Penulis merindukan cinta pertamanya yang kini telah berubah. Ia mengingat masa lalu dan kenangan bersama cinta pertamanya. Penulis berharap agar cinta pertamanya dapat kembali seperti dulu.
3. Sekapur Sirih
TAKDIR PENYAIR DANGDUT
Sejak semula, ketika saya menemukan keasyikan dalam menempuh jalan puisi, saya
berniat menjadi seorang penulis puisi yang istiqomah, konsisten dan terarah sebagai
pengamal laku ngibadah perpuisian, sehingga layak berderajat penyair sejati dunia akhirat.
Saya tak peduli ketika khalayak sastra meributkan penulis puisi itu sebagai tukang, pengrajin,
atau perajut hasta karya semata, yang saya inginkan adalah saya menempuh jalan puisi
sebagai tanggung jawab pribadi terhadap sejarah dan kebudayaan yang melahirkan dan
menyusui saya, sekaligus sebagai pengamalan ilmu yang pernah saya cecap dari para guru,
dengan bertumpu pada ketekunan, kerajinan, dan rendah hati.
Namun, bagi seorang penyair jadi-jadian seperti saya, dengan spirit dangdut koplo
pesisiran, niat dan keinginan tersebut seperti melawan takdir. Apalah daya seorang penyair
jadi-jadian di hadapan kuasa takdir! Saya tidak sekelas Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Asrul
Sani, yang dengan perkasa mendaku diri sebagai ‘Tiga Menguak Takdir’. Trio Angkatan ’45
tersebut adalah raksasa dalam Sastra Indonesia, dan terbukti mampu istiqomah dalam laku
penulisan dan memperjuangkan ideologi kemanusiaan dunia kreatif. Adapun saya,
sebagaimana pengamal laku dangdut koplo, seringkali berlaku serampangan, kampungan,
dan spontan, yang bertumpu pada slogan suci: apapun lagunya, yang penting pinggul terus
bergoyang dan kepala tak berhenti bergerak.
Bila ada kritikus sastra yang abai terhadap puisi-puisi saya dan tidak memasukkannya
dalam sejarah sastra Indonesia, saya wajib menerimanya lebih daripada sekadar berlapang
dada. Bahkan selapang lapangan bola, tempat dangdut koplo biasa digelar dan dipentaskan di
kawasan pantura Jawa. Tak heran, bila saya hadir di sebuah festival atau pagelaran sastra,
dan saya disebut penyair, seringkali mulut saya ternganga. Untunglah, tidak ada lalat yang
kesasar ke kerongkongan. Tentu saja, selain karena merasa kurang pantas dengan sebutan
yang nyaris adiluhung dan berbeban sejarah yang panjang dan berliku tersebut, saya
bersyakwasangka bahwa yang bersangkutan sedang khilaf; dan yang paling penting: seberapa
banyakkah, ia membaca puisi-puisi saya. Kegagapan saya tersebut tentu tak ada
hubungannya dengan klaim penyair dalam Surat Asyu’ara, yang menakutkan, tetapi lebih
pada persoalan ketidakistiqomahan saya dalam menempuh jalan puisi selama ini, meskipun
untuk itu, saya sudah berikhtiar dan berjuang sesuai kemampuan dan kemauan saya sampai
titik darah mendidih. Nggetih.
Nggetih itu sangat personal.
Bagi saya, seorang penulis itu memiliki tanggungjawab personal yang akbar. Ia
sepenuhnya sadar bahwa lewat dirinya suara zaman digemakan. Karena itu, kesadaran
seorang penulis bukan tanpa pijakan, dan menggantung pada langit kekosongan, tetapi
berpijak pada dua bahu raksasa: ruang dan waktu. Oleh karenanya, saya pun tak dapat
menghindar dari rayuan semangat zaman, tempat ruang dan waktu jumbuh dan bersetubuh,
yang melahirkan problematika dan jalan keluar yang khas. Meski demikian, saya mengimani
bahwa dalam proses menuju peradaban, ada hal-hal yang tetap, dan ada hal-ihwal yang
berubah, sebagaimana hujjah Adonis, alias Ali Ahmad Said. Terbukti, kini, banyak hal
mengalami perubahan, terutama dalam dunia persilatan sastra, wabilkhusus puisi, di dunia --
juga Indonesia. Namun, saya juga meyakini bahwa kualitas puisi masih bersandar pada
standar-standar yang dihasilkan oleh pergulatan tradisi dan sejarah perpuisian, berpijak pada
kualitas-kualitas puisi yang pernah dihasilkan para pujangga yang mumpuni pada masanya.
4. Dengan logika koplo tersebut, saya dapat menarik benang merah terkait proses saya
berpuisi: saya tetap menulis puisi, meski dengan kadar yang tidak istiqomah. Lacurnya,
ketidakistiqomahan saya itu juga menular pada perspektif saya pada puisi sendiri. Pada titik
tertentu, saya sering meragukan kualitas puisi-puisi saya. Inilah yang menjadikan saya pesimis
untuk turut memberi sumbangsih dan tawaran estetika terhadap sejarah sastra. Sebagai
manusia normal, awalnya hal tersebut sangat merisaukan, tetapi semakin ke sini, saya
menyadari ini adalah mekanisme otomatis dalam diri saya agar tetap waras dan sehat
walafiat dalam menempuh jalan puisi. Apalagi, dalam menapaki jalan puisi, saya gandrung
bermain-main dengan hal-hal profan, terkesan main-main, dianggap sepele oleh khalayah
riuh, dan menghamba pada inderawi, karena saya kira hal-hal demikian lebih berbau
manusia. Meski demikian, saya tidak dapat terus-menerus tergetar pada gebyar sementara
dan bersifat permukaan, karena segala fenomena pasti memiliki akar dan kedalaman.
Oplosan dua kutub tersebut, atau bahkan lebih, tidak hanya bersifat subversif, tapi
menerbitkan laku kreatif yang membumi dan mampu menghadirkan kepenuhan manusia dari
berbagai sisi. Dari hal-hal remeh-temeh dan terpinggirkan dari konstruksi mapan, seringkali
saya menemukan nilai-nilai yang lebih hakiki dan murni. Dan, judul buku puisi ini Dangdut
Makrifat, semata-mata sebagai ikhtiar yang berkumpar pada kecenderungan tersebut, meski
saya menyadari, terdapat beberapa penyederhanaan, penyimpangan, dan penumpulan.
Namun, dengan strategi inilah, saya dapat terus berpuisi.
Dalam hal keinginan untuk terus berpuisi, saya taklid pada Octavio Paz. Menurut dia,
ketika zaman modern bertampang sedemikian rupa dan puisi terpencil ke ruang-ruang tak
terkenali dan sepi sendiri, puisi harus tetap dipestakan dan dirayakan, meski berupa pesta
bawah tanah dan dalam kesunyian. Hal itu karena sebagaimana ungkapan saya yang sudah-
sudah, saya menganggap menulis puisi adalah sebuah kebutuhan. Sebagai sebuah
kebutuhan, ia bebas dari kungkungan hak dan kewajiban. Ia tak terpaku pada tepuk tangan
dan pujian. Bila pernyataan barusan kelewat pongah, mohon dimaafkan. Saya hanya ingin
berkata bahwa dalam zaman kini, berpuisi lebih dari sekadar hasrat mengenali diri, ruang
ekspresi, ajang unjuk gigi, tetapi juga menguji pandangan-pandangan pribadi terhadap hidup
dan dunia, sebagai sebuah kebutuhan asasi sebagai manusia yang ‘hidup’.
Demikianlah. Dengan posisi kepenyairan saya yang berkadar dlomir bin sumir dalam
sejarah perpuisian Indonesia, adalah sebuah kemewahan khusus, ketika penerbit Basabasi
(via kawan Tia Setiadi dan kawan-kawan) bersedia menerbitkan Dangdut Makrifat sejumlah
99 sajak dan terbagi dalam tiga bagian. Saya tidak hanya bahagia dengan penerbitan buku
puisi kelima saya, setelah Munajat Buaya Darat (2013) ini, karena penerbitan buku puisi bagi
penyair jadi-jadian seperti saya ibarat mendapat ‘guyuran waktu murni’ dalam perjalanan
kreatif saya yang tambal-sulam.
Akhirul kalam, bila Pembaca mendapatkan sesuatu yang berharga dari puisi-puisi
saya, itu tak lebih dari kerja keras dan kecerdasan para pembaca, karena puisi-puisi saya
dalam kurun 2003—2011, 2014—2016, dan 2017 (beberapa di antaranya pernah tersiar di
beberapa koran, buku kumpulan puisi bersama dan media sosial, serta beberapa sudah
mengalami penyuntingan) ini memiliki ragam kematangan yang fluktuatif tergantung pada
nyaring seruling dan hentak kendang. Adapun bagi Pembaca yang tidak mendapatkan apa-
apa, maafkanlah saya, ini adalah akibat ketidakkonsistenan saya dalam menggoyangkan
tubuh dan menggerakkan pikiran. Semoga dalam kerja kepenyairan selanjutnya, saya dapat
menyuguhkan puisi yang lebih bernyawa dan wujud dari pergulatan kreatif yang menuju
istiqomah.
Surabaya, April—November 2017
MASHURI
5. DAFTAR ISI
SEKAPUR SIRIH
KITAB SATU
BUKAN JIBRIL
1. Pecaron
2. Peleyan
3. Bukit Kendit
4. Hitam Putih
5. Elegi Mutanabbi
6. Bukan Jibril
7. Ilusi Hujan
8. Hidup Jelita
9. Pri
10. Biografi Martir
11. Soerabaia O Soerabaia
12. Luar Pagar
13. Anak-anak Wayang
14. Siddarta
15. Yang Terhormat Waktu
16. Percakapan Sepasang Pacar
17. Sajak Kanak
18. Jangka
19. Dari Penyair Tuah kepada Penyair Mudah
20. Tak
21. Loteng Sama'
22. Ragasukma
23. Perjalanan Kunang-kunang
24. Ia, yang Selalu Disebut dalam Doa tapi Terlipat dalam Sejarah
25. Perempuanku
26. Mabuk
27. Salah Ngaji
28. Lam Bengkok
29. Wajah Senin
30. Tiga Mawar
31. Nalar Ular
32. Bila Kenangan Adalah Hujan
33. Luka Gajah Mada
KITAB DUA
ASU MENCARI TUHAN
1. Dayu
2. Al
3. Keropak
6. 4. Maitreya
5. Asal-Usul Bangsa Ubur-Ubur
6. Mengenal Puisi Lagi
7. Dua Waktu
8. Wirid Anak Jalanan
9. Kabar dari Mesir
10. Migrasi Hati
11. Doa Gandarwa
12. Surat Kertas Jingga
13. Nuh, Aku Butuh Bahteramu
14. Panggilan di Ujung Hutan
15. Bersujud di Ujung Pisau
16. Punggung Panggung
17. Kisah Dua Ular
18. Rajah Tanah
19. Asu Mencari Tuhan
20. Batu Ampar
21. Cucu Amongraga
22. Trah
23. Pekik Pangeran Pekik
24. Menuju Tugu
25. Tanda Mata
26. Mesin Hantu
27. Pigora Aida
28. Urbanium
29. Sajak Gelap
30. Ikan Buruk Rupa
31. Dangdut Makrifat
32. Pasir-Pasir Pantai yang Kemilau oleh Garam
33. Nampan Musa
KITAB TIGA
SURAT DARI KUBUR
1. Lelaki Merah
2. Arok
3. ?
4. Kalacakra
5. Almanak Batu
6. Sahwat Purba
7. Kubur Pengantin Lumpur
8. Lukisan Mata
9. Kalinyamat
10. Jonggrang
11. Durgateluh
12. Perempuan yang Terbelah Luka
13. Kamar Gelap
14. Antimeter
15. Surat dari Kubur
7. 16. Asu
17. Sabuk Gunung
18. Mata Raja
19. Surat Kosong
20. Gelinjang Tanah
21. Karnaval
22. Saksi Kematian
23. Doa Kutilang
24. Incest
25. Ngising
26. Kasidah Darah
27. Bawah Atap
28. Tepi Serambi
29. Membaca Lontar
30. Ruang Kaca
31. Berdering di Dadamu
32. Berlari dari Dingin
33. Mampir Kencing
BIODATA
9. PECARON
: cinta pertama sang laron
Rembulan tak lagi utuh, o cintaku, seperti donat yang disayat gigi susu anak- anak
sewindu --ceritera pun tak lagi berkumpar pada taring Batara Kala, o belahan hatiku,
kerna dalam ritus selingkuh dengan jilmaan Uma palsu, gigi itu tak setajam dulu.
Tak tahukah kau, di sini, anak cucumu kerap bermain nujum tanpa niat bernubuat dan
bersijabat dengan penguasa keramat gelap. Kerna jarum jam zaman lebih tajam dari
tebasan sejuta parang dan kalam
Kepadamu o, sang pengelana dunia, kutitipkan sisa bayang-bayang bumi di balik kelir
takdirmu; kulingkarkan segenap korona, mengganti gelap dengan harapan-harapan
tuk sempurna menapaktilasi jejakmu.
Tapi entah kenapa kenangan masa lalu selalu menyaru cinta pertama. Ia menjadi
hantu, sekaligus penggoda yang begitu perkasa membalik mata: galaksi pun tak
mengenal bumi bundar, tapi tanah datar, seperti lapangan tanpa bola. Karena itulah,
o pelukis darah di tubuhku, kurelakan sayap-sayapku luruh menuju cahaya, yang
berkumpar di damarmu.
Situbondo, 2017
PELEYAN
: catatan berburu kenangan
Reruntuhmu menjulang di buku-buku ---seperti nasib Majapahit yang kini gaib. Tapi
menapaki tilas di pematang, di antara kebon tebu, pecahan batu-batu, kisah-kisah
hantu, tak kutemu mercu itu. Mungkin kau 'lah hijrah ke alam entah dan inderaku
alpa mengikuti denah yang terwarta dalam tilas yang bernama sejarah
Kutha Beddah, ranahmu berdiwana, kini tinggal ceritera tamansari yang dihuni peri
kejam dan jelita; tugu Portugis, benteng VOC, bong Cina, dan jejak artefak yang
menyempurnakan wujudmu, tinggal gerimis yang tak menyuarakan irama
Lewat pintu mana, aku harus mengetukmu, bila rumahmu tinggal rangka. Lewat jalan
mana, aku menujumu, jika seluruh lorong tertimbun batu-batu dan tanah. Mungkin
aku mengenalmu tanpa pernah bertemu, kerna kabar yang sampai di dadaku, ‘lah
membuat seluruhku bergetar dalam hasrat menggebu.
O melankoli. O sepi. O ceruk liturgi
Kelak, dalam bahasa kanak, entah lewat tembikar atau onak, bakal kurakit kisah-kisah
tanpa rasa sakit. Kisah yang tertuang dalam madah-madah baru, dengan notasi
10. bertumpu reruntuhmu: kolam mungil, keruh, dan harap-harap gemas pada lekukmu.
Nyanyian masa lalu pun terdengar utuh, mengendap di bukit-bukit ingatan, menjadi
senandung pujian para nelayan, dan bakal digurat di buku-buku yang berombak di
pantai pengetahuanmu yang kini dicekik paceklik berkepanjangan
Situbondo, 2017
BUKIT KENDIT
Namamu terukir d bonggol jati, beratus windu, saat almanak masih mati dan tak
berlaku; kini namamu masih berarus di ingatan kanak-kanak meski penanda tanggal
telah tanggal dari pengaitnya. Sungguhkah kau hanya mampir ke puncak bukit kendit
untuk menyampirkan lusuh hati karena lelakimu terus mendaraskan bait-bait panjang
ihwal pengkhianatan yang tak terbukti. Jika kelak, kubaca jejak kota tetangga dengan
tajuk banyuwangi, sungguhkah di sana, kau membunuh diri. Tapi di bukit kendit tak
kutemu tilasmu kendat. Malah di kelopak jati dan beringin yang menaungi tilasmu,
membekas detak hati dan arus angin. Seperti kereta yang mematri namamu, aku
melangkah dengan peta sederhana. Dan, menemukanmu dalam syair-syair pujian
yang dilakukan lelaki dusun telah menyusun sosokmu yang lain: Sungguhkah kau
pancaran sita, meski ramamu hanya sidopekso dan tak pernah mengalahkan
dasamuka dalam wujud hantu-hantu hutan yang memanjang dari hyang, sebab kota
kini yang disusun di bawahmu mengingatkanku pada jembatan yang dibangun oleh
pasukan kera menuju alengka, situbanda... Ataukah kau hanya perempuan dusun
yang gandrung mengukir dan menenun...
2017
HITAM PUTIH
: alma’arri
Ketika ia menulis puisi, aku tahu ia merindukanku. Aku pun mengutus burung-burung
ilham datang kepadanya, hinggap di antara dua belah iganya yang luka. Paruh mereka
yang gelap menyusup kepala. Ia mau menghindar, kerna gelap itu menjilma cahaya,
yang menjadikannya menghapal nama-nama, bahasa, dan zat kimiawi yang bernama
duka. Cakar-cakar mereka menjilma sayap-sayap ungu, yang membawanya terbang ke
lunas pusar yang tak tertembus netra. Ia pun sampai kepadaku dengan bercaping, lalu
menyatakan cinta dengan ganas, panas, berbumbu dan bertumpu kuping. Aku pun
mencumbunya, seperti menanti kekasih yang keras kepala dan jinak-jinak merpati.
Jika kelak, ada yang bilang ia murtad dan sesat dan laknat, aku akan tertawa. Tidakkah
kaulihat jubahnya bertambal, hatinya yang berakal, demi aku yang manunggal.
Ketahuilah aku telah bersamanya dalam jamuan satu nampan dan kusuguhkan sepiala
anggur yang lebih memabukkan dari yang pernah ia tenggak dalam malam-malamnya
yang sendiri dan sepi. Dulu, aku kerap menemaninya kerna yang ia sebut dengan
seluruh rindu adalah aku. Kini ia pun tetap mabuk, runduk, sambil mendendangkan
diwan-diwan hitamnya dengan pukulan rebana dan petikan kecapi. Lobang
penglihatannya pun menjilma mata di firdaus yang mengucurkan air mata cinta di
11. hadapanku. Ketahuilah hitamnya telah berubah putih di altarku. Jika Dante mengekor
padanya, karena dalam sorot matanya yang gaib mengandung kerlingku.
Sumenep-Bangkalan, 2017
ELEGI MUTANABBI
Kenapa kau disebut mutanabbi, sungguhkah ketika kau menulis puisi ---tumbuh
intuisi, serupa wahyu, yang menyaru burung parkit yang merakit suara-suara langit;
ataukah di tubuhmu mengalir darah nabi, dan keharuman itu membuat musuh-
musuhmu melenguh seperti banteng yang melihat merah di sekujurmu, hingga kau
dituduh mungkar dan pendusta.
Dengan kefakiran tafsirku, o mutanabbi, kubaca diwan-diwanmu dengan ringkih
imajinasi. Kuingin menangkap burung-burung gelisahmu dan menyangkarkannya di
dadaku, kuingin mencium darah wangimu yang menguar dari sela-sela kuku, tempat
dulu dawat tinta membasahi pena dan kalbu.
Kini di majelismu aku duduk dan berharap masa lalu tidak lagi berulang jalang, dengan
tangis tanpa air mata dan cacat netra dalam memandang jalanmu. Sebab burung
bukan amsal merdeka dan darah tak selalu melulu luka. Mungkin moyang kita sama
dan kerinduan kita terbuhul dalam madah yang kita sederhanakan dalam kefasihan
bahasa, meski di belakang kita: berderet akal, sejarah, dan hasrat mengenali seluruh
lubang dan luka.
2017
BUKAN JIBRIL
Di tepi kali, aku menunggumu. Tapi kenapa yang datang selalu hujan, kelesik
dedaunan, dan debur air di antara bebatuan. Kini, rintik air dari langit itu kembali
menggaris kesepian. Musik daunan yang dimainkan angin pun semakin menikam
kesendirian. Percik air di batu-batu, serupa roda nasib yang mengekalkan luka kalbu.
Aku masih setia pada kitab dan tongkatmu. Entah kau datang nanti atau tidak sama
sekali, aku akan tetap menunggumu di tepi kali. Tapi izinkan aku menghentikan hujan
dari perasaanku, memindah pepohonan dari hatiku, dan menyapih nasib dari
takdirku. Utusanmu telah datang semalam, ia melatihku hingga fajar. Ia membuatku
menggigil, meski ia bukan jibril.
2017
ILUSI HUJAN
Hujan datang dan pergi serupa trayek bus kota. Saat gerimis mulai ritmis, seorang ibu
mengenakan mantel koyak untuk melindungi anak kecilnya. Entah kenapa, kuingat
sosok yang beraut sembilu, berdarah, dan papa. Dulu, sempat kulihat di katedral tua,
dengan duri mawar abadi menghias kepala, dengan telapak tangan berlubang yang
12. terus saja nganga, dengan kaki bertilas pasak dan merah. Ibu itu terus menyeret
kakinya di antara rintik air yang semakin ngalir. Bibirku berbisik: "maria, maria!"
Malang, April 2017
HIDUP JELITA
hidup itu jelita, anakku. ia serupa bidadari yang saban malam bertandang ke mimpi-
mimpimu dan membisikkan taklimat cinta dengan hikmat tak habis-habisnya. ia
serupa ratu matahari yang lembut dan selalu menemani siangmu dan membalur
tubuhmu dengan sinarnya yang gemulai.
jika kau dengar suara bom, tembakan senapan, suara denting pedang atau mulut
beradu di sekitarmu, itu hanya semu. tak ada perang, anakku, tak ada musuh. itu
sandiwara belaka, hanya permainan pedang-pedangan, bedil-bedilan dan bom-boman
yang sering kaupraktikkan dengan teman-temanmu di halaman rumah dan sering
kaulihat di film-film yang bertumpu khayalan semata. suara mulut yang saling caci-
maki pun sekadar latihan peran untuk perayaan tujuh belasan dan hari suci agama.
cepatlah besar, anakku. kelak kau akan mengerti, bila kau pernah bermain perang-
perangan dan berlatih drama dengan menjadikan kawanmu musuh sementara, itu
perkenalan awal pada musuh sesungguhnya, yang kini bersembunyi di pinggir malam,
sambil menanti waktu merasuk ke tidurmu dan menjelma mimpi buruk. tapi hidup
tetaplah jelita, anakku, dan mimpi sedih adalah bunga tidur yang menyuburkan
dengkurmu.
2017
PRI
apa kau mendengar suara tembakan, denting kelewang, dan api yang berkobar di luar
sana, Pri. mungkin kini riuh itu menjadi tontonan anak-istrimu di televisi atau kaubaca
dari pesan pendek beranting yang nangkring di gawaimu sebagai teman sarapan dan
ngopi. bila mata dan kupingmu kaubuka, meski selama ini kaututup kacamata dan
kausumpal telinga, gaduh itu tak jauh. mungkin besok fajar, jemarinya sudah
mengetuk ruang tamumu dan menyeretmu dalam tikai yang sebenar-benarnya. kau
berhadapan dengan musuh sesungguhnya, Pri. begitu matahari segalah, rumahmu
tinggal tilas, kampung halamanmu amblas, dan entah kenapa tetanggamu bersorak-
sorai dengan tawa lepas. gemuruh itu bukan dunia maya, Pri, seperti sekadar pesan
beranting yang sering kauulang-ulang lewat jejaringmu, meski kautahu kabar yang
kausebar itu palsu.
2017
BIOGRAFI MARTIR
13. kau didakwa sebagai lelaki pendosa, Al. burung-burung nasar mengintai bola matamu,
sebelum kau menjadi mayat dan kaku. Aku sangsi, meski sejuta burung phoenix itu
terbang melindungimu, tapi tuahnya tak mampu melolosi tato pendusta yang kadung
dicap di kulitmu. aku ragu, meski malaikat sejagat berbondong-bondong membelamu,
keajaibannya tak mampu menghapus stempel sesat di jidatmu.
Al, bilakah kau meringkik seperti kuda untuk menunjukkan kau kuat dan bertenaga.
bilakah kau menyalak bak anjing untuk menunjukkan kau penjaga. bilakah kau
mengaum serupa singa untuk menunjukkan kau perkasa. tapi sungguh,
pertunjukanmu semakin membaptis dirimu dengan label ganda, sebagai pendosa dan
satwa.
seharusnya kau tidak berharap pada manusia, Al
meski kelak sejarah bakal mencatatmu dengan tinta kencana
2017
SOERABAIA O SOERABAIA
beton itu, cintaku, serupa rindu tanah pada batu-batu
sajakku mampus diringkus kota yang 'lah malih rupa
gedung-gedung membuat kesunyian baru
lahir dari mimpi yang rapuh
kau tak ada, cintaku, kita tak ada
kita serupa semut kecil di punggung
gunung raksasa
dan kenangan pohon bernyanyi
bong-bong yang menawarkan sepi
seperti mayat yang siap dikafani
cintaku, beton itu meniadakan mimpi purba kita
tentang rumah sederhana, taman terbuka,
dan anak-anak bebas menatap langit bercakrawala
2017
LUAR PAGAR
tubuh kami yang amis bau comberan berarak mengiringi senja
sebuah reguiem siap ditembangkan dalam pesta dukalara:
segumpal matahari segera berkubang di peraduan malam,
dengan tepi gumpil dan pusat yang lebam
sepanjang malam, kami terjaga
seperti peronda yang mengerti arah
udara bergerak ke tubuh hayat
kami membolak-balik kitab alamat
tempat tercatat kiblat ayat-ayat
14. ketika matahari lain bergerak melenting
ke cakrawala
kami mencatatnya sebagai saat tepat menarik busur panah
anak-anak panah pun lahir dan berlompatan
dari rahim jalanan dan traktat
kami pun menyandingkan aroma maut
dan rima laut dalam perjamuan kata
tubuh kami yang lebih amis dari bau ikan
mulai berenang di sungai-sungai
mata air kami dipompa dari alam bawah sadar
: tempat kami bersekutu hantu-hantu kegelapan
dan permainan kanak-kanak sewaktu hujan
ketika pagi menjelang, matahari sudah berlari di ubun-ubun kami
matahari lain masih terbujur dalam tidur berkepanjangan
kami pun berteriak: "hiduplah kegelapan abadi!"
dari sini, kami kecanduan anomali
2017
ANAK-ANAK WAYANG
anak-anak wayang itu berkejaran dengan waktu, seperti buih ombak yang berlarian
menuju pantai batu. di bibirnya, bunyi- bunyi langit seakan dijeritkan, serupa pekik
camar mengikuti arah perahu nelayan.
dunia mereka hanya persegi sebatas kotak kayu jati. di balik kelir, dalang terus
menggerakkan kaki, tangan, lisan, dengan terlatih, memenuhi permainan yang telah
dipesan sepasang mempelai. jauh di atas kursi, pemilik hajatan menuai buah tangan
dari petaruh dan undangan, sambil sesekali menerka sampai di mana alur sandiwara
bakal usai atau dihentikan.
ia tidak mengerti si dalang akan memacu wayang menuju padang yang disebut
kurusetra dan drama tidak harus berakhir indah, sebagaimana nahkoda kapal yang
kehilangan kemudi dan dermaga raib di cakrawala. dalang harus meneruskan lakon
lanjutan yang dipesan petaruh lain, meski lakon itu pantang dimainkan di pentas
hajatan, karena dapat melahirkan tragedi-tragedi baru
setelah lakon usai, anak-anak wayang meloncat dari kotak dan melanjutkan
peperangan di luar arena permainan. mereka yang dimainkan membuat arena perang
baru. sebuah palagan perang sesungguhnya...
2017
SIDDARTA
ditatapnya mata dunia. ia menduga pupil dan kornea itu gigil dalam fana. ia melihat
daur, kubur, juga setitik cahaya senja yang baur dalam retina. ia merasa buta dan
15. dirundung berjuta tanya. kegelisahan menjelma mata tombak yang mengoyak
lambungnya. ia menyampirkan sutera, tahta dan gerlap dunia di tepi denah. ia lalu
undur ke balik netra sementara, menapaki jejak luka, nestapa, berbaur kaum terkutuk
dan sudra. ia semakin tahu tubuh bakal rubuh dan mati, hanya siklus yang abadi. ia
pun berlabuh ke bodi. ditekuknya diri hingga bungkuk dan perih, lalu lahir kembali
sebagai nabi...
2017
YANG TERHORMAT WAKTU
Yang terhormat waktu
di tempat
dengan ini kukirim rangkaian pesan gombal padamu. aku berharap kau membacanya,
meski kau sibuk melayani dunia.
malam ini aku abai pada jam yang kaukirim ke jantung hidupku sebagai mata-mata.
aku pun tak melihat almanak di dinding usia. aku ingin nafasku satu-satunya yang
terhubung dengan angka-angka yang memenjara jiwaku untuk tunduk kepadamu.
izinkan aku berlari di luar putaranmu, menikmati kembara, di mana kau alpa
mencatatnya. aku ingin menikmati waktu lain yang tidak menubuh, semacam waktu
semesta. tersebab dunia tempatku kini mendarat terlalu padat dengan lalu lintas
pikiran dan perasaan yang keparat dan sesaat.
bila mesinmu memang ada, aku ingin mencoba mengendarainya. siapa tahu, ada aku
lain yang sedang mengembara dalam ruang lain terpisah dalam jarak yang mungkin.
aku ingin berkenalan dengannya dan bertukar tempat untuk sementara, agar aku
tidak terlalu memandang tinggi aku dan dapat menghargai aku-aku yang lain.
selain itu, bila kau tak keberatan, perkenalkanlah aku dengan para penggunting waktu
zaman kini. bukankah kau sangat mengakrabinya? sehingga rasa was-wasku terobati
dan aku terbebas dari paranoid kalau bumi tempatku berpijak sudah ditinggalkan
bumijaga.
ihwal itu, kau tidak perlu takut pada tuanmu, meski kau dijadikan sumpahnya. bahkan
aku ingin menitipkan pesan padanya, bila nanti petugas peniup sangkakala hendak
membunyikannya, mohon kirimkan aba-aba. dapat berupa dering telepon, kicau
burung raksasa, atau bidadari-bidadari molek dari surga.
sekian dulu, waktu. kali lain akan kukirim pesan dari waktu lain dan kau tak perlu
cemburu.
2017
PERCAKAPAN SEPASANG PACAR
di depan bentar, tubuh sepasang pacar bergetar
16. "ini hotel atau pura?" tanya sang perempuan.
di bawah temaram lampu jalan
sang pria menatap mata arca dwarapala di tepi gapura
sang perempuan mengamati ukuran gada
di tangan arca
"ini tempat cinta dikekalkan, dinda!" jawab sang pria.
ketika pintu dikunci dari dalam
malam pun meriang
2017
SAJAK KANAK
1
kami memasuki bulan safarmu dengan getar semu kerna kami hanya kanak-kanak
yang mendamba hujan agar kami dapat berlarian di jalan, entah dengan tangis
bahagia atau air mata dukalara, tapi tetap di batas marka dan bukan murkamu; dalam
bulan ini, kami ingin mengukir tilas kami di atas jalanmu yang berkesturi, meski
berasap, tapi kami meminta ia adalah asap setanggi yang 'lah diwariskan moyang kami
2
kami telah biasa kesasar ke dalam pusar yang kami puja sebagai geletar sajak
walaupun hanya igauan kanak; dalam ketersesatan, kami berkiblat pada bisikan yang
bersumbu dari seribu danyang ilham, meski kami tahu, alam itu hanya mimpi-mimpi
kami yang dipenuhi ular dan mambang sebab sajak hanyalah tudung bagi kami, agar
kami disebut dewasa, meski kami tahu, sajak kami tak lebih hanya berak kata-kata
3
tuhan, malam minggu ini, kau di rumah atau sedang jalan-jalan bersama kekasihmu?
aku mau apel sebentar saja. aku akan membawakanmu sekuntum kembang yang aku
petik dari taman hatiku, juga sekeranjang buah yang kupanen dari kebun jiwaku. aku
tidak akan membawa berkarung-karung jelaga dosa yang menyampah di ruang bawah
kalbuku, agar kau tidak terganggu. aku sangat rindu kepadamu karena sudah lama
tidak berkunjung ke dirimu. malam minggu ini, jika kau di rumah, aku akan ke sana,
untuk kembali membuktikan cinta dan berjanji setia. aku yakin kau bersedia dan tak
terkungkung luka.
2017
JANGKA
serupa luka tanah, yang dibajak mata pisau karatan
kutatap rel-rel kusam memanjang di antara sawah dan perbukitan
o jawa yang 'lah dipesiang usia!
aksara jangka berhamburan di udara
: jayabaya, jayabaya!
17. ramalan-ramalan 'lah melamar kebenarannya
aku si bocah dekil di emperan sejarah
hanya dapat menatap dengan mulut nganga
o jawa!
bumimu pernah luka oleh kalung besi
kini anak-anakmu dikebiri!
2017
DARI PENYAIR TUAH KEPADA PENYAIR MUDAH
kau masih merangkak
ketika aku sudah menulis sajak
tapi sajakku hanya untuk lapak
yang lapuk, o penyair masa depan
kini puisiku harus melawan rayap
yang menggerogoti lanskap senyapnya
suaranya membuat suasana masaku
penuh ratap, gelap, pengap
hujan dan panas telah merontokkan atap
diksi dan dinding rimanya
hingga serupa ocehan bocah remaja
yang kehilangan recehan di saku celana
hening dan gelisah yang terpahat pada tiang-
tiangnya ---seperti mambang
yang bangkit dari dunia antah berantah
ah, bagaimana sajakku dapat malih rupa
begitu mentah
meski larik-lariknya kutata dari ukiran jati
yang kutanam dalam rimba hati
tapi kekokohannya tak kuasa menopang
zaman kini
yang 'lah merupa bor dan gergaji
meski aku lebih dulu bersyair,
o penyair sarat pikir
bukan berarti aku kini tak fakir
lihatlah nasib sajak-sajakku
yang merana di pasar kata-kata
o generasi mutakhir, ajarilah aku kembali
bersyair
agar aku terhindar dari takdir penyair nyinyir,
pandir, anyir
18. kau masih merangkak
ketika aku sudah menulis sajak
tapi sajakku hanya untuk lapak
yang lapuk, o penyair gardu depan
2017
TAK
1
tak ada hallaj di syairku
hanya debu
di ujung sepatu
2
tak ada jenar di macapatku
hanya rima merah
tilas dubang masa lalu
3
tubuh puisiku kini
hanya luka kata-kata
lebih tak
2017
LOTENG SAMA'
aku berbentuk sekaligus tak berbentuk
serupa bayang-bayang
di pikiran
bila musim hujan datang
aku adalah kelesik, adalah angin
adalah kosong
bila kemarau
aku adalah rindu
2017
RAGASUKMA
ketenangan dan keriuhan
berpendar
serupa aneka warna bersilangan
mata dan telingaku bersatu
mengenali suara-suara
19. yang berkelebat seperti bendera
mereka menjadi jala
bagi jiwaku
yang dipermainkan irama
2017
PERJALANAN KUNANG-KUNANG
1
aku mencintai kunang-kunang yang tumbuh dari kuku mayat di kuburan dalam
dongeng kanak-kanak yang disemburkan bunda sebelum lelap menjelang. aku
mencintai kunang-kunang yang bertebaran dalam cerita seribu kunang-kunang di
manhattan yang terus mengisi imajinasiku tentang cinta dan keterasingan. aku
mencintai kunang-kunang di mata perempuan yang membuatku dewasa sebagai pria
untuk mengeja cinta hingga sumsum darah dan merenjanakan jalan-jalan berpayung
kegelapan
2
kukirim kunang-kunang kepadamu, ketika malam lebih pekat dari cairan aspal, agar
kau tahu sepetak masa lalu menantimu untuk kautanami bunga, agar ia tumbuh
menjadi taman, yang kelak akan mengingatkanmu memasang lampion, neon, atau
suluh gosong di atasnya, setelah kunang-kunang tinggal nama dan hanya tercatat
dalam ensiklopedia kehilangan cahaya
3
aku mencintai kunang-kunang dalam toplesmu
matikanlah lampu rumah
mari kita mendengar ia mengisahkan perjalanannya
lewat pantatnya yang bercahaya
2017
IA, YANG SELALU DISEBUT DALAM DOA TAPI TERLIPAT DALAM SEJARAH
ketika sajak gelapku
melesap ke senyapmu
aku begitu malu
kerna sajakku hanya keluh
nan rumpang
diksinya pun rapuh
dan sumbang
lukamu terlalu nganga
untuk kubasuh dengan kata-kata
tapi aku tak punya doa
sejarah tengadahku terbata-bata
di teras jazirah
20. untuk mengenali ratapan-ratapan
dari tanah merah
---karbala
di gigir malam
di sepuluh muharam
izinkan aku membilas
bekas darahmu ---dalam debu
ingatanku
lewat sajak penuh tatu
yang diperas dari lumut kalbu
berbatu
Sidokepung, 2017
PEREMPUANKU
cintaku adalah ikan-ikan yang berenang di sungai keruh hatiku ---menuju muaramu.
kubayangkan wajahmu yang shanghai, jemarimu yang jawi, dan pinggulmu yang new
delhi ---berarak di antara riak-riak perasaanku, yang bila kuringkas sebagai rindu
hanya penyederhanaan bahasa kanak yang tak bersajak dan berombak. kepadamulah,
o pusaran jiwaku, kurayakan hidup, meski sepanjang degup kerap bersekutu dengan
ganggang, limbah, juga setitik air rahasia, yang kelak hanya dapat kaulihat di surga!
ikan-ikan itu menjadi saksi betapa aku telah menyuling kebeningan dalam jalan
panjang penuh lumpur dan hujan!
2017
MABUK
Sajakku ukiran bonggol jati berasal dari bukit hatiku
Yang berkapur: tipografinya berkeping seperti tebing
Rapuh. Lekuknya jeda nan kelam, diperam
Dari luka berwarsa, coklatnya menghitam serupa lebam
Sejarah; ihwal warisan terjarah, juga samun kaktus
Terhunus ke cakrawala: sebagai sultan segala citra
Akulah anak asing, terbuang dari kata, dengan rima retak
Berserak di ujung kalam ---bila tajam lidahku mengeruk
Bumi jadah, sumpahku tak lebih dari rerimbun bambu
Bergesek, tak lebih dari kaku rumput teki yang tak ternoda
Kemarau dan penghujan
---irama-irama alam pun diam, sumbang
Akulah si bajang yang terlahir sungsang –dengan kaki menjuntai
Dari garba tanah tumpah ludira
Mantramku hanya ludah pahit, biru hitam, tanpa bait-bait
Mengungkit langgam langit: tak ada diksi terperanai, indah
Hanya sangit kata, legit dukana, dan resonansi dari daun-daun kering
Sepanjang punggung bukit, dengan pohon-pohon aking
Sebutlah namaku, kuda-kudaku, istanaku berlumur tinja
Dan seluruh hidup yang berdegup dengan darah dan air mata
21. 2017
SALAH NGAJI
1
guru-guru ngajiku unjuk gigi dan berpawai di alun-alun dan plasa-plasa --kucari di
mana resolusi jihad bersembunyi dan berada. aku pun membanting diri di kamar.
makan mercon literatur berton-ton lalu menyulutnya sebagai bom. tapi yang meledak
adalah dada dan kepalaku. dada dan kepala yang sudah dihuni hantu kapital,
perhitungan kekuasaan-modal, dan alat-alat vital.
2
kubaca kitab kuning dari kiri. semacam doktrin teologi yang digurat pascamajapahit
berdiri. tak kutemukan das kapital dan manifesto comunisme yang halal dicaci.
burung-burung yang beterbangan di antara harakatnya pun tak berbulu merah.
rumpun bambu yang dihuni arwah kelas bawah tak lagi sebagai jin pengganggu dan
manja. yang kuingat hanya tomat merah dan cabe besar merah tertinggal di los pasar
desa tertinggal. kiai musonep begitu trampil menitipkan ayat-ayat sedekah dan zakat -
-seperti petarung menyelipkan belati di urat dan akal. tapi kenapa yang terbayang
gincu cemceman yang tertinggal semalam di musala mall yang sempit dan horor---
pascatakjub dengan manekin dan baju-baju impor. aku pun terdampar di pinggir
segala pinggir: tak lebih sebagai kelas pekerja, yang teralienasi dari mimpi-mimpi
sebagai kelas agniya' yang menjadi tuan superstruktur nan subur yang diwariskan
turun-temurun. seluruh trah masih berdarah biru dan tak merah!
3
ketika kubaca kitab dari kanan, tak kutemukan jargon kapital dan neoliberal. hanya
kutemukan sandal japit bolong yang ketlisut di kolong ranjang penginapan murahan.
penuh bakteri dan kuman kemiskinan. kesendirian menggampar mulutku yang kumat
dan jalang. aku ingin istigfar agar aku kembali ke posisi netral dalam membaca. tapi
jalan tengah telah menjelma setan sesungguhnya. taawudku malih rupa menjadi
maujud rindu iblis tak habis-habisnya.
2017
LAM BENGKOK
kuhapal lekuk pinggulmu seperti
kukenali liuk lam
dalam latihan mengeja kanak-kanakku
lam yang tak lurus tapi menguras
urat cerdas
mengepang waktu
tapi saat aku sendiri di tepi kali
aku hanya menemu
kail
benang pancing
tanpa umpan
22. ikan-ikan pun menjelma rayuan
'tuk merenangi
menyelami
lammu
2017
WAJAH SENIN
kukecup kening waktu di wajah seninku
agar ia tahu aku masih bersetia di antara
detik-detik yang tertera
--dalam penjara jam dan almanak
meskipun kakiku lain menapak
punggung kala nan berbeda
bersembunyi di balik semak angka-angka
kerna dalam rahimnya, 'lah kusemai putik
dan benangsari
lambang hidup tak abadi
di ranah lain, kutanak nyala api
serupa rumpun ilalang
di kahyangan
selalu memercikkan sunyi
raut seninku pun sumringah
sambil berkata: jangan merasa tua, pria!
meski di seberang, aku kekal
sebagai pemintal jalan
2017
TIGA MAWAR
tiga unting mawar gugur
penyair pun tepekur:
mekarkanlah kubur!
2017
NALAR ULAR
1
mulutku sungai berlimbah deterjen
mengalir dari satu dam
ke dam ---tanpa bening dan dalam
hanya putih yang palsu
menyimpan maut dan racun
bagi tubuh, ikan, ganggang
23. dan rindu
doaku pun hanya gelembung
mengapung
riuh
rapuh
2
musuh di kepalaku 'lah bangkit dari kubur
membelah ranah ingatanku
seperti kompeni menciptakan dua kubu
di kraton moyangku
bumi pikiranku pecah --laut waktu pun
terjarah dalam sejarah
tapi kenapa di sudut tanah, kutemu darah
mendahului luka
pikiranku pun menggurat semesta
dalam cerlang latin
dengan tilas pegon-hanacaraka berkeping-keping
alir sungai di kepalaku menabrak dinding
alur nalar pun merupa ular weling
3
namaku menguap serupa air raksa
dituang di tungku nyala
burung-burung di hatiku menjilma jelaga
cahya 'lah dirampok penabur bara
angka-angka memudar
aku pun terkurung dalam jeda
samar
2017
BILA KENANGAN ADALAH HUJAN
bila kenangan adalah hujan
akulah bocah kecil, dekil, sendirian
di tengah padang rumput
tak berselimut
hanya punya langit
sebagai payung pelindung
tersambung secuil doa penuh lumut
"O malikul mulki, bila hujan menjadi badai
dan badaimu ingin menelanjangiku
kembalikan baju kebesaran moyangku
yang disita waktu!"
bila aku tersambar halilintar
kenanganku 'lah menjilma perang akbar
aku pun terkapar sebagai ular
24. terkubur di liang liar
2017
LUKA GAJAH MADA
aku lahir yatim dari rahim ibu yang lebih keras dari seluruh batu
ayahku tanpa nama serupa rindu pertapa pada tuah mantra
pada jalan darma dan ksatria, aku mengabdi meskipun ada
yang mencaciku sebagai manusia penghisap darah, perenggut nyawa
pemburu kepala, demi dampar kencana ratu junjunganku
o waktu, jangan adili aku dengan api, adililah aku sebagai pemimpi!
tumpah darahku di tanah tandus bergamping ---di punggung bukit utara
Jawa, dengan pinggang terselip lembing dan tubuh berlumur doa
aku disapa Jaka Mada, lelaki muda jelata dari Mada-swatantra
kemiskinanku ‘lah menjelma batu asah bagi jiwaku yang berongga
nyanyianku hanya pantun dengan sampiran pohon maja dan jati
tanpa mengenal kakawin, kedaton, mahkota, apalagi kerling sang siwi
tembangku hanya dendang bocah yang berkarib alam dan mimpi
ibunda janda, tak berpria, aku pun menjadi penggembala kuda
: turangga keluarga praja, nirnama, berdasar riwayat para tetangga
aku hanya tahu di sambungan bukit lain, di sebuah jalan menuruni tebing
di alas Bedander, nyala agni abadi berkobar di tengah wana jati
ialah dapur para empu kedaton menempa bijih besi dan batu berpamor
dengan mantram dan puasa ---agar pusaka tak hanya tajam tapi bertuah
tapi aku anak kampung berhilir di pinggir payung agung
apa yang dapat kupasu dari lingkaran setan nan mengepung
pada kuasa tubuh, aku menyembah dan menyimpan keluh
serupa kuda yang kugembalakan di padang tandus kelahiranku
aku pun mengubah diri menjadi kuda ---peliharaanku, tungganganku
kukendalikan diri dengan seluruh nyali dan mimpi-mimpi
kutekuk diri di antara keras gragal dan ceruk bumi Puncakwangi
: liang Goa Macan, Landak dan Dandang yang bertabir sihir
agar jiwaku tertempa dalam takdir dan memiliki renik-kelir
kukekalkan kaki menapaki terjal batu-batu di bebukit kapur
menambal retak diri dengan kadigdayaan dan ritus berbau kubur
bila kelak aku kondang berkulit tembaga, tak mempan gada
kalis dari sabetan bilah pusaka dan sengatan racun ular berbisa
segalanya tak lebih kelembutan bahasa ---dari derita raga
‘tuk merahasikan nyeri paling nganga: terlahir sebagai sudra!
ketika darah mudaku mengalir lebih deras dari Bengawan --bila hujan
kepada mapatih Arya Tadah, aku berserah diri ihwal ‘rah tanpa trah
: dada bergetih merah dan kepala disembelih tanpa biru-darah
“inilah patik dari dunia antah berantah, tak tertera pada peta
berilah tempat sahaya meski hanya sebagai pekatik kuda di patihpura!”
bukankah tak ada pilihan bagi sudra, yang berumah bumi latah
25. selain membanting diri dan hidup pada nirharga sebagai hamba
bukankah orang Jawa lebih terluka oleh kata daripada senjata
aku pun didaulat sebagai penjaga gapura raja bercahya kartika
---kerna aura among-raga, bukan pamor-raga
aku dibaptis pengawal pribadi raja taruna Prabu Jayanegara
aku bernaung dalam derap barisan martir Bhayangkara
hasratku satu: mengabdi pada junjungan titisan Siwa-Buda
aku tak menjunjung diri ke tinggian kerna takdirku kabur kanginan
aku ingin memutus rantai lingkaran setan –dari kasta hina-dina
belenggu hidup moyang dan menjadi kutuk serapah tujuh turunan!
o waktu, kau lalu datang untuk mengujiku!
ketika Kuti berlaku lancung dan ingin memancung mustika Prabu Agung,
kendang hatiku bertalu –aku pun melarikan putera Sang Wijaya
buah cinta dengan Dara Petak ke tepi petak alas jati Kahyangan Agni
melewati reruas marga yang berulir bak ular di punggung arga kecil
di situ aku mengerti seluk beluk lorong tembus landak, tikus dan kancil
jalur asing bagi para penista raja yang ‘lah merambah kotaraja
ketika aku kembali dan mengirim Kuti ke alam dewata,
sebagai balas jasa, aku diganjar derajat prajurit utama
meski aku menapakinya demi darma abdinegara –yang baru sekedip mata
tersemat di terompah dan lencana
: aku merasa inilah langkah menuju marwah kasta ksatria
tapi hidup selalu mengujiku dengan jalan bercecabang
aku pun memilih merupa batu ketika Tanca merasukkan rabu
ke ulu hati sang Prabu, lewat perjamuan malam bersama serdadu
---o waktu, sungguh hina jiwaku, kerna kukhianati junjunganku!
kujinjing hatiku ke balik tebing, kerna kedaton penuh gunjing
putera dari trah rembulan berkaki pincang itu menjilma hantu
ia dirancang ditebang dari silsilah pohon keluarga gaharu
ia bermata liar, ‘lah membuat wangsa Girindra terbakar!
aku baru tahu ada saat ketika harus diam ---meski hati lebam
sang prabu yang berhasrat mengawini adik-adik kandung nan jelita
meregang nyawa di ranjang berkain sutera, bersulam benang emas Cina
netranya mendelik, lidahnya terjulur karena tercekik
sebagai prajurit utama, sungguh hatiku sekecil jangkrik!
o waktu, kau tak hanya mengaratkan pisau,
tapi menajamkannya hingga tipis dan berkilau!
ketika bre-Kahuripan naik tahta, atas titah tetua wangsa Girindra
---juga kehendak ibunda Gayatri Rajapatmi nan priwicaksana
aku semakin mengerti arah perjalanan dunia –di puraraja,
tak cukup bertaruh dengan kibaran bendera sewarna,
ikrar setia, ikatan sedaging-darah tetapi juga berdadu nyawa,
bilamana berkiblat pada perebutan tahta, berdalih wahyu raja
aku membaca buku terbuka para rajaputera, dan mencoba waskita
---belajar pada kesabaran cicak menunggu nyamuk lengah
26. namun kerna lembah hati mapatih tua, aku pun menerima titah
penasbihan orang kedua: kusandang gelar mahapatih Gajah Mada
---tapi nama baru bukan jaminan luka tak membiru
luka masih nganga di dada, belum sembuh dan mengatup sempurna
sukmaku masih terpatri sebagai Jaka Mada dari pinggir pura
di paseban, pada warsa mula, dalam triwulan kedua, aku diwisuda
ketika kuangkat sumpah Amukti Palapa, pada tahun 1258 Saka
aku dianggap kutu yang bakal hinggap di rambut sang ratu
jiwa sudraku kembali bergejolak setara didih minyak yang bergolak
Ra Kembar yang lancang menciderai harkat ---kukirim ke akhirat
dengan mata api yang bersumbu dari mimpi-mimpi dan kesumat!
ia tak pernah mengerti Majapahit adalah tangan panjang Singasari
ia tak kuasa menangkap zaman kini saatnya negeri unjuk diri!
o mahakala, kujalankan derap dewata yang dititipkan ke mayapada!
nafiri telah dibunyikan, sangkakala telah ditiupkan ke cakrawala!
ketika Sang Tribuwana purna dari dampar kencana, aku pun terdampar
ke tepi belasungkawa ---darma dan sumpahku baru setapak
tapi mataku terbangun dari tidur panjang di atas kasur onak
putera mahkota Hayam Wuruk mendaki gumuk
menyambut sumpahku dengan mata Siwa-Buda meluas samudera
di Rajegwesi, dekat kahyangan agni, kupesan beribu-ribu tosan aji
juga cetbang bertatahkan cap surya Majapahit
--senjata andalan kami warisan Mongol dan titipan dari langit
dengan mesiu dari Bluluk, membuat musuh-musuh takluk
kapal-kapal tak sekadar berlabuh di Ujung Galuh ---tapi mengobarkan
panji-panji Majapahit berkibar ke pelosok Nuswantara
kerna itulah kini aku digelari mesin perang dan penjemput kematian
utusan batara Yamadipati yang mengejawantah ke bumi!
o waktu, betapa durja diriku --aku hanya pewaris langkah tergaris!
aku hanya meneruskan rintisan Kertanegara –ke Pamalayu dan Cina
dan menyatukan bangsa-bangsa di bawah panji rajaku
o waktu, perangku untuk ketentraman dan kejayaan bangsaku!
bukankah pengabdian harus dibuktikan dengan berjibaku nyawa
dan kejayaan harus dilewati dengan adu senjata, kesaktian dan darah!
lalu datanglah prahara paling menikam dalam alur hidupku
tragedi abadi yang kelak bakal diingat anak-cucu
mencipratkan aib yang tak kunjung raib dari namaku
riwayatku cacat dan mengekal dalam pantangan hidup
nan keramat: pernikahan Jawa-Sunda bakal berujung tamat
segala bermula saat sang prabu bermimpi bersanding prameswari
dengan katuranggan paling sempurna seantero negeri
---pinangan pun tertuju pada Diah Pitaloka, mojang Priangan
puteri Sri Baduga Maharaja kerajaan Pakuan Pajajaran
sang Prabu menjatuhkan pilihan mirip tapal kuda jatuh ke kolam Segaran
ketika Sri Baduga mengantarkan pengantin perempuan ke Trowulan
27. mereka menanti di depan gerbang, di tepi Bubat yang lapang
aku diutus Prabu untuk menjemput sang puteri rupawan
dengan seratus pasukan dan tandu bertatahkan mutu manikam
tapi Sri Baduga itu berlaku saru, menikam telak di hulu kalbu
ia membangkitkan kembali luka dada yang masih membara
ah, kenapa ia memandang diriku begitu hina tak berharga
kenapa ia mengingatkanku pada mulut Ra Kembar yang pongah
“O anak gembala, kau datang menjemput puteri raja
Tak mampukah rajamu datang menjemput pengantinnya!”
O Jagat Dewa Batara! hatiku terbakar serupa alas jati dilalap api!
ia berbicara di depan pasukan dan para pembesar negeri!
mataku gelap, hatiku berderap dalam nyeri dan asap
sejarah mencatat perintahku menghitamkan langit biru: serbu!
o waktu, aku ingin melipat kenang hitam itu ke bilik ingat
agar ia diam di lahat pelapukan, dihancurkan belatung abad
tapi lamat-lamat masih teringat, di Bubat, di bawah hujan pekik
dan gerimis tangis; seluruh tubuh dicabik, dan dibabat habis
o waktu, kau tak akan mengerti betapa perih dada
seperti jantung ditusuk duwung sejuta
saat aku melihat Pitaloka terpaku di tengah padang bermendung
beraroma amis ludira --lusuh jiwa-raga dan linglung
ia, yang rautnya sesempurna purnama, menghunjamkan kujang pusaka
ke ulu hati, tepat di bawah dada…
aib di Bubat ‘lah membabat jiwaku! nyaris ke pokok rahku
aku seperti ayam yang disembelih dengan keris karatan
tanpa diberi gagang, dihias ronce melati, dijamas warangan
wajahku lebur di muka Prabu, hancur di depan musuh-musuhku
hatiku seperti manik kaca Persia yang dibanting ke pagar terakota
dadaku pecah, relung kalbuku menjeritkan pilu berpalung gulita:
o Jaka Mada, nan perkasa, yang sakti mandraguna
kenapa di usiamu yang beranjak renta, kau belum kuasa
menggembalakan kuda di arus darahmu ---yang masih ganas,
trengginas dan menggilas akal dan nafas samadimu
sungguhkah bahasamu masih darah, kicaumu masih mesiu,
dan pekik terbesarmu adalah serbu!
O, penguasa kala, aku kalah, aku tersudut ke tepi bumi
aku melihat Semeru, Kelud, dan Brahma muntab menyerapahiku
kusaksikan magmanya bergolak seperti seribu punuk sapi Benggala
yang mengalir ke inti sukmaku ---inikah karma yang harus kupikul
dalam buhul hidupku, dan mengembalikanku ke titik purwa
sebagai bocah gembala yang berderap jauh di tepi tahta
dan mengais hidup dari derma para penguasa praja
bila kini aku bertapa ke Madakaripurna, aku malu ingin menebus dosa
aku ingin samadi, menepi, menundukkan kobaran api-diri
entah kenapa kejayaan selalu meminta harga, darah, nyawa
28. benarkah ketentraman tak pernah tercurah serupa hujan dari angkasa
tapi harus menapaki jalan senjata dan saling musnah antarpeta
dalam neraca bimbang, yang entah kapan menemu pintu kepastian
aku terpapar kenyataan: sungguh setapak yang kutempuh di ujung jalan
‘lah membuat arahku retak berantakan; luka sudraku
semakin nganga ---mendamparkan diriku kekal sebagai Jaka Mada
: teruna kampung yang terkungkung luka tak habis-habisnya
2017
30. DAYU
di batu bulan, ketika kau gelung rambutmu nuju gerbang
galungan --kulihat janur kuning mengguratkan
hasrat purba bercocok tanam, dan kelak bertunas
tapi menemukanmu dalam balutan kain emas,
aku pun dirundung ragu dan cemas
o, dara penuh rupa pura --aku hanya petani tadah
hujan, dengan sepetak lahan warisan, bertrah rendah
dengan kenangan pahit terajah sepanjang sejarah
izinkan aku menjemput impian dengan riuh
puputan, meskipun di menu sesaji tak kutemukan harga
diri, yang telah hanyut ke kali-kali ---tersebab getar ini
perang akan mengiang melebihi sembahyang
dan kuukir diri menjadi perisai seluruh sepi…
di depan gapura, di atas banten, kuurapkan wangi dupa
dengan doa singkat yang kupenggal dari madah sutra
“datanglah takdirku, lukaku, sundalku
penuhi karmaku
yang hanya dapat ditebus dan sembuh oleh Cinta…”
2016
AL
Kitabmu serupa sarang dengan abjad burung-burung
yang digurat dengan dawat, serupa tinta
hitam, nyata, dan sebagian tenggelam ke lubuk rahasia
---dan ceruk itu kausebut sebagai kegaiban Sangtahu
Ketika bibirku mengeja, kudengar dengung suara
kicau doa; ada yang mengangkasa, ada yang putus asa
----Ia pun menyaru sebatang pohon khayali
lantunanku merupa kepak sayap dengan kaki-
kaki kata mencengkeram dahan-dahannya yang beranting
Ketika aku terus membalik halaman demi halaman,
kakiku berpindah ke dataran, dan memanjat ke tinggian
dan aku semakin tak tahu letak Sangtahu bertumpu
sungguhkah ia tidak satu, tetapi berjumlah ke sekian,
sebagaimana gugus rahasia yang bergerak
dari lembar ke lembar keropak…
2016
31. KEROPAK
Dalam sajak yang kelak kaubaca sebagai keropak
Duniaku semungil kelereng ---benda yang mungkin
kauanggap asing
Di sepetak tanah, hanya kutanam jewawut dan rempah
Dengan lumbung yang cukup untuk bersantap semusim batih
Di sebentang angkasa, hanya kulihat gambar dan kaca
yang kadang biru, merah, dan putih
dengan kerlip kekunang yang ringkih
Kutulis keropak sajak itu dari kefakiran kata
Kefasihan bahasa yang terbata-bata
Bunyinya ‘lah lesap ke bumi latah
Aku mengulang yang sudah-sudah
Serupa roda sepeda yang melintas di kerikil setapak
Di jalan-jalan kampungku
Yang sempit, sepi, dan apak
Kelak ketika ia sampai kepadamu, meski ‘lah menjelma hantu
Lihatlah diksi akhirnya, bukan lelembarnya
Di situlah aku menghimpun mantra, penuh lekuk bunyi dan berbeda
Aku menyematkan kata kunci, yang dapat membuka
semesta kala ---dan kau dapat bersua denganku
meski aku sedang dipanggang di atas bara
neraka penantian!
2016
MAITREYA
Kubangun dari mimpi didahului matahari
Kupandang timur, kutemukan kau di cakrawala
Namamu tertera di lingkar korona
Tapi baur di antara silau cahaya
Di depan rumah, pedagang sayur menyeru-nyeru
Serupa nabi kesiangan yang tak mengenal watak umatnya
Entah kenapa aku begitu merindukanmu
Sebagai tukang pijat bagi urat jiwaku yang lebam
Kupanggil kau lewat geliat perut buncitku
Dan pinggul penuh lemakku di ranjang yang berderak
Tapi matahari semakin meninggi, mengangkutmu
Ke langit yang bertambah pijar, hablur, dan ungu…
32. Kupandang ke timur, kulihat jejak-jejakmu kabur
Kusaksikan lagi bangkai masa lalu bangkit dari kubur
Dengan taring dan dengus liurnya yang sengak bau
Sungguh semakin kurindukan kau di antara gerak mayat-
mayat hidup, yang berdegup tanpa riuh kasih dan cinta
Maitreya, kelak di puncak jumpa,
kita akan bersama-sama menertawakan dunia
2015
ASAL-USUL BANGSA UBUR-UBUR
Ayah kami kepiting yang berjalan miring
Di antara pasir dan karang bertebing
Ibu kami siput yang selalu memanggul rumahnya
Di antara lumut dan buih ombak
Tak ada perkawinan, tak ada setubuh
Tak ada titik temu di antara ayah-ibu
Kecuali pada desir air asin, plankton, atau ikan-ikan kecil
Yang menari-nari di antara sela karang, teripang, bintang,
Gurita, dan rumput laut
Sebab kami ubur-ubur
Entah kami lahir dari palung laut, dari saling asing ayah-ibu
Atau dari rahim kekosongan waktu…
Kami mengapung antara siang dan malam
Di antara riak gelombang dan arus dalam
Dengan tubuh lunak, mengerut, dan mengembang
Seperti payung di musim panas dan penghujan
Kami mengenal hiu, dengan ayah sebongkah meteor
Yang dikirim langit dari mars, ribuan tahun lalu
Dan beribu ceruk karang samudera
Kami mengenal tuna, yang berayah sapi benggala
Yang kecebur laut dan diselamatkan ibu lumba-lumba
Tapi kami hanya ubur-ubur, berciri kabur dari ayah-ibu
bercangkang keras dan penuh sekat berbatu
Jika kini kami sakti, dengan tubuh bercahaya malam hari
Dengan penyengat bertenaga listrik,
Pemintal akik, dan pemuja klenik
Itu tak lebih karena kami berdenyut di Laut
Pusar putri duyung dan Ratu Kidul membuhul kidung
Kidung agung
2015
33. MENGENAL PUISI LAGI
kutulis sajak ini ketika malam menjelma jurang kegelapan
malaikat berduyun-duyun datang berjubah ungu
para hantu beranak-pinak, tak peduli di depan pintu
aku sebut namamu seperti lelaki yang kuyup birahi
tapi suaraku membentur dinding ke sendirian, memantulkan
panah ke sepian
aku terjerembab ke lubang yang digali waktu
bersetubuh dengan lembab dada sendiri, mencungkili mata sunyi
tersudut di ruang yang tak mengenal arah pulang dan pergi
aku sebut namamu kembali, gelap pun menjelma perigi
semakin mengurungku dalam liang yang dipertuan sepi
malaikat berlaku keparat dengan mengabaikanku
hantu-hantu semakin bangsat, menyaru batu
--semakin hikmat mengukir dirinya dengan ruh tabu
kutulis sajak ini ketika malam sesak rindu hampir membunuhku
kubelajar mengenal puisi lagi, serupa suara bisik, lirih
atau kecamuk geluduk di ufuk hati
mengeja kembali kemurnian, yang mungkin masih tersisa
di sana, ketika hari-hari telah menikamku dengan brutal
menyeretku ke ritus tanpa nyawa
dan hampir menyapihku dari altar sembahyangku
: getar yang bernama cinta
2015
DUA WAKTU
aku berjalan di punggungmu, waktu
bukit berbatu
rumput-rumput tumbuh, jalan setapak berjejak
juga kabut di sela semak-semak
menunggu, dan siap merenggutku: “selamat
datang, kisanak!”
di kerling samping, kujemput rahasiamu, waktu
dengan bertumpu peta lain
tergurat samar antara dada dan perutmu
aku pun berpusar di garbamu
dengan getar rindu
menanti sapa: “aku tak jemu menunggumu…”
2015
34. WIRID ANAK JALANAN
Kuwiridkan hidup lewat debu, marka jalan,
dan asap knalpot ---seperti zikir bunga pada pot
siapa yang tumbuh dan copot
di kalbu
menyimpan beribu-ribu onak dan sembilu
gaib
Bismillah: hizibku tak lebih dari seru serdadu
di medan laga
ketika nyali tumbuh melebihi iga
yang bengkok, kecut, sengak
serupa bau ketiak
Ruh hidupku abu yang mengapung di antara deru
mesin hantu-hantu
Riuhku tak lebih dari kentut yang menyembur
dari dubur langit
Kukubur segala suka-duka di bawah lipatan waktu
tempatku bernaung dari terpaan hujan tak bermusim,
dari sinar matahari tak berhati
sebab nyanyiku hanya bunyi degup jantung sendiri
Kini aku berlalu sendiri seperti ketika aku dipinang
sunyi
di tengah gemuruh roda-roda, diiringi pekik klakson,
di antara paha mekangkang dan selangkang
bertambal mimpi-
mimpi sahwati
Hidupku batu
Cadas dalam nafas
2015
KABAR DARI MESIR
Di lembar sayapmu, kutulis sajak jangak
dan ranum, O lullaby, serenyah arak tua
dan roti gandum
Agar pesta kasidah kita tidak sepi dari tonggak
kencana dan nama harum
Masih kuingat dengan gigil yang cemas
ketika kita bertahanus dari arus sungai Nil
ke segitiga tilas Fatimiyah era emas
Kita bercakap di atas rakit, antara ruang gelap
dan langit
Dari desah bibir mirahmu di balik cadar,
waktu pun merampat dan meliar, seliar
tanah liat dibakar menjadi tembikar
Aku pun tergunting dari kerlingmu
dan terdampar ke batu-batu berelik Paku
35. O sang pemandu abjad, haruskah kukutip
ayat-ayat firasat, saat otak dan jantung tak lagi karib
Ataukah harus kumamahbiak jejak
Musa, di antara kaki-kaki piramida
menuju Tursina, dan terbakar oleh sabda cinta
Di lembar sayapmu yang lain, O penyihir hening,
sajak-sajakku membeku dan dingin
walaupun anggur telah kikis dituang di piala
dan shisha dihisap tanpa sisa
Tersebab rahasiamu telah jelma liang pesona
di netra jiwaku nan sudra
serupa mabuk para Zulaikha saat pertama
menatap putera Yakub yang buta
2015
MIGRASI HATI
Dengan apa harus kurangkum matamu
di lembar buku-buku yang tak menawarkan cahaya
kerna pandang duniamu telah memutihkan segalanya
sebagaimana ayah kita, yang menumbangkan sekian berhala,
lalu ia membiarkan dirinya terbakar, walau tak mempan,
tapi di sudut mata itu, di pinggir kerling yang lain, kau menyimpan
rahasia
---seperti gelap lubang ngengat di buku-buku lama, yang menggerus
spasi dan aksara ---sebagaimana ayah kita, yang pernah
tersudut hampa
di sini, di sebuah ruang kini, aku hanya bisa menerka
seperti peramal yang berikhtiar membaca peta
nasib ---di sebuah piring
dengan rangsum yang tak bisa diukur dengan suapan
haruskah aku rangkum rangsum nasibmu
seperti ayah kita, yang migrasi dari hatinya sendiri,
ke ruang lain, ruang kemudian
dengan sebuah perjumpaan yang tak bisa dimaknai
oleh sangsi
aku hanya ingin mengekalkan rahasiamu di sebuah buku
meski hanya berupa partitur, lambang yang menyimpan guntur
atau nyeri atau jeda
dari detak yang tak kunjung berhenti memukul-mukul dada
merindu pada nisan dengan epitaf penuh derap
meski di belakangnya langit gelap bersap-sap
mungkin kita harus menduga, di baliknya surga sedang berpesta
dan bukan neraka yang memanggang semesta
matamu tak juga terpejam meski malam telah berganti
dan mimpi seakan usang untuk dimaknai
di sebuah pagi
36. 2015
DOA GANDARWA
akulah gandarwa yang ‘lah memurnikan tubuh-jiwa
dengan doa, sabun, dan asam sulfida
jika kau bertanya kenapa aku masih berdiwana
di ruang bawah tanah hatimu
kerna kau masih mengurungku ke ceruk yang sama
ketika kau mengenalku di alam purwa
aku masih kau anggap suka asap dupa,
melabur diri dengan kotoran sapi
dan berbulu hitam sekujur tubuh
kini, tubuh jiwaku lebih jernih dari dirimu,
lebih bersih dari sosokmu yang bangkrut
aku melihatmu seperti seonggok kotoran tersangkut
di antara reranting hidup
tidak mengerti ke mana alir takdirmu berdegup
akulah gandarwa yang ‘lah memurnikan tubuh-jiwa
dan tak lagi gandrung mengintip wanita
yang melarung kemaluannya di sungai dan supata
lalu melaknatinya melebihi kata-kata
kini aku berdiam di café, plasa, hotel bintang lima
aku alergi berdomisili di rimbun beringin, asam, rumpun bambu,
apalagi di jambanmu yang sengak dan penuh tahi bau itu
2015
SURAT KERTAS JINGGA
: Alamin
Surat itu kubungkus dengan kertas jingga
Ada madah, nada kesah, juga sebentuk rindu berjelaga
Ia kukirimkan kepadamu pada sebuah malam
ketika gerimis lebih magis dari aura sakti keris
dan hatiku demikian telanjang tak bergamis
Entah surat itu sampai di pangkuanmu, atau hanya
mampir di beranda, terhimpit di antara jutaan lipat surat
di kotak pos depan gapura surga,
atau tersesat pada alamat-alamat asing
di padang gersang dan pesing,
aku tak ambil pusing, dan tak hilang kata
Yang penting, aku sudah menyatakan cinta
2015
37. NUH, AKU BUTUH BAHTERAMU
Kapal pesiar itu datang kepadaku, pada sebuah senja,
di sebuah selat yang dulu kita sebut Selat Madura
Kau duduk di ruang kemudi, dan seorang kelasi kumuh
bersandar di buritan, dengan dada terbuka dan rapuh
Tak ada penumpang, kecuali kengangan; lengang
Sepi telah menitipkan ruang perjumpaan
hingga kau runtut berkisah pulau-pulau jauh, laut
yang gaduh, waktu yang lumpuh,
dan kapal hantu yang tak henti parkir
dalam mimpi-mimpi kita: bahtera Nuh nan perkasa
Aku pun berkisah tentang bebukit, sawah, sungai,
juga relief perahu yang terpahat di dongeng
-dongeng sebelum tidurku: mungkin kapal Nuh itu
Lalu kau menawarkan diri, agar aku menaiki tangga
menuju ruang kemudimu yang sempurna
Kau pun bertanya, tidakkah aku terpana menatap mewah
bahtera, dengan lampu yang berjajar memanjang ke arah
anjungan, interior yang jauh dari horor
Wangi begitu menyelimuti hampir di lorong dan koridor
Kau berkata, “Ada beribu kamar yang tak alpa dari mawar,
ada berjuta nusa dan pantai serupa surga maujud di bumi,
bermiliar rahasia akan aku buka untukmu…”
Aku diam karena aku tahu jagat di ujung waktu
Bumi bakal terbelah dan segala kapal yang bersandar
hanya sekoci, tak lebih dari replika Titanic yang rapuh,
menerbitkan panik dan keluh
Haruskah aku berlari ke arahmu, yang ‘lah menyaru gemerlap
Menyelamatkan diri dari bumi nan perih dan terperangkap
Dalam ratap yang gagap, aku pun berseru:
“Nuh, aku butuh bahteramu
agar sepetak bumi ini bisa terjaga,
dan kelak kami masih dapat mengingat Selat Madura
dengan keramat, selamat, tanpa aib dan cela…”
Malam menggantikan senja
Kau pun mengemudikan kapal pesiarmu menuju entah,
Aku tak tahu sungguhkah kau berhasrat pelesir
di tepi bumi yang lain, dengan tetap memelihara kegaiban
tafsir, meski di sini udara begitu getir
2015
38. PANGGILAN DI UJUNG HUTAN
Masih ada suara panggilan di ujung hutan, ketika anjing-
Anjing lapar menggigit bangkai
‘Oi, siapa itu yang berteriak, seperti lolong hantu
Yang ditebas mantra perindu…’
Tak ada jawab, kecuali suara-suara yang sama
Ah, kenapa hutan-hutan pun tak lagi dapat meredam
Kengerian malam, kenapa sulur-sulur yang terjulur
Dari lidah kegelapan
Seperti goa yang menampung keabadian tenung
Haruskah aku pulang seperti penyihir yang lupa guna-guna
Menenteng kembali kepala
Yang telah tercerabut dari badannya
Lalu pada peta tanah, aku kubur segala pengetahuan
Seperti musafir yang putus asa
‘Oi, siapa itu yang berteriak…’
Suaraku sendiri memantul batang-batang hitam
Mengembalikan keingintahuan dengan ketakutan
Seperti anjing yang telah melunaskan lengan
Dan kaki, lalu menjarah kepala dengan taring
Berliur, berbusa
Di ujung malam, nafasku tersengal, seperti pendaki
Yang lupa cara berlari
Aku menemukan suara itu tercecer di sekitar bangkai
Dengan luka menganga di batok kepalanya
Ketika darah dan otaknya menyembur menjadi lolong
Dinihari, dari desis bibir dan dengus nafasku,
Ia pun kukenali sebagai puisiku sendiri
Puisi yang berjanji untuk kembali dan menitipkan
Kegentingan hidupnya pada anjing
Lapar, liar, dan pesing
2014
BERSUJUD DI UJUNG PISAU
bandang bertandang ke kalbuku, ketika namamu berdesing
dari balik halimun
keheninganku luka seperti kelereng tumpah dari dosnya
lewat cemasku akut, kusapa tilas malam dengan gumam
akar rumput:
39. “siapa bersujud di ujung pisau, di puncak waktu ‘lah
membekukan seluruh rindu, dengan batok kepala licin;
rambut rontok di ujung cermin ---rias yang menghias
wajah, palsu, dan dingin”
ingatan tentang rautmu rumpang, seperti kayu berceruk
sebagai lubuk rayap ---aku menemukan lorong gelap
hanya namamu menancap di ujung waktu
menyaru perahu penyelamat dari jiwaku yang hampir karam
di laut rindu
aku masih ragu –sungguhkah kau lelaki kekar, yang tak pernah ingkar
atau kau selaku perempuan dengan dada mekar…
ketidakpedulianku adalah racun bagi arahku
tak ada jejak yang bisa kutapak sebagai pemburu tersesat
di tengah rimba tanda, tapi keraguanku adalah kencana
menghias diriku dengan rupa yang karib dengan alam bawah
o sang sepi, aku mencemaskan diri
sungguhkah kau adalah aku yang menyaru sebagai tubuh
dengan gelambir daging sengak, penuh bulu
bandang bertandang ke kalbuku ketika namamu berdesing
di balik kabut
aku pun tercerabut menjemputmu di awal waktu, ketiga jam pun beku
untuk berdetak dan menapak…
di bawah alis matamu, aku melihat dunia masih lelap
dan mendengkur
ketiga fajar merekah, kutemukan sangkur
telah menghentikan seluruh luka
2014
PUNGGUNG PANGGUNG
:Menak Sopal
aku keliru menafsirkan panggungmu
tak ada dampar untuk meletakkan buah dzakar,
tikar pandan pun alpa dari altar, bahkan ruang nganga
antara tubuh dan jiwa yang tergelar
dalam pesta tahunan hanya ritual tanpa getar
hujan yang tiba tergesa
hadir seperti titik-titik dalam kepala
yang membuhul sejuta tanya tanpa perlu jawabnya
aku bakar dupa ratus dan berkata-kata kudus
tapi katup kata yang terbungkus mantra itu masih tertutup
ritus pujaku sungguh tanpa nyawa
40. ada ngiau tak tertangkap telinga, ada desah
menyesak dada, ada rintik menikam bilik jantung
aku seperti membakar diriku sendiri
yang rakus dan berakal buntung
aku mencatat kisah-kisahmu yang terwarta lewat udara
berasap, beriwayat cacat
ia seperti waktu yang menyimpan sisi gelapnya
dan menitipkan kesumat di ingatan
ia serupa gajah putih yang menyimpan belangnya
dan menjelma dendam tujuh turunan
aku pun menyelinap di balik panggungmu,
menyisir gigirnya yang bengkak dan panjang
serupa jejak-jejak binatang di tanah penangkaran
penuh tapak, tanpa tahu letak dan arah gerak
aku pun semakin pergi ke puncak lengkingan
serupa kelelawar seusai matahari tenggelam…
dalam samadi, aku tercuri dari waktu kini
kubaca sejarah punggungmu dengan mata rantai
yang kukutip dari matahari
kubuka buku semesta seperti pencari yang mengerti
bahasa sandi, kuhamparkan peta gaib seperti malaikat pencabut
nyawa yang sedang mengintai mangsa:
--terhampar pepadian dengan juru kunci Bunda Sri,
biji sungai yang mampu jelma bandang,
cakrawala gunung-gunung,
hutan-hutan seluas bahasa yang merangkum bunyi aksara
meski tampak tak bermakna
segalanya seperti gemuruh guntur di balik mendung,
menyimpan dengkur angkasa, ringkih sekaligus agung--
dari pinggir ini, aku tahu, aku keliru menafsirkan panggungmu
ia bukan bukit-bukit yang menyaru kaki langit
ada yang tersimpan dan tak terkabar di gelanggang zaman
serupa catatan-catatan lontar yang hangus, terbakar panas waktu
ia bukan soal kisah gajah yang dijagal batu
lalu menjadi cerita penuh dendam dan hantu
ia bukan amarah janda yang dikhianati lalu melaknat
hingga tepi kini…
di balik tilasmu, kau simpan kerlip lampu di antara batu-batu
dan desir air itu serupa desing peluru
yang kaukirim dari masa lalu
aku mendengarnya seperti klimaks pentas
drama senggama, pesta pesanan dewata
‘kiblatku bukan khianat, anakku
41. jika anak turun pemilik gajah itu dendam padaku
mereka belum tahu hakikat rumput dan batu’
selepas itu, kulihat malaikat-malaikat berhikmat
di punggungmu dengan gaung darma
sebagai panggung sebenarnya
2014
KISAH DUA ULAR
Di kulit tubuhmu, kulihat dua tato ular
Yang hijau melingkar dari pinggul ke dada
Kepalanya terbenam ke arah jantung
Sisiknya gelap, seperti malam yang bercampur dawat
Sisa engkau memerciki kertas dengan abjad-abjad
Ekornya bersirip halus serupa ikan-ikan piranha di akuariummu
Yang saban hari kauberi makan cupang dan udang
Aku tak tahu kenapa kepala itu terbenam ke bawah
Kulitmu, presisi persis di antara dua puting;
tapi yang terang, bisa yang tersimpan di hulu taring
Di antara giginya masih belum tertaklukkan
Adakah ia jenis cobra, atau hanya ular sawah
Yang sering kau lihat ketika kau bermain layang-layang
Dulu, di tanah lapang, sambil sesekali mengulur benang
Ataukah ia jenis piton penghancur yang sering kautonton
Di film perburuan satwa, ataukah ia seekor naga
Karena kulihat sepasang kakinya terjulur dari selangkangmu
Dan cakarnya membenam ke pantatmu yang liat cokelat
Aku tak bisa menebak karena dari sisiknya tak ada melik
Yang bisa ditakik pada sebuah nama
Tanpa kepala, sepertinya ular itu dapat bernama apa saja
Yang merah bersemu biru, melata dari punggung ke kepalamu
Ia lebih mungil, lebih cantik dan bersintuh jemari lentik
Sisiknya kecil memanjang, ekornya lancip seperti pensil diraut
Tapi kepalanya seakan buntung karena di lehermu masih kulihat
Sisa sisiknya yang mengkilap dan di rambutmu tak berjejak gelap
Kepalanya seakan merasuk ke kepalamu
Apa yang bisa kubaca dari dua gambar ular di tubuhmu
Adakah kau ingin aku menangkap bahwa keduanya sedang bercumbu
di tubuhmu, kerna yang satu melesak ke kepala, satunya ke jantung
Aku bayangkan kepala keduanya hidup di antara paru-paru,
Jantung, hati, dan otakmu…
2014
RAJAH TANAH
42. saat pelupuk kami terbuka dan mampu membaca peta
tiba-tiba rumah kami luluh, dan kami harus kembali
menapak setapak yang pernah kami simak
untuk memunguti roh-roh kami yang tercecer
tiba-tiba kami lebih bebal dari kerbau
dan saban malam, kami mengigau
bahwa di pilar, di pintu dan di jendela
kami bisa menemukan rajah, tempat aksara purba
kami pahatkan dalam ritus yang tak kenal waktu, usia,
yang diabadikan para poyang kami
sungguh kami telah lupa: adakah ia benar-benar ada
atau serupa pantai yang tak memberi bekas firasat
kapan gelombang pasang atau surut atau mampat
atau serupa gurat kayu yang terjerang pelapukan
dan tak bisa dirunut hijaunya...
kami tak lagi bisa berhitung tentang mimpi
segala jamur begitu subur, dan kami seperti tak bernyali
untuk membalik tanah mencari gembur ranah;
agar kami bisa menanam impian
di ladang dan sawah; dengan segala harap dan pinta
sungguh di peta ini, rumah kami hanya puing
kami pun terus melewati setapak
sambil mengingat, atau melupa pada jejak
dan bertanya: “adakah akar itu bisa tumbuh di tanah
kami, atau membuat kami bertambah luluh lalu lumpuh..”
tapi kami terus membangkitkan mimpi; bersitahan
dengan segala matahari; dengan pikiran yang muncrat
lebihi panas api
2014
ASU MENCARI TUHAN
Bulan itu, Su, serupa lobang meriam
dan gemintang itu seperti tilas senapang
masihkah kau menerka, tuhan masih berdiwana
di baliknya; bukankah sering kuteriakkan, ia kini tak suka sepi
ia berdiam di kerumun, di antara bantingan kartu remi
bahkan menyaru penjual jamu, yang meracikkan
antara legit dan pahit untukmu yang selalu sakit
jangan kau pandang langit begitu sengit, Su
ia hanya atap yang rapuh dan gelap
dan ratapmu itu semakin menambah jelaga
di pilar penyangga yang menyaru udara
43. bebas, yang kau sebut angkasa raya
jika kau terluka, Su, atau tertusuk duri cinta
kau cari saja ia sebagai penawar
di pasar, atau di sela lagu dangdut dengan goyang getar…
jangan bunuh diri di goa, di tepi telaga
atau di makam danyang desa
dan bulan itu, biar saja menganga, dengan jejak
hitam arang di lengkung lingkarnya
ia hanya korban; sungguh tak ada bidadari di penampangnya
apalagi wajah tuhan
dan bintang-bintang itu, titik-titik kecil bekas peluru itu, akan
mengatup kembali
bila malam telah berganti, dan meriam lain sedang menyala
di cakrawala dan sering kau sebut dengan surya
sudahlah, Su, tak usah mencari tuhan di kesepian
2014
BATU AMPAR
Aku berlindung di balik tudung tahi sapi
kerna aku tak ingin kau menyebutku sang suci
Datanglah kepadaku, peluklah aku
kerna kita sama, kerna kita masih sebahasa
sebagai hamba anak-anak sapi yang suka bermain
di sawah, di tegalan dan menyabit rumput bersama
lalu bermain kerapan di tengah lapangan
sambil menyenandungkan pantun dan puji-pujian
Aku tak ingin detak jantung ini, yang berkobar-kobar
ihwal rahasia, memperjarak kita, biarlah ia berlabur tahi
agar sinarnya tidak membuatmu berlari, menjauhi
Jadikan aku serupa udara yang kauhisap, seperti air
yang kaureguk, atau daun sirih yang kaujadikan
jamu untuk mengekarkan otot dan uratmu
Biarlah aku menjadi baju yang lusuh dan rombeng
asal aku berkarib denganmu, membuatmu bahagia
dan tidak membuatmu jengah
Jika kelak aku disebut wali, bertanyalah pada
yang menyebutku: ‘apakah ia sudah mampu mengukur
depa udara, apakah ia sudah tahu seberapa panjang
nafas sepi, apakah ada jarak antara langit dan bumi…’
Sebut saja aku dengan si tahi sapi, karena aku ingin
bersamamu, menggemburkan bumi, tempak kita berpijak,
agar kelak anak-anak kita bebas bergerak dan tak hilang jejak
tentang cinta tanpa jarak
44. 2014
*) Batu Ampar kompleks asta di Pamekasan Madura.
CUCU AMONGRAGA
: Damar & Attar
di bulan itu tergurat namamu: aksaranya biru
ia terletak di luar tanggal, di pinggir batu, ia kupahat
ketika aku berlari dari serdadu, yang kelak akan
kaupeluk dan ufuknya kaureguk sebagai kompas dan ilmu
---ia begitu kelam, Belanda dan Mataram!
kini, prasasti itu hanya dapat kaubaca ketika malam penuh
ketika gerhana menitipkan pesannya pada kegelapan
lihatlah pijarnya, di antara korona yang membayang
di antara pekik kengerian
tera namamu telah kunujum untuk menyunting
bidadari, memesan kursi untuk sepi, dan pewarta dari
sejarah berlumur darah
khianat, dan pemenggalan trah…
jangan pernah menyesal untuk itu, kerna waktu
berkelebat dan mencipta kiblat baru
tapi kau tak dapat ingkar dari geletar ruh lontarku
--semacam pohon riwayat, yang mungkin kini kaukenang
sebagai kisah-kisah lisan, penuh hantu dan setan…
pada nadimu, mengalir darahku; di hatimu,
tertanam nyawaku
bumi ini masih sama, matahari juga tak berbeda
hanya isyarat yang memilih bahasanya sendiri
seperti sandi yang kukirim kepadamu, lewat mimpi
mimpi, meski kau begitu ingin mengingkari
tapi hendak ke bumi yang mana kau menghindari
dan tak ada matahari lain tempatmu berpaling…
jika di gigir malam, sandi tak datang, bukan berarti
aku menyembunyikan gurat firasat ke sekian kali
aku ingin kau menepi, menekuk kembali tugu diri
lalu kita berbicara dengan bahasa laki-laki
terlalu lama kau pergi dan berlaku sebagai banci
kenanglah aku, bermimpilah tentang aku
45. lalu temukanlah ukiran-ukiran namamu di bulan
dan bacalah dengan nyaring, tak perlu hening
seperti dulu kutembangkan Kinanti
ketika malam mulai merangkak pulang dan pergi…
di situlah, aku menanam inti api, serupa kunci
pembuka kitab rahasia, yang kini tersimpan di alam
yang tak mengenal siang dan malam
di bulan itu, tergurat namamu
kapan kau bisa membacanya dengan lagu
baku, lalu berkirim pesan kepadaku sebagai amsal rindu
: “aku telah mengerti mengapa malam begitu panjang
menutup tirai matahari, kenapa tembang dapat
merasuki ribuan kumbang untuk menyerang, kenapa
lidi menjadi senjata tikam yang berputar-putar…”
2014
TRAH
Darahku tumpah di lumbung kampung Tunjung
di gigir selat Madura
aku pun disebut rangga, putera Wiraraja
tapi kau pernah tak mengerti kenapa aku menuntut janji
tidakkah kau tahu, di tanahku
‘lebih baik berputih tulang daripada berputih pandang’
aku seakan kaukutuk sebagai pengikut, seperti rumput
dan debu tempat kaki pengikutmu dan
ladam kaki kuda menyepakkan tinjanya
tidak ingatkah di Terik, ketika rembulan belum terbit
aku telah menyulut karbit, agar buah-buah maja
tak semakin pahit, dan buah-buah yang masih mentah
bisa disajikan di meja jamuan
Kau menyebut dirimu trah rembulan, karena malam
tak mempersilahkan rembulan lain singgah
bintang-bintang kaurakit menjadi gugus galah
di bentang angkasa --kuasamu
yang mengekalkan dirimu sebagai pusat cahaya
semacam purnama di angkasa raya
rasi itu membentuk mimpi-mimpi
dari satu titik kota ke titik kampung lainnya
dan kau nisbatkan mereka dengan trah bintang
2014
46. PEKIK PANGERAN PEKIK
jika kukunyah peluru ini, kerna aku pernah lahir di sini
saat logam masih kenyal dan mesiu hanya bubuk bumbu
saat gerhana, siapa tetirah di belakang rumah
seorang hitam, bertubuh besar, berambut panjang
mungkin ketakutanku
pada malam yang membisikkan seribu kisah
dan darah bisa beku
saat bersua dengan ingatan-ingatan sendiri
silam sendiri
dan mimpi sendiri
aku sendiri bertanya pada gerahamku
adakah ia pangling pada paku, pada kaca
pada besi tua
ia mungkin akan meratakan segalanya
seperti saat sangkur mengoyak lambung
dan dunia memuja lengkung
susu
saat karaben menghambur bagai hujan
payung hitam kukibarkan
bendera kutarik setengah tiang
sambil bersila dan memainkan gambang
kukatakan
aku bisa lebih buas dari serigala
mengunyah pantat-pantat meriam
juga pantat perempuan
tuhan mungkin cepat datang
sehingga api lekas padam
tapi saat senja
aku masih dihantui ketakutan
seperti kisah-kisah perempuan bersusu
dengan lubang besar di tubuh
yang mampu menelan segalanya
juga dunia
2014
47. MENUJU TUGU
: Khalila Posmoderna
kotak logam itu membawaku menyusuri sepi yang ramai
aku seakan tersapih dari dirimu yang pagi
kini: gelap datang dan pergi, rembang menyapa dan lari…
ketika aku sampai di stasiun Barat, mataku mencatat
sebentuk kupu; beterbangan di ufuk inderaku
kupu dengan sayap ungu, kepaknya lincah dan perdu
ia merayap dalam ruang gelap pemberhentianku
membuat keterasinganku semakin beterbangan
tapi kau terus memaksa datang, duduk di bangku
ingatanku.
ketika kereta berangkat, aku tak kuasa mencatat
meski aku barusan melihat jejak kupu-kupu di udara
ingatanku tercabut dari kini, dan memburumu
ke rumah masa lalu
tapak mungilmu berlarian di antara tiang lampu,
senyummu mengkupu di antara cahaya yang mampir
di jendela, berkelebatan
dan cerlang matamu yang sebinar fajar, terus menjalar
ke jiwaku, kini, yang terberai di antara retak memori,
rintih, juga duka waktu yang kian memburu
kau ada di sini, dalam bebayang ---walau kau berumah
di sana, kini, tapi rindu membuhulmu ke kenanganku
aku pun memanggilmu: o cahaya mataku, o cahaya mataku!
tubuhku melantai seperti pinggul tanah yang melahirkanmu
aku menari dalam keheningan yang riuh
: suara jejak roda, angin yang berdesing, juga pikiran-pikiran bising
aku peras luka penantian yang panjang untuk menyambutmu
di ruang tamu ingatku, mempersilahkanmu duduk di kursi
yang aku rajut dari jemari cintaku yang utuh
ketika kereta semakin cepat, dan Barat tertinggal jauh di tempat
---wajahmu semakin memancar di kaca jendela
hutan-hutan di pikiranku berganti musim, daun hatiku memerah
aku saksikan bibir-bibir berjatuhan, lebat, mengecupmu
seperti hujan ciuman, yang kelak, akan menuntunku pada ruang
ruang sunyi, seperti sungai yang membawa berpuluh perahu
ke laut
sambil memelukmu dalam ketiadaan, aku gariskan hasrat
terpendam, di jendela malamku yang berubah menjadi cermin
jiwaku
48. sungguh, begitu Barat terlewati, langkahku ke Tugu semakin pasti
2014
TANDA MATA
kugali malam di matamu
: kutemukan ruang hitam, gelap, juga sekilat
harapan yang masih menyesak di antara saraf
saraf netramu, berpacu di antara retina, kornea,
lensa dan pembuluh
kuharap ada yang tumbuh dari gelap,
sebagaimana malam
yang menyantuni cahya rembulan dan gemintang
ketika pelupukmu basah, aku eja sebagai telaga
yang tak pernah kering menjaga
linang ---memberi ruang
pada rindu yang tersedu; memberi nama pada gamang
dan kesedihan
ketika matamu bercahaya, gunung-gunung seperti
mengapung di sana
aku pun menyingkir
serupa fajar yang mempersilah surya
berdiwana, menyulap gelap
dengan pagi dan harap
ketika binar itu sampai, pantaiku pun landai
aku garis ritmis jiwa ke seberangmu, kembali
menggali lekuk-lekuk yang suntuk
di lipat alismu, membuat ufuk
terkenali lewat temali mimpi
meski sesamar mataku mememasuki pintu matamu
dan sesumir matamu menatap jendela duniaku
2014
MESIN HANTU
di mejamu, gelas putih masih membekas tilas
darah ---kini hanya hitam, seperti gurat tinta
aku pun diam, gelisah, serupa kanak yang mendengar
dongeng hantu dari bibir ibu
kisah yang selalu kutunggu tapi menyimpan galau
di hulu kalbu
“di gelas itu, dulu, aku reguk darah pertama dari lukaku
49. luka yang kini sudah tiada, tetapi nyerinya
masih tersimpan di lipatan waktu...,” katamu
dari luka itu, aku tahu, ujung penamu terus menarikan
gerak rahasia, yang di dalamnya terbuhul renjana,
juga maut, juga nestapa
dan aku membaca goresan-goresannya seperti pelancong
yang tertodong moncong senjata
“kau tidak bisa beranjak, berkelit, ini kepunyaan kita”
di mejamu, aku terlalu fakir untuk mengerti takdir
hanya bayang-bayang sunyi, sumir
yang mengendap di keningku, seperti harapan-harapan
gelap
seperti nyanyian sumbang, dan aku semakin gelisah
ketika hantu-hantu terus berdatangan
ke dalam mimpi-mimpiku, mencederai kanakku yang rapuh
dan aku terkutuk dalam ketakutan
yang tak bisa ditafsirkan…
aku panggil ibu, tetapi gaung suaraku, terlipat ke dunia
yang berbeda, aku panggil dirimu, tetapi kau sudah melangkah
ke ambang fana
“aku hanya mewariskan kisah-kisah batu, di situ, kau harus
mengurus ingatan-ingatan busukmu, juga ibu,” katamu.
di mejamu, aku hanya menemukan kenangan tentang
penyiksaan berarus-ratus tahun
kini, gelas itu telah menumpahkan sisa darah
dan berbilur biru di punggung ingatanku
2014
PIGORA AIDA
aku terantuk kesepian kata yang memusar di lingkar
kipas anginmu; kursi-kursi telah menjadi suara, hingga
pigora pun seakan berkibar serupa bendera
di sana: tertera namamu, namaku, juga nama Aida
aku ingin memutar sirip kipasmu, tapi mesinmu
masih juga dingin; hanya slogan-slogan
yang berbicara di kotak 14 in itu, aku ingin menyebutnya
Pandora, tapi kau tak bersetuju, lalu menghunus palu
‘ini bukan kutukan, sayang, lihatlah, aku menghancurkannya’
aku melihat begitu banyak cermin terbanting
ke lantaiku yang dingin; di dinding, poster pun kaku
meski ia menunjukkan giginya yang tak terurus dan beku
diam-diam, aku berharap kotak itu mengutukmu
lalu kau bisa memutar kipas angin di dadamu
meski aku tahu, di balik dinamo itu, berjuta kawat berkumpar
50. seperti kisah-kisah keparatku dengan kupu-kupu malam
yang katamu, sering aku igaukan dengan Aida
dengan dada berpigora, yang terus berkibar
sampai di tanah seberang, tempat gambar hidup itu tersiar
lalu merebut hangat yang tersemai di antara kita
dengan nujum mata, tanpa peta dan kata
2014
URBANIUM
tak ada rumah buatmu.
segala pemberhentian hanya halte.
ketika hujan berloncatan, kau akan
merangkak menyusuri kanal-kanal
yang terpintal dari jalan.
aku tahu tak ada bus yang berhenti,
kecuali pengayuh perahu
dengan lantai berlubang
: perahu dari batang pisang
dikayuh anak-anak yang berlompatan
dalam kenanganmu...
rumah ingatanmu terenda dari jalan-jalan
serupa roda-roda yang berulang
melingkar dari porosnya.
aku tahu kau merindukan pintu-pintu
mungkin ayah atau ibu
yang akan mengalirkan matahari
bila kau kuyup, buku-bukumu basah dan
sepatumu membercak lumpur
tapi hujan tak pernah peduli, apakah kau
piatu atau beribu sepuluh
ia akan datang meski kau terjerembab
ke jalan berlubang, disergap basah
dan lembab...
tak ada rumah buatmu kecuali bus
yang terus melaju dari halte
ke halte ke terminal ke tungku
: sebuah ruang hangat yang kau rindu...
2014
SAJAK GELAP
51. kutulis sajak paling gelap untukmu
kuingin metaforanya mengguncang dada, jeda-
nya membuat jantungmu berhenti meski sehela
dan kau bisa bersua ruang jiwaku yang terbelah…
lihatlah huruf-hurufnya! aku menulisnya dengan
perasan darah dan tilas noktah di seluruh indera
rimanya tak lebih dari reruntuh sunyi yang beralur
di nadi dan gaib sebagai perkusi
rimba jiwaku telah memilih kata-kata paling bengal
yang akan menjebakmu ke ruang pengap: kesepian dan
ingatanku yang terpenggal
: sebagaimana suku kata yang dipisah, lalu melompat
memburu pasangan, dan tersesat
jika di lingkar repetisi, aku gali sebentuk perigi,
kuingin mataku bisa berkaca di riak-riaknya meski kau
melihatnya sebagai fatamorgana;
meski di sana berkubang goa-goa, yang bisa memperteguh
jarak pertemuan kita…
mungkin sajak itu tak bernama, sebagaimana gejolak
yang meledak di otak, dan dada, dan rahasia
–yang begitu sulit aku sebut sebagai apa
mungkin kau hanya bisa menangkapnya sebagai perangkap tanda
dan bersua gulita makna…
2014
IKAN BURUK RUPA
Di Lembata, cinta telah menjelma mata tombak
Yang rapuh
Dengarkan deritnya yang mengapung di udara, serak
Seperti kerongkongan yang tersumpal minyak
Tak ada janji dari jejalan yang berlubang, juga mimpi
Yang dibuhul ketandusan
Kita pun seperti bintang laut yang terdampar
Di pasir panas, menggelepar
Tapi dari kisah ikan-ikan, dengan buruk wajah, tapi
Berdaging renyah
Terajut rahasia
Seperti rumput-rumput laut yang menenun kesabarannya
Di delta, memberi makna pada keluasan cakrawala
Bahwa di petak sempat, tempat berkubang jejak-jejak keparat
Mimpi bisa menjulang, menjadi kiblat
Bagi rupa yang hilang
Mungkin di ujung pulau, dekat dengan kabar ikan paus
Kita bisa mendulang cinta yang lain
Mata lembing tidak bisa mengerling pada waktu
52. Ia yang harus lurus menghunus sejuta
Rindu
Pada darah, pada teriak, pada mantra penjinak ombak
Dan pada apak selangkang sendiri
Yang bergerak-gerak, seperti angin pagi
Yang tak jinak…
2014
DANGDUT MAKRIFAT
aku tak berharap ombak itu bergelombang di rambutmu
karena cadik masih di berlayar di kepala, meluncur
di antara pintal buih, juga camar yang bersulih dengan debur
biarkan lanskap tanjung itu tetap bergaung di pikiranmu
agar kelak ketika aku kembali, aku masih bisa mencium
bau laut, yang terumrum di lehermu, dan tercetak di matamu
nan biru
kini, di sebuah seberang, ketika anganku masih membuhul
pinggulmu, aku hanya bisa tepekur pada kabut yang utuh
di dahan harapanku, kabut yang selalu saja menjemputku
untuk mengingat asap ikan bakar, desir pasir, juga nyiur
yang dilulur angin…
ah, pesona arus yang memusar di pusar…
meski aku semakin mengerti, di setapak ini, tuhan bukan
sosok lain; tapi dinding dingin selalu mengurungku
dan mengungsikanku pada ingatan-ingatan cadas: perihal
nafasmu yang garam, juga hari-hari yang kelewat malam
dilupakan dengan diam
ingatan tentang tarian-tarian ombak
di pinggulmu, aku telah menitipkan masa lalu, dan aku
selalu memburunya di sisa waktuku, seperti seorang penjala
yang tak alpa mengingat arah angin dan bintang
yang masih bisa mengintip nyala suar di seberang
tapi…
jika ombak bergelombang di rambutku, di sini, aku terlontar
ke pengasinganku; aku pun terbakar oleh penghapusan
yang kejam dari ingatanmu
2014
PASIR-PASIR PANTAI YANG KEMILAU OLEH GARAM
di palung mata, aku lihat relung batu
batu yang terpahat di antara gunduk tanah
53. basah oleh hujan yang terus menderas dari batas
pelupuk
waktuku pun langsung menyingkir dari anyir darah
yang masih terindera, yang mengalir dari ufuk
ke ufuk pelautku
---sungai pun tumbuh, menggenang
bersama terumbu, laut pasang
kapal-kapal pun berkabar: pelabuhan kini tinggal kenang
aku pun melihat nyiur yang meronta
angin yang mempermainkan mayangnya, juga layar
yang terus berkibar menjauh
suara kecipak yang menabuh cakrawala
seperti bunyi kendang yang bertalu-talu di angkasa
kupingku berdenging oleh serangga kasat mata
pikiranku bagai ikan-ikan yang diracun nelayan
menggelepar
aku pun sangsi pada sauh yang ‘lah diangkat
sebagai kesangsianku pada air yang mengalir
ke langit
kerna nun jauh, aku lihat kabut, awan gemawan
juga seringai kutukan laut pada anak-anaknya
serupa senja saat malam menerkamnya dengan perkasa
saat laut susut, keraguanku pun mengkristal di udara
pasir-pasir pantai yang kemilau oleh garam
yang disapih malam, mendekapku dengan kepastian
: tak ada jejak di sana, kecuali dua sandal yang telah bercerai
demikian percuma dengan tuannya
kerna kaki telanjang yang buntung itu berserak
di tepi geladak, kaki yang senja tadi masih menapak
dengan lagak seorang laki-laki
aku tak bisa berteriak, bibirku gentar oleh kengerian
doa kanak-kanakku pun berjejalan:
‘semoga dengan kaki tanpa alas itu, ia yang mati
di laut, tak kembali
untuk mencari perutnya yang terburai, kepalanya
yang meledak bersama ikan-ikan buruan
dan harapannya yang tak pernah pupus menjadi
tunas-tunas
keberanian bagi yang hidup’
2014
NAMPAN MUSA
di delta, ketika semua suara sayup, kau pun kuyup
54. dalam degup menunggu
ususmu tak kauurus, matamu pupus oleh arus
renjana
ia datang dengan sampan, sajikan nampan
: ‘apa yang kau inginkan, telur atau ikan?’
setelah melewati tiga portal
pertanyaan
dan kau gagal
kau jatuhkan pilihan pada ikan
ia pun hanyutkan diri
mengalir ke pinggir segala hilir
: ‘kau harus tetap di tepi
memberi tanda pada kelasi
yang datang dan pergi, biarlah aku
mengukir sumir batu-batu’
meski masih gemas, kau pun berkemas ke pantai
‘jika aku pilih telur?’ serumu
kau hanya mendengar debur ombak
yang mengubur jejak-jejak penantian
menutup rahasia yang entah kapan
bisa kembali dibuka, lewat suara sayup
lewat tubuh kuyup oleh ritus hidup tanpa degup
2014
56. LELAKI MERAH
akulah laki-laki yang tercipta dari tanah merah; jika kau tak percaya, lihatlah
mataku, tulangku, juga telapakku yang merah-darah; jika kau tak percaya, bacalah
kitabku yang aku pahat dari sisa-sisa mautku di batu penanda kehadiranku, batu yang
terus tumbuh di hatimu dan selalu menampik mimpi-mimpi penguk, batu yang tak
akan hancur meski jasadmu remuk
akulah laki-laki pertama yang tercipta ketika duniamu belum ada, ketika
segalanya masih dalam kata; akulah yang membuat aksara rahasia lalu menjilidnya di
langit tak berangka dan menyebarkannya ke dunia dengan badai dan hama; jika kau
bertanya lebih tua mana aku dengan malaikat dan iblis, aku akan menjawab mereka
tercipta karena aku; lewat segumpal tanah dengan benih cacing di relungnya, aku
tercipta; bersama hembusan nafas yang meriuh, aku membesar dan menubuh
akulah laki-laki yang setia menghuni ruang sepi sendiri dan tak peduli apakah
duniamu hancur atau tetap memuja debur; aku akan mencatat segala yang lewat
sebagai mesiu yang terus melontarkanku ke ruang tak terpahami, ruang penuh api;
aku tak akan peduli pada pertanyaan-pertanyaan bebal tentang hidup dan mati
karena keduanya hanyalah permainan kanak-kanak yang masih bermain-main dengan
api; akulah api; enyahlah, jika tubuhmu masih bertumpu pada tanah dan kayu…
akulah laki-laki tanah merah yang pernah marah pada dunia; laki-laki yang
memiliki tilas arus di bilik hatimu dan berkumpar bersama geletar-geletar kesangsian;
sebagaimana iblis yang menyangsikan dirinya sendiri, menyangsikan api sepinya, juga
menyangsikan kekekalannya
Surabaya, 2011
AROK
aku selimuti malam dengan mimpi terhunus; mimpi bocah penggembala yang
ditinggal pergi berpuluh domba, mimpi-mimpi peri yang berharap tongkat sihirnya
kembali, mimpi jadah tuk gayuh nirwana tanpa mizan darah… hanya pada waktu, aku
percaya; kesangsianku masih pada angka-angka yang tersiar di lontar, sabda pandita
yang terpeta di cakrawala utara, juga garis trah yang menista benih… namun malamku
tetap malam kudus.
ketika waktu memberiku tanda, aku tahu sepetak dada bakal lantak; berjuta
peta akan terbentang di langit dan dunia, lalu aku pun mulai membaca: ‘seorang
jabang terlontak ke kesunyian makam, seorang pencuri memungutnya, lalu tumbuh
durjana yang berparas dewata ---ia lalu mangkir dari takdir; menggulung beribu
pulung yang tergantung pusar bumi, mencecap gelap senggama ketika ia terantuk
cinta-buta pada cahya kemaluan wanita, juga berikrar bahwa ia bakal mencuci
darahnya lewat raja-raja… ia renda mantra terkejam dari seluruh mantram: o,
penguasa sunya, aku datang untuk meminang duka; datang-datanglah, aku akan
berkendara maut menuju takdirku yang terenggut; aku akan hunus keris paling amis
untuk menulis sejarahku yang magis, aku akan merebut apa yang kini luput…’
57. ah, aku gulung kembali waktu, membakar lontar yang masih mengendap di
ruang gelap ingatanku, lalu menyemai kembali benih getih di nadiku; agar darah yang
terpompa di pembuluhnya bersih dari racun yang telah membasuh pusaka, agar
setiap darah yang tertumpah tercemar oleh bisa tahta; aku ingin mengubur mimpi-
mimpi panjang perihal tanahku yang terguncang! tapi diam-diam jarum jam yang
berdetak di dinding, juga di jantungku yang dingin, merajamku: ‘ada yang percuma
dari mimpi, tapi malam tak akan sudi mampir ke bumi jika ia pergi’
Surabaya, 2009
?
ketika ia jelma jarum dan menelusup kepala, bumi tak lagi bundar, tanah tak
lagi datar, dan seluruh segitiga akan mempertanyakan sisi keempatnya yang
tersembunyi di balik mistar; ketika ia jelma panah yang menancap di dada, ada yang
terpejam di balik kelambu menghitung jumlah angka yang terbuhul kalbu, ada yang
diam di balik batu sambil bercakap perihal gelap yang tak sempurna, ada yang
menafikan diri lalu memberi pasti pada hampa… ia bukan tuhan tapi karena ia dunia
ada, meski seluruhnya lalu bergegas menjadi tiada
Surabaya, 2009
KALACAKRA
aku sebut nama dalam jeda hidup-maut, aku lalu semaput; hanya cupingku
yang tergetar, dan yang kudengar hanya hingar; dengung kumbang yang melingkar-
lingkar: ya penguasa kegelapan, padamkanlah murka alam; ya penguasa pencerahan,
fajarkanlah senja alam, ya penguasa segalanya tundukkanlah waktu agar ia berhenti
merajam alam; suara-suara beterbangan, abjad-abjad memahat udara, gugus kata
berarus pada sejuta rangka perihal isbat dan makna; tapi arti berpulang ke rahim sepi;
tubuhku pun menggelepar bagai ayam disembelih, ruhku pun terkapar bagai beliung
patah dan terserpih… o, sang pewarna langit dan laut, aku rajah hidupku dengan maut
yang tumbuh dari nafasku, aku gadai mimpi dengan api yang tersembul dari buhul
sesaji, aku…
ketika aku teringat tanggal, pinggulku mengigal, waktu terpenggal; nafasku
tersengal, seluruh jagad anfal
Surabaya, 2008
ALMANAK BATU
di keningku, waktu menyaru tukang batu; ia pun memahat otakku, seperti laut
yang memahat karang dengan ombak; setiap minggu, aku berpesan padanya, agar ia
menumpahkan tinta merah di almanakku, agar aku ingat ada denah yang harus aku
kirim ke pikiranku-ada sketsa yang harus aku bungkus di secarik kertas kudus lalu aku
utus ke benakku, agar garis-garis itu tumbuh menjadi rupa di ruang imajiku yang
sederhana; tumbuh menjadi semacam rumah ---atau ruang yang tak bosan
mengasingkanku dari senin ke selasa
58. Surabaya, 2010
SAHWAT PURBA
Seperti waktu, aku tidak akan berhenti di persimpangan, meski memilih berarti
kematian. Darah akan menulis khianatnya dan mengalir hingga muara. Lalu seribu
tubuh akan berpaling seperti berpalingnya seribu gugus ruh, berdiwana di antara
cemara, di antara dahan-dahan keringnya, lalu berhitung tentang kemungkinan-
kemungkinan dang angka-angka
Aku penguasa!
Di atas tahta, kumaknai jiwaku dengan ledakan, seperti meledaknya jarum
jam, tatkala daging diam dan jantung menghentikan deburnya, lalu aku akan sampai
di muara laksana seorang pesakitan, yang telah lolos dari tiang gantungan
Kupanggil ibu kembali, ibu yang telah melemparkan aku ke jalan bercecabang:
waktu ibu tanah-tanah lempung, dengan sanggul perak dan dada gunung-gunung;
kupanggil kembali seperti kupanggil geliat kebangkitan serdadu yang merayap dan
meriap sukmaku; kubangkitkan segala yang bisa bangkit sebagai hantu
Dan jiwaku, sebagai pesolek agung dari jalan bercecabang tak lagi hadir
sebagai pecundang. Sejarahku telah menjadi tulisan-tulisan, dengan aksara-aksara
yang memancar dari relung garba; aku tidak lagi didakwa untuk bersuara dengan lisan
yang terpahat di batu-batu, seperti purba, seperti awal sejarah yang membutakan
pikiran; aku menjadi pengetahuan yang berjajar dan terkenang dalam setiap ingatan,
ingatan yang pecah di otakku dan pecah di tanah kekuasaanku
Surabaya, 2007
KUBUR PENGANTIN LUMPUR
kami bisa mengganti panci, almari, dan kamar mandi; lalu menumpuk pasir,
batu, kapur dan kayu-kayu, lalu kami sebut itu rumah; tapi hati dan ingatan kami ‘lah
terjarah ---juga sejarah yang memayung dalam waktu-waktu kami, beratus tahun,
ketika tanah disebut Jenggala untuk pertama---; apa yang bisa kami bangun dari
keterasingan kami pada diri, juga nisbi yang membuhul kami dari pengusiran yang
alami; dari arsiran-arsiran hitam, dari malam yang tak putus-putusnya memaksa kami
untuk terus mendengkur; kami pun terlampir sebagai pengantin, dengan sihir tidur
yang tak mengenal akhir
o betapa kami pengantin, tapi lumpur terus berdebur di batin, mengubur
hening, yang tertanam di dinding-dinding rindu, beratus windu; namun wajan,
dandang, pekarangan, kuburan, belulang moyang, juga kengangaan kami yang
terkubur di tanah warisan, tak lagi mewariskan harga diri; kelak jika kami berlimpah,
lalu kami susun batu-bata dan kami sebut rumah ---kami akan seperti pohon tanpa
akar, denah ruang kami hilang, kami tak lagi mengerti di mana beranda, di mana
kamar, di mana kiblat tempat kami menyimpan rahasia, menyembunyikan harkat
kami sebagai makhluk berhikayat...
ingatan kami hanya bayang-bayang; tak ada harga untuk mengganti sebuah
kenang, secarik ingatan, juga sepetak tanah tumpah darah...
59. Sidoarjo, 2010
LUKISAN MATA
: Asyura
kurasakan pedih, saat kulihat pupilmu terbuka dan kau wartakan kemarau di
sebentuk kelopak di bawah alis: putih, hitam, tanpa ada bayang-bayang, tanpa gerak
dan tanpa sebuah salam
ah siapa yang demikian banal memenggal batang hidupmu, siapa yang
demikian kejam merajammu dengan kepiluan, siapa yang menjeratmu dengan khianat
dan membawamu ke tanah-tanah asing: tempat yang bertahta, tergunting ; siapa
yang tega menghentikkan gerak mata dengan gelepar-gelepar liar menunggu maut
menyambar, siapa…
di matamu, aku tak menemukan apa-apa kecuali kerinduan dan hasrat untuk
berkata: jangan terpaku pada gerimis!
aku tak tahu adakah kerinduan itu untukku, atau untuk sebentuk mata yang
menatapmu ‘tuk terakhir kali, atau untuk burung yang datang kepadamu lalu mengeja
kelopakmu dengan sebuah patukan.
tapi saat pasir hadir dan mengubur kelopakmu, di bawah sinar rembulan bulan
Sura, aku ingat Karbala...
Yogyakarta, 1 Muharram 1432
KALINYAMAT
Hanya aku yang mengerti janjiku pada maut! Aku saksikan arak-arakan terus
berarak, derapnya berkumandang, penuhi telinga, jebol kendang, luruhkan darah
pada darah, nisbatkan alam pada sisa-sisa pembakaran, bentur-benturkan harapan di
kekosongan, kosong, tikam ilham, param malam, hamparan hampa. Batu-batu keras,
percik bunga api, bintang-bintang mengambang, laut kembali, debur mengabur,
sahwat purba berdiwana, kematian berdurja…
Aku sebut tubuhku jasad. Jasad yang terwarta dari kabar lahat: unggun
belatung, ulat-ulat dan kengerian daging yang dikoyak tanah; Aku sebut jasad karena
mataku melegam, hitam, kelam; kerlingnya taburkan hasrat untuk menguji diam;
tatapannya yang sendiri tapi tak sendiri, sengkarut oleh nasib tak terpahami, tak bisa
lari dan terkapar di gigir latar, liar bak kalajengking sengatkan sengatnya dan titipkan
racun pembunuh di sekujur tubuh; tubuh telanjangku…
Ketika segalanya rumpang, aku menuju arah ketika surya terbelah. Dunia
kurakit dari rasa sakit. Rahasia yang bersemayam di benak mulai mencipta gelisah; ia
bertanya tentang angka, cinta, rindu dan kesepian sendiri. Aku kurung fajarku di tapal
batas. Kukatakan: ‘jangan pernah mendekat pada seorang yang telah berkhianat pada
kelenjarnya sendiri, birahi dan kesakitan yang tercipta dari sepi’
Kelak sebuah rahasia yang tak tersentuh oleh nafas akan meringkas batas,
merenggut denyut dan maut. Ia kusapa dengan sirri, palung laut yang tak tersigi. Ia
seperti dendam yang tak bisa dibagi.
60. Surabaya, 2010
JONGGRANG
perempuanku, kenapa kau berlari di tebing dengan pisau, mengerling dengan
pisau, berguling ke ruang kalbu dengan pisau. tidakkah kau mengerti, jantungku telah
berdarah, mimpiku telah nanah dan harapanku tinggal noktah. lihatlah, ketika nujum
terwarta di papirus tua, segalanya telah terkabar: telapakmu api, nasibmu sepi,
impianmu setajam sudut-sudut bintang, yang tak henti merajam malam abadi
perempuanku, adakah sepi sendiri di ujung mimpi, adakah mayat bersetia
pada lahat, adakah bumi ingkar dari matahari. mari mengaji bunyi, mari menari di liar,
mari bercanda maut. marilah, jangan diam, agar kau mengerti nyeri biri-biri
disembelih, kuncung yang dipancung, jantung yang dikurung sawung; marilah… agar
kau tahu luka sembahyang dan serapah yang terwarta di ujung mantra, mantra
pemberkatan kematian
perempuanku, kuingin kau kembali, seperti biji berisi yang tersembunyi di
hatimu, agar separuh nyawaku yang kutitipkan di nafasmu, melesat, lalu bersekutu
dengan udara penuh rindu; aku tak ingin kau tersalib di tungku dan dikutuk waktu
menjadi batu.
Surabaya, 2009
DURGATELUH
Aku lebih mencintai kematianku: kubur-kubur panjang dari batu, daripada
degup tak berindu. Aku telah dirajam setia dan bersekutu dengan seribu dosa, seribu
duka, seribu kekosongan: aku telah hadir dengan kutukan. Aku cium ranum tubuh
bangkai lebih harum dari sejuta bunga; aku lecut sangsai pada sebuah nisan tak
bertanda.
O angin, bergerak, bergerak, bergerak, meski nanti seluruhku membentur
dinding dan lantak
Dalam bilik kematianku, aku rapal dunia dengan mantram balik. Segalanya
berputar pada mula, asal segalanya: saat jangkar awal menebah di samudera dan riak-
riak ombak bak nyanyian, nyanyi senyap dan bimbang; nyanyian-nyanyian yang tak
pernah berhenti meski partitur dikubur dan mati. Tapi aku tak mengerti adakah di
sebuah pantai nanti segalanya berhenti, seperti kembalinya pelaut ke tepi.
Tak ada jawab dari gamangku, lalu aku bongkar kubur panjangku, kunisbatkan
pada ranah darahku, kulisankan puisi abadi dari kekinianku. Sungguh, tak ada manusia
di hatiku, tak ada hasrat di nadiku, tak ada cahaya di jantungku, karena telah
kuserahkan daging, darah dan mautku tuk sebuah kepastian: nafsu!
Tetapi bisik kematian kembali menggelitik; aku bersua dengan ruh purba di
ujung segala nestapa; Dalam pertemuan itu mataku melebihi api, lisanku melebihi
busur yang ditembakkan waktu, telingaku melebihi debur samudera tujuh. Aku
kembali hidup dengan kematianku; sungguh, aku tak butuh jawab dari tanya, aku tak
butuh harap dari asa, aku tak butuh segalanya…
Di atas kematianku, dengan kubur-kubur panjang dari batu, kukutuk segala
rindu: O sang kalbu, membusuklah seperti penyembah berhala di dasar neraka.
Membusuklah seperti dunia!