REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
CEPEN: Nyawa Palestina
1. IKI MILIK Nadya Luqyana Salsabila
NYAWA PALESTINA
Aku harap aku tidak pernah terbangun hari itu. Aku harap aku tidak pernah terlahir
ke dunia itu. Goresan silet di pergelangan tanganku menjadi saksi atas hatiku yang labil dan
tak tentu arah, walaupun aku tahu menyayat pembuluh nadi tidak akan pernah bisa
membunuhku. Mataku seringkali terpejam, bukan karena debu masuk, hanya saja aku tak
mampu memandang dunia di hadapanku. Jeritan, raungan, teriakan minta tolong, rasanya
aku ingin muntah tiap kali telingaku mendengarnya. Perang Dunia memang sudah berakhir,
tapi perang di dunia kami tidak pernah berakhir.
Aku terbangun dari mimpiku yang indah, taman dengan pohon raksasa yang rindang,
pemandangan yang hijau, dan keluargaku yang duduk melingkar saling bergandengan
tangan, mimpi yang langka. Sudah sekian lama rasanya aku tidak bermimpi. Tidurku
seringkali diisi kekosongan, hening, tak berwarna. Aku selalu menyesali tiap pagi dimana aku
harus terbangun dan beranjak dari rumah yang bagiku adalah tempat paling aman di dunia
ini. Rasanya aku ingin tertidur kembali dan tidak ingin terbangun lagi. Aku memang
pengecut. Tapi siapa yang mau jadi pahlawan di dunia seperti ini?
“Anisah! Ibrahim sudah menunggumu di luar!” dari lantai bawah terdengar suara
Mama yang nyaring memanggil namaku. Aku harus berangkat ke sekolah bersama teman
lelakiku, Ibrahim. Bisa dibilang kami sangat dekat sejak 3 tahun hingga usia kami beranjak
14. Rumah kami bersebelahan, jadi setiap hari kami akan selalu berangkat ke sekolah
bersama, mengantisipasi adanya bahaya yang mungkin akan selalu terjadi tiap kali kami
keluar rumah. Asal tau saja, kami bisa dibilang kelas kakap dalam menghindari ledakan dan
reruntuhan bangunan.
“Ma, apa hari ini ada sarapan?” tanyaku selagi Mama menyisir rambut kusamku.
“Tidak. Penjual roti pergi sejak kemarin dan belum kembali.”
“Kemana dia pergi?” Mama terdiam sejenak dan berhenti menyisir rambutku.
“Ma?”
“Mungkin dia hilang di tengah kota. Sama seperti beberapa tetangga kita yang juga
hilang dua hari lalu.” Tiba-tiba Ibrahim duduk di sebelah kursiku dengan wajah serius.
Dua hari lalu kami memang kehilangan tetangga dekat kami, Nyonya Fatonah dan
Pak Abu. Mereka berdua dikabarkan pergi ke kota untuk mencari sisa-sisa reruntuhan
bangunan yang mungkin bisa dijual kembali ke penduduk sekitar. Bagiku, mereka termasuk
pemberani. Keadaan tengah kota di dunia kami, tidak seperti kota metropolitan dengan
teknologi tinggi dan manusia yang sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Tengah kota
bagi kami adalah tempat menakutkan yang amat sangat berbahaya. Dahulu tempat itu
menjadi pusat peradaban bagi kami, namun semenjak kedatangan tentara Israel, kini hanya
SMA NEGERI 2 SURABAYA
Page 1
2. IKI MILIK Nadya Luqyana Salsabila
debu dan reruntuhan bangunan yang bisa kami ratapi. Tapi kami sudah biasa dengan
keadaan itu. Kami yang tersisa hanya bisa tinggal di tempat terpencil di pinggiran kota yang
mungkin belum saatnya bagi tentara Israel menjarah kemari.
“Sudah sana kalian cepat berangkat. Hati-hati di jalan, awas ranjau.” Mama mengusir
kami untuk segera pergi ke sekolah. Rasanya aku sudah muak dengan berbagai rintangan
yang harus kami hadapi untuk menuju kesana. Hanya untuk mendapat ilmu yang langka di
dunia kami.
“Anisah, aku malas pergi ke sekolah.” Kata Ibrahim selagi kami melangkah menjauhi
rumah.
“Lalu apa?” tanyaku yang merasa lebih malas daripada dia.
“Kita ke tempat biasanya aja yuk. Aku dengar kemarin malam ada seorang dari
teman kita yang tidak sengaja menginjak ranjau hingga kakinya hilang sebelah. Tentara
sialan itu meletakkan beberapa ranjau baru di jalan menuju sekolah.”
Mendengar kabar itu, aku dan Ibrahim sudah terbiasa. Kami terbiasa dengan rasa
kehilangan, kematian, dan ranjau. Sekolah kami memang agak jauh dan membutuhkan
tekad yang kuat untuk mencapai tempat itu dengan selamat semenjak tentara-tentara tidak
tahu malu itu mengetahui bahwa ada satu sekolah yang masih bersikeras untuk membagi
ilmu di tengah situasi perang seperti ini. Mereka meletakkan berbagai jenis ranjau yang
tidak segan melukai bahkan mengambil nyawa manusia seperti kami.
Akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke sebuah rumah tua yang jauh dari
pandangan tentara Israel. Kami duduk di atapnya dan memandang langit abu-abu
kemerahan di pagi hari.
“Menurutmu, kenapa mereka terus melempari kita dengan bom dan peluru?”
Ibrahim membuka pembicaraan.
“Mereka menginginkan tanah air kita.”
“Ya, seharusnya aku sudah tahu hal itu. Tapi kenapa dunia luar seolah membisu dan
mematung melihat kondisi kita yang dijajah seperti ini? Ini dunia modern, seharusnya
eksploitasi seperti ini dikecam oleh PBB.”
Aku memejamkan mata untuk kesekian kalinya. Aku menggenggam tangan Ibrahim
dan berkata, “Kau tahu, aku bahkan tidak bisa menangis lagi. Semua air mataku telah habis
ketika satu persatu orang-orang terdekatku dibantai secara keji oleh mereka. Kini yang
tersisa hanya menunggu.”
Ibrahim juga telah terbiasa dengan jawabanku. Dia sering bertanya tentang keadilan,
namun pertanyaan itu tidak pernah bisa dijawab, oleh siapapun.
SMA NEGERI 2 SURABAYA
Page 2
3. IKI MILIK Nadya Luqyana Salsabila
“Aku ingin tetap hidup. Tapi tiap kali aku melihat orang lain mati, rasanya aku juga
ingin mati.” Aku melanjutkan kalimatku dengan nada datar.
“Kau menyayat tanganmu lagi?” tanya Ibrahim.
“Tidak. Aku tahu itu tidak berguna.”
Kami terdiam selama beberapa menit. Kami hanya bisa menatap langit dengan
perasaan putus asa. Seringkali terlintas di pikiranku, untuk apa aku susah-susah pergi ke
sekolah jika akhirnya nanti sekolah kami juga akan hangus? Hanya masalah waktu. Mama
juga tidak jarang terlihat putus asa ketika sahabat-sahabatnya direnggut satu persatu, hari
demi hari. Hanya masalah waktu bagi kami untuk bertahan dan akhirnya dimangsa juga.
“Aku punya banyak cita-cita.” Ucap Ibrahim lirih. “Aku ingin jadi presiden. Ingin
menjadikan negaraku makmur dan bebas dari penjajahan. Aku juga ingin jadi pilot. Ingin
menerbangkan Papa dan Mama ke Perancis. Mereka ingin sekali kesana. Kau bagaimana?”
Aku memandang wajah Ibrahim dengan raut muka pasrah dan berkata, “Aku juga
punya banyak, banyak sekali. Tapi entah mengapa, satu persatu cita-citaku gugur seiring
dengan kenyataan yang kuhadapi. Tapi aku punya satu cita-cita yang rasanya akan menjadi
cita-cita terakhir yang akan gugur.”
“Apa itu?”
“Aku ingin Palestina merdeka, aku ingin dunia peduli, aku ingin Israel angkat kaki dari
bumi kita, aku ingin hidup di hamparan hijau tanpa asap dan ledakan bom, aku ingin hidup
damai di Palestina.”
Kami saling memandang dan tersenyum. Jika memang hanya itu satu-satunya citacitaku yang akan abadi, memang hanya sampai di situ mimpi orang-orang seperti kami.
Kadang kami iri dengan kehidupan di luar sana. Kadang kami bertanya kepada Tuhan,
kenapa harus Palestina?
“Jika kau diberi kesempatan untuk melakukan sesuatu yang dapat merubah nasib
Palestina, di hari terakhir kau akan hidup, apa yang akan kau lakukan?” tanyaku kepada
Ibrahim.
“Kalau aku? Aku? Mungkin terdengar konyol. Tapi aku ingin Palestina dan Israel
hidup berdampingan dalam kedamaian. Rasanya tidak mungkin.” Terdengar sedikit tawa di
akhir kalimat.
“Jika memang pada akhirnya kita akan hidup berdampingan, mungkin aku akan
memaafkan mereka.” Aku tersenyum kepada langit. Ibrahim nampak tenang, dia
memejamkan matanya sambil tersenyum. Aku tidak tahu kenapa, tapi hari ini terdengar
seperti mimpi, seolah kami sedang berbaring di taman yang indah, sama seperti dalam
SMA NEGERI 2 SURABAYA
Page 3
4. IKI MILIK Nadya Luqyana Salsabila
mimpiku. Kami memejamkan mata dan tidak menghiraukan suara ribut nan jauh di sana.
Kami nampak bahagia, seolah apa yang kami impikan akan segera terwujud esok hari. Kami
terelelap dalam senyuman di bawah langit yang sama. Langit yang memandang manusia di
bawahnya, manusia yang serakah, manusia yang bekerja, manusia yang pemaaf, dan
manusia yang putus asa.
Mungkin hari itu memang hari yang indah. Telingaku mendengar suara nyaring
sekali, mataku terbuka perlahan dan mendapati sosok Ibrahim sedang berbaring jauh di
pojok ruangan. Sejak kapan kami turun dari atap? Aku sulit menggerakkan tubuhku, rasanya
seperti tertimpa kulkas. Jari-jariku berusaha untuk bergerak, berkeliling sekitarku, basah.
Entah apa yang sedang terjadi, tapi hatiku berkata bahwa ini adalah hari yang indah. Hari
dimana aku dan Ibrahim akan pergi jauh dari tempat ini. Aku melihat dua orang tentara
Israel membalikkan tubuh Ibrahim yang kurasa sudah pergi terlebih dahulu, aku menatap
wajahnya, berdarah-darah, namun tetap saja aku merasa bahwa Ibrahim merasa bahagia
hari ini. Mereka menyeret tubuh Ibrahim dengan kasar keluar ruangan. Mataku bahkan tak
sanggup untuk mengikuti kepergian Ibrahim, terlalu sakit untuk membuka mata. Aku
menyadari di hadapanku ada tiga orang tentara yang siap menyarangkan pelurunya di
keningku. Mereka menatapku sejenak. Mungkin mereka berpikir, apa yang sedang mereka
lakukan. Perlahan aku memejamkan mata, untuk kesekian kalinya. Aku tersenyum. Dan kini
suara nyaring di telingaku semakin memekik. Inilah saatnya aku pergi.
Memang, aku dan Ibrahim hanya dua anak yang bolos sekolah di hari itu. Tapi, kami
punya harapan yang tidak akan pernah gugur. Kami ingin dunia ini damai, kami ingin tinggal
di hamparan hijau tanpa peperangan antar manusia. Kami memang telah pergi, kami
memang sudah kehabisan kesempatan untuk melakukan perubahan bagi Palestina, kami
hanya bisa berharap, suatu hari nanti akan ada anak seperti kami yang juga berani
bermimpi, yang mendapat kesempatan untuk tetap hidup demi kemerdekaan Palestina dan
mewujudkan mimpinya. Cerita ini memang tidak seperti yang diharapkan, tidak seperti akhir
kisah dongeng yang bahagia. Aku bercerita tentang kehidupan, berat, kejam, tidak kenal
ampun. Aku harap, nyawa kami, pemimpi yang hidup di bawah penjajahan di tanah kami
sendiri, akan terbayar suatu hari nanti, dengan kedamaian, cinta, dan hamparan hijau yang
indah.
SMA NEGERI 2 SURABAYA
Page 4