Cerita ini menceritakan latihan teater yang diselenggarakan oleh seorang sutradara untuk mengangkat kisah Dayang Sumbi. Salah satu pemeran utamanya, Sisy, tampak sangat terbawa peran sehingga terlihat kesurupan. Sutradara akhirnya memutuskan untuk mengganti Sisy karena khawatir kondisi kejiwaannya tidak akan mampu mengendalikan dirinya. Sisy kemudian dikembalikan ke rumah sak
1. Pikiran Rakyat
Sabtu, 25 Agustus 2007
Musik Fajar
Cerpen: Us Tiarsa R.
DAYANG Sumbi berdiri di tepi jurang. Tatapannya terpana melihat lembah itu berubah
menjadi sebuah danau sangat luas. Angin bertiup kencang dari arah bawah. Rambutnya
yang nyaris tergerai bagai sekumpulan daun walini, meliuk-liuk. Semua pakaiannya
merapat ke tubuhnya berjuntaian ke arah belakang. Tiba-tiba kedua tangannya mengangkat,
membuat garis lurus dengan bahunya.
Selendang merah api yang dipegang kedua ujungnya, menutupi sebagian wajahnya. Bagai
burung bangau tengah berahi, seluruh tubuhnya bergetar, meliuk, tenggelam, mengapung,
meninggi melampaui puncak gunung. Bersama awan ia menari, bergerak, terus bergerak,
tanpa henti. Ia ingin merenggut waktu ia ingin membangunkan surya, ia ingin menyibakkan
selimut mega dan mencabiknya-cabiknya lebih cepat. Selendang merah itu membuat garis-garis
renyai bersama jutaan kunang-kunang. Langit tiba-tiba memerah, cahaya bersemirat
mewarnai cakrawala.
Nyanyian langit berdesah, kokok ayam, gondang, angklung, berpadu dalam musik fajar
yang bertalu-talu makin lama makin membahana. Dayang Sumbi dalam silhuet itu terus
bergerak. Kedua telapak tangannya menggapai-gapai, dari atas ke bawah, dari bawah ke
atas, meliuk-liuk, bagai menarik tirai matahari. Langkahnya jingjit dari bukit ke bukit, trisi
dari tebing ke tebing.
"Kat! Kat! Kat!" Tiba-tiba sutradara berteriak dari tepi panggung. "Sekarang makin jelas!
Bodohnya kamu itu di sana! Ini bukan film, ini bukan sendratari! Ini teater! Teateeeeer!
Kedengaran tidak? Kamu itu sedang main teater bukan sedang menari jaipongan atau jadi
bintang film kenes!"
"Lalu apa yang harus saya lakukan?"
"Apa? Kamu bertanya? Saya ini sutradara bukan guru pemeranan! Saya ingin kamu
menjadi Dayang Sumbi dengan aura seorang putri. Jiwa dan tubuhmu harus mampu
menerjemahkan suasana jiwa Dayang Sumbi yang resah, takut, cemas, tetapi yakin akan
kebenaran yang diusungnya. Totalitas kamu terganggu dengan masalah teknis. Kamu tahu?
Tata lampu dan musik itu sekadar ilustrasi yang mengusung totalitas pemeran kamu!"
"Tapi aku Dayang Sumbi, putri teraniaya. Tebing, jurang, belantara, merupakan panggung
pertunjukan bagiku. Aku tidak punya kekuatan menolak cinta siapa saja. Sejak kecil aku
tidak memiliki cinta. Dan ketika Aria Tumanggala menyatakan cintanya, kolam cinta yang
kosong itu tiba-tiba terisi. Aku sangat bahagia. Ada yang memberi nilai pada keberadaanku
sebagai manusia. Aku bukan sekadar sosok yang mengembara dari zaman ke zaman,
menumpang dan mengendalikan angin dari anjungan ke buritan. Aku bukan sekadar mega
yang berarak dari langit ke langit. Aku bunga yang tengah mencari cinta."
"Bodoh! Bodoh! Bodoh! Itu namanya absrud. Aku tidak suka absurditas. Aku tidak
menolak surealisme, tetapi aku mampu membedakan ada dan tidak ada! Surealitas berada
di luar realitas. Secara realitas kamu itu Sisy, kamu itu Susila. Wujud kamu, roh kamu tetap
Sisy, bukan Dayang Sumbi. Dayang Sumbi benar-benar fiktif, bukan tokoh sejarah dan
2. bukan putri yang mewakili sejarah. Ia bukan berasal dari komunitas tempat pengarangnya
hidup. Ia tidak punya hubungan kekerabatan apa pun dengan etnismu, tahu?"
Sang sutradara beranjak dari tempat duduknya. Berjalan ke arah sisi kanan panggung.
"Benarkah aku Susila? Susila? Bukan! Akulah Dayang Sumbi itu. Akulah dayang yang
dahaga akan cinta. Akulah pendulang kasih sayang. Telah kutelusuri semua sungai,
kuakrabi Gunung Sunda, aku mencari cupumanik berisi bulir-bulir kasih. Aku akan
menanamnya hingga berbunga asmara, berbuah cinta."
"Sudah! Kamu overconcentrade. Otakmu dipenuhi imajinasi liar. Aku tidak suka
kolaborasi teater dengan kuda lumping. Adegan itu ditunda," sergah sutradara kawakan itu.
"Sekarang ganti adegan. Kita jumping ke adegan kelima. Dayang Sumbi duduk di balai-balai,
Sangkuriang tidur di pangkuannya. Sekarang tidak ada lagi pemain yang membawa
naskah. Hari ini, latihan ke-14. Kita janji latihan ke-13 sudah lepas naskah. Ayo! Cepat!
**
"SIAPA gerangan pengelana yang tersesat?" tanya Dayang Sumbi.
"Aku Jaka Sunda. Berjalan di atas bara dendam. Aku anak terbuang yang terlepas dari
ikatan cinta. Aku anak angkat para guriang, teman dekat para siluman."
"Kat! Kat! Kat" teriak sutradara lagi. "Sisy, jangan curi adegan!" Teriakan itu memotong
gerakan Dayang Sumbi yang akan memeluk dan mencium Jaka Sunda. "Gambarkanlah isi
hatimu, sebagai seorang perempuan yang ragu dan hati-hati. Ia tidak sembarangan
berdekat-dekat dengan lelaki, apalagi di hutan belantara."
Sisy tertawa berdera-derai. Lalu menutupi wajahnya dengan sampur yang tidak pernah
lepas dari pinggangnya. "Sisy? Aku Sisy? Bukankah aku Dayang Sumbi? Sekarang aku
mulai menemukan cinta itu." Susila mulai menangis tanpa air mata. "Aku melihat bulir-bulir
cinta, bukan dalam cupumanik, tetapi dalam telaga mata lelaki perkasa ini. Aku akan
mengambilnya, kemudian menanamnya dalam hati. Aku mendambakan bunga dan buah
cinta!" Teriakannya terdengar hingga ke luar panggung.
"Bukankah kamu tahu, siapa lelaki perkasa di atas pangkuanmu itu?"
"Aku tidak mau tahu. Aku tidak peduli siapa dia, tapi ia pembawa bulir cinta yang tak
pernah henti kucari."
"Lelaki itu anakmu, Sangkuriang!" teriak sutradara.
"Sangkuriang? Lalu di mana nilai spacktakle adegan itu bila aku sudah tahu plot, tokoh,
dan pengadegannya. Pertunjukan ini akan kehilangan surprise-nya," kata Susila.
"Ternyata kamu tidak terlalu bodoh. Karena Dayang Sumbi dan Sangkuriang merupakan
tokoh imajiner, aku mencoba mengembangkan imajinasi pengarangnya menjadi sebuah
pergelaran. Sudah! Sekarang break! Baru kali ini aku menyutradarai teater kesurupan
seperti ini. Yang lain istirahat, produser, kasting, penata panggung kumpul di bawah."
"Terus terang," kata sutradara itu setelah semua duduk berderet di ruang pertunjukan. "Aku
sangat puas dengan penampilan Sisy pada adegan pertama itu. Aku melihat sosok Dayang
Sumbi yang sebenar-benarnya. Tapi, aku sengaja memotongnya. Aku takut pertunjukan ini
akan benar-benar antiklimaks. Adegan flash back itu akan jadi klimaks. Ke atasnya, tidak
3. ada apa-apa lagi," analisis sang sutradara. "Waktu tersisa satu bulan lagi. Masih cukup.
Tolong saya cari kasting lain. Sisy akan saya ganti dengan orang lain."
Pertemuan itu hening. Tak seorang pun mampu menerjemahkan keinginan sutradara.
"Tadinya aku ingin menjadikan teater kita ini menjadi teater realisme. Namun, aku baru
sadar teater adalah pertunjukan yang menuntut kejujuran dan tanggung jawab."
"Mengapa tidak kita coba saja, mungkin perannya sebagai Dayang Sumbi merupakan terapi
bagi Sisy," kata penulis naskah.
"Aku takut Susila tidak mampu mengendalikan dirinya. Ia masih dalam perawatan psikiatri.
Adegan kedua babak keempat tadi nyaris tak terkendali. Sisy kelihatannya makin liar.
Tadinya aku bersepakat dengan dokter yang merawatnya, Sisy kita pinjam, kita beri peran
yang cocok dengan imajinasinya. Tetapi kita tidak bisa mengeksploitasi kondisi mentalnya.
Tidak boleh! Biarkan Sisy berada dalam perawatan dokter. Artinya, dunia teater kita
setahun penuh tak pernah disinggahi Susila, aktris luar biasa itu. Kita kembalikan Sisy ke
RSJ."
**
SAAT itu Susila pelahan meninggalkan panggung. Seperti biasa, sejak awal latihan, ia
selalu menghabiskan waktunya duduk di belakang backdrop mempermainkan alat tenun.
Laiknya Dayang Sumbi yang tengah menenun di dangau di tepi hutan, Susila menggulung
benang, memasukkan toropong dan menarik barera. Ia nampak sangat bahagia mendengar
suara alat tenun. Baginya, suara itu benar-benar musik surgawi.
Di ruang perawatan khusus di RSJ, alat tenun itu temannya yang paling akrab. Aktris
panggung yang juga penari itu hampir setahun menjalani perawatan. Ia mengindetikkan
dirinya dengan Dayang Sumbi. Kadang sehari penuh ia seolah-olah menenun. Kadang ia
berdiri dekat jendela, melihat ke lapangan rumput di bawah. Berteriak-teriak dengan suara
yang makin parau.
"Aku Dayang Sumbi Ayu Wangi. Tidak akan membiarkan danau dan perahu itu selesai!
Bila fajar tidak datang, cinta adalah malapetaka." Ia mulai menari, meliuk-liuk,, melempar
ujung sampur. Jingjit dan trisi dari dinding ke dinding.***