1. SINDI NALURITA (43218010018)
Prof. Dr. Hapzi Ali, Ir, CMA, MM, MPM (Dosen Pengampu)
HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL (HAKI)
A. Definisi Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI)
HAKI merupakan hak eksklusif yang diberikan negara kepada seseorang, sekelompok orang,
maupun lembaga untuk memegang kuasa dalam menggunakan dan mendapatkan manfaat dari
kekayaan intelektual yang dimiliki atau diciptakan. Istilah HAKI merupakan terjemahan dari Intellectual
Property Right (IPR), sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan
WTO (Agreement Establishing The World Trade Organization). Pengertian Intellectual Property Right
sendiri adalah pemahaman mengenai hak atas kekayaan yang timbul dari kemampuan intelektual
manusia, yang mempunyai hubungan dengan hak seseorang secara pribadi yaitu hak asasi manusia
(human right).
Istilah HAKI sebelumnya bernama Hak Milik Intelektual yang selama ini digunakan. Menurut
Bambang Kesowo, istilah Hak Milik Intelektual belum menggambarkan unsur-unsur pokok yang
membentuk pengertian Intellectual Property Right, yaitu hak kekayaan dari kemampuan Intelektual.
Istilah Hak Milik Intelektual (HMI) masih banyak digunakan karena dianggap logis untuk memilih langkah
yang konsisten dalam kerangka berpikir yuridis normatif. Istilah HMI ini bersumber pada konsepsi Hak
Milik Kebendaan yang tercantum pada KUH Perdata Pasal 499, 501, 502, 503, 504.
Sejarah HAKI
Undang-undang mengenai HAKI pertama kali ada di Venice, Italia yang menyangkut masalah
paten pada tahun 1470. Penemu-penemu yang muncul dalam kurun waktu tersebut dan mempunyai
hak monopoli atas penemuan mereka diantaranya adalah Caxton, Galileo dan Guttenberg. Hukum-
hukum tentang paten tersebut kemudian diadopsi oleh kerajaan Inggris tahun 1500-an dan kemudian
lahir hukum mengenai paten pertama di Inggris yaitu Statute of Monopolies (1623). Amerika Serikat
baru mempunyai undang-undang paten tahun 1791. Upaya harmonisasi dalam bidang HAKI pertama kali
terjadi tahun 1883 dengan lahirnya Paris Convention untuk masalah paten, merek dagang dan desain.
Kemudian Berne Convention 1886 untuk masalah copyright atau hak cipta. Tujuan dari konvensi-
konvensi tersebut antara lain standarisasi, pembahasan masalah baru, tukar menukar informasi,
perlindungan mimimum dan prosedur mendapatkan hak. Kedua konvensi itu kemudian membentuk biro
administratif bernama The United International Bureau For The Protection of Intellectual Property yang
kemudian dikenal dengan nama World Intellectual Property Organisation (WIPO). WIPO kemudian
3. 2) Hak Kekayaan Industri
Hak kekayaan industri terdiri dari:
1. Hak Paten (patent): Hak khusus yang diberikan negara kepada penemu atas hasil penemuannya di
bidang teknologi, untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri penemuannya tersebut atau
memberikan pesetujuannya kepada orang lain untuk melaksanakannya.
2. Hak Merk (Trademark)
Berdasarkan Undang-undang Nomor 15/2001 pasal 1 ayat 1, Hak merk (Trademark) adalah tanda yang
berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur
tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.
Merk merupakan tanda yang digunakan untuk membedakan produk/jasa tertentu dengan produk/jasa
yang sejenis sehingga memiliki nilai jual dari pemberian merek tersebut.
3. Rancangan (Industrial Design)
Rancangan dapat berupa rancangan produk industri, rancangan industri. Rancangan industri adalah
suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi, garis atau warna, atau garis dan warna, atau
gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi yang mengandung nilai estetika dan dapat
diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensiserta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu
produk, barang atau komoditi industri dan kerajinan tangan.
4. Rahasia Dagang (Trade Secret) :
Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000: Rahasia Dagang adalah Informasi di bidang teknologi
atau bisnis yang tidak diketahui oleh umum, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan
usaha dan dijaga kerahasiannya oleh pemilik rahasia dagang.
Dalam Pasal 2 Undang-Undang Rahasia Dagang dijelaskan lebih lanjut bahwa lingkup perlindungan
Rahasia Dagang adalah metode produksi, metode pengolahan, metode penjualan atau informasi lain di
bidang teknologi dan/atau bisnis yang memiliki nilai ekonomi dan tidak diketahui masyarakat umum.
5. Indikasi Geografi (Geographical Indications): Tanda yang menunjukkn asal suatu barang yang
karena faktor geografis (faktor alm atau faktor manusia dan kombinasi dari keduanya telah memberikan
ciri dri kualitas tertentu dari barang yang dihasilkan).
6. Denah Rangkaian (Circuit Layout) : Peta (plan) yang memperlihatkan letak dan interkoneksi dari
rangkaian komponen terpadu (integrated circuit), unsur yang berkemampun mengolah masukan arus
listrik menjadi khas dalam arti arus, tegangan, frekuensi, serta parameter fisik lainnya.
7. Perlindungan Varietas Tanaman (PVT) : Hak khusus yang diberikan negara kepada pemulia tanaman
dan atau pemegang PVT atas varietas tanaman yang dihasilkannya untuk selama kurun waktu tertentu
4. menggunakan sendiri varietas tersebut atau memberikan persetujuan kepada orang atau badan hukum
lain untuk menggunakannya.
Konsep HAKI
Setiap hak yang termasuk kekayaan intelektual memiliki konsep yang bernama konsep HAKI. Berikut ini
merupakan konsep HAKI:
1. Haki kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu (UU & wewenang menurut hukum).
2. Kekayaan hal-hal yang bersifat ciri yang menjadi milik orang.
3. Kekayaan intelektual kekayaan yang timbul dari kemampuan intelektual manusia (karya di bidang
teknologi, ilmu pengetahuan, seni dan sastra) dihasilkan atas kemampuan intelektual pemikiran, daya
cipta dan rasa yang memerlukan curahan tenaga, waktu dan biaya untuk memperoleh “produk” baru
dengan landasan kegiatan penelitian atau yang sejenisnya.
Dasar HAKI Karya Intelektual
Berbagai karya intelektual memiliki dasar-dasar tersendiri. Berikut ini merupakan dasar dari HAKI Karya
Intelektual:
1. Hasil suatu pemikiran dan kecerdasan manusia, yang dapat berbentuk penemuan, desain, seni,
karya tulis atau penerapan praktis suatu ide.
2. Dapat mengandung nilai ekonomis, dan oleh karena itu dianggap suatu aset komersial.
Bentuk (Karya) Kekayaan Intelektual
Terdapat berbagai macam bentuk karya intelektual yang dapat digolongkan ke dalam bentuk HAKI.
Berikut ini merupakan bentuk (karya) kekayaan intelektual:
1. Penemuan
2. Desain Produk
3. Literatur, Seni, Pengetahuan, Software
4. Nama dan Merek Usaha
5. Know-How & Informasi Rahasia
6. Desain Tata Letak IC
7. Varietas Baru Tanaman.
Tujuan Penerapan HAKI
Setiap hak yang digolongkan ke dalam HAKI harus mendapat kekuatan hukum atas karya atau
ciptannya. Untuk itu diperlukan tujuan penerapan HAKI. Berikut ini merupakan tujuan penerapan HAKI:
1. Antisipasi kemungkinan melanggar HAKI milik pihak lain
2. Meningkatkan daya kompetisi dan pangsa pasar dalam komersialisasi kekayaan intelektual
5. 3. Dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam penentuan strategi penelitian, usaha dan industri
di Indonesia.
Pengaturan HAKI di Indonesia
Pengaturan HAKI secara pokok (dalam UU) dapat dikatakan telah lengkap dan
memadai. Dikatakan lengkap, karena menjangkau ke-7 jenis HAKI yang telah disebutkan di atas.
Dikatakan memadai, karena dalam kaitannya dengan kondisi dan kebutuhan nasional, dengan beberapa
catatan, tingkat pengaturan tersebut secara substantif setidaknya telah memenuhi syarat minimal yang
ditentukan pada Perjanjian Internasional yang pokok di bidang HAKI.
Sejalan dengan masuknya Indonesia sebagi anggota WTO/TRIP’s dan diratifikasinya beberapa
konvensi internasional di bidang HAKI sebagaimana dijelaskan pada pengaturan HAKI di internasional
tersebut di atas, maka Indonesia harus menyelaraskan peraturan perundang-undangan di bidang HAKI.
Untuk itu, pada tahun 1997 Pemerintah merevisi kembali beberapa peraturan perundangan di bidang
HAKI, dengan mengundangkan:
1. Undang-undang No. 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 6 Tahun 1982
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1987 tentang Hak Cipta.
2. Undang-undang No. 13 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 6 Tahun 1989
tentang Paten.
3. Undang-undang No. 14 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 19 Tahun 1992
tentang Merek.
Selain ketiga undang-undang tersebut di atas, undang-undang HAKI yang menyangkut ke-7 HAKI antara
lain:
1) Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
2) Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten
3) Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merk
4) Undang-undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang
5) Undang-undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri
6) Undang-undang No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
7) Undang-undang No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman
Dengan pertimbangan masih perlu dilakukan penyempurnaan terhadap undang-undang
tentang hak cipta, paten, dan merek yang diundangkan tahun 1997, maka ketiga undang-undang
tersebut telah direvisi kembali pada tahun 2001. Selanjutnya telah diundangkan:
· Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten
6. · Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek (khusus mengenai revisi UU tentang Hak Cipta
saat ini masih dalam proses pembahasan di DPR)
PELANGGARAN HAK CIPTA
Hukum Kekayaan Intelektual (HAKI) di bidang hak cipta memberikan sanksi jika terjadi
pelanggaran terhadap tindak pidana di bidang hak cipta yaitu pidana penjara dan/atau denda, hal ini
sesuai dengan ketentuan pidana dan/atau denda dalam UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
sebagai berikut:
1. Pasal 72 ayat (1) : Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,- (satu juta
rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).
2. Pasal 72 ayat (2) : Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau
menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
3. Pasal 72 ayat (3) : Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk
kepentingan komersial suatu program komputer, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
4. Pasal 72 ayat (4) : Barangsiapa melanggar Pasal 17 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
5. Pasal 72 ayat (5) : Barangsiapa dengan sengaja melanggar Pasal 19, Pasal 20, atau Pasal 49 ayat (3)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).
6. Pasal 72 ayat (6) : Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 24 atau Pasal 55
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).
7. Pasal 72 ayat (7) : Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 25 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,- (seratus lima
puluh juta rupiah).
7. 8. Pasal 72 ayat (8) : Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 27 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,- (seratus lima
puluh juta rupiah).
9. Pasal 72 ayat (9) : Barangsiapa dengan sengaja melanggar Pasal 28 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta
rupiah).
10. Pasal 73 ayat (1) : Ciptaan atau barang yang merupakan hasil tindak pidana hak cipta atau hak
terkait serta alat-alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dirampas oleh negara
untuk dimusnahkan.
11. Pasal 73 ayat (2) : Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bidang seni dan bersifat unik,
dapat dipertimbangkan untuk tidak dimusnahkan.
SANKSI PELANGGARAN RAHASIA DAGANG
Secara pidana, tuntutan dapat dilakukan berdasarkan UU Rahasia Dagang dan Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (KUHP). Tuntutan yang dapat dilakukan berdasarkan UU Rahasia Dagang, dasar
hukumnya adalah Pasal 13 dan Pasal 17(1), yaitu diancam pidana penjara paling lama 2 tahun dan/atau
denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah). Terhadap pelanggaran rahasia dagang
berdasarkan UU No. 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang, hanya dapat dilakukan tuntutan apabila
ada aduan dari pihak yang merasa dirugikan (pasal 17(2)). Jadi pelanggaran rahasia dagang merupakan
delik aduan. Pelanggaran terhadap rahasia dagang dalam KUHP masuk ke dalam lingkup kejahatan.
Dasar hukum yang digunakan adalah Pasal 322 ayat 1 KUHP dimana dinyatakan bahwa bagi orang yang
dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pekerjaannya baik itu
yang sekarang ataupun yang dulu dapat diancam pidana penjara paling lama 9 bulan atau denda paling
banyak sembilan ribu rupiah. Jika pelanggaran rahasia dagang tersebut dilakukan setelah buruh itu tidak
lagi bekerja di perusahaan tersebut dan ia berada pada waktu dimana ia masih harus menjaga rahasia
dagang tersebut maka ketentuan dalam KUHP yang digunakan tidak lagi pasal 322 ayat 1, tetapi
menggunakan pasal 323 ayat 1. Pasal 323 ayat 1 menyatakan bagi orang yang dengan sengaja
memberitahukan hal-hal khusus tentang suatu perusahaan dagang, kerajinan atau pertanian, dimana ia
bekerja atau dahulu bekerja, yang seharusnya dirahasiakan, diancam pidana penjara paling lama 9 bulan
atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah[4]. Dalam pasal 323 ayat 2 disyaratkan pula adanya
pengaduan dari pengusaha untuk dapat mengajukan tuntutan (delik aduan).
SANKSI PELANGGARAN HAK PATEN
1. Menurut Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten (UUP) Pasal 130
8. “Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar hak Pemegang Paten dengan melakukan salah
satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.
2. Menurut Pasal 131
“Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar hak Pemegang Paten Sederhana dengan
melakukan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah)”.
3. Menurut Pasal 132
“Barangsiapa dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat
(3), Pasal 40, dan Pasal 41 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun”.
Dalam pembahasan ini, dapat disimpulkan bahwa HaKI adalah bagian penting dalam
penghargaan suatu karya dalam ilmu pengetahuan, sastra maupun seni dengan menghargai hasil karya
pencipta inovasi-inovasi tersebut agar dapat diterima dan tidak dijadikan suatu hal untuk menjatuhkan
hasil karya seseorang serta berguna dalam pembentukan citra dalam suatu perusahaan atau industri
dalam melaksanakan kegiatan perekonomian.
IMPLEMENTASI KASUS PELANGGARAN HAK MERK
Saya akan mengambil contoh Pelanggaran Hak Merk pada kasus “Sengketa Sepeda Motor Tossa Krisma
dengan Honda Karisma”
Kasus ini berawal dari kesalahan penemu merek. Dilihat dengan seksama antara Krisma dan
Karisma memiliki penyebutan kata yang sama. Tossa Krisma diproduksi oleh PT. Tossa Sakti, sedangkan
Honda Karisma diproduksi oleh PT. Astra Honda Motor.
PT. Tossa Sakti tidak dapat dibandingkan dengan PT. Astra Honda Motor (AHM), karena PT.
AHM perusahaan yang mampu memproduksi 1.000.000 unit sepeda motor per tahun. Sedangkan PT.
Tossa Sakti pada motor Tossa Krisma tidak banyak konsumen yang mengetahuinya, tetapi perusahaan
tersebut berproduksi di kota-kota Jawa Tengah, dan hanya beberapa unit di Jakarta.
Permasalahan kasus ini tidak ada hubungan dengan pemroduksian, tetapi masalah penggunaan
nama Karisma oleh PT. AHM. Sang pemilik merek dagang Krisma (Gunawan Chandra), mengajukan
gugatan kepada PT. AHM atas merek tersebut ke jalur hukum. Menurut beliau, PT. AHM telah
menggunakan merek tersebut dan tidak sesuai dengan yang terdaftar di Direktorat Merek Dirjen Hak
9. Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan HAM. Bahkan PT. AHM diduga telah menggunakan merek
tidak sesuai prosedur, karena aslinya huruf Karisma di desain dengan huruf balok dan berwarna hitam
putih, sedangkan PT. AHM memproduksi motor tersebut dengan tulisan huruf sambung dengan desain
huruf berwana.
Akhirnya permohonan Gunawan Chandra dikabulkan oleh hakim Pengadilan Niaga Negeri.
Namun, PT. AHM tidak menerima keputusan dari hakim pengadilan, bahkan mengajukan keberatan
melalui kasasi ke Mahkamah Agung. PT. AHM menuturkan bahwa sebelumnya Gunawan Chandra
merupakan pihak ketiga atas merek tersebut. Bahkan, beliau menjiplak nama Krisma dari PT. AHM
(Karisma) untuk sepeda motornya. Setelah mendapat teguran, beliau membuat surat pernyataan yang
berisikan permintaan maaf dan pencabutan merek Krisma untuk tidak digunakan kembali, namun
kenyataannya sampai saat ini beliau menggunakan merek tersebut.
Hasil dari persidangan tersebut, pihak PT.Tossa Sakti (Gunawan Chandra) memenangkan kasus
ini, sedangkan pihak PT. AHM merasa kecewa karena pihak pengadilan tidak mempertimbangkan atas
tuturan yang disampaikan. Ternyata dibalik kasus ini terdapat ketidakadilan bagi PT. AHM, yaitu masalah
desain huruf pada Honda Karisma bahwa pencipta dari desain dan seni lukis huruf tersebut tidak
dilindungi hukum.
Dari kasus tersebut, PT. AHM dikenakan pasal 61 dan 63 Undang-Undang No.15 Tahun 2001
tentang merek sebagai sarana penyelundupan hukum. Sengketa terhadap merek ini terjadi dari tahun
2005 dan berakhir pada tahun 2011, hal ini menyebabkan penurunan penjualan Honda Karisma dan
pengaruh psikologis terhadap konsumen. Kini, PT. AHM telah mencabut merek Karisma tersebut dan
menggantikan dengan desain baru yaitu Honda Supra X dengan bentuk hampir serupa dengan Honda
Karisma.
Menurut saya dalam kasus ini nama Karisma yang digunakan oleh PT. AHM adalah perlakuan
perusahaan yang salah, kasus ini dapat dituntut karena PT. AHM telah membuat nama tidak sesuai
dengan prosedur, dikarenakan huruf asli dari huruf Karisma didesain dengan menggunakan font balok
yang berwarna hitam putih. Sedangkan PT. AHM memproduksi sebuah motor dengan bertuliskan huruf
sambung dan desain huruf berwarna. Sehingga hal ini berdampak pada penurunan penjualan Honda
Karisma dan pengaruh psikologis konsumen (pembeli).
DAFTAR PUSTAKA:
1. Ali, Hapzi. 2019. Modul 13, Hak Atas Kekayaan Intelektual.