1. Sejarah hukum dagang sebenarnya telah dimulai sejak abad pertengahan di Eropa, kira-kira dari
tahun 1000 sampai tahun 1500. Asal mula perkembangan hukum dagang ini dapat kita
hubungkan dengan terjadinya kota-kota di Eropa Barat. Pada zaman itu di Italia dan Prancis
Selatan telah lahir kota-kota sebagai pusat perdagangan (Genoa, Florence, Venesia, Marseille,
Barcelona, dan lain sebagainya).
Hukum romawi ternyata tidak dapat menyelesaikan seluruh perkara-perkara yang timbul di
bidang perdagangan. Oleh karena itulah di Kota-Kota Eropa Barat disusun peraturan hukum baru
yang berdiri sendiri disamping hukum romawi yang berlaku.
Hukum yang baru ini berlaku bagi golongan pedagang dan disebut hukum pedagang. Kemudian
pada abad 16 dan 17 sebagian besar kota di Prancis mengadakan pengadilan istimewa khusus
menyelesaikan perkara-perkara di bidang perdagangan.
Hukum pedagang ini pada mulanya belum merupakan unifikasi, berlakunya suatu sistem hukum
untuk seluruh daerah, karena berlakunya masih bersifat kedaerahan. Tiap-tiap daerah mempunyai
hukum pedagangnya sendiri-sendiri yang berlainan satu sama lainnya. Kemudian disebabkan
bertambah eratnya hubungan perdagangan antar daerah, maka dirasakan perlu adanya suatu
kesatuan hukum di bidang hukum pedagang ini.
Oleh karena itulah, sehingga di Prancis pada abad 17 diadakanlah kodifikasi dalam hukum
pedagang. Menteri Keuangan dari Raja Louis XIV (1643-1715) yaitu Colbert membuat suatu
peraturan, yaitu Ordonnance du Commerce (1673).
Peraturan tersebut mengatur hukum pedagang itu sebagai hukum golongan tertentu yakni kaum
pedagang. Ordonnance du Commerce ini dalam tahun 1681 disusul dengan suatu peraturan lain,
yakni Ordonnance de la Marine, yang mengatur hukum perdagangan laut (untuk pedagang-
pedagang kota pelabuhan).
Pada tahun 1807 di Prancis di samping adanya Code Civil des Francais, yang mengatur hukum
perdata Prancis, telah dibuat lagi suatu Kitab Undang-Undang Hukum Dagang tersendiri, yakni
Code de Commerce.
Dengan demikian, dalam sejarah hukum dagang di Prancis pada tahun 1807 terdapat hukum
dagang yang dikodifikasikan dalam Code de Commerce yang dipisahkan dari hukum perdata
yang dikodifikasikan dalam Code Civil. Code de Commerce ini memuat peraturan-peraturan
hukum yang timbul dalam bidang perdagangan sejak zaman pertengahan. Adapu yang menjadi
dasar bagi penyusun Code de Commerce (1807) itu antara lain: Ordonnance du Commerce
(1673) Ordonnance de la Marine (1681).
2. Kemudian kodifikasi-kodifikasi hukum Prancis tahun 1807 (yakni Code Civil dan Code de
Commerce) dinyatakan berlaku juga di Netherlands sampai tahun 1838.
Itulah sekilas mengenai sejarah hukum dagang secara umum. Untuk selanjutnya uraian mengenai
sejarah hukum dagang hingga masuk ke Indonesia akan kami jelaskan pada artikel yang berbeda.
Artikel mengenai sejarah hukum dagang ini disadur dari buku yang berjudul Pokok-Pokok
Hukum Dagang Indonesia yang ditulis oleh Prof. Drs. C.S.T. Kansil, SH dan Christine S.T.
Kansil, SH.MH., yang diterbitkan oleh Sinar Grafika, Jakarta, tahun 2010.
A. Latar Belakang
Masyarakat internasional sudah sejak lama mengenal perdagangan antarnegara. Kebiasaan-
kebiasaan ini kemudian melahirkan apa yang dikenal dengan Lex Mercatoria ( Law Of
Merchant). Perdagangan yang dilakukan negara-negara pada saat itu masih bersifat sederhana
dan lebih banyak berlangsung secara bilateral ataupun regional yang didasarkan kedekatan
geografis.Namun, seiring perkembangan teknologi dan informasi hubungan perdagangan
antarnegara menjadi kompleks. Dunia semakin mengecil dan tanpa batas.
Perkembangan perdagangan yang semakin kompleks menuntut adanya sebuah aturan atau
hukum yang berbentuk tertulis dan berlaku universal. Kehancuran ekonomi (khususnya Eropa)
pasca perang dunia kedua menambah keyakinan masyarakat internasional untuk segera
membentuk sebuah kerjasama di bidang perdagangan.
GATT lahir dengan tujuan untuk membuat suatu unifikasi hukum di bidang perdagangan
internasional itu. Meskipun pada awalnya masyarakat internasional ingin membentuk sebuah
organisasi perdagangan internasional di bawah PBB, namun dengan adanya penolakan dari
Amerika Serikat, maka negara peserta GATT membuat kesepakatan agar perjanjian GATT
ditaati oleh para pihak yang menandatanganinya. Beragam kelemahan yang terdapat dalam
GATT kemudian diperbaiki melalui beberapa pertemuan. Salah satu pertemuan yang berhasil
adalah putaran Uruguay (Uruguay Round) antara tahun 1986-1994. Pada putaran itu dicapai
kesepakatan untuk membentuk sebuah lembaga perdagangan internasional yang disebut sebagai
World Trade Organization (WTO).
3. Kelahiran WTO menandakan adanya usaha dari negara-negara untuk melembagakan ketentuan-
ketentuan tentang perdagangan internasional yang telah disepakati dalam GATT. Upaya tersebut
membuktikan keinginan dunia internasional untuk membuat unifikasi dan harmonisasi hukum
perdagangan internasional dengan prinsip yang menganut pada liberalisasi perdagangan dan
kompetisi yang bebas.
Upaya untuk melakukan unifikasi dan harmonisasi hukum perdagangan internasional yang
dilakukan oleh WTO ternyata mengalami kesulitan untuk mencapai kesepakatan multilateral.
Kesulitan yang dihadapi untuk menciptakan sistem perdagangan multilateral sebenarnya sudah
diambil jalan tengahnya dalam ketentuan pasal 24 ketentuan GATT tentang diperbolehkannya
pembentukkan kerjasama-kerjasama regional di bidang perdagangan. Ketentuan pasal 24 GATT
memberi persyaratan bahwa pembentukan perjanjian perdagangan regional (Regional Trade
Agreement /RTA) tersebut tidak menjadi rintangan bagi perdagangan multilateral.
Perkembangan saat ini, banyak negara-negara membuat perjanjian-perjanjian perdagangan
regional. Perjanjian perdagangan regional (RTA) ini tumbuh karena bersifat lebih mudah dan
aplikatif karena tidak melibatkan terlalu banyak negara serta kepentingannya seperti yang terjadi
di WTO.
Salah satu perjanjian perdagangan regional yang ada saat ini adalah ASEAN Free Trade Area
(AFTA) yang diprakarsai oleh Association of Southeast Asian Nation (ASEAN) sebuah
organisasi regional negara-negara di Asia Tenggara. AFTA lahir pada tahun 1995 dengan tujuan
untuk memberi keuntungan-keuntungan perdagangan bagi negara-negara yang berasal dari
ASEAN. Upaya AFTA untuk mewujudkan tujuannya adalah dengan melakukan kesepakatan
preferensi terhadap barang-barang yang berasal dari negara ASEAN.
Kelahiran AFTA sendiri merupakan upaya dari ASEAN untuk melindungi kepentingan negara
anggota dalam perdagangan multilateral yang didominasi oleh negara-negara maju. Berdasarkan
kesadaran tersebut, maka terkesan bahwa AFTA merupakan usaha ASEAN melakukan proteksi
terhadap pasar regionalnya. Kesan-kesan tersebut juga timbul atas perjanjian perdagangan
regional yang lainnya. Banyak pendapat yang mengemuka bahwa dengan adanya perjanjian
perdagangan regional ini akan melemahkan sistem perdagangan multilateral. Padahal ketentuan
GATT sendiri mengatur tentang diperbolehkanya untuk membentuk perjanjian perdagangan
regional.
B. Permasalahan
Berdasarkan penjelasan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk membahas
permasalahan, yaitu:
1. Bagaimana pengaturan perjanjian perdagangan regional dalam kerangka WTO?
2. Bagaimana pengaturan perjanjian perdagangan regional yang terdapat dalam AFTA?
PEMBAHASAN
4. A. Sejarah dan Perkembangan Perjanjian Perdagangan Regional dalam WTO
Jika melihat sejarah perdagangan internasional, maka akan terlihat pada awalnya hubungan itu
dilakukan secara bilateral. Ada dua pendapat yang mengemuka. Pertama; hal tersebut dilakukan
karena kedekatan wilayah. Kedua; hal tersebut dilakukan berdasarkan motif kepentingan
nasional, baik ekonomi maupun politik. Menurut penelitian dari Robertino V Fiorentino, Luis
Verdeja dan Christelle Toqueboeuf, perjanjian perdagangan didasari dari motif politik dan
ekonomi ketimbang alasan geografis.
Perjanjian perdagangan secara bilateral ini ternyata belum memberikan hasil yang sukses, karena
kebutuhan antarnegara yang semakin kompleks. Menguatnya regionalisme pada awal tahun 1960
menarik perhatian negara-negara untuk menguatkan kembali kerjasama regional, khususnya
dibidang perdagangan. Perkembangan berikutnya adalah mulai bermuculan perjanjian-perjanjian
regional dibidang perdagangan.
Sebelum lahirnya perjanjian perdagangan regional, dunia internasional sudah menyepakati
perjanjian perdagangan multilateral yaitu GATT. Dalam ketentuan GATT sendiri telah mengatur
tentang diperbolehkannya pembentukan perjanjian perdagangan regional dengan syarat tidak
mengganggu proses liberalisasi perdagangan dan kompetisi bebas.
Menurut Jo-Ann dan Robertino V. Fiorentino ada beberapa motif yang dimiliki oleh negara
dengan membuat perjanjian perdagangan regional, yaitu:
1. Motif Ekonomi
a) Membuka akses pasar
b) Wahana promosi untuk menciptakan integrasi ekonomi
c) Fungsi ganda; menghilangkan kompetisi dan menarik investasi
2. Motif Politik
a) Terciptanya keamanan dan perdamaian regional
b) Kesulitan pengaturan dalam kerangka multilateral.
Kedua motif itu merupakan kunci dalam keberhasilan pembentukan perjanjian perdagangan
regional. Kesepakatan-kesepakatan atas motif tersebut lebih dapat diakomodasi dalam kerangka
regional daripada multilateral. Beberapa kegagalan yang dialami oleh negara-negara dalam
perundingan perdagangan multilateral membuktikan bahwa usaha untuk menyelaraskan
kepentingan antarnegara sangat sulit. Pilihan yang paling rasional adalah dengan membentuk
perjanjian perdagangan regional karena relatif lebih mudah dan fleksibel.
Tipologi dalam perjanjian perdagangan regional saat ini dapat dibagi menjadi tiga yaitu:
5. 1. Area Perdagangan Bebas (FTA)
2. Penyeragaman Cukai (Custom Union)
3. Pembatasan Ruang lingkup (Partial Scope Agreement)
Tipologi ini sebenarnya sesuai dengan aturan yang terdapat dalam Pasal 24 ketentuan GATT.
Pada dasarnya perjanjian perdagangan regional didasarkan pada pemberian preferensi kepada
negara-negara anggotanya. Tujuannya adalah untuk menghilangkan hambatan perdagangan.
Namun, apabila tindakan ini dilakukan tanpa batas maka kekhawatiran sebagian pihak bahwa
perjanjian perdagangan regional akan merusak sistem perdagangan multilateral akan terwujud.
Kekhawatiran tersebut sebenarnya berhasil diselesaikan dengan dikeluarkan putusan oleh GATT
Council on Differential and Favourable Treatment (Enabling Clause) pada tahun 1979. Dalam
paragraph 2(c) putusan tersebut ditentukan apabila negara berkembang melakukan tindakan
preferensi maka ia wajib untuk melaksanakan ketentuan GATT tentang Most Favoured Nation
Treatment (MFN).
Perjanjian perdagangan regional tidak hanya meliputi perdagangan barang saja. Dalam General
Agreement on Trade and Services (GATS) pasal V juga ditentukan mengenai kebebasan untuk
membuat perjanjian perdagangan jasa regional dengan syarat tidak boleh melanggar ketentuan
dan prinsip yang diatur dalam GATS.
Menurut Jo-Ann Crawford dan Robertino V. Fiorentino terdapat kecendrungan dalam perjanjian
perdagangan regional saat ini, yaitu :
1) Melibatkan negara-negara lintas dunia Perkembangan saat ini ternyata tidak menganut paham
regional secara ketat, namun melintasi batas-batas regional.
2) Perjanjian Perdagangan Regional kini bersifat kompleks Kompleksitas ini terlihat dengan
aturan-aturan yang dibuat dalam perjanjian yang terkadang melampaui perjanjian perdagangan
multilateral.
3) Klausul Tindakan Preferensi Timbal balik (Reciprocal Preferential Agreement)
4) Meningkatnya ekspansi dan konsolidasi perjanjian perdagangan regional.
Kecendrungan seperti ini secara sekilas dapat membahayakan perjanjian perdagangan
multilateral. Namun, berdasarkan pendapat beberapa pakar, bahwa perjanjian perdagangan
regional harus ditempatkan sebagai pelengkap dari perjanjian perdagangan multilateral.
Argumen yang diajukan adalah; Pertama: perjanjian perdagangan regional merupakan tahap
awal terbentuknya liberalisasi perdagangan. Adanya sistem preferensi diharapkan berlanjut
dengan diberlakukanya tindakan Most Favoured Nation (MFN). Kedua: tidak adanya persyaratan
yang ketat dalam GATT/WTO tentang perjanjian perdagangan regional, memberikan
keleluasaan untuk menentukan bentuk perjanjian.
6. Kebebasan yang diberikan oleh GATT/WTO dalam membentuk perjanjian perdagangan regional
merupakan sebuah pengakuan bahwa potensi keberhasilan dalam kerangka regional lebih ampuh
ketimbang multilateral. Sebab jika pengaturan tentang pembentukan perjanjian perdagangan
regional dilakukan secara ketat, maka kegagalan untuk menciptakan pasar dan kompetisi bebas
akan benar-benar terjadi. Perjanjian perdagangan regional dapat dianggap sebagai ajang latihan
berjenjang bagi negara-negara yang secara ekonomi belum mapan untuk kemudian
membebaskan pasar domestiknya secara multilateral.
Meskipun jaminan kebebasan dalam membuat perjanjian perdagangan regional sudah dijamin
oleh GATT/WTO, nampaknya masih terdapat keseragaman materi khas yang dicantumkan
dalam perjanjian perdagangan regional. Adapun syarat dari perjanjian perdagangan regional
adalah :
1) Terdapat pengaturan tentang asal barang (Rules of Origin)
2) Tindakan Preferensi bilateral (Bilateral Preferential Relationship)
Kedua syarat ini biasanya terdapat dalam setiap perjanjian perdagangan regional. Keseragaman
ini mungkin dapat membuktikan bahwa kedua syarat tersebut merupakan sebuah titik kompromi
yang mudah dicapai oleh para negara. Perjalanan GATT hingga WTO membuktikan prinsip-
prinsip yang termuat dalam perjanjian sangat sulit ketika diimplementasikan. Prinsip-prinsip
tersebut sukar untuk mencapai kesepakatan antarnegara karena mengatur terlalu luas. Padahal
tiap-tiap negara mempunyai sistem ekonomi dan kepentingan yang berbeda-beda.
Ruang lingkup sederhana yang dianut dalam skema perjanjian perdagangan regional
membuktikan keampuhanya, yaitu dengan makin banyaknya perjanjian-perjanjian perdagangan
regional yang didaftarkan ke GATT/WTO. Menurut data tahun 2006 terdapat 367 perjanjian
perdagangan regional yang terdaftar sepanjang GATT dan kemudian WTO. Namun, hingga
Desember 2006, perjanjian regional yang masih aktif (in force) berjumlah 170 perjanjian.
Perjanjian perdagangan regional juga memiliki kriteria fundamental yang harus dipenuhi untuk
menghindari terganggunya perdagangan multilateral. Kriteria tersebut adalah :
1) Transparansi (notifikasi ke GATT/WTO)
2) Komitmen untuk memperkokoh liberalisasi perdagangan dalam wilayah regional
3) Netralitas ketika berhubungan dengan negara ketiga.
Pengawasan perjanjian perdagangan regional dalam kerangka WTO belum berhasil mencapai
kesepakatan. Negara anggota GATT/WTO hanya berhasil untuk membentuk Committee on
Regional Trade Agreement (CRTA) pada Februari 1996. Fungsi dari CRTA yang pertama
adalah hanya meninjau semua perjanjian perdagangan regional yang didaftarkan ke
GATT/WTO. Kedua adalah mempertimbangkan implikasi dari perjanjian perdagangan regional
terhadap sistem perdagangan multilateral dan antara perjanjian itu satu sama lain.
7. CRTA tidak memiliki kewenangan yang kuat. Komite itu hanya memiliki fungsi administratif
dan studi kelayakan tanpa bisa memberi keputusan yang mengikat. Usulan untuk memperkuat
fungsi dari CRTA coba di bawa dalam perundingan Putaran Doha tahun 2001 yang kemudian
gagal untuk mencapai kesepakatan. Namun yang menarik dari hasil KTM IV di Doha adalah
sebuah pernyataan yang menyebutkan bahwa anggota WTO menyadari betapa pentingnya
perjanjian perdagangan regional dalam mempromosikan liberalisasi perdagangan serta
mempercepat pertumbahan ekonomi dan kebutuhan untuk melakukan harmonisasi hubungan
antara proses multilateral dan regional.
B. ASEAN Free Trade Area (AFTA)
ASEAN Free Trade Area (AFTA) merupakan wujud dari kesepakatan negara-negara ASEAN
untuk membentuk suatu kawasan perdagangan bebas dalam rangka meningkatkan daya saing
ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia
serta menciptakan pasar regional bagi 500 juta lebih penduduknya.
Pendirian AFTA diawali dengan kesepakatan negara anggota ASEAN tentang ASEAN
Preferential Trade Association (PTA) pada tahun 1977 yang bertujuan untuk memberik
keuntungan-keuntungan perdagangan bagi negara-negara yang berasal dari ASEAN. PTA ini
merupakan kesepakatan untuk mengurangi hambatan perdagangan terhadap produk-produk
tertentu. Pada awalnya, skema yang dibangun bersifat sukarela dimana negara anggota diberi
pilihan untuk menunjuk produk-produk apa yang diberikan konsesi. Kelemahan PTA meneurut
Adolf adalah penggunaan metode positive list yaitu penyebutan produk-produkyang tercantum
dalam liberalisasi. Metode ini tidak memberikan manfaat yang banyak karena banyak produk
yang tidak dimasukkan.
ASEAN kemudian membentuk Framework Agreement on Enhancing Economic Cooperation
pada waktu Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke IV di Singapura tahun 1992.
Perjanjian ini kemudian melahirkan ASEAN Free Trade Area (AFTA) dalam jangka waktu 15
tahun. Pada KTT ASEAN di Bangkok tahun 1995, jangka waktu tersebut dikurangi menjadi 10
tahun, dengan ketetapan bahwa penghapusan rintangan dimulai tahun 1993. Tujuan strategis
AFTA adalah meningkatkan keunggulan komparatif regional ASEAN sebagai suatu kesatuan
unit produksi. Untuk mencapai tujujan tersebut maka negara anggota ASEAN berkomitmen
untuk melakukan penghapusan tariff dan non-tarif untuk meningkatkan efisiensi ekonomi,
produktivitas dan daya saing negara anggota ASEAN.
Akibat kelemahan dari PTA untuk mencapai tujuan stategis tersebut maka dibuat Agreement on
Common Effective Preferential Tariff Scheme (The CEPT-AFTA Agreement) pada tahun 1992
yang kemudian diamandemen pada tahun 1995 dalam bentuk protokol. Skema CEPT-AFTA
merupakan suatu skema untuk mewujudkan AFTA melalui penurunan tarif hingga menjadi 0-
5%, penghapusan pembatasan kwantitatif dan hambatan-hambatan non tarif lainnya.
Pengurangan tarif atas produk-produk tertentu hingga kurang dari 20% dilakukan dalam kurun
waktu 5 hingga 8 tahun. Negara anggota diberi tambahan waktu tambahan selama 7 tahun untuk
mengurangi tarif hingga 5% atau kurang. Meskipun negara-negara anggota didorong untuk
mengurangi tingkat tarif tahunanya, namun mereka diberikan kebebasan untuk membuat rencana
individualnya masing-masing untuk mengurangi bea masuk.
8. Perkembangan terakhir yang terkait dengan AFTA adalah adanya kesepakatan untuk
menghapuskan semua bea masuk impor barang bagi Brunai Darussalam pada tahun 2010,
Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapura dan Thailand, dan bagi Kamboja, Laos, Myanmar
dan Vietnam pada tahun 2015.
CEPT-AFTA mencakup semua produk manufaktur, termasuk barang modal dan produk
pertanian olahan, serta produk-produk yang tidak termasuk dalam definisi produk pertanian.
Produk-produk pertanian yang sensitif dan sangat sensitif dikecualikan dari skema CEPT-AFTA.
Produk CEPT diklasifikasikan kedalam 4 daftar, yaitu :
1) Inclusion List (IL), yaitu daftar yang berisi produk-produk yang memenuhi kriteria sebagai
berikut:
a) Jadwal penurunan tarif
b) Tidak ada pembatasan kwantitatif
c) Non-tarifnya harus dihapuskan dalam waktu 5 tahun.
2) General Exception List (GEL), yaitu daftar produk yang dikecualikan dari skema CEPT oleh
suatu negara karena dianggap penting untuk alasan perlindungan keamanan nasional, moral
masyarakat, kehidupandan kesehatan dari manusia, binatang atau tumbuhan, nilai barang-barang
seni, bersejarah atau arkeologis. Ketentuan mengenai General Exceptions dalam perjanjian
CEPT konsisten dengan Artikel X dari General Agreement on Tariffs and Trade (GATT).
Contoh : senjata dan amunisi, narkotik.
3) Temporary Exclusions List (TEL). Yaitu daftar yang berisi produk-produk yang dikecualikan
sementara untuk dimasukkan dalam skema CEPT. Produk-produk TEL barang manufaktur harus
dimasukkan kedalam IL paling lambat 1 Januari 2002. Produk-produk dalam TEL tidak dapat
menikmati konsensi tarif CEPT dari negara anggaota ASEAN lainnya. Produk dalam TEL tidak
ada hubungannya sama sekali dengan produk-prodiuk yang tercakup dalam ketentuan General
Exceptions.
4) Sensitive List (SL), yaitu daftar yang berisi produk-produk pertanian bukan olahan
(Unprocessed Agricultural Products = UAP ).
a) Produk-produk pertanian bukan olahan adalah bahan baku pertanian dan produk-produk bukan
olahan yang tercakup dalam pos tarif 1-24 dari Harmonized System Code (HS), dan bahan baku
pertanian yang sejenis serta produk-produk bukan olahan yang tercakup dalam pos-pos tarif HS;
b) Produk-produk yang telah mengalami perubahan bentuk sedikit dibanding bentuk asalnya.
Produk dalam SL harus dimasukkan kedalam CEPT dengan jangka waktu untuk masing-masing
negara sbb: Brunai Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina dan Thailand tahun 2003; Vietnam
tahun 2013; Laos dan Myanmar tahun 2015; Kamboja tahun 2017. Contoh : beras, gula, produk
daging, gandum, bawang putih, cengkeh.
9. Suatu produk yang dapat memperoleh konsesi CEPT apabila memenuhi syarat sebagai berikut:
1) Produk yang bersangkutan harus sudah masuk dalam Inclusion List (IL) dari negara eksportir
maupun importir.
2) Produk tersebut harus mempunyai program penurunan tarif yang disetujui oleh Dewan AFTA
(AFTA Council);
3) Produk tersebut harus memenuhi persyaratan kandungan lokal 40%. Suatu produk dianggap
berasal dari negara anggota ASEAN apabila paling sedikit 40% dari kandungan bahan
didalamnya berasal dari negara anggota ASEAN.
CEPT-AFTA juga memasukan syarat perjanjian perdagangan regional mengenai asal barang
(Rules of Origin). Pengertian asal barang dalam CEPT adalah sebagai sejumlah kriteria yang
digunakan untuk menentukan negara atau wilayah pabean asal dari suatu barang atau jasa dalam
perdagangan internasional. Selain mengatur penghapusan tarif CEPT-AFTA juga mengatur
penghapusan hambatan pembatasan kwantitatif (quantitative restriction) dan hambatan non-tarif
(non-tariffs barriers) serta pengecualian terhadap pembatasan nilai tukar terhgadap produk-
produk CEPT.
Struktur dalam CEPT-AFTA adalah menteri-menteri Ekonomi ASEAN. Dalam rangka
implementasi perjanjian CEPT-AFTA maka telah dibentuk Dewan Menteri dari negara-negara
anggota ASEAN dan Sekretaris Jenderal ASEAN. Dewan AFTA bertugas mengawasi,
mengkoordinasikan dan mengadakan perjanjian terhadap inplementasi Perjanjian CEPT-AFTA.
CEPT-AFTA juga mengatur tentang mekanisme pengaman (Safeguard Measures) ketentuan
tersebut diatur dalam pasal 6 perjanjian CEPT yaitu apabila implementasi skema CEPT
mengakibatkan impor dari suatu produk tertentu meningkat sampai pada suatu tingkat yang
merugikan terhadap sektor-sektor atau industri-industri yang memproduksi barang sejenis, maka
negara anggota pengimpor dapat menunda pemberian konsensi untuk sementara, sebagai suatu
tindakan darurat. Penundaan tersebut harus konsisten dengan pasal XIX dari General Agreement
on Tariffs and Trade (GATT). Negara anggota yang mengambil tindakan darurat tersebut, harus
menotifikasi segera kepada Dewan AFTA melalui sekretariat ASEAN dan tindakan tersebut
perlu dikonsultasikan dengan negara-negara anggota lain yang terkait.
Selain CEPT-AFTA ada beberapa instrumen hukum yang berkaitan pelaksanaan mekanisme
tersebut yaitu:
1. Revised Agreement on the Common Effective Preferential Tariff (CEPT) Scheme for the
ASEAN Free Trade Area (AFTA);
2. Daftar produk CEPT dan jadwal penurunan tarif;
3. Surat keputusan Menteri Keuangan tentang penepatan Tarif Bea Masuk atas Impor Barang
Dalam Rangka Skema CEPT.
10. Dengan adanya CEPT-AFTA ini maka PTA tidak berlaku lagi, sebab CEPT-AFTA telah
memiliki kekuatan hukum mengikat setelah diratifikasi oleh semua anggota ASEAN. CEPT-
AFTA konsisten dengan GATT, dan merupakan skema yang bersifat berorientasi keluar
(outward-looking). Skema CEPT merupakan cara untuk membentuk tarif preferensi yang secara
efektif sama di kawasan ASEAN dan tidak menimbulkan hambatan tarif terhadap ekonomi diluar
ASEAN
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan permasalahan di atas, maka penulis memperoleh kesimpulan sebagai
berikut:
1. Perjanjian perdagangan regional merupakan sesuatu yang diperbolehkan dalam kerangka
GATT/WTO. Akan tetapi, perjanjian tersebut tidak boleh mengganggu sistem perdagangan
multilateral. Perjanjian perdagangan regional saat ini belum membahayakan sistem perdagangan
multirateral, lebih lanjut perjanjian itu bersifat sebagai pelengkap dari GATT/WTO sebdiri.
Komite Perjanjian Perdagangan Regional GATT/WTO harus diberikan fungsi yang besar untu
mensupervisi perjanjian-perjanjian perdagangan regional agar harmonis dengan sistem
perdagangan multilateral GATT/WTO.
2. AFTA merupakan salah satu bentuk perjanjian perdagangan internasional yang memilki
tipologi perdagangan bebas. Ketentuan-ketentuan AFTA juga memuat kriteria fundamental yang
terdapat pada perjanjian perdagangan regional pada umumnya, yaitu memberikan preferensi
serta mencantumkan klausul asal barang (rules of origin). Ketentuan AFTA juga tidak
bertentangan dengan ketentuan GATT/WTO. Namun, AFTA tidak menjelaskan bagaimana
hubungan negara anggota AFTA dengan negara ketiga.
DAFTAR PUSTAKA
Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional: Suatu Pengantar, Rajagrafindo Persada, Jakarta,
2005
Jo-Ann Crawford dan Robertino Fiorentino, The Changing Landscape of RTA, Research Paper
WTO, 2006
Robertino V Fiorentino, Luis Verdeja dan Christelle Toqueboeuf, The Changing Landscape of
RTA: 2006 Update, Research Paper WTO, 2007
Dirjen KPI Departemen Perdagangan, AFTA dan Implementasinya, dapat dilihat pada
http://www.depperin.go.id/Ind/publikasi/djkipi/afta.htm DAFTAR ISI hlm BAB I
JENIS-JENIS PERDAGANGAN INTERNASIONAL
11. Perdagangan internasiaonal atau antara negara dapat dilakukan dengan berbagai macam
cara diantaranya :
1. Ekspor
Dibagi dalam beberapa cara antara lain :
a. Ekspor Biasa
Pengiriman barang keluar negri sesuai dengan peraturan yang berlaku, yang ditujukan
kepada pembeli di luar negri, mempergunakan L/C dengan ketentuan devisa.
b. Ekspor Tanpa L/C
Barang dapat dikirim terlebih dahulu, sedangkan eksportir belum menerima L/C
harus ada ijin khusus dari departemen perdagangan
2. Barter
Pengiriman barang ke luar negri untuk ditukarkan langsung dengan barang yang
dibutuhkan dalam negri.
Jenis barter antara lain :
a. Direct Barter
Sistem pertukaran barang dengan barang dengan menggunakan alat penetu nilai atau
lazim disebut dengan denominator of valuesuatu mata uang asing dan
penyelesaiannya dilakukan melalui clearing pada neraca perdagangan antar kedua
negara yang bersangkutan.
b. Switch Barter
Sistem ini dapat diterapkan bilamana salah satu pihak tidak mungkin memanfaatkan
sendiri barang yang akan diterimanya dari pertukaran tersebut, maka negara
pengimpor dapat mengambil alih barang tersebut ke negara ketiga yang
membutuhkannya.
c. Counter Purchase
Suatu sistem perdagangan timbal balik antar dua negara. Sebagai contoh suatu negara
yang menjual barang kepada negara lain, mka negara yang bersangkutan juga harus
membeli barang dari negara tersebut.
d. Buy Back Barter
Suatu sistem penerapan alih teknologi dari suatu negara maju kepada negara
berkembang dengan cara membantu menciptakan kapasitas produksi di negara
berkembang , yang nantinya hasil produksinya ditampung atau dibeli kembali oleh
negara maju.
3. Konsinyasi (Consignment)
Pengiriman barang dimana belum ada pembeli yang tertentu di LN. Penjualan barang di
luar negri dapat dilaksanakan melalui Pasar Bebas ( Free Market) atau Bursa Dagang (
Commodites Exchange) dengan cara lelang. Cara pelaksanaan lelang pada umumnya
sebagai berikut :
a. Pemilik brang menunjuk salah satu broker yang ahli dalah salah satu komoditi.
b. Broker memeriksa keadaan barang yang akan di lelang terutama mengenai jenis dan
jumlah serta mutu dari barang tersebut.
c. Broker meawarkan harga transaksi atas barang yang akan dijualnya, harga transaksi
ini disampaikan kepada pemilik barang.
12. d. Oleh panitia lelang akan ditentukan harga lelang yang telah disesuaikan dengan
situasi pasar serta serta kondisi perkembangan dari barang yang akan dijual. Harga ini
akan menjadi pedoman bagi broker untuk melakukan transaksi.
e. Jika pelelangan telah dilakukan broker berhak menjual barang yang mendapat
tawaran dari pembeli yang sana atau yang melebihi harga lelang.
f. Barang-barang yang ditarik dari pelelangan masih dapat dijual di luar lelang secara
bawah tangan
g. Yang diperkenankan ikut serta dalam pelalangan hanya anggita yang tergabung
dalam salah satu commodities exchange untuk barang-barang tertentu.
h. Broker mendapat komisi dari hasil pelelangan yang diberikan oleh pihak yang
diwakilinya.
4. Package Deal
Untuk memperluas pasaran hasil kita terutama dengan negara-negara sosialis, pemerintah
adakalanya mengadakan perjanjian perdagangan ( rade agreement) dengan salah saru
negara. Perjanjian itu menetapkan junlah tertentu dari barang yang akan di ekspor ke
negara tersebut dan sebaliknya dari negara itu akan mengimpor sejumlah barang tertentu
yang dihasilkan negara tersebut.
5. Penyelundupan (Smuggling)
Setiap usaha yang bertujuan memindahkan kekayaan dari satu negara ke negara lain tanpa
memenuhi ketentuan yang berlaku. Dibagi menjadi 2 bagian :
a. Seluruhnya dilakuan secara ilegal
b. Penyelundupan administratif/penyelundupan tak kentara/ manipulasi (Custom Fraud)
6. Border Crossing
Bagi negara yang berbatasan yang dilakukan dengan persetujuan tertentu (Border
Agreement), tujuannya pendudukan perbatasan yang saling berhubungan diberi kemudahan
dan kebebasan dalam jumlah tertentu dan wajar. Border Crossing dapat terjadi melalui :
a. Sea Border (lintas batas laut)
Sistem perdagangan yang melibatkan dua negara yang memiliki batas negara berupa
lautan, perdagangan dilakukan dengan cara penyebrangan laut
b. Overland Border (lintas batas darat)
Sistem perdagangan yang melibatkan dua negara yang memiliki batas negara berupa daratan,
perdagangan dilakukan dengan cara setiap pendudik negara tersebut melakukan interaksi dengan
melewati batas daratan di masing-masing negara melalui persetujuan yang