...Hbl,agung pangestu,hapzi  ali,hukum perdagangan internasional, universitas me...
Hbl,agung pangestu,hapzi ali,hukum perdagangan internasional, universitas me...AgungAgungPangestu
 
14, hbl, Leni Anggraeni, Hapzi Ali, Hukum Perdagangan Internasional, Universi...
14, hbl, Leni Anggraeni, Hapzi Ali, Hukum Perdagangan Internasional, Universi...14, hbl, Leni Anggraeni, Hapzi Ali, Hukum Perdagangan Internasional, Universi...
14, hbl, Leni Anggraeni, Hapzi Ali, Hukum Perdagangan Internasional, Universi...lenianggr
 
14 Hbl, teuku alvin putra rezalino, hapzi ali, hukum perdagangan internasiona...
14 Hbl, teuku alvin putra rezalino, hapzi ali, hukum perdagangan internasiona...14 Hbl, teuku alvin putra rezalino, hapzi ali, hukum perdagangan internasiona...
14 Hbl, teuku alvin putra rezalino, hapzi ali, hukum perdagangan internasiona...Teuku Alvin Putra Rezalino
 
HBL, 14, Intan Dwi Kumalagusti, Hapzi ali, Hukum Perdagangan Internasional, U...
HBL, 14, Intan Dwi Kumalagusti, Hapzi ali, Hukum Perdagangan Internasional, U...HBL, 14, Intan Dwi Kumalagusti, Hapzi ali, Hukum Perdagangan Internasional, U...
HBL, 14, Intan Dwi Kumalagusti, Hapzi ali, Hukum Perdagangan Internasional, U...intandwik_
 
Hbl,14, fariz satiano, hapzi ali,hukum perdagangan international, universitas...
Hbl,14, fariz satiano, hapzi ali,hukum perdagangan international, universitas...Hbl,14, fariz satiano, hapzi ali,hukum perdagangan international, universitas...
Hbl,14, fariz satiano, hapzi ali,hukum perdagangan international, universitas...farizsatiano32
 
HUKUM-DAGANG-1.pptx
HUKUM-DAGANG-1.pptxHUKUM-DAGANG-1.pptx
HUKUM-DAGANG-1.pptxFauzan880971
 
HBL 14, Riny Triana Savitri, Prof. Hapzi Ali, Hukum Perdagangan Internasional...
HBL 14, Riny Triana Savitri, Prof. Hapzi Ali, Hukum Perdagangan Internasional...HBL 14, Riny Triana Savitri, Prof. Hapzi Ali, Hukum Perdagangan Internasional...
HBL 14, Riny Triana Savitri, Prof. Hapzi Ali, Hukum Perdagangan Internasional...Rinytrianas21
 
Hbl,anindia putri,hapzi ali, hukum perdagangan international dan implementasi...
Hbl,anindia putri,hapzi ali, hukum perdagangan international dan implementasi...Hbl,anindia putri,hapzi ali, hukum perdagangan international dan implementasi...
Hbl,anindia putri,hapzi ali, hukum perdagangan international dan implementasi...anindiaputri762
 
14,hbl,an nisa rizki,hapzi ali,hukum perdagangan international,universitas me...
14,hbl,an nisa rizki,hapzi ali,hukum perdagangan international,universitas me...14,hbl,an nisa rizki,hapzi ali,hukum perdagangan international,universitas me...
14,hbl,an nisa rizki,hapzi ali,hukum perdagangan international,universitas me...An Nisa Rizki Yulianti
 
Sejarah Hukum Dagang Di Indonesia.ppt
Sejarah Hukum Dagang Di Indonesia.pptSejarah Hukum Dagang Di Indonesia.ppt
Sejarah Hukum Dagang Di Indonesia.pptOktaviaRahayu2
 
Silabus hukum-internasional-pp1
Silabus hukum-internasional-pp1Silabus hukum-internasional-pp1
Silabus hukum-internasional-pp1Bambang Rimalio
 

Similar to Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf (20)

International trade law
International trade lawInternational trade law
International trade law
 
MANAJAMEN KONTRAK HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL.pptx
MANAJAMEN KONTRAK HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL.pptxMANAJAMEN KONTRAK HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL.pptx
MANAJAMEN KONTRAK HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL.pptx
 
14. hbl,clara monalisa,hapzi ali,hukum perdagangan internasional, universitas...
14. hbl,clara monalisa,hapzi ali,hukum perdagangan internasional, universitas...14. hbl,clara monalisa,hapzi ali,hukum perdagangan internasional, universitas...
14. hbl,clara monalisa,hapzi ali,hukum perdagangan internasional, universitas...
 
14. hbl,clara monalisa,hapzi ali,hukum perdagangan internasional, universitas...
14. hbl,clara monalisa,hapzi ali,hukum perdagangan internasional, universitas...14. hbl,clara monalisa,hapzi ali,hukum perdagangan internasional, universitas...
14. hbl,clara monalisa,hapzi ali,hukum perdagangan internasional, universitas...
 
Bab 14
Bab 14Bab 14
Bab 14
 
14.HBL,Jihan Nabilah Ekayono Putri, Hapzi Ali , Hukum Perdagangan Internasion...
14.HBL,Jihan Nabilah Ekayono Putri, Hapzi Ali , Hukum Perdagangan Internasion...14.HBL,Jihan Nabilah Ekayono Putri, Hapzi Ali , Hukum Perdagangan Internasion...
14.HBL,Jihan Nabilah Ekayono Putri, Hapzi Ali , Hukum Perdagangan Internasion...
 
Hbl,agung pangestu,hapzi ali,hukum perdagangan internasional, universitas me...
Hbl,agung pangestu,hapzi  ali,hukum perdagangan internasional, universitas me...Hbl,agung pangestu,hapzi  ali,hukum perdagangan internasional, universitas me...
Hbl,agung pangestu,hapzi ali,hukum perdagangan internasional, universitas me...
 
14, hbl, Leni Anggraeni, Hapzi Ali, Hukum Perdagangan Internasional, Universi...
14, hbl, Leni Anggraeni, Hapzi Ali, Hukum Perdagangan Internasional, Universi...14, hbl, Leni Anggraeni, Hapzi Ali, Hukum Perdagangan Internasional, Universi...
14, hbl, Leni Anggraeni, Hapzi Ali, Hukum Perdagangan Internasional, Universi...
 
14 Hbl, teuku alvin putra rezalino, hapzi ali, hukum perdagangan internasiona...
14 Hbl, teuku alvin putra rezalino, hapzi ali, hukum perdagangan internasiona...14 Hbl, teuku alvin putra rezalino, hapzi ali, hukum perdagangan internasiona...
14 Hbl, teuku alvin putra rezalino, hapzi ali, hukum perdagangan internasiona...
 
HBL, 14, Intan Dwi Kumalagusti, Hapzi ali, Hukum Perdagangan Internasional, U...
HBL, 14, Intan Dwi Kumalagusti, Hapzi ali, Hukum Perdagangan Internasional, U...HBL, 14, Intan Dwi Kumalagusti, Hapzi ali, Hukum Perdagangan Internasional, U...
HBL, 14, Intan Dwi Kumalagusti, Hapzi ali, Hukum Perdagangan Internasional, U...
 
Hbl,14, fariz satiano, hapzi ali,hukum perdagangan international, universitas...
Hbl,14, fariz satiano, hapzi ali,hukum perdagangan international, universitas...Hbl,14, fariz satiano, hapzi ali,hukum perdagangan international, universitas...
Hbl,14, fariz satiano, hapzi ali,hukum perdagangan international, universitas...
 
HUKUM-DAGANG-1.pptx
HUKUM-DAGANG-1.pptxHUKUM-DAGANG-1.pptx
HUKUM-DAGANG-1.pptx
 
HUKUM-DAGANG-1.pptx
HUKUM-DAGANG-1.pptxHUKUM-DAGANG-1.pptx
HUKUM-DAGANG-1.pptx
 
HBL 14, Riny Triana Savitri, Prof. Hapzi Ali, Hukum Perdagangan Internasional...
HBL 14, Riny Triana Savitri, Prof. Hapzi Ali, Hukum Perdagangan Internasional...HBL 14, Riny Triana Savitri, Prof. Hapzi Ali, Hukum Perdagangan Internasional...
HBL 14, Riny Triana Savitri, Prof. Hapzi Ali, Hukum Perdagangan Internasional...
 
Afzhan perdagangan internasional
Afzhan perdagangan internasionalAfzhan perdagangan internasional
Afzhan perdagangan internasional
 
Hbl,anindia putri,hapzi ali, hukum perdagangan international dan implementasi...
Hbl,anindia putri,hapzi ali, hukum perdagangan international dan implementasi...Hbl,anindia putri,hapzi ali, hukum perdagangan international dan implementasi...
Hbl,anindia putri,hapzi ali, hukum perdagangan international dan implementasi...
 
14,hbl,an nisa rizki,hapzi ali,hukum perdagangan international,universitas me...
14,hbl,an nisa rizki,hapzi ali,hukum perdagangan international,universitas me...14,hbl,an nisa rizki,hapzi ali,hukum perdagangan international,universitas me...
14,hbl,an nisa rizki,hapzi ali,hukum perdagangan international,universitas me...
 
Sejarah Hukum Dagang Di Indonesia.ppt
Sejarah Hukum Dagang Di Indonesia.pptSejarah Hukum Dagang Di Indonesia.ppt
Sejarah Hukum Dagang Di Indonesia.ppt
 
Ekonomi Internasional
Ekonomi InternasionalEkonomi Internasional
Ekonomi Internasional
 
Silabus hukum-internasional-pp1
Silabus hukum-internasional-pp1Silabus hukum-internasional-pp1
Silabus hukum-internasional-pp1
 

Recently uploaded

Sistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptx
Sistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptxSistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptx
Sistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptxFucekBoy5
 
Sosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan Pendahuluan
Sosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan PendahuluanSosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan Pendahuluan
Sosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan PendahuluanIqbaalKamalludin1
 
5E _ Kel 4 _ Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi.pptx
5E _ Kel 4 _ Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi.pptx5E _ Kel 4 _ Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi.pptx
5E _ Kel 4 _ Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi.pptxYudisHaqqiPrasetya
 
pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan ppt
pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan pptpembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan ppt
pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan pptJhonatanMuram
 
Pengertian & Prinsip-Prinsip Anti Korupsi.pptx
Pengertian & Prinsip-Prinsip Anti Korupsi.pptxPengertian & Prinsip-Prinsip Anti Korupsi.pptx
Pengertian & Prinsip-Prinsip Anti Korupsi.pptxEkoPriadi3
 
BPN Sesi 3 - Hukum Perkawinan.ppppppppptx
BPN Sesi 3 - Hukum Perkawinan.ppppppppptxBPN Sesi 3 - Hukum Perkawinan.ppppppppptx
BPN Sesi 3 - Hukum Perkawinan.ppppppppptxendang nainggolan
 
Kel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptx
Kel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptxKel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptx
Kel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptxFeniannisa
 
Luqman Keturunan Snouck Hurgronje dari istri pertama
Luqman Keturunan Snouck Hurgronje dari istri pertamaLuqman Keturunan Snouck Hurgronje dari istri pertama
Luqman Keturunan Snouck Hurgronje dari istri pertamaIndra Wardhana
 
Kelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptx
Kelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptxKelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptx
Kelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptxbinsar17
 
Sesi 3 MKDU 4221 PAI 2020 Universitas Terbuka
Sesi 3 MKDU 4221 PAI 2020 Universitas TerbukaSesi 3 MKDU 4221 PAI 2020 Universitas Terbuka
Sesi 3 MKDU 4221 PAI 2020 Universitas TerbukaYogaJanuarR
 
Etika Profesi-CYBER CRIME n CYBER LAW.ppt
Etika Profesi-CYBER CRIME n CYBER LAW.pptEtika Profesi-CYBER CRIME n CYBER LAW.ppt
Etika Profesi-CYBER CRIME n CYBER LAW.pptAlMaliki1
 
file power point Hukum acara PERDATA.pdf
file power point Hukum acara PERDATA.pdffile power point Hukum acara PERDATA.pdf
file power point Hukum acara PERDATA.pdfAgungIstri3
 

Recently uploaded (12)

Sistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptx
Sistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptxSistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptx
Sistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptx
 
Sosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan Pendahuluan
Sosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan PendahuluanSosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan Pendahuluan
Sosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan Pendahuluan
 
5E _ Kel 4 _ Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi.pptx
5E _ Kel 4 _ Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi.pptx5E _ Kel 4 _ Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi.pptx
5E _ Kel 4 _ Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi.pptx
 
pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan ppt
pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan pptpembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan ppt
pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan ppt
 
Pengertian & Prinsip-Prinsip Anti Korupsi.pptx
Pengertian & Prinsip-Prinsip Anti Korupsi.pptxPengertian & Prinsip-Prinsip Anti Korupsi.pptx
Pengertian & Prinsip-Prinsip Anti Korupsi.pptx
 
BPN Sesi 3 - Hukum Perkawinan.ppppppppptx
BPN Sesi 3 - Hukum Perkawinan.ppppppppptxBPN Sesi 3 - Hukum Perkawinan.ppppppppptx
BPN Sesi 3 - Hukum Perkawinan.ppppppppptx
 
Kel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptx
Kel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptxKel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptx
Kel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptx
 
Luqman Keturunan Snouck Hurgronje dari istri pertama
Luqman Keturunan Snouck Hurgronje dari istri pertamaLuqman Keturunan Snouck Hurgronje dari istri pertama
Luqman Keturunan Snouck Hurgronje dari istri pertama
 
Kelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptx
Kelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptxKelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptx
Kelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptx
 
Sesi 3 MKDU 4221 PAI 2020 Universitas Terbuka
Sesi 3 MKDU 4221 PAI 2020 Universitas TerbukaSesi 3 MKDU 4221 PAI 2020 Universitas Terbuka
Sesi 3 MKDU 4221 PAI 2020 Universitas Terbuka
 
Etika Profesi-CYBER CRIME n CYBER LAW.ppt
Etika Profesi-CYBER CRIME n CYBER LAW.pptEtika Profesi-CYBER CRIME n CYBER LAW.ppt
Etika Profesi-CYBER CRIME n CYBER LAW.ppt
 
file power point Hukum acara PERDATA.pdf
file power point Hukum acara PERDATA.pdffile power point Hukum acara PERDATA.pdf
file power point Hukum acara PERDATA.pdf
 

Hukum perdagangan internasional prinsip prinsip dan konsepsi dasar by Huala Adolf

  • 1.
  • 2. ii ! " " # " " $ % " " # % & ' " " ( " # ) * # + * # , # # " - $ .//0 " !!+
  • 3. iii Daftar Isi BAB I PENGANTAR HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL A. Pengantar dan Definisi 1. Definisi a. Definisi Schmitthoff b. Definisi Rafiqul Islam c. Definisi Michelle Sanson d. Definisi Hercules Booysen 2. Pendekatan Hukum Perdagangan Internasional a. Hubungan Hukum Perdagangan Internasional dan Bidang Hukum Lainnya b. Hukum Perdagangan Internasional bersifat Interdisipliner B. Prinsip-prinsip Hukum Perdagangan Internasional 1. Prinsip Dasar Kebebasan Berkontrak 2. Prinsip Dasar Pacta Sunt Servanda 3. Prinsip Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase 4. Prinsip Kebebasan Komunikasi (Navigasi) C. Eksistensi dan Tujuan Hukum Perdagangan Internasional D. Perkembangan Hukum Perdagangan Internasional E. Unifikasi dan Harmonisasi Hukum Perdagangan Internasional 1. Perlunya Unifikasi dan Harmonisasi Hukum Perdagangan Internasional 2. Lembaga-lembaga Yang Bergerak dalam Unifikasi dan Harmonisasi Hukum a. World Trade Organization (WTO) b. The International Institute for the Unification of Private Law (UNIDROIT) c. The United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) d. Kamar Dagang Internasional (ICC) F. Penutup BAB II. SUBYEK HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL A. Pengantar B. Negara 1. Peran Negara 2. Imunitas Negara C. Organisasi Perdagangan Internasional D. Individu 1. Perusahaan Multinasional 2. Bank E. Penutup BAB III. SUMBER HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
  • 4. iv A. Pengantar B. Sumber Hukum Perdagangan Internasional 1. Perjanjian Internasional 2. Hukum Kebiasaan Internasional 3. Prinsip-prinsip Hukum Umum 4. Putusan Badan Pengadilan dan Doktrin 5. Kontrak 6. Hukum Nasional C. Penutup BAB IV. ATURAN-ATURAN HUKUM PERDAGANGAN MENURUT GATT A. Pengantar B. Sejarah GATT C. Ketentuan-ketentuan Perdagangan dalam GATT D. Prinsip-prinsip GATT E. Garis-garis besar Ketentuan GATT F. Penutup BAB V. LETTER OF CREDIT DALAM HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL A. Pengantar B. Bentuk-bentuk Pembiayaan Perdagangan Internasional 1. Kredit Berdokumen (Documentary Credit) 2. Bentuk Khusus Kredit Berdokumen C. Penutup BAB VI. E-COMMERCE MENURUT UNCITRAL MODEL LAW ON ELECTRONIC COMMERCE 1996 A. Pengantar B. Masalah Hukum: Pengawasan C. UNCITRAL Model Law 1. Pengantar 2. Penerapan Persyaratan Hukum terhadap Pesan Data 3. Kekuatan Pembuktian Pesan Data 4. Penyimpanan Pesan Data 5. Komunikasi Pesan Data 6. Bentuk dan Keabsahan Kontrak 7. Pengakuan terhadap Pesan Data 8. Pengakuan Penerimaan 9. Waktu dan Tempat Pengiriman dan Penerimaan Pesan Data 10. Bagian II: Obyek tertentu: Pengiriman Brg 11. Dokumen Pengangkutan (Bill of Lading) 12. Tanda Tangan Digital dan Pejabat Verifikasi D. Penutup BaAB VII. PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
  • 5. v A. Pengantar B. Para Pihak dalam Sengketa C. Prinsip-prinsip Penyelesaian Sengketa 1. Prinsip Kesepakatan Para Pihak (Konsensus) 2. Prinsip Kebebasan Memilih Cara-cara Penyelesaian Sengketa 3. Prinsip Kebebasan Memilih Hukum 4. Prinsip Itikad Baik (Good Faith) 5. Prinsip Exhaustion of Local Remedies D. Forum Penyelesaian Sengketa 1. Negosiasi 2. Mediasi 3. Konsiliasi 4. Arbitrase 5. Pengadilan (Nasional dan Internasional) E. Hukum Yang Berlaku 1. Pengantar 2. Kebebasan Para Pihak F. Pelaksaan Putusan Sengketa Dagang 1. Pengantar 1. Pelaksanaan Putusan APS 2. Pelaksanaan Putusan Arbitrase (Asing) 3. Pelaksanaan Putusan Pengadilan G. Penutup
  • 6. BAB I PENGANTAR HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL A. Pengantar dan Definisi Hukum perdagangan internasional adalah bidang hukum yang berkembang cepat. Ruang lingkup bidang hukum ini pun cukup luas. Hubungan-hubungan dagang yang sifatnya lintas batas dapat mencakup banyak jenisnya. Dari bentuknya yang sederhana, yaitu dari barter, jual beli barang atau komoditi (produk-produk pertanian, perkebunan, dan sejenisnya), hingga hubungan atau transaksi dagang yang kompleks. Kompleksnya hubungan atau transaksi dagang internasional ini sedikit banyak disebabkan oleh adanya jasa teknologi (khususnya teknologi informasi). Sehingga, transaksi-transaksi dagang semakin berlangsung dengan cepat. Batas-batas negara bukan lagi halangan dalam bertransaksi. Bahkan dengan pesatnya teknologi, dewasa ini para pelaku dagang tidak perlu mengetahui atau mengenal siapa rekanan dagangnya yang berada jauh di belahan bumi lain. Hal ini tampak dengan lahirnya transaksi-transaksi yang disebut dengan e-commerce. Ada berbagai motif atau alasan mengapa negara atau subyek hukum (pelaku dalam perdagangan) melakukan transaksi dagang internasional. Yang menjadi fakta adalah bahwa perdagangan internasional sudah menjadi tulang punggung bagi negara untuk menjadi makmur, sejahtera dan kuat. Hal ini sudah banyak terbukti dalam sejarah perkembangan dunia. Besar dan jayanya negara-negara di dunia tidak terlepas dari keberhasilan dan aktivitas negara-negara tersebut di dalam perdagangan internasional. Sebagai satu contoh, kejayaan Cina masa lalu tidak terlepas dari kebijakan dagang yang terkenal dengan nama ‘Silk Route’ atau jalan suteranya. Silk Route tidak lain adalah rute-rute perjalanan yang ditempuh oleh saudagar-
  • 7. saudagar Cina untuk berdagang dengan bangsa-bangsa lain di dunia.1 Setelah kejayaan Cina, menyusul negara-negara lain seperti Spanyol dengan Spanish Conquistadors-nya, Inggris dengan The British Empire-nya (beserta perusahaan multinasionalnya yang pertama di dunia, yakni ‘the East-India Company’, Belanda dengan VOC-nya, dll. Kejayaan negara-negara ini tidak terlepas dari kebijakan pemerintahnya untuk melakukan transaksi dagang internasional. Kesadaran untuk melakukan transaksi dagang internasional ini juga telah cukup lama disadari oleh para pelaku pedagang di tanah air sejak. Adalah Amanna Gappa, seorang kepala suku Bugis yang sadar akan pentingnya dagang (dan pelayaran) bagi kesejahteraan sukunya. Keunggulan suku bugis dalam berlayar dengan hanya menggunakan perahu-perahu bugis yang kecil telah mengarungi lautan luas hingga ke Malaya (sekarang menjadi wilayah Singapura dan Malaysia).2 Yang menjadi esensi untuk bertransaksi dagang ini adalah dasar filosofinya. Telah dikemukakan bahwa berdagang ini adalah 1 Jonathan Reuvid, (ed.), The Strategic Guide to International Trade, London: Kogan Page, 1997, para. xv. 2 PH.O.L. Tobing, Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amanna Gappa, Ujung Pandang: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, 1977, hlm. 154. Di Singapura, misalnya, ada suatu daerah yang khusus untuk menghormati suku Bugis ini karena keunggulan mereka sebagai pelaut dan pedagang. Pemerintah Singapura memberi nama pada suatu daerah di tengah Singapura dengan nama Bugis (di wilayah Bugis Junction). Di Bugis Junction ini kita dapat melihat replika perahu kecil suku Bugis yang berlayar ke Malaka (sekarang Singapura). Bahkan pernah ada data yang mengungkapkan bahwa perahu Bugis telah juga mengunjungi wilayah utara benua Australia. Prestasi ini telah membuat kagum banyak bangsa di dunia. Bahkan banyak ahli hukum dari berbagai dunia, khususnya Inggris dan Belanda, yang mempelajari hukum-hukum bangsa Bugis ini yang disalin oleh Amanna Gappa. Mereka mempelajari hukum-hukum pelayaran dan hukum dagang bangsa Bugis untuk kemungkinan diterapkan pada keadaan dewasa ini. Menurut hemat penulis, sesungguhnya, apa yang diperbuat oleh ahli- ahli hukum Belanda dan ahli hukum Inggris tersebut merupakan pukulan telak pada ahli hukum di tanah air. Kenapa justru ahli hukum asing yang mempelajari dan menggali hukum dagang (internasional) Bugis, bukannya bangsa kita sendiri.
  • 8. suatu “kebebasan fundamental” (fundamental freedom).3 Dengan kebebasan ini siapa saja harus memiliki kebebasan untuk berdagang. Kebebasan ini tidak boleh dibatasi oleh adanya perbedaan agama, suku, kepercayaan, politik, sistem hukum, dll. Piagam Hak-hak dan Kewajiban Negara (Charter of Economic Rights and Duties of States) juga mengakui bahwa setiap negara memiliki hak untuk melakukan perdagangan internasional. (“Every State has the right to engage in international trade”) (Pasal 4). 3 Lihat buku penulis, Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional: Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, cet. 3, 2002, Bab I.
  • 9. 1. Definisi Cepatnya perkembangan bidang hukum ini ternyata masih belum ada kesepakatan tentang definisi untuk bidang hukum ini. Hingga dewasa ini terdapat berbagai definisi yang satu sama lain berbeda. a. Definisi Schmitthoff Definisi pertama adalah definisi yang dikeluarkan oleh Sekretaris Jenderal PBB dalam laporannya tahun 1966.4 Definisi ini sebenarnya adalah definisi buatan seorang guru besar ternama dalam hukum dagang internasional dari City of London College, yaitu Professor Clive M. Schmitthoff. Sehingga dapat dikatakan bahwa definisi yang tercakup dalam Laporan Sekretaris Jenderal tersebut tidak lain adalah laporan Schmitthoff. Schmitthoff mendefinisikan hukum perdagangan internasional sebagai: “... the body of rules governing commercial relationship of a private law nature involving different nations”.5 Dari definisi tersebut dapat tampak unsur-unsur berikut: 1) Hukum perdagangan internasional adalah sekumpulan aturan yang mengatur hubungan-hubungan komersial yang sifatnya hukum perdata, 2) Aturan-aturan hukum tersebut mengatur transaksi-transaksi yang berbeda negara. Definisi di atas menunjukkan dengan jelas bahwa aturan- aturan tersebut bersifat komersial. Artinya, Schmitthoff dengan tegas membedakan antara hukum perdata (“private law nature”) dan hukum publik. Dalam definisinya itu, Schmitthoff menegaskan bahwa ruang lingkup bidang hukum ini tidak termasuk hubungan-hubungan komersial internasional dengan ciri hukum publik. Termasuk dalam 4 United Nations, Progressive Development of the Law of International Trade: Report of the Secretary General of the United Nations 1966, New York: United Nations, 1966, hlm. 1. (Selanjutnya disebut Secreatry General Report). 5 Secretary General Report, op.cit., para. 10.
  • 10. bidang hukum publik ini yakni aturan-aturan yang mengatur tingkah laku atau perilaku negara-negara dalam mengatur perilaku perdagangan yang mempengaruhi wilayahnya.6 Dengan kata lain, Schmitthoff menegaskan wilayah hukum perdagangan internasional tidak termasuk atau terlepas dari aturan-aturan hukum internasional publik yang mengatur hubungan- hubungan komersial. Misalnya, aturan-aturan hukum internasional yang mengatur hubungan dagang dalam kerangka GATT atau aturan- aturan yang mengatur blok-blok perdagangan regional, aturan- aturan yang mengatur komoditi, dsb.7 Dalam salah satu tulisannya Schmitthoff dengan jelas menegaskan sebagai berikut: “First, the modern law of international trade is not a branch of international law; it does not form part of the jus gentium, but it is applied in every national jurisdiction by tolerance of the national sovereign whose public policy may override or qualify a particular rule of that law.”8 Dari latar belakang definisi tersebut pun berdampak pada ruang lingkup cakupan hukum dagang internasional. Schmitthoff menguraikan bidang-bidang berikut sebagai bidang cakupan bidang hukum ini: 1) Jual beli dagang internasional: (i) pembentukan kontrak; (ii) perwakilan-perwakilan dagang (agency); (iii) Pengaturan penjualan eksklusif; 6 Secretary General Report, op.cit., para. 11. 7 Secretary General Report, op.cit., para. 11. 8 Schmitthoff, “The Unification of the Law of International Trade,” (1968) JBL 109 (pendapat Schmitthoff ini juga adalah pendapat sarjana terkemuka hukum perdagangan internasional Profesor Aleksander Goldštajn). Menurut hemat penulis salah satu kelemahan dari definisi ini adalah sulitnya diterima bahwa berlakunya hukum perdagangan internasional ke dalam jurisdiksi nasional negara-negara di dunia adalah berdasarkan apa yang beliau sebut “tolerance of the national sovereign.” Dalam hukum, sulit diterima adanya toleransi ini. Yang ada adalah penundukan diri baik secara diam-diam maupun tegas seperti dalam ratifikasi atau aksesi suatu perjanjian internasional (dalam hal ini hukum perdagangan internasional) oleh suatu negara. Seperti kita ketahui, masalah ratifikasi atau aksesi terhadap suatu perjanjian internasional (tidak terkecuali perjanjian di bidang hukum perdagangan
  • 11. 2) Surat-surat berharga 3) Hukum mengenai kegiatan-kegiatan tentang tingkah laku mengenai perdagangan internasional 4) Asuransi 5) Pengangkutan melalui darat dan kereta api, laut, udara, perairan pedalaman 6) Hak milik industri 7) Arbitrase komersial.9 b. Definisi M. Rafiqul Islam Dalam upayanya memberi batasan atau definisi hukum perdagangan internasional, Rafiqul Islam menekankan keterkaitan erat antara perdagangan internasional dan hubungan keuangan (financial relations). Dalam hal ini Rafiqul Islam memberi batasan perdagangan internasional sebagai "... a wide ranging, transnational, commercial exchange of goods and services between individual business persons, trading bodies and States".10 Hubungan finansial terkait erat dengan perdagangan internasional. keterkaitan erat ini tampak karena hubungan- hubungan keuangan ini mendampingi transaksi perdagangan antara para pedagang (dengan pengecualian transaksi barter atau counter- trade).11 internasional) tunduk pada prinsip-prinsip hukum internasional publik, dalam hal ini prinsip hukum perjanjian internasional. 9 Secretary General Report, op.cit., para. 10. 10 Rafiqul Islam, International Trade Law, NSW: LBC, 1999, hlm. 1. Sarjana-sarjana dewasa ini cenderung untuk membagi ruang lingkup perdagangan internasional ke dalam dua bagian:perdagangan barang dan jasa (sebagaimana halnya dengan Rafiqul Islam di atas). Lihat misalnya, Pablo Vilanueva, "Patterns and Trends in World Trade," dalam: Jonathan Reuvid (ed.), The Strategic Guide to International Trade, Kogan page (tt), hlm 3. (Villanueva menggambarkan bidang perdagangan internasional ke dalam dua bidang: (1) Perdagangan barang (merchandise trade) yang mencakup mineral, produk pertanian, barang industri; dan (2) jasa komersial (commercial services) yang mencakup perbankan, konsultasi dan pariwisata). 11 Pengecualian terhadap kedua bentuk transaksi tersebut karena memang untuk kedua transasi tersebut tidak terkait dengan adanya hubungan keuangan. (Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 1).
  • 12. Dengan adanya keterkaitan erat antara perdagangan internasional dan keuangan, Rafiqul Islam mendefinisikan "hukum perdagangan dan keuangan ("international trade and finance law") sebagai suatu kumpulan aturan, prinsip, norma dan praktek yang menciptakan suatu pengaturan (regulatory regime) untuk transaksi- transaksi perdagangan transnasional dan sistem pembayarannya, yang memiliki dampak terhadap perilaku komersial lembaga-lembaga perdagangan.12 Kegiatan-kegiatan komersial tersebut dapat dibagi ke dalam kegiatan "komersial" yang berada dalam ruang lingkup hukum perdata internasional atau Conflict of Laws; perdagangan antar pemerintah atau antar negara, yang diatur oleh hukum internasional publik.13 Dari batasan tersebut tampak bahwa ruang lingkup hukum perdagangan internasional sangat luas.14 Karena ruang lingkup kajian bidang hukum ini sifatnya adalah lintas batas atau transnasional, konsekuensinya adalah terkaitnya lebih dari satu sistem hukum yang berbeda. c. Definisi Michelle Sanson Sarjana lainnya yang mencoba memberi batasan bidang hukum ini adalah sarjana Australia Sanson. Sanson memberi batasan bidang ini sesuai dengan pengeritan kata-kata dari bidang hukum ini, yaitu hukum, dagang dan internasional (dengan kata dasar nasion atau negara). Hukum perdagangan internasional menurut definisi Sanson ‘can be defined as the regulation of the conduct of parties 12 Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 1. 13 Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 1. Selengkapanya Rafiqul Islam menulis sebagai berikut: "international trade and finance law is a body of rules, principles, norms and their associated payments systems, with a controlling impact on the commercial behaviour of the trading entities"). 14 Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 1.
  • 13. involved in the exchange of goods, services and technology between nations.’15 Definisi di atas sederhana. Ia tidak menyebut secara jelas bidang hukum ini jatuh ke bidang hukum yang mana: hukum privat, publik, atau hukum internasional. Sanson hanya menyebut bidang hukum ini adalah the regulation of the conduct of parties. Para pihaknya pun dibuat samar, hanya disebut parties. Sedangkan obyek kajiannya, Sanson agak jelas: yaitu jual beli barang, jasa dan teknologi. Meskipun memberi definisi yang mengambang tersebut, Sanson membagi hukum perdagangan internasional ini ke dalam dua bagian utama, yaitu hukum perdagangan internasional publik (public interntional trade law) dan hukum perdagangan internasional privat (private international trade law).16 Yang pertama, public international trade law adalah hukum yang mengatur perilaku dagang antar negara. Sedangkan yang kedua, private international trade law adalah hukum yang mengatur perilaku dagang secara orang perorangan (private traders) di negara-negara yang berbeda.17 Meskipun ada pembedaan ini, namun para sarjana mengakui bahwa batas-batas kedua istilah ini pun sangat sulit untuk dibuat garis batasnya. Sanson menyatakan bahwa ‘the modern development is that the distinction between publik and privat international trade law has less meaning.’18 15 M. Sanson, Essential International Trade Law, Sydney: Cavendish, 2002, hlm. 3. 16 M. Sanson, op.cit., hlm. 4. Lihat pula pendekatan Rafiqul Islam, supra, dan Schmitthoff, supra.. 17 M. Sanson, op.cit., hlm. 4. 18 M. Sanson, op.cit., hlm. 4. Sanson dengan benar memberi contoh tentang hukum WTO. Perjanjian WTO adalah bidang hukum perdagangan internasional publik. Tetapi aturan hukumnya terjewantahkan ke dalam bidang-bidang privat, misalnya saja dalam hal tarif, dumping, perpajakan. (Ibid).
  • 14. Mirip dengan Sanson, Rafiqul Islam melihat hubungan atau keterkaitan ini juga sulit untuk tidak bersentuhan dan saling mempengaruhi. Beliau menulis: ‘The effect of public international law on private transactons is indirect but can be very profound in certain aspects. Some such aspects of private transactions will be considered merely because public international law has shaped, or is in the process of reshaping, their legal order.’19 d. Definisi Hercules Booysen Booysen sarjana Afrika Selatan tidak memberi definisi secara tegas. Beliau menyadari bahwa ilmu hukum sangatlah kompleks. Karena itu, upaya untuk membuat definisi bidang hukum, termasuk hukum perdagangan internasional, sangatlah sulit dan jarang tepat.20 Karena itu dalam upayanya memberi definisi tersebut, beliau hanya mengungkapkan unsur-unsur dari definisi hukum perdagangan internasional. Menurut beliau ada tiga unsur, yakni: (1) Hukum perdagangan internasional dapat dipandang sebagai suatu cabang khusus dari hukum internasional (international trade law may also be regarded as a specialised branch of international law). (2) Hukum perdagangan internasional adalah aturan-aturan hukum internasional yang berlaku terhadap perdagangan barang, jasa dan perlindungan hak atas kekayaan intelektual (HAKI). (International trade law can be described as those rules of international law which are applicable to trade in goods, services and the protection of intellectual property). Bentuk-bentuk hukum perdagangan internasional seperti ini 19 Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 1. 20 Interlegal's Definitions (http://home.yebro.co.za/~interlegal/ definitions.htm). Bandingkan dengan pendapat Reuvid, bahwa istilah ‘Perdagangan internasional’ mencakup bidang dan teknik dagang yang sangat luas (‘internasional trade covers a bewildering mumber of activities and procedures’ (Jonathan Reuvid, (ed.), hlm. xv).)
  • 15. misalnya saja adalah aturan-aturan WTO, perjanjian multilateral mengenai perdagnagan mengenai barang seperti GATT, perjanjian mengenai perdagangan di bidang jasa (GATS/WTO, dan perjanjia mengenai aspek-aspek yang terkait dengan HAKI (TRIPS).21 Dalam lingkup definisi ini diakui bahwa negara bukanlah semata-mata pelaku utama dalam bidang perdagangan internasional. Negara lebih berperan sebagai regulator (pengatur). Karena itu hukum perdagangan internasional juga mencakup aturan-aturan internasional mengenai transaksi- transaksi nyata yang bersifat internasional dari para pedagang (international law merchants). Karenanya, international law merchants ini adalah bagian dari hukum perdagangan internasional.22 (3) Hukum perdagangan internasional terdiri dari aturan-aturan hukum nasional yang memiliki atau pengaruh langsung terhadap perdagangan internasional secara umum. Karena sifat aturan- aturan hukum nasional tersebut, maka atura-aturan tersebut merupakan bagian dari hukum perdagangan internasional. contoh dari aturan hukum nasional seperti itu adalah perundang- undangan yang ekstrateritorial (the extraterritorial legislation).23 Dari 4 (empat) definisi di atas tampak semuanya ada benarnya. Tetapi penulis lebih pro kepada definisi Rafiqul Islam. Dari batasan Rafiqul Islam di atas, tampak adanya keterkaitan erat antara hukum perdagangan internasional dengan hukum internasional publik. Memang sekilas tampak bahwa dampak dan pengaruh hukum internasional publik ini tidak langsung. Namun demikian pengaruh ini dapat berdampak cukup luas terhadap 21 Interlegal's Definitions (http://home.yebro.co.za/~interlegal/ definitions.htm). 22 Interlegal's Definitions (http://home.yebro.co.za/~interlegal/ definitions.htm). 23 Interlegal's Definitions (http://home.yebro.co.za/~interlegal/ definitions.htm).
  • 16. beberapa aspek dari hukum perdagangan internasional. Hal ini disebabkan karena hukum internasional publik dalam beberapa hal telah membentuk dan sedang dalam proses pembentukan ketentuan- ketentuan yang mengatur aspek-aspek perdata dari transaksi perdagangan internasional.24 24 Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 1.
  • 17. 2. Pendekatan Hukum Perdagangan Internasional a. Hubungan antara Hukum Perdagangan Internasional dan Bidang Hukum lainnya Satu catatan lain yang juga penting adalah hubungan antara hukum perdagangan internasional dan hukum lainnya yang terkait dengan perdagangan internasional. Di bagian awal tulisan ini tampak luasnya bidang cakupan hukum perdagangan internasional ini. Luasnya bidang cakupan membuat cakupan yang dikajinya sulit untuk tidak tumpang tindih dengan bidang-bidang lainnya. Misalnya dengan hukum ekonomi internasional, hukum transaksi bisnis internasional, hukum komersial internasional, dll.25 Catatan di atas menunjukkan kedudukan penulis yang mengakui adanya keterkaitan antara hukum perdagangan internasional dengan hukum internasional. Di sisi lain, penulis berpendirian bahwa hukum ekonomi internasional adalah juga bagian atau cabang dari hukum internasional.26 Masalahnya adalah di mana letak atau garis batas di antara hukum perdagangan dengan bidang-bidang hukum lain disebut di atas, khususnya hukum ekonomi internasional. Ada bidang-bidang yang sama-sama tunduk pada dua bidang hukum ini. Misalnya saja, pembahasan mengenai subyek-subyek dan sumber-sumber dari kedua bidang hukum sedikit banyak hampir sama.27 Sementara ini pendekatan yang ditempuh untuk membedakan kedua bidang hukum ini adalah melihat subyek hukum yang tunduk kepada kedua bidang hukum tersebut. Hukum ekonomi internasonal lebih banyak mengatur subyek hukum yang bersifat publik (policy), seperti misalnya hubungan-hubungan di bidang ekonomi yang dilakukan oleh negara atau organisasi internasional. Sedangkan 25 Cf., M. Sanson, op.cit., hlm. 2. 26 Lihat buku penulis, Hukum Ekonomi Internasional: Suatu Pengantar, Jakarta: Rajagrafindo, cet. 3, 2003, Bab I. 27 Lihat lebih lanjut mengenai hukum ekonomi internasional ini, buku penulis, Hukum Ekonomi Internasional: Suatu Pengantar, Jakarta: Rajagrafindo, cet. 3, 2003, Bab I dst.
  • 18. hukum perdagangan internasional lebih menekankan kepada hubungan- hubungan hukum yang dilakukan oleh badan-badan hukum privat. Dalam kenyataannya pendirian tersebut tidak begitu valid. Hukum ekonomi internasional dalam kenyataannya juga mengatur kegiatan-kegiatan atau transaksi-transaksi badan hukum privat atau yang terkait dengan kepentingan privat, misalnya mengenai perlindungan dan nasionalisasi atau ekspropriasi perusahaan asing. Selain itu, meskipun hukum ekonomi internasional mengatur subyek-subyek hukum publik atau negara, namun aturan-aturan tersebut bagaimana pun juga akan berdampak pada individu atau subyek-subyek hukum lainnya di dalam wilayah suatu negara. b. Hukum Perdagangan Internasional Bersifat Interdisipliner Karakteristik lain dari hukum perdagangan internasional ini adalah pendekatannya yang interdisipliner. Untuk dapat memahami bidang hukum ini secara komprehensif, dibutuhkan sedikit banyak bantuan disiplin-disiplin (ilmu) lain. Dalam bidang hukum ini terkait dengan bidang pengangkutan (darat, udara dan khususnya laut). Hal ini membutuhkan bantuan dan pemahaman disiplin ilmu pelayaran. Keterkaitan dengan pembayaran dalam perdagangan internasional akan terkait dengan praktik perbankan dan lembaga keuangan lainnya. Hal ini membutuhkan bantuan dan pemahaman disiplin ilmu perbankan dan keuangan. Keterkaitan dengan perdagangan itu sendiri akan terkait dengan praktik dan teknik-teknik perdagangan. Hal ini membutuhkan bantuan dan pemahaman ilmu praktik perdagangan. Disiplin-disiplin ilmu lainnya yang terkait lainnya misalnya adalah teknologi, ekonomi. Yang juga penting adalah ilmu politik, yaitu bagaimana kebijakan politik suatu negara yang berpengaruh terhadap kebijakan dagang suatu negara.
  • 19. B. Prinsip-prinsip Dasar Hukum Perdagangan Internasional Prinsip-prinsip dasar (fundamental principles) yang dikenal dalam hukum perdagangan internasional diperkenalkan oleh sarjana hukum perdagangan internasional Profesor Aleksancer Goldštajn. Beliau memperkenalkan 3 (tiga) prinsip dasar tersebut, yaitu (1) prinsip kebebasan para pihak dalam berkontrak (the principle of the freedom of contract); (2) prinsip pacta sunt servanda; dan (3) prinsip penggunaan arbitrase.28 1. Prinsip Dasar Kebebasan Berkontrak Prinsip pertama, kebebasan berkontrak, sebenarnya adalah prinsip universal dalam hukum perdagangan internasional. Setiap sistem hukum pada bidang hukum dagang mengakui kebebasan para pihak ini untuk membuat kontrak-kontrak dagang (internasional). Schmitthoff menanggapi secara positif kebebasan pertama ini. Beliau menyatakan: “The autonomy of the parties’ will in the law of contract is the foundation on which an autonomous law of international trade can be built. The national sovereign has,..., no objection that in that area an autonomous law of international trade is developed by the parties, provided always that that law respects in every national jurisdiction the limitations imposed by public policy.”29 Kebebasan tersebut mencakup bidang hukum yang cukup luas. Ia meliputi kebebasan untuk melakukan jenis-jenis kontrak yang para pihak sepakati. Ia termasuk pula kebebasan untuk memilih forum penyelesaian sengketa dagangnya. Ia mencakup pula kebebasan untuk memilih hukum yang akan berlaku terhadap kontrak, dll. Kebebasan ini sudah barang tentu tidak boleh bertentangan dengan UU, kepentingan umum, kesusilaan, kesopanan, dan lain-lain persyaratan yang ditetapkan oleh masing-masing sistem hukum. 2. Prinsip Dasar Pacta Sunt Servanda 28 Aleksander Goldštajn, “The New Law of Merchant,” (1961) JBL 12. 29 Clive M. Schmitthoff, Commercial Law in a Changing Economic Climate, London: Sweet and Maxwell, 1981, hlm. 22. (Selanjutnya disebut “Commercial Law”).
  • 20. Prinsip kedua, pacta sunt servanda adalah prinsip yang mensyaratkan bahwa kesepakatan atau kontrak yang telah ditandatangani harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya (dengan itikad baik). Prinsip ini pun sifatnya universal. Setiap sistem hukum di dunia menghormati prinsip ini. 3. Prinsip Dasar Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase Prinsip ketiga, prinsip penggunaan arbitrase tampaknya terdengar agak ganjil. Namun demikian pengakuan Goldštajn menyebut prinsip ini bukan tanpa alasan yang kuat. Arbitrase dalam perdagangan internasional adalah forum penyelesaian sengketa yang semakin umum digunakan. Klausul arbitrase sudah semakin banyak dicantumkan dalam kontrak-kontrak dagang.30 Oleh karena itulah prinsip ketiga ini memang relevan. Goldštajn menguraikan kelebihan dan alasan mengapa penggunaan arbitrase ini beliau jadikan prinsip dasar dalam hukum perdagangan internasional: “Moreover, to the extent that the settlement of differences is referred to arbitration, a uniform legal order is being created. Arbitration tribunals often apply criteria other than those applied in courts. Arbitrators appear more ready to interpret rules freely, taking into account customs, usage and business practice. Further, the fact that the enforcement of foreign arbitral awards is generally more easy than the enforcement of foreign court decisions is conducive to a preference for arbitration.”31 4. Prinsip Dasar Kebebasan Komunikasi (Navigasi) Di samping tiga prinsip dasar tersebut, prinsip dasar lainnya yang menurut penulis relevan adalah prinsip dasar yang dikenal dalam hukum ekonomi internasonal, yaitu prinsip kebebasan untuk berkomunikasi (dalam pengertian luas, termasuk di dalamnya kebebasan bernavigasi). Komunikasi atau navigasi adalah kebebasan para pihak untuk berkomunikasi untuk keperluan dagang dengan siapa pun juga dengan melalui berbagai sarana navigasi atau 30 Lihat secara khusus, Rene David, Arbitration in International Trade, The Hague: Kluwer, 1985 (membahas panjang lebar tentang peran arbitrase dalam perdagangan internasional). 31 Aleksander Goldštajn, “The New Law of Merchant,” (1961) JBL 12.
  • 21. komunikasi, baik darat, laut, udara, atau melalui sarana elektronik. Kebebasan ini sangat esensial bagi terlaksananya perdagangan internasional. Aturan-aturan hukum (internasional) memfasilitasi kebebasan ini.32 Dalam berkomunikasi untuk maksud berdagang ini kebebasan para pihak tidak boleh dibatasi oleh sistem ekonomi, sistem politik, atau sistem hukum. Bandingkan dengan pendapat profesor Goldštajn di bawah ini ketika beliau membahas hubungan antara sistem ekonomi dan politik dalam kaitannya dengan hukum perdagangan internasional: “The law governing trade transactions is neither capitalist nor socialist; it is a means to an end, and therefore, the fact that the beneficiaries of such transactions are different in this or that country is no obstacle to the development of international trade. The law of international trade is based on the general principles accepted in the entire world.”33 (Huruf miring oleh penulis). Pernyataan terakhir Goldštajn di atas, yaitu bahwa hukum perdagangan internasional didasarkan pada prinsip-prinsip umum yang diterima di seluruh dunia menyatakan seolah-seolah hukum perdagangan internasional dapat diterima oleh sistem hukum di dunia. Pendapat ini benar. Sarjana terkemuka lainnya, Profesor Tammer, memperkuat pernyataan tersebut: “The law of external trade of the countries of planned economy does not differ in its fundamental principles from the law of external trade of other countries, such as, e.g., Austria or Switzerland. Consequently, international trade law specialists of all countries have found without difficulty that they speak a ‘common language.”34 32 Lihat lebih lanjut, Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional: Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali pers, cet. 3, 2003, hlm. 29. 33 Schmitthoff, op.cit., (Commercial Law), hlm. 19. 34 Schmitthoff, ‘The Unification of the Law of Internatioal Trade,’ (1968) JBL 109 (mengutip Tammer, The Sources of the Law International Trade, 1964, hlm. 42).
  • 22. C. Eksistensi dan Tujuan Hukum Perdagangan Internasional Hubungan-hubungan perdagangan internasional antar negara sudah ada sejak lama. Hubungan-hubungan ini sudah ada sejak adanya negara-negara dalam arti negara kebangsaan, yaitu bentuk- bentuk awal negara dalam arti modern. Perjuangan negara-negara ini untuk memperoleh kemandirian dan pengawasan (kontrol) terhadap ekonomi internasional telah memaksa negara-negara ini untuk mengadakan hubungan-hubungan perdagangan yang mapan dengan negara-negara lainnya. Mereka menyadari bahwa perdagangan adalah satu-satunya cara untuk pembangunan ekonomi mereka.35 Seperti telah dikemukakan di awal tulisan ini, sejak dulu dan bahkan dewasa ini semakin banyak negara sadar bahwa kebijakan menutup diri sudah jauh-jauh ditinggalkan. Pendirian ini semakin mendorong negara untuk memperluas aktivitas perdagangannya.36 Cara pandang ini sedikit banyak dilatarbelakangi dan dipengaruhi oleh beberapa aliran atau teori ekonomi. Pada awal perkembangannya, terutama abad ke 15 dan 16, teori atau aliran yang mula lahir adalah teori merkantilisme. Para merkantilis berpendirian perdagangan internasional sebagai instrumen kebijakan nasional. Mereka menekankan pentingnya ekspor sebesar- besarnya dan menekan impor serendah-rendahnya. Keuntungan dari selisih ekspor - impor merupakan keuntungan bagi negara (yang waktu itu diwujudkan dalam bentuk emas). Reaksi dari aliran itu adalah teori keunggulan komparatif yang diperkenalkan oleh David Ricardo (1772-1823). Ricardo menekankan spesialisasi dari hasil suatu produk. Smith menganggap perdagangan internasional sebagai salah satu bagian dari keunggulan komparatif (principle of comparative advantage). Teori beliau menyatakan bahwa untuk menjadi pemain utama dalam 35 Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 1. 36 Lihat antara lain: Ademuni-Odeke, The Law of International Trade, London: Blackstone, 1999, hlm. 3-4.
  • 23. perdagangan, faktor yang penting bukanlah ukuran, tetapi bagaimana memaksimalkan potensi.37 Contoh klasik adalah Jepang. Dari segi geografis, kekayaan alam dan luas wilayah, Jepang relatif kurang beruntung. Tetapi dengan kekuatan manajemen dalam perdagangan internasionalnya, negeri ini berhasil menjadikannya sebuah negara yang paling penting di dunia dewasa ini. Semakin luasnya aktivitas perdagangan ini yang dewasa ini dikenal dengan "liberalisasi perdagangan", sistem keuangan atau pasar internasional yang stabil untuk memberikan modal untuk melaksanakan perdagangan internasional tersebut. Karena itu, keterkaitan antara perdagangan internasional dan sistem keuangan atau moneter internasional menjadi semakin penting.38 Tidak terlalu mengherankan apabila masyarakat internasional kemudian menyelenggarakan konperensi Bretton Woods guna mendirikan Bank Dunia - IMF untuk maksud ini. Berdirinya ke-2 lembaga keuangan ini semata-mata untuk menjaga agar sistem moneter internasional dapat terpelihara (stabil) dan juga memberi pinjaman jangka pendek guna menanggulangi kesulitan neraca pembayaran yang disebabkan oleh adanya defisit perdagangan ekspor-impor negara-negara.39 Krisis keuangan internasional pada tahun 1970-an juga telah mempertegas pentingnya hubungan erat ini. Dalam upaya negara-negara ini meningkatkan pertumbuhan ekonomi mereka, dewasa ini mereka cenderung membentuk blok-blok perdagangan baik bilateral, regional maupun multilateral. Dalam kecenderungan ini pun peran perjanjian internasional menjadi semakin penting.40 37 Lihat misalnya, Ademuni-Odeke, Ibid., hlm. 3-4, M. Sanson, op.cit., hlm. 3; Jonathan Reuvid, op.cit., para. xv. 38 Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 2. 39 Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 2. 40 Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 2.
  • 24. Semakin pentingnya peran perjanjian-perjanjian di bidang ekonomi atau perdagangan ini pun telah melahirkan aturan-aturan yang mengatur perdagangan internasional di bidang barang, jasa dan penamaman modal di antara negara-negara.41 Tujuan hukum perdagangan internasional sebenarnya tidak berbeda dengan tujuan GATT (General Agreement on Tariffs and Trade, 1947) yang termuat dalam Preambule-nya. Tujuan tersebut adalah: (a)untuk mencapai perdagangan internasional yang stabil dan menghindari kebijakan-kebijakan dan praktek-praktek perdagangan nasional yang merugikan negara lainnya. (b)untuk meningkatkan volume perdaganan dunia dengan menciptakan perdagangan yang menarik dan menguntungkan bagi pembangunan ekonomi semua negara; (c)meningkatkan standar hidup umat manusia; dan (d) meningkatkan lapangan tenaga kerja. Tujuan lainnya yang juga relevan adalah: (e)untuk mengembangkan sistem perdagangan multilateral, bukan sepihak suatu negara tertentu, yang akan mengimplementasikan kebijakan perdagangan terbuka dan adil yang bermanfaat bagi semua negara;42 dan (f)meningkatkan pemanfaatan sumber-sumber kekayaan dunia dan meningkatkan produk dan transaksi jual beli barang.43 Ada pula yang menyatakan bahwa aturan-aturan perdagangan internasional juga pada analisis akhirnya akan menciptakan perdamaian dan keamanan internasional. Hal ini antara lain dinyatakan oleh Menteri Luar Negeri AS, Hull. Tesis ini tampaknya 41 Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 2. 42 Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 2. Lihat pula tujuan menurut Aleksander Goldštajn yang menyatakan: “only deliberate regulation on the international level will make it possible to do justice, on the basis of equality, to the interests and general welfare of all members of the international community.” (Aleksander Goldštajn, “The New Law of Merchant,” (1961) JBL 12.
  • 25. benar. Manakala dua atau lebih negara berhubungan dan bertransaksi dagang dan mereka memperoleh keuntungan dari perdagangan tersebut, otomatis keadaan dunia menjadi sedikit banyak lebih baik. Artinya, situasi dan kondisi dunia akan semakin kondusif. Sebenarnya tesis Hull tersebut sudah lama dikumandangkan oleh Immanuel Kant, yang selama ini dikenal juga sebagi bapak hukum internasional. Dalam tulisannya berjudul ‘On Eternal Peace,’ Kant menyatakan bahwa ‘spirit of trade could not co-exist with war.’44 Yang juga cukup menarik adalah tesis Hull di atas juga telah cukup lama disadari di tanah air. Salah seorang kepala suku Bugis ternama, yaitu Amanna Gappa, juga menyadari bahwa tujuan (unifikasi) hukum dagang adalah untuk mencegah persaingan di antara suku bangsanya dan juga memajukan kerjasama di antara mereka guna kesejahteraan di antara mereka.45 Terjemahan saduran hasil penelitian terhadap suku terkenal Bugis ini yang terkenal dengan hukum pelayaran dan dagangnya tergambarkan sebagai berikut: “One of thse chiefs was Amanna Gappa (=father of Gappa) who headed his countrymen at Makassar. Most probably he was a very intelligent and energetic man and he may have been the first to realize the great importance of navigation and trade for his people as the only fields of endeavour in which they could earn a living. We may assume that this was the bacground of his taking initiative in inviting his colleagues from other parts of Indonesia in order to collect the different rules which were in force in their respective regions and to compile a uniform navigation and trade law. By doing so he tried to prevent heavy competition among his countrymen and to stimulate co- operation for their own welfare.”46 (Huruf miring oleh kami). 43 Cf., Preamble GATT dan Preamble Perjanjian WTO (Marrakesh Agreement Establishing The World Trade Organization). 44 Lihat, Lew and Stanbrook, Interational Trade: Law and Practice, Bath: Euromoney, 1983, hlm. Xxi. 45 Lihat lebih lanjut, PH. O.L. Tobing, op.cit., hlm. 154. 46 Lihat lebih lanjut, PH. O.L. Tobing, op.cit., hlm. 154.
  • 26. Meskipun adanya tujuan bagus tersebut di atas, hukum perdagangan internasional masih memiliki cukup banyak kelemahan. Kelemahan tersebut tampaknya juga dapat ditemui dalam bidang- bidang hukum lainnya, yakni terdapatnya pengecualian-pengecualian atau klausul-klausul 'penyelamat' yang bersifat memperlonggar kewajiban-kewajiban hukum. Kelemahan spesifik tersebut yaitu: (a)hukum perdagangan internasional sebagian besar bersifat pragmatis dan permisif. Hal ini mengakibatkan aturan-aturan hukum perdagangan internasional kurang obyektif di dalam 'memaksakan' negara-negara untuk tunduk pada hukum. Dalam kenyataannya, negara-negara yang memiliki kekuatan politis dan ekonomi memanfaatkan perdagangan sebagai sarana kebijakan politisnya. (b)Aturan-aturan hukum perdagangan internasional bersifat mendamaikan dan persuasif (tidak memaksa). Kelemahan ini sekaligus juga kekuatan bagi perkembangan hukum perdagangan internasional yang menyebabkan atau memungkinkan perkembangan hukum ini di tengah krisis.47 47 Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 2-3.
  • 27. D. Perkembangan Hukum Perdagangan Internasional Dari uraian di atas tampak bahwa hukum perdagangan internasional telah ada sejak lahirnya negara dalam arti modern. Sejak saat itu, hukum perdagangan internasional telah mengalami perkembangan yang cukup pesat sesuai dengan perkembangan hubungan-hubungan perdagangan. Dilihat dari perkembangan sumber hukumnya (dalam arti materil), maka perkembangan hukum perdagangan internasional dapat dikelompokkan ke dalam 3 tahap, yakni: (1) Hukum perdagangan internasional dalam masa awal pertumbuhan. Hukum perdagangan internasional lahir pada awalnya dari praktek para pedagang. Hukum yang diciptakan oleh para pedagang ini lazim disebut pula sebagai lex mercatoria (law of merchant).48 Pada awal perkembangannya ini Lex Mercatoria tumbuh dari adanya 4 faktor berikut: (a) lahirnya aturan-aturan yang timbul dari kebiasaan dalam berbagai pekan raya (the law of the fairs); (b) lahirnya kebiasaan-kebiasaan dalam hukum laut; (c) lahirnya kebiasaan-kebiasaan yang timbul dari praktek penyelesaian sengketa-sengketa di bidang perdagangan; dan (d) berperannya notaris (public notary) dalam memberi pelayanan jasa-jasa hukum(dagang).49 (2) Hukum perdagangan internasional yang dicantumkan dalam hukum nasional Dalam tahap perkembangan ini, negara-negara mulai sadar perlunya pengaturan hukum perdagangan internasional. Mereka lalu mencantumkan aturan-aturan perdagangan internasional dalam kitab 48 United Nations, Progressive Development of the Law of Internatoinal Trade: Report of the Secretary-General of the United Nations, 1966, para. 20; Chia-Jui Cheng (ed.), Clive M. Schmitthoff's Select Essay on International Trade Law, Doredrecht/Boston/London: Martinus Nijhoff & Graham & Trotman, 1988, hlm. 21. 49 Schmitthoff, “The Unification of the Law of International Trade,” (1968) JBL 106.
  • 28. undang-undang hukum (perdagangan internasional) mereka. Aturan- aturan tersebut sedikit banyak adalah aturan-aturan yang mereka adopsi dari lex mercatoria. Misalnya saja Perancis membuat Kitab Undang-undang Hukum Dagang-nya (code de commerce) tahun 1807, Jerman menerbitkan Allgemeine Handelsgezetbuch tahun 1861, dll.50 (3) Lahirnya aturan-aturan hukum perdagangan internasional dan Munculnya Lembaga-lembaga Internasional yang mengurusi Perdagangan Internasional. Dalam perkembangan ketiga ini, aturan-aturan hukum perdagangan internasional lahir sebagian besar karena dipengaruhi oleh semakin banyaknya berbagai perjanjian internasional yang ditandatangani baik secara bilateral, regional, maupun multilateral.51 Secara khusus tahap ketiga ini muncul secara signifikan setelah berakhirnya Perang Dunia II. Salah satu perjanjian multilateral yang ditandangani pada masa ini adalah disepakati lahirnya GATT tahun 1947. Tahap ketiga ini disebut juga dengan tahap “internationalism”. Schmitthoff menyatakan sebagai berikut: “We are beginning to rediscover the international character of commercial law and the circle now contemplates itself: the general trend of commercial law everywhere is to move away from the restrictions of national law to a universal, international conception of the law of international trade.”52 Sejak berdiri hingga dewasa ini aturan-aturan perdagangan GATT telah berkembang dan mengalami pembangunan yang cukup penting. Bahkan dalam putaran perundingan tahun 1986-1994, negara-negara anggota GATT telah sepakat untuk membentuk suatu badan atau lembaga internasional baru, yaitu WTO. Perubahan dari GATT ke WTO berdampak luas terhadap bidang hukum perdagangan internasional. Alasannya, bidang pengaturan 50 United Nations, op.cit., para. 20; Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 48. 51 United Nations, op.cit., para. 20. 52 Schmitthoff, “The Unification of the Law of International Trade,” (1968) JBL 108.
  • 29. yang tercakup di dalam WTO sekarang ini adalah kompleks. Ia tidak semata-mata lagi mengatur tarif dan barang, tetapi juga mengatur jasa, hak kekayaan intelektual, penanaman modal, lingkungan, dll.53 Ciri kedua dalam perkembangan tahap ketiga ini yakni munculnya organisasi internasional. Salah satu badan yang menonjol adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sebetulnya peran PBB di bidang perdagangan internasional tidaklah langsung. Peran PBB di bidang ekonomi dan perdagangan ini termuat dalam pasal 1:3 Piagam PBB, yakni aturan tentang tujuan PBB yakni mencapai kerjasama internasional di dalam antara lain menyelesaikan masalah-masalah ekonomi internasional. Tujuan-tujuan PBB di atas diupayakan pemenuhannya melalui berbagai langkah berikut: i. Negara-negara anggota PBB mendirikan the United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) pada tahun 1964. Tujuan utamanya adalah untuk memberikan kesempatan yang lebih besar kepada negara sedang berkembang untuk ikut serta dalam merumuskan kebijakan-kebijakan perdagangan, dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan khusus negara-negara sedang berkembang ini.54 ii. negara-negara anggota PBB mengesahkan the Charter of Economic Rights and Duties of States pada tahun 1974 (serta disahkannya the Declaration and Programme of Action on the Establishment of the New International Economic Order). Pembentukan Piagam ini diawali dengan langkah Majelis Umum PBB mengesahkan the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights pada tahun 1966. 53 Uraian tentang perkembangan dari GATT ke WTO, lihat antara lain: Ray August, Internatoinal Business Law: Text, Cases and Readings, New Jersey: Prentice Hall, 3rd .ed., 2000, hlm. 355-360. 54 Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 6.
  • 30. Dokumen-dokumen penting ini pada pokoknya mengakui dan memberi perlakuan khusus kepada negara-negara sedang berkembang di bidang perdagangan, keuangan dan penanaman modal.55 Ciri ketiga yang juga menonjol adalah disepakatinya pendirian badan-badan ekonomi regional di suatu kawasan region tertentu. Blok perdagangan regional yang mula-mula membawa pengaaruh cukup luas adalah the European Single Market (1992) dan segera diikuti oleh blok perdagangan Amerika Utara (The North American Free Trade Agreeement atau NAFTA) (1994). Di kawasan Asia Tenggara, negara-negara ASEAN mengikuti langkah serupa dengan membentuk Asean Free Trade Area (AFTA). AFTA berlaku efektif sejak 1 Januari 2003.56 Kecenderungan pembentukan kelompok-kelompok regional ini di satu sisi positif. Namun di sisi lain organisasi-organisasi regional tersebut menimbulkan kekhawatiran dari masyarakat internasional karena terdapatnya blok-blok perdagangan tersebut melahirkan peraturan-peraturan regional eksklusif yang ternyata menyimpangi ketentuan-ketentuan umum yang terdapat dalam GATT/WTO. 55 Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 6. 56 Uraian lebih lanjut mengenai AFTA ini lihat: Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional ..., op.cit., hlm. 110-124.
  • 31. E. Unifikasi dan Harmonisasi Hukum Perdagangan Internasional 1. Perlunya Unifikasi dan Harmonisasi Hukum Di atas dikemukakan bahwa negara-negara mencantumkan atuaran-aturan hukum perdagangan internasional dalam hukum nasionalnya. Aturan-aturan hukum nasional di bidang perdagangan internasional ini karenanya menjadi sumber hukum yang cukup penting dalam hukum perdagangan internasional. Tetapi adanya berbagai aturan hukum nasional ini sedikit banyak kemungkinan dapat berbeda antara satu sama lainnya. Perbedaan ini kemudian dikhawatirkan akan juga mempengaruhi kelancaran transaksi perdagangan itu sendiri. Masalah ini sebelumnya sudah cukup lama disadari oleh bangsa-bangsa di dunia, termasuk organisasi dunia PBB. Dalam resolusi Majelis Umum PBB No 2102 (XX), PBB menyatakan bahwa: "Conflicts and divergencies arising from the laws of different states in matters relating to international trade constitute an obstacle to the development of world trade."57 Untuk menghadapi masalah ini, sebenarnya ada 3 teknik yang dapat dilakukan. Pertama, negara-negara sepakat untuk tidak menerapkan hukum nasionalnya. Sebaliknya mereka menerapkan hukum perdagangan internasional untuk mengatur hubungan-hubungan hukum perdagangan mereka. Kedua, apabila aturan hukum perdagangan internasional tidak ada dan atau tidak disepakati oleh salah satu pihak, maka hukum nasional suatu negara tertentu dapat digunakan. Cara penentuan hukum nasional yang akan berlaku dapat digunakan melalui penerapan prinsip choice of laws. Choice of Laws adalah klausul pilihan hukum yang disepakati oleh para pihak yang dituangkan dalam kontrak (internasional) yang mereka buat.58 57 United Nations, op.cit., para. 14. 58 Klausul choice of law tidak wajib sifatnya untuk harus ada dalam kontrak-kontrak internasional. Tetapi keberadaan klausul ini akan sedikit banyak membantu para pihak dalam penyelesaian sengketanya (apabila sengketa memang timbul) di kemudian hari (Lihat Sudargo Gautama, Kontrak Dagang Internasional, Bandung: Alumni, 1977, hlm. 26.
  • 32. Ketiga, teknik yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan unifikasi dan harmonisasi hukum aturan-aturan substantif hukum perdagangan internasional.59 Teknik ketiga ini dipandang cukup efisien. Cara ini memungkinkan terhindarnya konflik di antara sistem-sistem hukum yang dianut oleh masing-masing negara. Kedua kata ini hampir sama maksudnya, namun ada nuansa atau perbedaan yang perlu untuk dicatat. Kedua kata sama-sama berarti upaya atau proses menyeragamkan substansi pengaturan sistem- sistem hukum yang ada. Penyeragaman tersebut mencakup pengintegrasian sistem hukum yang sebelumnya berbeda. Perbedaan kedua kata tersebut terletak pada derajat penyeragaman tersebut. Dalam unifikasi hukum, penyeragaman mencakup penghapusan dan penggantian suatu sistem hukum dengan sistem hukum yang baru.60 Contohnya adalah pemberlakuan Perjanjian TRIPS/WTO. Dengan diperkenalkannya substansi bidang-bidang perjanjian TRIPS/WTO yang mencakup ketentuan mengenai hak cipta, merek dagang, indikasi geografis, disain industri, paten, dll., meletakkan kewajiban kepada negara anggota untuk membuat aturan- aturan HAKI nasionalnya yang sesuai dengan substansi perjanjian TRIPS/WTO. (Sudargo Gautama menulis: “Tegaslah apabila tidak dilakukan pilihan hukum, maka berbagai kemungkinan dan berbagai kesulitan yang akan timbul tentang hukum yang harus dipakai ii. Maka para lawyers condong untuk selalu menganjurkan para clientnya jangan lewati kesempatan untuk menentukan hukum yang berlaku itu. Dan jika mungkin, maka kamu harus selalu pakai hukum nasional dari negaramu sendiri karena ini adalah hukum yang paling kamu kenal dan paling dikenal oleh Hakim-Hakim yang akan mengadili perkaramu itu”). 59 United Nations, op.cit., para. 15. 60 Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 109. UNCITRAL, badan PBB yang mengurus hukum perdagangan internasional menggambarkan perbedaan kedua kata tersebut: “While the terms are closely interrelated, "harmonization" may conceptually be thought of as the process through which domestic laws may modified to enhance predictability in cross- border commercial transactions; and "unification" may be seen as the adoption by States of a common legal standard governing particular aspects of international business transactions.” (http://www.uncitral.org/en-index.htm).
  • 33. Harmonisasi hukum tidak sedalam unifiksi hukum. Tujuan utama harmonisasi hukum hanya berupaya mencari keseragaman atau titik temu dari prinsip-prinsip yang bersifat fundamental dari berbagai sistem hukum yang ada (yang akan diharmonisasikan).61 Untuk dapat melaksanakan unifikasi dan harmonisasi hukum ini karenanya hanya dapat dicapai oleh para ahli hukum yang mendalami atau menguasai perbandingan hukum. Upaya ini dapat dilakukan oleh suatu tim ahli perbandingan hukum yang terdiri dari para ahli hukum yang berlatar belakang sistem hukum yang berbeda-beda yang hendak diupayakan unifikasi dan harmonisasi hukumnya. Dalam upaya unifikasi dan harmonisasi hukum, masalah esensialnya adalah bagaimana metode yang akan diterapkannya. Dalam kaitan itu, masalah-masalah mengenai perbedaan konsepsi dan perbedaan bahasa yang terdapat dalam berbagai sistem hukum tersebut hanya dapat ditanggulangi dengan cara menerapkan metoda komparatif.62 Menurut Schmitthoff, dalam metode komparatif, dikenal 3 metode, yaitu metode dengan memberlakukan: a. perjanjian/konvensi internasional (international convention); b. hukum seragam (uniform laws); dan c. aturan seragam (uniform rules).63 Ad. a. Perjanjian atau Konvensi Internasional Penerapan atau pemberlakuan perjanjian atau konvensi internasional adalah cara yang paling banyak digunakan dalam 61 Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 109. 62 Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 109. 63 Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 110. Cf., Katerina Pistor mengemukakan pula (1) perjanjian bilateral sebagai instrumen untuk unifikasi hukum (bandingkan dengan perjanjian internasional dari konsep Schmitthoff); dan (2) aturan-aturan yang bersifat rekomendatif (bandingkan dengan uniform laws and uniform rules-nya Schmitthoff). (Katerina Pistor, "The Standardization of Law and Its Effect on Developing Countries," 50 Am.J.Comp.L. 97 (2002). Pistor mengungkapkan pula, dengan adanya upaya ini maka biaya utnuk transaksi dagang dapat menjadi berkurang. Selain itu, yang juga penting, unifikasi hukum dapat
  • 34. mencapai unifikasi hukum. Cara ini dipandang tepat untuk memperkenalkan suatu ketentuan hukum yang bersifat memaksa ke dalam sistem hukum nasional.64 Pemberlakuan perjanjian TRIPS/WTO di atas merupakan salah satu contoh. Gambaran lainnya adalah CISG 1980 atau Konvensi mengenai Kontrak Jual Beli Barang Internasional. Konvensi ini dapat dipandang sebagai upaya mengunifikasi hukum kontrak jual beli barang internasional. Para perancang konvensi ini telah berupaya mengkawinkan prinsip-prinsip kontrak yang dikenal dalam sistem hukum Civil Law dan sistem hukum Common Law. Salah satu pembatasan cara ini adalah adanya kehendak dari sesuatu negara untuk mengikatkan diri atau meratifikasi perjanjian atau konvensi internasional tersebut. Dalam kenyataannya, untuk mencapai kehendak tersebut banyak bergantung pada faktor ekonomi, politis, juridis, dll. b. Hukum seragam (Uniform Laws) Hukum seragam tidak lain adalah model-model hukum yang dapat kita lihat misalnya dalam model hukum arbitrase UNCITRAL 1985 (Model Law on International Commercial Arbitration). Model hukum ini memberikan keleluasaan kepada negara-negara yang hendak menerapkannya ke dalam hukum nasionalnya. Keleluasaan tersebut mencakup keleluasaan kepada negara yang bersangkutan apakah akan menerapkan secara penuh aturan- aturan substantif Model Law. Kemungkinan lain, negara tersebut memutuskan untuk menerapkannya dengan melakukan beberapa revisi atau menerapkan beberapa pengecualian terhadap aturan-aturan di dalamnya. Sifat hukum seragam tidak mengikat. Ia hanya bersifat persuasif. Karena itu derajat pengadopsian atau penerapannya sangat bergantung kepada masing-masing negara. Model hukum ini memberi sumbangan bagi perbaikan kualitas (lembaga-lembaga) hukum di suatu negara (ibid). 64 Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 110.
  • 35. karena itu berbeda dengan perjanjian atau konvensi internasional. Pada saat suatu negara turut serta, aksesi atau meratifikasi suatu perjanjian atau konvensi internasional, maka pada prinsipnya seluruh aturan perjanjian mengikat negara tersebut. c. Aturan Seragam (Uniform Rules) Aturan-aturan seragam lebih rendah tingkatannya daripada hukum seragam (Uniform Laws). Bentuk aturan seragam tampak antara lain dalam modal-model kontrak standar atau kontrak baku. Contoh bentuk aturan seperti ini adalah the Uniform Customs and Practice for Documentary Credits (1974) yang dikeluarkan oleh ICC. Aturan hukum ini telah diterapkan dan dipraktekkan oleh para subyek hukum perdagangan internasional di dunia.65 Bentuk lainnya adalah klausul standar (baku) yang dicantumkan oleh para pihak dalam kontrak-kontrak yang mereka buat.66 Tidak jarang pula lembaga-lembaga atau asosiasi-asosiasi memperkenalkan klausul-klausul yang perlu dicantumkan dalam suatu kontrak apabila para pihak hendak memanfaatkan fasilitas lembaga atau asosiasi yang bersangkutan. Hal ini antara lain banyak ditemui dalam klausul-klausul arbitrase baik nasional maupun asing. Klausul-kluasul standar arbitrase tersebut dimaksudkan agar para pihak tidak perlu lagi merancang klausul choice of forum-nya, dalam hal ini arbitrase.67 Bagaimana unifikasi dan harmonisasi dapat bekerja, agak sulit untuk dipaparkan di sini. Namun demikian, Katerina Pistor, guru besar di Columbia Law School, mengemukakan istilah yang dinamakannya standardization of law (standardisasi hukum). Maksud standardisasi di sini mengacu kepada suatu tahap dari kekhususan dari suatu hukum (the level of specificity of law). Standar hanya mencakup prinsip-prinsip hukum (legal 65 Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 111. 66 Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 111. 67 Lihat Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional, Jakarta: Rajagrafindo, cet. 3, 2003.
  • 36. principles), bukan atau tidak aturan-aturan hukumnya (legal rules).68 Upaya unifikasi dan harmonisasi hukum ini telah cukup serius dilakukan khususnya oleh the World Trade Organization (WTO), the International Institute for the Unification of Private Law (UNIDROIT), The Hague Conference of Private International Law dan PBB khususnya the United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) dan the United Nations Conference on International Trade and Law (UNCTAD). Di samping itu terdapat pula lembaga-lembaga internasional non-pemerintah yang juga berkepentingan dengan upaya unifikasi dan harmonisasi hukum perdagangan internasional, yakni, antara lain, International Chamber of Commerce (ICC atau Kamar Dagang Internasional), dan International Law Association (ILA atau Asosiasi Hukum Internasional).69 2. Lembaga-lembaga yang Bergerak dalam Unfikasi dan Harmoniasi Hukum Berikut adalah uraian secara ringkas beserta upaya badan- badan atau organisasi-organisasi internasional tersebut di bidang unifikasi dan harmonisasi hukum perdagangan internasional. Tidak semua upaya badan atau organisasi internasional akan diuraikan. Pembahasan dibatasi pada WTO, UNCITRAL, UNIDROIT dan ICC. 68 Katarina Pistor, op.cit., hlm 97. 69 Schmitthoff, op.cit., “Commercial Law,” hlm. 24 (beliau mengemukakan formulating agencies dalam mengupayakan unifikasi hukum perdagangan internasional, yaitu: (1) UNCITRAL; (2) The International Institute for the Unification of Private Law (UNIDROIT, Rome); (3) The Hague Conference on Private International Law (The Hague); dan (4) The Council for Mutual Economic Assistance (CMEA, Moscow). Sedangkan organisasi internasional swasta (non pemerintah) yaitu: (5) ICC; (6) The International Maritime Committee (IMC, Antwerp); dan (7) The International Law Association (ILA, London).
  • 37. a. World Trade Organization (WTO) 1. Pengantar World Trade Organization atau WTO dihasilkan dari Putaran Uruguay GATT (1986-1993). Organisasi ini memiliki kedudukan yang unik karena ia berdiri sendiri dan terlepas dari badan kekhususan PBB. Pembentukan WTO ini merupakan realisasi dari cita-cita lama negara-negara pada waktu merundingkan GATT pertama kali (1948). Yakni hendak mendirikan suatu organisasi perdagangan internasional (yang dulu namanya adalah International Trade Organization atau ITO). Struktur WTO akan dikepalai oleh suatu badan tertinggi yang disebut Konperensi Tingkat Menteri (Ministerial Conference). Badan ini akan bersidang sedikitnya sekali dalam dua tahun. Badan ini terdiri dari para perwakilan dari semua anggota WTO. Semua keputusan mengenai kebijakan yang berkaitan dengan perdagangan multilateral dilakukan melalui badan ini. Untuk pelaksanaan pekerjaannya sehari-hari, badan tertinggi ini dibantu oleh badan-badan kelengkapan utama, yaitu Dewan Umum (General Council) yang terdiri dari semua anggota WTO. Badan ini bertugas memberikan laporan mengenai kegiatan-kegiatannya kepada the Ministerial Conference. General Council memiliki dua fungsi lainnya. Pertama, sebagai suatu Badan Penyelesaian sengketa (Dispute Settlement Body). Fungsi kedua, sebagai badan peninjau kebijakan perdagangan negara- negara anggota GATT (Trade Policy Review Body). Selain itu, badan ini juga bertugas mengamati masalah-masalah perdagangan yang akan dicakup oleh WTO. Ia akan menetapkan tiga badan subsider yakni The Council for Trade in Goods, Council for Trade in Services, dan Council for TRIPs. The Council for Trade in Goods mengawasi pelaksanaan dan berfungsinya semua perjanjian mengenai perdagangan barang (Annex 1A Perjanjian WTO) meskipun sebetulnya untuk perjanjian-pejanjian
  • 38. tertentu umumnya mereka memiliki badan pengawasnya sendiri. Dua dewan lainnya memiliki tanggung jawabnya masing-masing berkaitan dengan perjanjian WTO dan badan-badan tersebut dapat mendirikan badan-badan subsider lainnya manakala dipandang perlu. Tiga badan lainnya didirikan oleh the Ministerial Conference dan mereka melaporkan pekerjaannya kepada the General Council. Ketiga badan tersebut adalah the Committee on Trade and Development, yakni badan yang bertanggung jawab untuk masalah- masalah yang terdapat di negara-negara sedang berkembang. Kedua, the Committee on Balance of Payments bertanggung jawab untuk menyelenggarakan konsultasi di antara negara-negara anggota WTO dan negara-negara yang melaksanakan tindakan-tindakan restriktif perdagangan (Pasal XII dan XVII GATT), yakni tindakan- tindakan untuk menghadapi kesulitan-kesulitan neraca pembayarannya. Ketiga, the Committee on Budget, Finance and Administration bergerak dalam mengatur masalah-masalah keuangan dan anggaran WTO.70 Di samping badan-badan tersebut, WTO membentuk pula badan- badan khusus yang mengawasi pelaksanaan perjanjian-perjanjian plurilateral (yang sifatnya sukarela), yakni badan untuk perdagangan pesawat udara sipil, badan untuk pengadaan barang pemerintah (government procurement), badan untuk produk susu dan daging (dairy products and bovine meat). Badan-badan khusus ini melaporkan tugas-tugasnya kepada the General Council. Sekretariat WTO berkedudukan di Jenewa, Swiss. Sampai tulisan ini dibuat, Sekretariat WTO memiliki sekitar 450 staf dan diketuai oleh seorang Direktur Jenderal (Diretor General) dan 4 orang pembantu Direktur Jenderal. Dalam membuat putusan, WTO melanjutkan praktek yang telah lama dilakukan dalam GATT, yaitu melalui konsensus. Namun dalam hal konsensus ini gagal, maka putusan akan diambil melalui pemungutan suara atau voting. 70 WTO, Trading into the Future,.Geneva, 1995, hlm. 13.
  • 39. Di samping itu, ada 4 hal atau situasi dalam perjanjian WTO yang memungkinkan dilakukannya voting. Pertama, mayoritas 2/3 dari anggota WTO diperlukan untuk mengesahkan suatu penafsiran perjanjian perdagangan multilateral. Kedua, mayoritas 2/3 dari anggota WTO diperlukan bagi the Ministerial Conference untuk memutuskan penanggalan suatu kewajiban yang dikenakan terhadap suatu negara oleh suatu perjanjian multilateral. Ketiga, keputusan untuk merubah ketentuan perjanjian multilateral dapat disahkan melalui kesepakatan seluruh anggotanya atau melalui mayoritas 2/3 dari anggota WTO. Perubahan-perubahan demikian hanyalah berlaku bagi negara-negara yang menerimanya saja. Keempat, suatu mayoritas 2/3 dari negara anggota WTO diperlukan untuk menerima masuknya suatu negara menjadi anggota WTO.71 2. Kebijakan Unifikasi dan Harmonisasi WTO WTO adalah salah satu contoh yang telah di sebut di atas, di mana unifikasi aturan-aturan atau hukum perdagangan internasional diterapkan terhadap negara-negara anggotanya. Pasal XVI Perjanjian Pembentukan WTO menyatakan: "Each member shall ensure the conformity of its laws, regulations and administrative procedures with its obligations as provided in the annexed Agreements." (Pasal XVI ayat 4 Agreement Establishing the World Trade Organization). Ketentuan pasal tersebut menjadi indikator penting bagaimana WTO mewajibkan negara-negara anggotanya untuk menyesuaikan aturan-aturan atau hukum perdagangannya dengan aturan-aturan yang termuat dalam Annex perjanjian WTO. Bahkan ketentuan pasal XVI tersebut juga mewajibkan negara anggotanya untuk menyesuaikan administrative procedures-nya (birokrasi) sesuai dengan administrative procedure-nya WTO. 71 WTO, Trading into the Future, Geneva, 1995, hlm. 14.
  • 40. 3. Perjanjian-perjanjian di Bawah Piagam WTO Perjanjian-perjanjian yang termuat dalam lampiran (Annex) WTO adalah perjanjian dalam TRIPS (telah diuraikan secara singkat di atas). Perjanjian-perjanjian lainnya adalah: GATT 1994; Agreement on Agriculture; Sanitary and Phytosanitary Measures; Textiles and Clothing; Technical Barriers to Trade; Trade-Related Investment Measures (TRIMs); Anti-dumping (Article VI of GATT 1994); Customs valuation (Article VII of GATT 1994); Preshipment Inspection; Rules of Origin; Import Licensing; Subsidies and Countervailing Measures; Safeguards; General Agreement on Trade in Services (GATS); Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS); Dispute Settlement Understanding. Sebenarnya di samping unifikasi hukum, WTO juga berupaya mendorong harmonisasi hukum, termasuk harmonisasi standar-standar teknis-nya. Upaya harmonisasi ini telah lama diupayakan GATT (pendahulu WTO). Pada tahun 1979, GATT berhasil mengeluarkan The GATT Code on Technical Standards (Standard Code). Aturan Standard Code ini mendorong negara-negara anggotanya untuk mengharmonisasikan standar-standar produk domestiknya. Upaya ini ditempuh agar kebijakan negara-negara mengenai standar produk tidak malah menjadi penghalang bagi perdagangan dunia.72 Perjanjian lainnya yang dapat digolongkan ke dalam harmonisasi hukum adalah perjanjian-perjanjian yang berada di bawah 'Plurilateral Agreement'(Annex 4 Perjanjian WTO). Perjanjian-perjanjian ini adalah: Agreement on Trade in Civil Aircraft (Annex 4 (a)); Agreement on Government Procurement (Annex 4 (b)); International Dairy Agreement (Annex 4 (c)); International Bovine Meat Agreement (Annex 4 (d)). 72 Michael Trebilcock and Robert Howse, The Regulation of International Trade, London: Routledge, 1995, hlm. 29.
  • 41. b. The International Institute for the Unification of Private Law (UNIDROIT). 1. Pengantar The International Institute for the Unification of Private Law (UNIDROIT) adalah sebuah organisasi antar pemerintah yang sifatnya independen. UNCITRAL dibentuk pada tahun 1926 sebagai suatu badan pelengkap Liga Bangsa-Bangsa (LBB). Sewaktu LBB bubar, UNIDROIT dibentuk kembali pada tahun 1940 berdasarkan suatu perjanjian multilateral yakni Statuta UNIDROIT (the UNIDROIT Statute). UNIDROIT berkedudukan di kota Roma. Tujuan utama pembentukannya adalah melakukan kajian untuk memodernisasi, mengharmonisasi dan mengkoordinasikan hukum privat, khususnya hukum komersial (dagang) di antara negara atau di antara sekelompok negara. Keanggotaan UNIDROIT terbatas hanya untuk negara-negara yang menundukkan dirinya kepada Statuta UNIDROIT. Negara-negara ini berasal dari 5 benua dan mewakili berbagai sistem hukum, ekonomi, politik dan budaya yang berbeda. Dewasa ini UNIDROIT memiliki 59 negara anggota, yakni: Argentina, Australia, Austria, Belanda, Belgium, Bolivia, Brazil, Bulgaria, Canada, Chile, China, Colombia, Croatia, Cuba, Cyprus, Republik Czech, Denmark, Mesir, Estonia, Federasi Rusia Finlandia, Perancis, Jerman, Holy See (Tahta Suci), Hungaria, India, Iran, Iraq, Ireland, Israel, Italy, Japan, Luxembourg, Malta, Mexico, Nikaragua, Nigeria, Norwegia, Pakistan, Paraguay, Poland, Portugal, Republik Korea, Romania, San Marino, Slovakia, Slovenia, Africa Selatan, Spanyol, Swedia, Swiss, Tunisia, Turki, Inggris, Amerika Serikat, Uruguay, Venezuela, Yugoslavia (Federal Republic of), Yunani. 2. Kebijakan Harmonisasi dan Unifikasi UNIDROIT Tujuan utama UNIDROIT sebenarnya adalah mempersiapkan harmonisasi aturan-aturan hukum privat. Upaya ini dipandang penting mengingat perkembangan teknologi baru, praktek-praktek
  • 42. pedagangan, dll memerlukan aturan hukum yang baru. Biasanya aturan-aturan baru tersebut juga dibuat oleh negara-negara. Masalahnya adalah peraturan tersebut bisa saja berbeda antara satu aturan hukum dengan aturan hukum lainnya. Karen itu aturan tersebut perlu diharmonisasi, atau bahkan diunifikasi guna memperlancar perdagangan internasional. Masalahnya adalah harmonisasi atau unifikasi hukum tersebut banyak bergantung kepada keinginan dan kerelaan negara-negara untuk mau menerimanya. Meskipun menyadari adanya kesulitan upaya tersebut, UNIDROIT memiliki kedudukannya yang menguntungkan sebagai organsiasi antar pemerintah. Dalam kaitan ini, UNDIROIT menerapkan pemberlakuan konvensi atau perjanjian internasional yang mensyaratkan penerimaan dari negara-negara anggotanya. Tujuannya adalah menerapkan aturan-aturan konvensi tersebut ke dalam sistem hukum negara-negara anggota yang menundukkan dirinya kepada konvensi tersebut. Penerimaan suatu aturan konvensi oleh negara akan jauh lebih memudahkan pemberlakuan aturan-aturan konvensi tersebut ke dalam wilayah negara anggotanya (termasuk kepada warga negara atau subyek-subyek hukum di wilayah negara tersebut). 3. Konvensi atau Perjanjian Yang Dihasilkan UNIDROIT Selama berdiri UNIDROIT telah melakukan lebih dari 70 kajian. Kajian-kajian ini ada yang telah menghasilkan berbagai perjanjian atau konvensi internasional berikut: (1) Convention relating to a Uniform Law on the Formation of Contracts for the International Sale of Goods (The Hague 1964); (2) Convention relating to a Uniform Law on the International Sale of Goods (The Hague, 1964); (3) International Convention on the Travel Contract (Brussels, 1970);
  • 43. (4) Convention providing a Uniform Law on the Form of an International Will (Washington, 1973); (5) Convention on Agency in the International Sale of Goods (Geneva, 1983); (6) UNIDROIT Convention on International Financial Leasing (Ottawa, 1988); (7) UNIDROIT Convention on International Factoring (Ottawa, 1988); (8) UNIDROIT Convention on Stolen or Illegally Exported Cultural Objects (Rome, 1995); (9) Convention on International Interests in Mobile Equipment (Cape Town, 2001); (10) Protocol to the Convention on International Interests in Mobile Equipment on Matters specific to Aircraft Equipment (Cape Town, 2001).
  • 44. c. The United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL)73 1. Pengantar 1. The United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) adalah badan kelengkapan khusus dari Majelis Umum PBB. Badan ini dibentuk pada tahun 1966. Pembentukannya didasarkan pada Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 2205 (XXI) tanggal 17 Desember 1966. Tugas utamanya adalah mengurangi perbedaan-perbedaan hukum di antara negara-negara anggota yang dapat menjadi rintangan bagi perdagangan internasional. Untuk melaksanakan tugas tersebut UNCITRAL berupaya memajukan perkembangan harmonisasi dan unifikasi hukum perdagangan internasional secara progresif (the progressive harmonization and unification of the law of international trade). Sejak berdiri UNCITRAL telah mempersiapkan berbagai Konvensi, Model Hukum dan instrumen hukum lainnya yang mengatur transaksi perdagangan atau aspek-aspek hukum bisnis lainnya yang memiliki pengaruh terhadap perdagangan internasional. 2. Kebijakan Harmonisasi dan Unifikasi UNCITRAL Dua kata harmonisasi dan unifikasi di atas memiliki pengertian tersendiri bagi UNICTRAL. UNCITRAL beranggapan mandat "Harmonization" dan "unification" hukum perdagangan internasional ini dimaksudkan agar perdagangan internasional dapat berlangsung secara lancar. Hal ini penting mengingat perdagangan internasional acapkali terhalang atau tidak lancar karena faktor-faktor seperti tidak adanya kepastian hukum (lack of a predictable governing law), hukum yang ada sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman. 73 http://www.uncitral.org/en-index.htm. Lihat pula: Gerold Hermann, “United Nations Commission on International Trade Law,” dalam: R. Bernhardt (ed.), Encyclopedia of Public International Law: Instalment 5, 1983, hlm. 298-301; Schmitthoff, op.cit., Commercial Law, hlm. 24- 25.
  • 45. Karena itu upaya badan ini tidak lain adalah berupaya membuat produk atau instrumen hukum yang modern yang dapat memberi kebutuhan hukum untuk memperlancar perdagangan internasional dan perkembangan ekonomi dunia.74 UNCITRAL merancang dan mengesahkan setiap instrumen hukum. Dalam upaya ini, tidak semua negara anggota UNCITRAL turut serta. Hanya negara-negara tertentu saja yang merupakan wakil dari region-regiona di dunia.75 Pihak lain yang juga dapat turut serta dalam proses perancangan tersebut adalah LSM internasional atau organisasi- organisasi antar pemerintah yang berminat. Keputusan untuk mengesahkan instrumen hukum dilakukan secara konsensus. Instrumen hukum yang dirancang UNCITRAL bisa berupa legislative texts umumnya berupa Konvensi.76 Legislative texts 74 Cf., mirip mandatnya dengan UNIDROIT., supra. 75 Terdapat lima kelompok regional yang terwakili dalam UNCITRAL. Mereka adalah: (1) Negara-negara Afrika, yakni: Benin, Burkina Faso, Cameroon, Kenya, Morocco, Rwanda, Sierra Leone, Sudan and Uganda; (2) Negara-negara Asia:- China, Fiji, India, Iran (Islamic Rep. of), Japan, Singapore, and Thailand; (3) Negara-negara Eropa Timur: Hungary, Lithuania, Romania, Russian Federation, The former Yugoslav Republic of Macedonia; (4) Amerika Latin dan Karibia: Argentina, Brazil, Colombia, Honduras, Mexico, Paraguay and Uruguay; (5) Eropa Barat dan Lainnya:- Austria, Canada, France, Germany, Italy, Spain, Sweden, United States of America and United Kingdom. 76 Konvensi tersebut adalah: Convention on the Limitation Period in the International Sale of Goods (New York, 1974); United Nations Convention on Contracts for the International Sale of Goods (Vienna, 1980); United Nations Convention on the Carriage of Goods by Sea, 1978 (Hamburg Rules); United Nations Convention on the Liability of Operators of Transport Terminals in International Trade (1991); United Nations Convention on International Bills of Exchange and International Promissory Notes (New York, 1988); United Nations Convention on Independent Guarantees and Stand-by Letters of Credit New York, 1995); Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards (New York 1958) (the "New York" Convention); United Nations Convention on Contracts for the International Sale of Goods (Vienna 1980) ("CISG"); Convention on the Limitation Period in the International Sale of Goods (New York 1974); United Nations Convention on International Bills of Exchange and International Promissory Notes (New York, 1988); United Nations Convention on Independent Guarantees and Stand-by Letters of Credit (New York, 1995); United Nations Convention on the Assignment of Receivables in International Trade (2001); United Nations Convention on the Carriage of Goods by Sea (1978) (the "Hamburg Rules"); United
  • 46. misalnya saja: United Nations Convention on Contracts for the International Sale of Goods; Convention on the Limitation Period in the International Sale of Goods; United Nations Convention on Independent Guarantees and Stand-by Letters of Credit; United Nations Convention on International Bills of Exchange and International Promissory Notes; United Nations Convention on the Carriage of Goods by Sea, 1978 (Hamburg); United Nations Convention on the Liability of Operators of Transport Terminals in International Trade; and the United Nations Convention on the Assignment of Receivables in International Trade. Sedangkan instrumen hukum lainnya berupa legislative guides dan non-legislative guides. Legislative guides misalnya adalah instrumen-instrumen hukum berupa model law dan rules. Instrumen ini merupakan instrumen yang tidak mengikat negara anggota. Negara anggota bebas untuk mengikui atau tidak mengikuti legislative guides tersebut. Non-legislative texts adalah instrumen hukum lainnya yang sifatnya juga tidak mengikat. Contoh instrumen hukum seperti ini misalnya saja: UNCITRAL Arbitration Rules; UNCITRAL Conciliation Rules; UNCITRAL Notes on Organizing Arbitral Proceedings; UNCITRAL Legal Guide on Drawing Up International Contracts for the Construction of Industrial Works; and UNCITRAL Legal Guide on International Countertrade Transactions. Nations Convention on the Liability of Operators of Transport Terminals in International Trade (Vienna, 1991).
  • 47. d. Kamar Dagang Internasional (ICC)77 1. Pengantar The International Chamber of Commerce (ICC) didirikan pada tahun 1919. Badan ini berkedudukan di Paris. Tujuannya pada waktu itu, dan sampai sekarang masih terus berlaku, adalah melayani dunia usaha dengan memajukan perdagangan, penanaman modal, membuka pasar untuk barang dan jasa, serta memajukan aliran modal (to serve world business by promoting trade and investment, open markets for goods and services, and the free flow of capital). Selama ini ICC dipandang sebagai corongnya dunia usaha (pengusaha) untuk pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan kemakmuran. Peran ini sangat penting dalam kaitannya dengan keadaan dunia saat ini. Negara-negara di dunia kerap membuat kebijakan atau keputusan-keputusan yang dapat mempengaruhi perdagangan. Karena itulah, peran atau adanya suatu badan dunia yang menyuarakan para pedagang yang terkena oleh kebijakan atau keputusan (suatu) negara menjadi sangat penting. Untuk itu, ICC memiliki akses langsung kepada pemerintah negara-negara di dunia melalui national committee ICC (KADIN Nasional) yang terdapat hampir di setiap negara di dunia. Peran penting lain ICC adalah sebagai badan dalam membuat kebijakan-kebijakan atau aturan-aturan yang dapat memfasilitasi perdagangan internasional. Peran lain yang juga cukup penting adalah: (1) sebagai forum penyelesaian sengketa khususnya melalui arbitrase;78 77 http://www.iccwbo.org/home/menu_what_is_icc.asp; Schmitthoff, op.cit., Commercial Law, hlm. 24-25. 78 ICC memiliki badan arbitrase serta aturan (rules) arbitrasenya. The ICC International Court of Arbitration terbentuk pada tahun 1923 atas jasa Presiden ICC pertama, yaitu Etienne Clémentel, mantan menteri perdagangan Perancis. Badan arbitrase ICC telah terkenal menjadi badan penyelesaian sengketa bisnis ternama. Pada tahun 2002 saja badan arbitrase ICC menerima 590 kasus atau kira-kira 50 kasus per bulan. (http://www.iccwbo.org/home/menu_what_is_icc.asp).
  • 48. (2) sebagai forum untuk menyebarluaskan informasi dan kebijakan serta aturan-aturan hukum dagang internasional di antara pengusaha-pengusaha di dunia; dan (3) memberikan pelatihan-pelatihan dan teknik-teknik dalam merancang kontrak serta keahlian-keahlian praktis lainnya dalam perdagangan internasional. 2. Kebijakan Harmonisasi Hukum ICC ICC tidak berupaya menciptakan unifikasi hukum. Kebijakan yang ditempuhnya adalah memberikan aturan-aturan dan standar- standar (Rules and Standards) di bidang hukum perdagangan internasional. Kedua bentuk aturan ini sifatnya tidak mengikat. Hal ini sebenarnya tidak terlepas dari pendirian ICC bahwa dunia usaha sebaiknya tidak atau dipengaruhi sedikit mungkin oleh campur tangan penguasa (pemerintah). ICC karenanya tidak mau menjadi penguasa seperti itu. Ia berpendirian, biarlah dunia usaha saja yang mengatur atau membuat aturan bagi mereka sendiri. Dana turan-aturan yang sifatnya atau yang datang dari luar, termasuk aturan-aturan yang dibuat ICC, haruslah bersfiat sukarelah saja. Namun demikian aturan-aturan ICC (termasuk standar-standar ICC) ini memiliki pengaruh yang cukup tinggi. Bahkan beberapa aturan (Rules)-nya telah diikuti dengan sukarela dan seksama oleh para pelaku dagang, seperti misalnya perbankan. Bahkan standar- standar yang dikeluarkan oleh ICC telah banyak dimasukkan ke dalam kontrak-kontrak dagang yang dibuat oleh para pelaku bisnis. 3. Aturan-aturan dan Standar yang Dikeluarkan ICC Dewasa ini ICC memiliki 16 Komisi para ahli yang berasal dari sektor swasta. Para ahli ini terdiri berbagai bidang keahlian di bidang bisnis internasional. Keahlian bidang mereka antara lain mencakup teknis-teknis perbankan (jasa keuangan), perpajakan, hukum persaingan, telekomunikasi, HAKI, teknologi informasi, pengangkutan (udara dan laut), penanaman modal dan kebijakan perdagangan.
  • 49. Para ahli dalam komisi-komisi tersebut berperan cukup penting dalam merumuskan kebijakan, aturan-aturan dan standar- standar yang digunakan atau diterapkan terhadap perdagangan internasional, termasuk kontrak internasional, meskipun sifatnya tidak mengikat. Maksud utama dengan adanya aturan-aturan tersebut adalah untuk mempermudah perusahaan-perusahaan atau para pedagang di seluruh dunia untuk bertransaksi dagang. Selain itu yang juga penting adalah untuk mempermudah mereka membuat kontrak-kontrak dagang. Selama ini, aturan-aturan yang sifatnya tidak mengikat atau sukarelah tersebut adalah:79 (1) ICC International Code on Sponsorship (September 2030); (2) Compendium of ICC Rules on Children and Young People and Marketing (April 2003); (3) Rules for Expertise (Januari 2003); (4) Paction - the online model sales contract application Create, negotiate and sign your model contracts online, 2002 (5) ICC DOCDEX Rules (Oktober 1997 dan Maret 2002); (6) ICC International Code of Sales Promotion (Mei 2002); (7) GUIDEC II: General Usage for International Digitally Ensured Commerce (Oktober 2001); dan GUIDEC I (6 November 1997); (8) Compendium of Rules for Users of the Telephone in Sales, Marketing and Research (Juni 2001); (9) ICC International Code of Direct Marketing (September 1998 dan Juni 2001); (10) ICC International Code of Direct Selling (Juni 1999); (11) ICC Rules of Conduct to Combat Extortion and Bribery (1999); (12) ICC Recommended Code of Practice for Competition Authorities on Searches and Subpoenas of Computer Records (16 Oktober 1998); (13) Model Clauses for use in Contracts involving Transborder Data Flows (23 September 1998); (14) ICC Guidelines on Advertising and Marketing on the Internet (April 1998); (15) The Rules of Arbitration of the ICC (1 Januari 1998); 79 <http://www.iccwbo.org/home/statements_rules/menu_rules.asp>
  • 50. (16) ICC International Code of Advertising Practice (April 1997); (17) ICC International Customs Guidelines (10 Juli 1997); (18) The Business Charter for Sustainable Development (1996); (19) Rules for Pre-arbitral referee, (1 Januari 1990); (20) The Uniform Customs and Practice for Documentary Credits (UCP) 1933 dan 1994. (21) The International Commercial Terms (Incoterms) (1936, 2000). Dua produk hukum ICC yang disebut terakhir, yaitu UCP dan Incoterms perlu mendapat sedikit catatan. UCP mengalami beberapa kali revisi. Revisi terakhir adalah UCP 500, yang mulai berlaku Januari 1994. UCP telah digunakan oleh bank di seluruh dunia. Suatu tambahan terhadap UCP 500, yaitu the eUCP, ditambahkan pada tahun 2002. eUCP mengatur penampilan semua atau sebagian doumen elektronik. Incoterms dibentuk untuk memberikan definisi baku secara universal mengenai istilah-istilah yang digunakan dalam transaksi perdagangan internasional, seperti misalnya Ex quay, CIF dan FOB. Seperti halnya UCP, Incoterms telah mengalami beberapa revisi. Revisi terakhir dilakukan pada tahun 2000 (Incoterms 2000), yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2000. Schmitthoff memuji peran badan ini dalam upayanya merumuskan unifikasi hukum perdagangan internasional dengan menyatakan bahwa “(ICC) contribution to the unification of international trade law has been singular successful.”80 Sebagai catatan akhir dari bagian ini, penting pula mengutip nasihat Schmitthoff. Beliau melihat keberadaan lembaga- lembaga internaisonal yang berupaya mengunifikasi aturan-aturan perdagangan internasional ini adalah positif. Namun beliau mengingatkan agar lembaga-lembaga ini harus saling kerjasama agar upaya unifikasi efektif.81 80 Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 213. 81 Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 214.
  • 51. F. Penutup Dari uraian di atas tampak bahwa hukum perdagangan internasional adalah bidang hukum yang sangat luas ruang lingkupnya. Hal ini sudah barang tentu merupakan tantangan bagi para mahasiswa dan sarjana hukum untuk mendalami bidang ini. Dari perkembangannya, tersirat pula pertumbuhan bidang hukum ini yang sudah ada sejak manusia mulai merasakan kekurangannya dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Untuk itu manusia mulai berdagang. Metode transaksi awalnya sangatlah sederhana: barter atau tukar menukar. Dalam perkembangannya, orang sudah transaksi dengan menerapkan teknologi canggih: perdagangan dengan sarana telekomunikasi. Canggihnya transaksi perdagangan merupakan tantangan bagi hukum perdagangan internasional. Bidang hukum ini ditantang untuk mengakomodasi perkembangan cepat ini melalui aturan-aturan hukumnya. Adanya aturan-aturan ini sangat dibutuhkan bagi pelaku perdagangan untuk adanya kepastian hukum, sekaligus mendapatkan perlindungan hukumnya. Upaya hukum nasional sudah barang tentu sangat terbatas kewenangan hukumnya untuk mengatur transaksi-tansaksi lintas batas atau internasional. Peran hukum nasional hanya mencakup aturan-aturan yang mengikat bagi kegiatan dan transaksi dagang dalam wilayahnya. Karena itu, upaya-upaya pengaturan perdagangan internasional sedikit banyak bergantung pada peran organisasi internasional baik yang sifatnya antar negara, misalnya WTO, maupun yang sifatnya privat, misalnya Kamar Dagang Internasional (International Chamber of Commerce). Upaya organisasi internasional pun hingga dewasa ini lebih banyak pada upaya harmonisasi hukum daripada upaya unifikasi hukum. Upaya ini tampaknya wajar dilakukan mengingat perkembangan hukum perdagangan internasional yang cukup progresif. Upaya mengkristalisasi aturan hukum perdagangan internasional dalam
  • 52. suatu dokumen perjanjian internasional yang sifatnya stabil dan berlaku lama tampaknya sangat sulit. Tujuan akhir dari hukum perdagangan internasional sebenarnya adalah tujuan dari eksistensi hukum perdagangan internasional itu sendiri. Di bagian awal Bab ini (yaitu bagian B. Eksistensi dan Tujuan Hukum Perdagangan Internasional), terungkap beberapa tujuan bidang hukum perdagangan internasional ini yang terdengar sangat positif, yaitu antara lain, mensejahterakan negara-negara (dan warga negaranya). Satu hal yang perlu digaris bawahi di sini adalah bahwa untuk mencapai tujuan positif tersebut mau tidak mau harus dibarengi dengan pemahaman terhadap hukum perdagangan itu sendiri. Artinya, masyarakat atau negara yang tidak mengetahui aturan-aturan hukum perdagangan internasional janganlah berharap dapat mengambil manfaat dari hukum perdagangan internasional.
  • 53. DAFTAR PUSTAKA Ademuni-Odeke, The Law of International Trade, London: Blackstone, 1999. August, Ray, Internatoinal Business Law: Text, Cases and Readings, New Jersey: Prentice Hall, 3rd .ed., 2000. Chia-Jui Cheng (ed.), Clive M. Schmitthoff's Select Essay on International Trade Law, Doredrecht/Boston/London: Martinus Nijhoff & Graham & Trotman, 1988. David, Rene, Arbitration in International Trade, The Hague: Kluwer, 1985. Goldštajn, Aleksander, “The New Law of Merchant,” (1961) JBL 12. Hermann, Gerold, “United Nations Commission on International Trade Law,” dalam: R. Bernhardt (ed.), Encyclopedia of Public International Law: Instalment 5, 1983. Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional, Jakarta: Rajagrafindo, cet. 3, 2003. Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional: Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, cet. 3, 2002. Interlegal's Definitions (http://home.yebro.co.za/~interlegal/ definitions.htm). Islam, Rafiqul M., International Trade Law, NSW: LBC, 1999. Lew and Stanbrook, Interational Trade: Law and Practice, Bath: Euromoney, 1983. PH.O.L. Tobing, Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amanna Gappa, Ujung Pandang: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, 1977. Reuvid, Jonathan (ed.), The Strategic Guide to International Trade, London: Kogan Page, 1997. Sanson, Michelle, Essential International Trade Law, Sydney: Cavendish, 2002. Schmitthoff, Clive M., ‘The Unification of the Law of Internatioal Trade,’ (1968) JBL 106. Schmitthoff, Clive M., Commercial Law in a Changing Economic Climate, London: Sweet and Maxwell, 1981. Sudargo Gautama, Kontrak Dagang Internasional, Bandung: Alumni, 1977. Pistor, Katerina, "The Standardization of Law and Its Effect on Developing Countries," 50 Am.J.Comp.L. 97 (2002). Trebilcock, Michael and Robert Howse, The Regulation of International Trade, London: Routledge, 1995. United Nations, Progressive Development of the Law of International Trade: Report of the Secretary-General of the United Nations, New York: United Nations, 1966. Vilanueva, Pablo, "Patterns and Trends in World Trade," dalam: Jonathan Reuvid (ed.), The Strategic Guide to International Trade, Kogan page (tt),. WTO, Trading into the Future,.Geneva, 1995.
  • 54. 1 BAB II SUBYEK HUKUM DALAM HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL A. Pengantar Dalam aktivitas perdagangan internasional terdapat beberapa subyek hukum yang berperan penting di dalam perkembangan hukum perdagangan internasional. Maksud subyek hukum di sini adalah: (1) para pelaku (stake holders) dalam perdagangan internasional yang mampu mempertahankan hak dan kewajibannya di hadapan badan peradilan; dan (2) para pelaku (stake holders) dalam perdagangan internasional yang mampu dan berwenang untuk merumuskan aturan-aturan hukum di bidang hukum perdagangan internasional. Dari batasan tersebut sebagai tolok ukur, maka subyek hukum yang dapat tergolong ke dalam lingkup hukum perdagangan internasional adalah negara, organisasi internasional, individu, dan bank. Uraian berikut akan menganalisa lebih lanjut tiga subyek hukum ini. B. Negara 1. Peran Negara Negara merupakan subyek hukum terpenting di dalam hukum perdagangan internasional. Sudah dikenal umum bahwa negara adalah subyek hukum yang paling sempurna. Pertama, ia satu-satunya subyek hukum yang memiliki kedaulatan. Berdasarkan kedaulatan ini, negara memiliki wewenang untuk menentukan dan mengatur segala sesuatu yang masuk dan keluar dari wilayahnya.1 Booysen menggambarkan kedaulatan negara ini sebagai berikut: 1 Hercules Boosen, International Trade Law on Goods and Services, Pretoria: Interlegal, 1999, hlm. 2.
  • 55. 2 “... a state can absolutely determine whether anything from outside the state. The state would also have the power to determine the conditions on which the goods may be imported into the state or exported to another country. ... Every state would have the power to regulate arbitrarily the conditions of trade.”2 Dengan atribut kedaulatannya ini, negara antara lain berwenang membuat hukum (regulator) yang mengikat segala subyek hukum lainnya (yaitu individu, perusahaan), mengikat benda dan peristiwa hukum yang terjadi di dalam wilayahnya, termasuk perdagangan, di wilayahnya. 3 Kedua, negara juga berperan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pembentukan organisasi-organisasi (perdagangan) internasional di dunia, misalnya WTO, UNCTAD, UNCITRAL, dll.4 Organisasi-organisasi internasional di bidang perdagangan internasional inilah yang kemudian berperan dalam membentuk aturan-aturan hukum perdagangan internasional. Ketiga, peran penting negara lainnya adalah negara juga bersama-sama dengan negara lain mengadakan perjanjian internasional guna mengatur transaksi perdagangan di antara mereka. Contoh perjanjian seperti ini adalah perjanjian Friendship, Commerce and Navigation, perjanjian penanaman modal bilateral, perjanjian penghindaran pajak berganda, dll. 5 Keempat, negara berperan juga sebagai subyek hukum dalam posisinya sebagai pedagang. Dalam posisinya ini, negara adalah salah satu pelaku utama dalam perdagangan internasional. Dalam awal tulisan ini, negara dengan perusahaan negaranya mengadakan transaksi dagang dengan negara lainnya. Negara memiliki sumber daya alam, perkebunan, pertambangan, dll. Bahan-bahan alam ini disamping dikelola untuk kebutuhan di dalam negeri juga 2 Hercules Booysen, op.cit., hlm. 2. 3 Hercules Booysen, op.cit., hlm. 2. 4 Hans Van Houtte, The Law of International Trade, London: Sweet and Maxwell, 1995, hlm. 31. 5 Hans Van Houtte, op.cit., hlm. 31.
  • 56. 3 diperdagangkan (dijual) ke subyek hukum lainnya yang memerlukannya. Dalam melaksanakan fungsinya ini, tidak jarang negara membuat badan-badan hukum milik negara. Di tanah air misalnya, untuk mengeksplorasi, mengeksploitasi dan memasarkan hasil pertambangan minyak, negara mendirikan Pertamina. Untuk mengelola sumber daya air untuk kepentingan rakyat negara mendirikan perusahaan air minum, dst. Sebagai suatu institusi yang besar, negara membutuhkan teknologi, infrastruktur, kendaraan, pesawat kenegaraan, sumber- sumber kebutuhan yang dibutuhkan rakyatnya (pengadaan barang dan jasa atau procurement). Untuk memenuhi semua ini, negara membelinya dari para pihak yang menyediakannya (penjual atau supplier). Dengan demikian, negara dapat bertindak sebagai pelaku dalam transaksi perdagangan.6 Semua transaksi perdagangan tersebut tunduk pada aturan- aturan hukum yang bentuk dan muatan pengaturannya bergantung pada jenis transaksi. Manakala negara bertransaksi dagang dengan negara lain, kemungkinan hukum yang akan mengaturnya adalah hukum internasional. Manakala negara bertransaksi dengan subyek hukum lainnya, maka hukum yang mengaturnya adalah hukum nasional (dari salah satu pihak). 7 6 Hercules Booysen, op.cit., hlm. 4-5. 7 Hercules Booysen, Op.cit., hlm. 4.
  • 57. 4 2. Imunitas Negara Salah satu masalah yang kerap timbul dalam kaitannya dengan negara adalah atribut kedaulatan negara itu sendiri. Prinsip umum yang diakui adalah bahwa dengan atribut kedaulatan, negara memiliki imunitas terhadap pengadilan negara lain. Arti imunitas di sini adalah bahwa negara tersebut memiliki hak untuk mengklaim kekebalannya terhadap tuntutan (klaim) terhadap dirinya. Sheldrick dengan tepat menggambarkan imunitas negara ini sebagai berikut: “Sovereign immunity is a long-established precept of public international law which requires that a foreign government or head of state cannot be sued without its consent. In its traditional form, this rule applied to all types of suit, criminal and civil, including those arising out of purely commercial transactions undertaken by the foreign sovereign.”8 Dalam perkembangannya, konsep imunitas ini mengalami pembatasan. Minimal ada 4 pembatasan terhadap muatan imunitas suatu negara ini. Pertama, pembatasan oleh hukum internasional. Dalam bertransaksi dagang, hukum internasional meskipun mengakui imunitas negara ini, tetapi juga sekaligus membatasinya. Hukum internasional regional di Eropa misalnya memiliki the European Convention on State Immunity (16 Mei 1972). Konvensi beranggotakan Austria, Belgia, Belanda, Siprus, Jerman, Inggris, Luxemburg, dan Swis.9 Hukum internasional juga mensyaratkan negara-negara untuk bekerjasama dengan negara lain untuk memajukan ekonomi. Deklarasi mengenai prinsip-prinsip hukum internasional antara lain menyatakan bahwa: 8 Andrew W. Sheldrick, “Capacity, sovereign immunity and acts of state,” dalam: Lew and Stanbrook, Interational Trade: Law and Practice, Bath: Euromoney, 1983, hlm. 164. 9 Hans Van Houtte, op.cit., hlm. 33.
  • 58. 5 “... states have the duty to co-operate with one another, irrespective of the difference in their political, economic and social system,...”10 Kedua, pembatasan oleh hukum nasional. Dewasa ini beberapa negara memiliki UU mengenai imunitas yang sifatnya membatasi imunitas negara-negara (asing) yang melakukan transaksi dagang di dalam wilayahnya atau dengan warga negaranya. Negara-negara yang memiliki UU seperti ini misalnya: Canada (State Immunity Act 1982); Australia (Foreign States Immunity Act 1985), Amerika Serikat (Foreign Sovereign Immunities Act 1976), dan Inggris (State Immunity Act 1978). UU Inggris tahun 1978 menyatakan bahwa suatu negara tidak dapat lagi mengklaim imunitasnya dalam persidangan yang terkait dengan: (a) sengketa-sengketa mengenai transaksi komersial (dagang) yang dilakukan oleh suatu negara; (b) sengketa-sengketa yang lahir dari adanya kontrak yang dilaksanakan sebagian atau seluruhnya di Inggris; (c) kontrak-kontrak ketenagakerjaan yang dibuat di Inggris atau yang berkaitan dengan jasa-jasa yang dilaksanakan sebagian atau seluruhnya di Inggris; (d) tindakan-tindakan mengenai tort (dalam sistem hukum kita semacam perbuatan melawan hukum) untuk menuntut ganti rugi karena meninggal, luka-luka, atau kerugian terhadap harta benda, di mana tindakan tersebut terjadi di Inggris; (e) sengketa-sengketa yang terkait dengan keanggotaan dalam suatu perusahaan baik yang terdaftar atau yang memiliki kegiatan usaha utamanya di Inggris; 10 Hercules Booysen, op.cit., hlm. 33 dan 33n.
  • 59. 6 (f) sengketa-sengketa yang terkait dengan klaim-klaim pengangkutan di laut terhadap kapal atau muatan atau yang digunakan untuk tujuan-tujuan komersial; dan (g) sengketa-sengeta yang terkait dengan perpajakan atau cukai.11 Ketiga, pembatasan secara diam-diam dan sukarela. Pembatasan ini dianggap terjadi manakala suatu negara secara sukarela menundukkan dirinya ke hadapan suatu badan peradilan yang mengadili sengketanya. Apabila pengadilan memanggil negara tersebut untuk mengadiri persidangan dan negara tersebut mematuhinya, maka negara tersebut dianggap telah dengan sukarela menanggalkan imunitasnya.12 Keempat, kemungkinan lain yang menjadi indikasi pembatasn imunitas ini adalah apabila negara memasukkan klausul arbitrase ke dalam kontrak dagangnya. Dengan demikian dapat dianggap bahwa negara tersebut telah menanggalkan imunitasnya untuk menghadap ke badan arbitrase yang dipilihnya untuk menyelesaikan sengketa dagangnya.13 Dengan adanya pembatasan-pembatasan tersebut, kekebalan suatu negara untuk hadir di hadapan badan peradilan (nasional asing, internasional atau arbitrase) tidak lagi berlaku. Namun masalah sesungguhnya dalam kaitanya dengan pembatasan negara di hadapan badan peradilan adalah pelaksanaan putusan pengadilannya. Hal inilah yang menjadi nasalah utama yang justru sangat krusial. Percumalah doktrin dan aturan-aturan mengenai imunitas ini 11 Scheldrick, op.cit., hlm. 163 dan 164. 12 Hans van Houtte, op.cit., hlm. 33. 13 Hans van Houtte, op.cit., hlm. 33. Dengan adanya pembatasan- pembatasan terhadap imunitas ini kemudian lahir teori yang disebut dengan teori pembatasan imunitas negara (“restrictive theory doctrine”). (Scheldrick, op.cit., hlm. 163). Teori ini juga menyatakan bahwa negara dengan melakukan tindakan-tindakan yang bersifat non- pemerintah (publik) atau ‘non-governmental activities’, negara tersebut secara implisit telah menanggalkan hak-haknya untuk mengklaim imunitas. (Scheldrick, op.cit., hlm. 163).
  • 60. 7 apabila di kemudian hari ternyata putusan pengadilan tidak dapat dilaksanakan. Berdasarkan hukum internasional, suatu badan peradilan tidak dapat menyita harta milik negara lain atau memaksakan putusannya terhadap harta milik negara lain yang digunakan atau yang memiliki fungsi pelayanan publik (public services).14 Hukum internasional melarang suatu negara menahan kapal perang asing yang sedang menyandar di pelabuhan suatu negara asing atau menyita bangunan kedutaan negara asing.15 Menurut Houtte, pelaksanaan putusan pengadilan hanya memungkinkan terhadap aset-aset yang negara asing yang bersangkutan tidak dibutuhkan untuk melaksanakan fungsi-fungsi pelayanan publik.16 14 Hans van Houtte, op.cit., hlm. 34. 15 Hans van Houtte, op.cit., hlm. 34. 16 Hans van Houtte, op.cit., hlm. 34. (Pendapat ini juga mengutip berbgai sarjana antara lain C. Schreur).