Cerita ini menceritakan seorang pelukis bernama Indrian yang sedang melukis potret kekasihnya, Ira. Ia tidak dapat menyelesaikan lukisan mata Ira karena merasa belum mampu menangkap keindahan mata kekasihnya itu. Suatu hari, Indrian menerima surat yang mengatakan Ira kehilangan penglihatannya akibat kecelakaan. Untuk menunjukkan cintanya, Indrian memutuskan untuk mencongkel kedua matanya
Sepasang mata untuk perempuan (salman rusydie anwar)
1. Pikiran Rakyat
Sabtu, 30 Juni 2007
Sepasang Mata untuk Perempuan
Cerpen: Salman Rusydie Anwar
Untuk malam yang kesekian kalinya, Indrian kembali mengeluarkan alat-alat lukisnya dari
sebuah kardus bekas yang sudah lapuk. Ditatapnya kanvas yang terpancang di
hadapannya. Lukisan yang tak selesai selama dua malam. Dan malam itu, ia berniat
menyelesaikan lukisannya. Sebuah sketsa wajah perempuan yang acak. Lalu dia
mendengus pelan.
Harus selesai. Harus sempurna," ia berbisik kepada dirinya sendiri.
Di luar, malam semakin pekat. Di atas langit, rembulan berwarna putih perak. Kuncup daun
cemara di kejauhan, bersepuh warna bulan. Sekali waktu sampai pula ke dalam telinganya
suara-suara burung malam. Tidak, itu jelas burung hantu. Berkukuk-kukuk. Barangkali
itulah suara-suara alam yang akan dinikmatinya malam itu sambil tangan kanannya menari
pelan di atas kanvas.
Sebagai seorang pelukis, Indrian meyakini satu hal. Apa pun saja yang dilihat, didengar,
dan dirasakan semuanya harus dinikmati sebagai sebuah inspirasi. Alam menyediakan
segalanya untuk dibaca. Untuk dilukis.
"Ah. Ira. Kau tak ubahnya anak alam yang gesit untuk kutangkap dalam lukisanku."
Lelaki kurus berambut panjang, seperti ciri khas kebanyakan orang sepertinya, itu masih
terus asyik memindahkan lesatan-lesatan otaknya ke atas kanvas yang terlihat berwarna
kuning keemasan ditimpa lampu dingklik yang berkeredip-keredip ditiup angin.
Namun selalu saja tangannya terhenti ketika ia bermaksud melukis kedua bola mata
perempuan yang dipanggilnya Ira itu. Ia seperti tak memiliki kekuatan untuk
menerjemahkan sorot mata perempuan itu ke dalam lukisannya. Dan karena itu ia menjadi
sedikit kesal.
Dirogohnya saku celana yang telah sobek beberapa bagiannya. Mencari rokok, dan
kemudian menjumputnya sebatang. Menyulutnya ke lampu dingklik karena tak ada korek
di dekatnya. Api di ujung rokoknya menyala merah setelah ia mengisapnya keras-keras.
Kemudian menghembuskan asap-asapnya sekeras ia menghisapnya. Asap bergulung-gulung
di hadapannya sebelum terberai oleh angin.
Ditatapnya kembali lukisan wajah perempuan yang tak memiliki mata itu. Semuanya sudah
hampir sempurna. Tinggal kau menyelesaikan bentuk kedua bola matanya, Indrian.
Kemudian kau memberinya ruh pada tatapannya agar lukisanmu memiliki kesan sebagai
lukisan yang hidup.
Lama Indrian memandang lukisannya. Kedua kakinya ia selonjorkan untuk melenturkan
kembali otot-ototnya. Kedua tangannya ia lipat di depan dadanya yang tipis yang
terbungkus oleh kaos dalam yang tak kalah tipis dengan dadanya. Sekali-sekali
terlemparlah suara batuknya yang berat ke tengah-tengah malam. Sunyi yang menyergap
membuat suara batuknya itu terlempar sampai jauh. Seperti memantul dari rerimbunan
daun yang merunduk beku.
Sebatang rokoknya telah habis. Tak sepenuhnya dihisap. Melainkan dijumput sedikit-
2. sedikit oleh angin yang lesau.
"Ira. Sebaiknya tak kulukis matamu di sini," guman Indrian sambil meraba-raba bagian
wajah yang hendak diisi dengan lukisan mata perempuan itu. Barangkali ada pasir yang
akan mengganggu dan mengotori wajah perempuannya itu. Namun ia tak menemukan
sebutir pasir pun di sana.
"Ya. Matamu tak akan aku lukis di sini. Sebab pada matamulah letak keindahanmu. Aku
khawatir, jika sampai aku melukisnya, akan banyak orang yang menginginkan matamu
sebagaimana aku pertama kali jatuh cinta kepadamu lewat mata itu," Indrian kemudian
tersenyum dan memasukkan kembali alat-alat lukisnya.
"Matamu hanya akan aku lukis di dalam ingatan dan mimpi-mimpiku."
Demikian katanya sambil bergegas masuk kamar untuk berangkat tidur. Untuk malam yang
kesekian ia gagal lagi menyelesaikan lukisannya. Namun ia merasa tak akan menyesal.
Karena ia sudah memiliki alasan. Setidaknya alasan untuk dirinya sendiri.
Di atas amben tua tempat ia membaringkan tubuhnya yang kurus, Indrian tertegun sejenak.
Ingatannya kembali terusik oleh lukisan mata kekasihnya yang tak selesai. Sepasang mata
milik kekasihnya, tentu. Di kedua bola mata perempuan ia seperti melihat kelembutan yang
selama ini tak dirasakan.
Betapa jujur mata perempuan mengungkap segalanya. Mata yang menyimpan kasih sayang
yang tak bisa ia ukur. Tak bisa ia lukis lewat cat-cat berwarna. Betapa lelaki itu merindukan
perempuannya malam itu. Lebih tepatnya ia merindukan untuk bisa melihat kedua bola
matanya. Sejurus kemudian Indrian tersenyum sendiri.
Mengenangkan saat-saat ketika ia duduk berhadapan di salah satu tempat di taman kota.
Menyelami kedua bola mata Ira. Perempuan yang saat ini berada di negeri jauh. Bertaruh
keberuntungan. Indrian bangkit dan duduk di tepi amben yang terdengar berderit-derit
parau menahan beban.
"Jangan cemaskan aku, Indrian. Aku bisa menjaga diriku untukmu," kata Ira sebelum
meninggalkannya.
"Tapi aku mengkhawatirkan matamu, Ira," balas Indrian sambil menggenggam erat kedua
tangan Ira dan matanya menyorot tajam ke dalam mata Ira.
Mendengar kata itu Ira tersenyum. Indrian gemas.
"Mataku tak pernah akan beranjak untuk melihat yang lain. Ia hanya akan melihat dirimu.
Percayalah," terdengar Ira meyakinkan lelaki di hadapannya.
Seekor cecak jatuh tepat di hadapan Indrian kemudian lari terbirit-birit dan menghilang ke
bawah kolong yang tampak gelap. Indrian melirik jam dindingnya yang tak berkaca. Tepat
jam sepuluh waktu itu. Sama dengan ketika ia berduaan dengan Ira di suatu taman
menghabiskan malam terakhir sebelum kekasihnya itu pergi.
Indrian bergegas mendekati jendela dan membukanya. Di luar, terlihat bayang-bayang
pohon yang tampak berwarna gelap. Rembulan sudah tak seterang waktu dia melukis tadi.
Terlihat agak bergeser dan saat itu berada tepat di atas uwung-uwung rumahnya. Cukup
lama ia di situ sebelum akhirnya ia memutuskan untuk keluar rumah.
3. Indrian berdiri tepat di tengah-tengah halaman rumahnya sambil menghadap ke arah barat.
Tak jauh dari tempatnya berdiri, terdapat pohon mangga yang sudah dua tahun tak berbuah.
Pohon itu sengaja tidak ia tebang dan hanya digunakan sebagai tempat ia berteduh sambil
melukis pada siang yang panas. Sebentar kemudian Indrian menatap rembulan yang berada
tepat di atasnya. Itu membuatnya bermandikan cahaya. Saat itu juga ia seperti melihat mata
kekasihnya. Ya, mata kekasihnya itu seperti rembulan. Selalu menimpakan cahaya. Betapa
sempurna perempuan yang memiliki mata rembulan. Yang bisa menatapnya dengan cahaya
ketulusan yang begitu lembut.
Bukankah lebih baik jika ia melukis mata Ira dengan bentuk dua rembulan. Tentu saja
begitu, pikir Indrian. Lagi pula ia tak mau mengingkari kalau mata kekasihnya itu seperti
dua buah rembulan yang terpasang di wajahnya. Namun sebentar kemudian Indrian
mengurungkan niatnya.
"Masihkah Ira menjaga kedua matanya untukku?"
Keraguan tiba-tiba menyergapnya. Tapi kenapa ia mesti meragukan perempuan. Bukankah
makhluk itu dicipta tidak untuk disangsikan atau diragukan. Perempuan adalah makhluk
yang memiliki kedekatan sifat dengan kelembutan dan kasih Tuhan. Dan setiap kelembutan
atau kasih sayang tak pernah menyimpan pengkhianatan. Untuk apa ia meragukan Ira.
Indrian kembali menatap rembulan itu.
Malam itu, Indrian seperti berada dalam kedamaian. Kedamaian seorang pecinta yang
sedang merindukan kedua bola mata kekasihnya yang jauh di rantau. Begitu besarnya rasa
rindunya sehingga ia berjanji akan melewatkan malam itu sambil menatap rembulan dan
mengiringinya sampai benar-benar tenggelam di siang nanti. Betapa rembulan itu mampu
mengingatkannya kepada Ira yang dicintainya.
"Silakan bermimpi tentang aku, Ira. Malam ini aku akan menjaga malammu di halaman ini.
Setidaknya agar engkau tak pernah lupa bahwa aku masih berdiri menantimu," Indrian
bergumam. Dilipatnya kedua lengannya di atas dadanya yang tipis. Indrian seperti
mengucapkan kalimat itu kepada malam dan angin. Dalam hati ia berharap semoga akan
sampailah kata-katanya ke alam di mana kekasihnya berada.
Entah berapa lama Indrian berada di halaman itu. Duduk di atas kursi yang biasa ia
gunakan sebagai tempat duduk jika sedang melukis. Namun waktu ia membuka kedua
matanya, hari sudah nampak siang. Sepertinya aku tertidur, bisiknya. Ia mengangkat kedua
tangannya sebelum mengusapkan telapaknya ke wajah.
Matanya kemudian menangkap sesuatu di atas meja yang terletak tak jauh dari hadapannya.
Secarik amplop surat baru. Ia menengok ke semua arah berharap mengetahui siapa yang
telah meletakkan surat itu tanpa membangunkannya terlebih dahulu. Namun keadaan masih
sunyi. Dan sepertinya tak ada tanda-tanda kalau seseorang baru saja keluar dari halaman
rumahnya.
Sejenak Indrian menatap surat itu. Tertera namanya di sana. Namun ia tak tahu siapa
pengirimnya. Di bagian belakang amplop memang tertulis, Martin Hesse. Tapi Indrian
merasa tak pernah kenal kepada orang yang memiliki nama seperti itu. Indrian membuka
surat itu dan membacanya. Darahnya tersirap, pandangannya kabur, dan kemudian ia
terjerembap ke atas kursinya kembali.
"Bagaimana mungkin Ira harus kehilangan kedua matanya. Apa yang terjadi?" Indrian
seperti gelisah setelah membaca surat itu. Semula ia tak mau memercayai begitu saja isi
surat yang menyatakan kalau kekasihnya tertimpa suatu kecelakaan yang membuat kedua
4. matanya buta. Tidak, ini tak boleh terjadi. Apa pun alasannya aku tetap mengagumi kedua
bola mata itu. Isi surat itu menjadikan Indrian seperti orang yang kehilangan kesadarannya.
Dengan langkah tergesa ia bergerak menuju toko yang tak jauh dari rumahnya. Ia
bermaksud membalas surat itu. Ira harus segera mendapat balasan darinya. Sejurus
kemudian ia sudah memegang selembar kertas yang sudah ia tulis, amplop yang sudah
tertempel perangko kilat balasan, sebilah pisau dapur mengkilat. Surat yang baru saja
ditulisnya sudah ia masukkan ke dalam amplop. Kemudian ia raih pisau itu dan menatap
dengan agak lama kilatannya.
Pada pagi hari yang sunyi itu, sesuatu akan dimulai dalam hidup Indrian. Ia telah
mengambil keputusan mantap akan apa yang harus ia lakukan pagi itu. Sebuah
pengorbanan seorang kekasih akan ia buktikan pagi itu. Kemudian...
Crass....
Ujung pisau itu menancap di mata kanan Indrian. Dengan tangannya Indrian mencongkel
mata kanannya dan mengeluarkannya. Darah mengalir melalui pipinya dan menggenang di
atas perutnya. Namun ia tak peduli. Dipandu mata kirinya ia memasukkan bola matanya itu
ke dalam kantong plastik. Betapa ia mengagumi bola matanya sendiri waktu itu. Namun
sesudah itu ia kembali mengarahkan ujung pisaunya ke mata kirinya dan mencongkelnya
dengan agak keras sehingga mata itu terlontar. Lepas dari tangannya.
Indrian meraba bola matanya yang satu. Ia mendapatkan bola mata itu tidak jauh dari
kakinya dan terasalah kalau bola mata itu dipenuhi pasir. Perih kembali menyergap. Namun
ia tahan sambil tangannya membersihkan pasir yang menempel di bola matanya. Tak ada
yang bisa ia lihat saat itu kecuali gelap dan rasa perih yang ia tahan. Dengan kedua
tangannya Indrian memasukkan kedua bola matanya ke dalam amplop dan merekatkannya
dengan lem yang sudah ia sediakan. Lalu bergegas dengan langkah tertatih menuju kotak
surat yang berada di pinggir jalan depan rumahnya.
Indrian kembali masuk ke dalam kamarnya dengan langkah yang meraba-raba.
"Ira. Aku sudah merasakan bagaimana rasanya kau kehilangan kedua matamu yang selama
ini aku sanjung-sanjung. Namun jangan khawatir, sebentar lagi kau akan mendapatkan
gantinya. Mata antara yang mencinta dan yang dicintai tak jauh berbeda. Jangan ragu.
Pakailah mataku dan lekas kembalilah ke padaku. Aku akan segera menyelesaikan lukisan
matamu dengan keadaanku yang sekarang. Keadaanku yang tak bisa melihat apa-apa,
namun mengerti akan keindahan matamu yang sesungguhnya" kata Indrian sebelum
merebahkan dirinya di atas amben.
Kini, semua yang dilihatnya hanyalah gelap. Indrian tersenyum. Ia telah berkorban, dan itu
sempurna.***
Yogyakarta, 2007