1. SEMANGKUK TATAPAN
Tatapan itu, tatapan yang sangat kurindukan. Di saat pertama aku bermain
bersama. Di saat aku makan bersama. Di saat itulah aku sangat mengingat tatapan itu.
Tatapan yang penuh cahaya. Tapi, entah berapa tahun lagi aku akan bertemu
dengannya. Masih terasa sesak dan keinginan yang membelenggu untuk mencarinya.
Akan tetapi, kata “Kemana” terus terngiang dan menari-nari di sekitaran kepalaku.
“Berjalanlah, maka kau akan dapatkan!” Ucap Adi, si penyair ulung yang sampai
hari ini karyanya belum masuk satupun di surat kabar.
“Ini kan udah jalan sih!” Jawabku.
“Bukan berjalan yang seperti ini yang kuharapkan. Daku mengharapkan dikau
mencarinya sobat. Cinta itu perlu dikejar.”
“Sok tua, udah deh, biar aja kayak gitu. Dateng sendirinya tuh”
“Ya sudahlah, yang terpenting daku sudah mengingatkan.
Makanan itu tersaji dengan apik dan unik di meja makan. Aku sudah siap
bersamanya bersantap siang. Lagi-lagi mata itu melelehkanku untuk menyantapnya
dengan kekaguman. Mata itu melambangkan kesederhanaan. Mata itu ibarat permata
sangat indah dan memukau. Harganya sangat mahal dibandingkan permata-permata
yang lainnya. Permata ini hanya satu di dunia. Hanya dia yang memilikinya dan aku
yang menikmatinya. Aku yakin hanya aku yang merasakan keindahan itu. Karena, aku
yakin ini hidup hanya untuknya.
“Itulah kelebihan dikau teman. Terlalu percaya diri itu tidak bagus.” Ucap Adi.
“Kenapa lagi sih, pesimis salah, optimis lebih salah lagi? Yang bener mana ini?”
“Daku hanya menyuruh dikau untuk berjuang akan tetapi, jangan terlalu percaya
diri teman.”
“Plin plan kau, sebentar-sebentar iya, sebentar-bentar enggak. Gak jelas”
Tanah liat itu, sudah kau gulung rapi bersama pernak-perniknya. Telah kusisipkan
sedikit cinta disaat tanak itu kau gulung. Rasanya nikmat berada di sini bermain tanah
bersama. Inilah kesukaanku dan kesukaanmu. Aku dan kamu menyukai kotor dan kita
beranggapan kotor itu baik. Bak iklan, kami melakukan sesuka kami hingga orang tua
2. pun mejadi penasehat terbaik diantara keceriaan kami. Bukan hanya itu, aku masih ingat
kau menyuruhku untuk menjadi seorang pangeran di istana buatanmu. Istana yang kita
bagun dari butiran pasir dan menaruh sedikit cinta dengan kerjasama kita. Aku ingat
sekali aktivitas disaat kita berdua. Aku, kau sebut pangeran terbaik yang pernah ada di
dunia ini. Aku kau sebut lelaki yang akan menemanimu hingga akhir hayat. Akan tetapi,
itu dulu saat aku menjadi pangeran di istana pasirmu.
“Dikau ini sudah erkena sindromcinta masa lalu. Kenapa tidak dikau cari saja
perempuan lebih cantik daripada dia. Banyak disini perempuan, Lae!”
“Huft..sesuka hatimu aja ya nyebut-nyebut namaku sebentar-bentar, sobat lah,
temanlah, sekarang lae. Udah penyok bola di otak kau itu.”
“Ah,, Serius Lae, kalau begitu daku sudah kena kanker otak itu,lae”
“Kanker otak? Sarap otak iya!” kataku sampbil meninggalkan Adi.
Sepertinya Adi bukan teman yang cocok untuk diajak berdiskusi bersama. Cinta
ini benar-benar ada bersamaku setiap saat. Semakin lama aku merasa dia semakin dekat.
Semakin lama, semakin kurasakan pancaran energi mata yang kurindukan itu.
Sepertinya dia ada disini, di kota Medan ini. Ya, aku sangat yakin. Pertama dan terakhir
kali aku melihatnya disaat aku menjadi warga Jakarta. Aneh ya? Aku merasakan
keanehan itu. Mana mungkin anak Jakarta kuliah di Medan, sedangkan aku anak Medan
asli yang mungkin kuliah di Jakarta. Kalau pun betul kenapa sampai hari ini aku belum
merasakan getaran yang dekat itu.
Dibawah pohon rindang rasanya tempat yang paling menyejukkan di dunia.
Walalupun duduk lesehan dengan penuh debu yang menyertai kebingunganku dan
daun-daun yang menemani kesendirianku. Tempat ini favoritku dan beberapa
mahasiswa yang merasa berkuliah disini. Tak peduli kotor, dengan cara lesehan
dibawah pohon, kita merasa semua sama. Tidak ada yang berbeda, walau kaya, walau
punya martabat yang tinggi, semua terasa sama di bawah pohon rindang ini.
Baru saja merasakaan kesejukkan, aku kembali memikirkannya. Aku kembali
berfantasi dengan pikiranku. Seandainya dia ada disini dan membawa kebahagiaan serta
mata yang kurindukan itu. Aku tahu namanya. Akan tetapi, masih muncul keraguan
untuk mencarinya. Aku tidak yakin dia ada disini. Kalau pun aku bertemu dengannya
ini seperti sebuah mimpi yang terwujuda ataupun dejavu. DEJAVU, benar! Aku
3. merasakan dan mengatakan yang baru kukatakan ini kepada tulisanku. Apa benar akan
ada keajaiban itu?
“Lae, dikau kemana saja? Kenapa tiba-tiba tidak masuk?” Ucap Adi yang
mengagetkanku.
“Di, di, bisa kagak kau itu gak ngagetin orang?”
“Siapa yang ngagetin dikau? Aku hanya menghampiri dikau. Hanya dikau laeku
yang berduit. Haha..”
“Dasar kau, cowo matre”
“Eh, mang dikau ceweku apa, idih, kagak deh! Haha..” Ucap Adi dengan sedikit
menirukan gaya bencong.
“Mau ngapain rupanya kau?”
“Ayo dulu kawani aku makan lae di kantin”
“Ayolah, aku pun lapar”
“Gitulah!”
Kantin, tempat paling menyesakkan se-Dunia versi Dapot Mahulae. Penuh sesak,
berasap, dan semua bau berkumpul disini. Aku salah satu orang yang membenci rokok.
Makanya aku tidak mempunyai banyak teman. Satu-satunya teman yang kupunya
adalah Adi Maradi Turnip. Kami adalah dua sekawan yang mencoba out of the box.
Orang merokok kami tidak merokok.
Belum ada 15 menit, aku duduk di kantin. Tiba-tiba datang gosip-gosip tidak enak
dari para perempuan yang menganggap dirinya shopaholic, metropolis dan mengerti
akan fashion. Kehadiran seorang wanita yang menurut mereka aneh selalu membawa
suatu trending topic bagi para wanita yang menganggap dirinya sempurna. Baju yang
bermerk dan mengikuti zaman, gadget yang sedang trend, riasan wajah yang tebal, serta
aksesoris bermerk merupakan suatu pembuktian diri kepada orang banyak tentang
bagaimana ia sebenarnya. Wanita yang dapat berpenampilan tersebut termasuk orang
kaya dan dikenal banyak mahasiswa lainnya. Tidak seperti wanita ini yang sedang
hangat dibicarakan oleh mereka. Aku rasa penampilannya sederhana dan biasa saja atau
bahkan memiliki kekurangan. Kasihannya dia harus menjadi pembicaraan mereka.
4. Usut punya usut ternyata dia wanita yang tidak sempurna, bukan berarti dia cacat
utuh. Dia hanya saja kehilangan sepasang mata demi menyelamatkan adik kecilnya.
Terharu, itu perasaan yang keluar dari hatiku saat ku tahu ia melakukannya demi orang
yang disayanginya. Rasanya ingin bertemu dan menjabat tangannya dan mengatakan
bahwa dia itu sempurna.
“Lae, mau tau tidak siapa nama perempuan yang diceritakan wanita-wanita
rempong ini?” kata Adi kepadaku.
“Ah, tak pala tertarik aku” ucapku.
“Hei, dengar dulu biar dikau tau, wanita ini orang yang kau cari”
“Wanita yang kucari? Ah, ada-ada aja kau”
“Tak percaya kali dikau ini”
“Siapalah?”
“Si Butet br Ginting, itoku itu loh. Yang dikau bilang punya mata yang paling
cantik”
“Tak percaya aku. Becanda aja kau”
“Ehe..”
Apa betul itu dia? Hati ini seperti memberi signal bahwa itu memang dia. Tidak
percaya aku. Kembali pertanyaaan ini datang, apa betul itu dia? Aku harus
membuktikkannya. Mata itu harus ku lihat dengan jelas. Aku harus merasakan getaran
kerinduaan itu ketika melihat matanya. Akan tetapi, apa aku berani menemuinya? Atau
apakah dia mengenali aku nantinya?
Tanpa berpikir panjang aku mencari keberadaannya dan mulai mengincar mata
itu. Mata yang bak perhiasan berharga bagiku dan juga hatiku. Kelas demi kelas, lantai
demi lantai mulai kucari jejak keberadaannya. Aku mulai mengendus getaran-getaran
rindu itu. Aku mulai merasakan guncangan signal mata itu. Entah itu khayalan tapi, aku
mengakui ini sebagai kenyataan. Aku mengakui ini sebagai fakta yang sebentar lagi
akan kudapatkan.
Tepat diujung ruang perpustakaan, kutemui sosok berkursi roda dengan temannya
yang lusuh, sebuah buku. Buku braille yang kini dipakainya bukan buku yang dibumbui
tinta hitam. Ini hanya sebuah kertas dengan tonjolan kata. Aku merasakan signal itu ada
di depanku. Aku mengenalnya. Dia yang membuat aku menutup hati untuk banyak
5. mata. Dia yang membuatku tiak merindukan signal rindu dari orang lain. Dia yang
membuat semua berbeda dan terasa sempurna.
Aku meliha kesempurnaan itu. Aku mendapat sumber guncangan batin itu. Aku
merasakan sumber signal itu. Dia, yang sedang kupandangi dengan perasaan terharu dan
senang. Aku tahu dia juga merasakan ini. Walau perhiasan yang berharga itu tidak dapat
kulihat. Melihat dia berbahagia saat ini sungguh membuat kesempurnaan dalam
hidupku lengkap. Selain mata ini, senyuman itu pun sangat kukenal. Kutemukan kamu
yang pernah menghuni hatiku. Bahagiaku akan kujaga kau selamanya.
“Halo, namaku Dapot Mahulae”
“Hai, namaku Butet br. Ginting”
THE END
*Prihartini Simbolon, lahir di Jakarta, 15-11-1991. Bertumbuh dan berkembang saat ini
di Medan. Saya sedang duduk di bangku kuliah semester 6 di Universitas Negeri
Medan, juruan Sastra Indonesia. Fb: Bernaddette Prihartini Simbolon.