Cerpen ini menceritakan perjalanan hidup seorang penyair muda yang awalnya tidak ingin menjadi penyair karena banyak kesulitan yang dihadapi. Namun setelah bertemu dengan seorang wanita bernama Anjani, ia mulai menerima takdirnya sebagai penyair dan menemukan motivasi baru dalam menulis puisi melalui cinta yang diberikan Anjani.
Wa + 62 82211599998, TERLARIS, souvenir dompet unik bandung
Penyair muda, istri muda (leo kelana)
1. Batam Pos
Minggu, 02 Desember 2007
Penyair Muda, Istri Muda
Cerpen: Leo Kelana
Jika aku bertemu Tuhan, maka yang pertama kulakukan adalah memprotesNya.
MenyalahkanNya. MenggugatNya. Aku kecewa karena doaku puluhan tahun lalu Ia
kabulkan. Aku sungguh terluka. Karena saat itu aku tak sungguh-sungguh berdoa. Aku tak
serius. Hanya bercanda. Seperti kata penyair yang tegak berteriak. Seakan suaranya
membelah langit. Meluluh-lantak bumi.
"Aku bergurau dengan Tuhan ketika malam menjadi kelam. Ketika hujan turun dari langit
seperti kaki-kaki merpati yang bermain di seng rumah. Ketika halilintar menyambar lalu
cicak di pohon kelapa gemetar. Ketika sepi mencekam lalu aku mulai berpikir bunuh diri.
Tuhan menuntunku mandi ke kali, bermain air yang keruh karena hujan belum reda sejak
pagi dan aku menjadi lupa bunuh diri."
Aku kecewa karena cita-citaku menjadi penyair Ia kabulkan. Apa enaknya jadi penyair?
Dan sialnya ini menjadi semacam garis takdir yang tak mungkin kutolak. Tak bisa
kusiasati. Ideku seakan mati.
Puluhan perempuan menolak cintaku karena kebetulan aku penyair. Mereka tahu karena
sering melihat namaku muncul di koran hari Minggu dan beberapa buku antologi puisi.
Mereka membaca puisi-puisiku seakan membaca alur hidupku sendiri. Mereka kemudian
sepakat mengatakan aku tukang gombal. Tukang tipu. Pembohong. Bahkan lebih dari itu,
mereka menuduh pekerjaanku hanya menghayal belaka.
"Apa yang bisa kuandalkan darimu. Cinta tidak butuh puisi. Cinta tak memerlukan hayalan.
Apa bisa kenyang dengan puisi?"
Siapa tidak kecewa disemprot seperti itu. Siapa tidak jengkel diremehkan seperti tai keledai
yang bikin sengak jalanan. Tapi, apa benar aku hanya berhayal? Tidak! Aku tidak berhayal.
Aku hanya bermimpi. Lalu apa bedanya hayal dan mimpi? Entahlah!
Menjadi penyair layaknya sebuah kutukan bagiku. Cita-citaku waktu kecil menjadi
presiden. Tapi ketika kulihat presiden di negeriku tidak ada yang becus dan sunguh-sungguh
serius mengurusi bangsa, aku jadi takut. Aku tak lagi bercita-cita menjadi
presiden. Aku tak mau menjadi seonggok daging yang dicaci-maki karena gagal memberi
kesejahteraan bagi rakyatnya. Apalagi jika kelak setelah aku menjabat, negeriku diliputi
malapetaka karena hartanya kucuri, kukorupsi, kumakan sendiri, tentunya dengan
mengeluarkan berbagai macam proposal fiksi. Maka cita-citaku kuubah menjadi pilot.
Aku sering membayangkan terbang ke mana-mana. Melihat dunia dari kaki langit. Jalan-jalan
ke Eropa dan Amerika. Menunaikan ibadah haji ke Mekah setiap tahun. Atau sesekali
mampir di Taj Mahal, tembok raksasa di Cina, bahkan ke Casablanca, sebuah kota di benua
Afrika yang membuatku berdecak kagum karena nama itu menjadi nama parfum
kesukaanku. Tentu enak bukan? Apalagi itu semua kulakukan gratis. Cuma-cuma!
Tapi cita-citaku menjadi pilot kugagalkan. Aku ngeri melihat belakangan ini di negeriku
pesawat berjatuhan seperti daun di musim gugur. Ada yang hilang tanpa ketahuan
rimbanya. Ada yang gagal take off karena mesin rusak parah. Bahkan ada yang jungkir
balik ketika landing. Roda pesawat copot karena baut lupa dipasang. Belum lagi anganku
jalan-jalan ke Eropa terancam gagal. Pesawat dari negeriku tidak diperkenankan terbang ke
sana karena alasan keselamatan. Orang-orang Eropa tidak mau ambil risiko jika suatu saat
2. hal-hal yang sangat ngeri terjadi. Misalnya saja, pesawat dari negeriku jatuh di kota Paris
atau London karena mesin tiba-tiba mati.
Begitu juga keinginanku beribadah haji tiap tahun. Arab Saudi, sahabat terbaik negeriku,
tiba-tiba berubah. Aku tak mengerti mengapa dia ikut-ikutan mem-black list pesawat dari
negeriku. Burung Garuda mendapat lampu merah.
Membuat Menteri Goda Gado belingsatan seperti cacing kepanasan. Ratusan ribu jamaah
haji akan ia gagalkan jika burung Garuda benar-benar tak diijinkan terbang ke Arab Saudi.
Terang saja karena haji adalah area bisnis paling basah. Tak perlu keringat tapi uang akan
melimpah. Begitulah barangkali. Karena hidup di negeriku sebagian besar diliputi oleh kata
barangkali. Ah!
Lalu dalam keadaan seperti itu, menjadi pilot sama saja mimpi buruk. Tidak ada enaknya!
O...aku mau jadi tentara saja. Oh...tidak! Aku tak mau jadi tentara. Dulu aku sering melihat
mereka membunuhi mahasiswa. Entah mengapa, menyebut kata tentara saja bulu kudukku
berdiri. Terang karena berita yang kudengar tentang mereka adalah yang jelek-jelek melulu.
Mereka membunuh saudara sendiri di mana-mana. Bahkan baru-baru ini, di sebuah pelosok
di Jawa Timur, beberapa tentara menyarangkan peluru dengan bangganya ke dada rakyat
tak berdosa. Dan konyolnya lagi, itu disanggah sebagai pelanggaran berat hak azasi
manusia. Sungguh malang hidup di negeri penuh ironi!
Maka kutukan itu menjelmalah. Aku memilih menjadi penyair. Seorang penyair datang ke
sekolahku. Membaca puisi-puisinya. Aku tak sadar bahwa yang dibaca adalah imajinasi
bukan cerita hidup sendiri. Dalam puisi itu aku dengar penyair menjadi Dewa Penyelamat.
Penyair berpakansi bukan saja ke Eropa atau Amerika. Akan tetapi ke planet Mars bahkan
ke surga sekaligus. Penyair tidak hanya bercinta dengan perempuan-perempuan tercantik di
dunia. Melainkan dengan Dewi Venus dan bidadari surga sekalian. Penyair bisa bolak-balik
ke Mekah tiap hari untuk haji. Kudengar mereka sering bergurau dengan Tuhan ketika
malam menjadi kelam. Sungguh enaknya bukan main. Tapi ternyata tidak begitu! Dan itu
kusadari setelah aku dikerangkeng dalam dunia penyair dan tak mungkin lari.
Kusadari semua hanya imaji belaka ketika aku sudah benar-benar gila. Semua orang bilang
aku tidak waras. Aku terjangkit maniak depresi sangat akut, sindrom bipolar. Suasan hati
tak menentu dan berubah-ubah, dari euforia berlebihan menjadi putus asa tak hingga. Aku
menjadi sangat tertekan dengan setiap imajinasi dalam puisiku. Dan aku mulai berpikir
untuk mengakhiri semuanya dengan bunuh diri. Mengikuti jejak seniman seperti, Vincent
Van Gogh, Herman Melville, Edgar Allan Poe, dan Virginia Woolf, yang gagal berperang
dengan dirinya kemudian mengakhiri hidup dengan tragis. Seluruh waktu dan tenagaku
hampir habis terkuras mencari jalan paling damai menuju mati, selain tanpa henti berpuisi.
Bagiku puisi adalah darah yang jika berhenti mengalir berarti aku telah mati. Nasib sial
sungguh! Dalam puisi-puisiku aku bahkan menginginkan mati. "Aku ingin mati, Tuhan/ tuk
menemu Mu//mari... mari sudahi sandiwara/ tak tahan kuingin bermesra/ kita
bersua//hangus mampus/ diriku padaMu tak berdaya//rapuh lepuh/ diriku padaMu hilang
musnah.//"
Detik-detik dalam hidupku adalah sakaratulmaut. Prosesi menuju mati. Aku memesan peti
mati dari kayu jati. Melihat ulahku, Ayah mengurungku dalam kamar. Benda-benda tajam
dijauhkan dari jangkauanku. Jendela kaca diganti kayu kemudian dipaku dengan keras.
Pintu kamar dikunci, digembok. Di kamarku aku nyaris tak berteman. Kecuali dengan
spidol hitam, kertas lusuh, pensil yang tintanya mewangi, dan tentu saja bayanganku sendiri
yang sering kuajak diskusi.
3. Maka setiap aku ekstasi untuk mati, tidak ada hal lain kulakukan kecuali menulis puisi.
Dinding kamarku adalah sahabat paling setia yang pernah kutemui. Dia diam saja ketika
tanganku gatal kemudian menulisi kulitnya yang putih bersih dengan spidol hitam. Yang
kutulis bukan hanya puisi sendiri, tapi juga puisi orang-orang terkenal seperti Chairil
Anwar, Sapardi Djoko Damono, dan Umar Khayyam.
"Di kamar ini pernah tinggal/ sebuah jiwa yang terus menyala.//Ditemani tawa-tawa palsu/
sambil tangan dan pena/ saling bersiasat untuk menulis apa saja/ di dindingnya;/ dinding
tak jadi dicat merah!//"
"Kamar begini,/ 3 x 4 m, terlalu sempit buat meniup nyawa!""barangkali hidup adalah/ doa
yang panjang, dan sunyi adalah minuman keras./ ia merasa tuhan sedang memandangnya
dengan curiga;/ ia pun bergegas.//
"Bangunlah, Cintaku, bangun! Fajar cerlang tiba/ Reguk anggur perlahan-lahan dan petik
kecapi/ Tak ada nyawa yang abadi di tempat ini/ Di antara mereka yang pergi, tak seorang
pun kembali//"
Aku lelah. Aku hilang arah. Aku frustasi. Aku ingin lekas mati.
*****
Jika aku bertemu Tuhan saat ini, maka yang pertama akan kulakukan adalah menciumNya.
MemelukNya. Berterima kasih padaNya. Aku sungguh beruntung karena doaku Ia
kabulkan. Doa yang tidak serius untuk menjadi penyair. Aku sungguh beruntung. Melebihi
apa yang akan kucapai jika aku menjadi presiden, pilot, atau tentara. Anugerah apa pula
yang paling berharga bagi lelaki kecuali istri cantik penuh cinta nan setia? Ahai...! Hanya
satu perempuan yang sungguh menerima cintaku. Dan aku tak butuh lebih dari itu.
"Mas tahu Anjani jatuh cinta karena apa?" tanya istriku. "Karena Anjani kasihan Mas mau
bunuh diri?" jawabku.
"Bukan itu. Anjani jatuh cinta karena puisi-puisi Mas yang menyentuh hati dan
menggetarkan jiwa," ucap Anjani tersenyum dan lesung pipitnya menggodaku seketika.
"Mas dapat inspirasi dari mana?" lanjutnya lagi.
"Inspirasi tak cukup membuat seorang penyair melahirkan karya. Ia mesti punya motivasi."
Anjani mengernyitkan dahi. Pandangnya yang serupa cahaya bening bintang kejora
mengarah padaku. Ia menunggu lanjutan kalimatku.
"Hidup yang direnungkan adalah inspirasi terbesarku. Dan senyummu adalah motivasi yang
paling nyata," terangku dengan mimik sangat serius. Di luar malam makin lelap.
Cinta membuat perang dunia kelihatan sederhana!***
Kairo, Buus Indah Permai; Senin 11:40 23062007