1. Tulisan ini membahas konsep at-tamakkun (kesanggupan hati) dalam upaya membangun ketaatan kepada Allah. At-tamakkun penting namun kurang dibahas oleh ulama.
2. At-tamakkun memiliki tiga tingkatan: untuk murid, pelancong rohani, dan orang yang memiliki pengetahuan spiritual. Tingkatan tertinggi dicapai melalui konsistensi pengawasan diri dan pencapaian ketaatan sejati.
3. Kesimp
1. 1
Memahami Konsep dan Implementasi
At-Tamakkun
(Disampaikan dalam acara Pengajian Rutin Baitul Hikmah li Tazkiyatin Nafs,
yang diselenggarakan oleh PDM Kota Yogyakarta, pada hari Ahad, tanggal
15 Februari 2015)
Saat ini banyak orang, yang – meskipun telah berusaha keras –
belum mampu untuk mewujudkan dirinya menjadi seorang yang saleh.
Karena terlalu banyaknya kendala yang merintanginya untuk meninggalkan
sejumlah kenikmatan dan janji-janji kenikmatan yang bisa diperoleh dengan
menunda ketaatannya kepada Allah. Mereka – kata para ulama --,
sebenarnya hanya belum memiliki sikap at-tamakkun, sehingga dirinya
masih merasa berat untuk meninggalkan sesuatu yang seharusnya mereka
tinggalkan, dan mengerjakan sesuatu yang seharusnya mereka kerjakan
dalam rangka membangun ketaatannya kepada Allah dengan sebenar-
benarnya.
Kajian tentang at-Tamakkun ini tidak banyak disampaikan oleh para
ulama, karena materi ini merupakan materi yang dianggap sudah terkait
dengan kajian tentang ath-Thâ’ah. Para ulama pada umumnya mencukupkan
diri dalam kajian ath-Thâ’ah. Padahal, sebenarnya materi ini sangat penting
untuk dijelaskan lebih lanjut berkenaan dengan kajian mengenai an-Niyyah
dan al-‘Amal dalam upaya untuk menarik dan mewujudkan sikap al-Ihsân
dan al-Itqân.
Abu Isma’il al-Harawi, pengarang kitab Manâzilus-Sâ'irîn,
melandaskan kajian tentang masalah at-tamakkun (kesanggupan hati) ini
kepada firman Allah,
. . .
“… dan sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini
(kebenaran ayat-ayat Allah) itu menggelisahkan kamu.” (QS ar-
Rûm/30: 60)
Sisi pelandasannya kepada ayat ini sangat jelas, bahwa orang yang
mantap hatinya tidak peduli terhadap banyaknya kesibukan, tidak terusik
oleh pergaulannya dengan orang-orang yang lalai dan batil. Bahkan dia
2. 2
menjadi mantap dengan kesabaran dan keyakinannya, sehingga dia tidak
gelisah karena tindakan mereka terhadap dirinya. Karena itu Allah
berfirman sebelumnya,
. . .
“Maka bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah itu adalah
Benar...” (QS ar-Rûm/30: 60).
Siapa pun yang telah memenuhi hak kesabaran dan yakin bahwa
janji Allah adalah benar, maka dia tidak akan takut karena ulah orang-orang
yang batil dan tidak gelisah karena orang-orang yang tidak yakin. Tetapi
selagi kesabaran atau keyakinannya melemah, atau kedua-duanya melemah,
maka dia akan takut terhadap mereka dan menjadi gelisah karena ulah
mereka. Bahkan mereka bisa menariknya untuk terjebak menjadi golongan
mereka. Dan peluangnya tergantung dari kuat atau lemahnya kesabaran
dan keyakinannya. Bahkan Ibnu Qayyim al-Jauziyah menegaskan, bahwa
Ibnu Taimiyyah pernah menyatakan bahwa “at-Tamakkun” lebih tinggi
nilainya dalam bangunan aqidah dan akhlak seseorang daripada ath-
thuma'ninah; karena at-Tamakkun merupakan indikator yang mengisyaratkan
seseorang telah memiliki kesiapan diri untuk menuju al-istiqâmah.
Selanjutnya Ibnu Qayyim al-Jauziyah menyatakan, bahwa makna
lebih jauh dari at-tamakkun bukanlah sekadar “kesanggupan hati”, tetapi
merupakan “kemampuan” untuk bersikap pada saat berbuat atau tidak
berbuat, yang dalam implementasinya bisa juga disebut al-makânah.
Beliau mengutip firman Allah dalam QS al-An'âm/6: 135,
. . .
“Katakanlah, 'Hai kaumku, berbuatlah sepenuh kemampuan kalian,
sesungguhnya aku pun berbuat (pula)'….”
Menurut Abu Isma’il al-Harawi, sebagaimana pendapat Ibnu
Taimiyah, at-tamakkun lebih tinggi tingkatannya daripada ath-thuma'ninah.
Sebab ath-thuma'ninah termasuk jenis kecenderungan. Hati menjadi
thuma'ninah (tentram) karena sesuatu yang membuatnya tenang. Terkadang
hal ini sanggup dilakukan dan terkadang tidak sanggup dilakukan. Karena
itu at-tamakkun tidak sekadar disebut sebagai sebab yang melandasi, tetapi
3. 3
disebutnya sebagai tujuan yang akan ditempati ketika seseorang melakukan
tindakan apa pun. Sehingga kesiapan hati seseorang benar-benar berada
dalam keadaan tertata.
Berkaitan dengan tingkatan-tingkatannya, Ibnu Qayyim al-
Jauziyyah menyatakan bahwa, at-tamakkun itu ada tiga macam, yaitu:
1. Tamakkun al-Murîd. Seorang murid harus menghimpun kebenaran
tujuan yang mendorong perjalanannya, kejelasan ilmu yang
membawanya dan keluasan jalan yang melapangkan hatinya. Murîd
dalam istilah golongan ini adalah orang yang sudah menetapkan
pilihan untuk melakukan perjalanan kepada Allah. Jadi tingkatannya
di atas al-Âbid (Ahli Ibadah). Ini hanya sekadar istilah yang
disesuaikan dengan keadaan orang-orang yang mengadakan
perjalanan itu. Sebab di luar istilah itu, al-Âbid juga bisa disebut al-
Murîd dan al-Murîd bisa disebut al-Âbid. Dia menyebutkan bahwa
ada tiga perkara yang berkaitan dengan tamakkun dalam derajat ini:
Pertama, kebenaran tujuan; kedua, kebenaran ilmu dan ketiga:
keluasan jalan. Dengan kebenaran tujuan, maka perjalanannya
menjadi benar. Dengan kebenaran ilmu, akan terkuak jalan yang akan
dilewati. Dengan keluasan jalan, maka perjalanannya menjadi
mudah.
2. Tamakkun as-Sâlik (orang yang sedang mengadakan perjalanan), yaitu
dengan menghimpun kebenaran pemutusan, kilat pengungkapan
dan sinar keadaan. Derajat ini lebih sempurna daripada derajat yang
pertama. Yang pertama merupakan tamakkun dalam meluruskan
tujuan amal, sedangkan derajat ini merupakan tamakkun dalam
keadaan tamakkun (at-tamakkun fî at-tamakkun). Yang dimaksud
kebenaran pemutusan ialah: pemutusan hati dari segala hal yang bisa
mengotorinya. Jika begitu keadaannya, maka hati akan memeroleh
sinar pengungkapan, yang menempatkan iman seperti sesuatu yang
dapat dilihat dengan mata kepala.
3. Tamakkun al-Ârif (orang yang memiliki ma’rifah), yang diperoleh
dalam al-hadhrah (kemuliaan kebersamaan; sebuah istilah yang
menggambarkan kehadiran dirinya di sisi Allah dan – sekaligus –
kehadiran Allah di dalam dirnya) di atas hijâb pencarian, dengan
mengenakan nûr al-wujûd (cahaya keberuntungan; sebuah istilah
yang mengisyaratkan perolehan rahmat dan hidayah Allah). Orang
yang memiliki ma’rifah lebih khusus dan lebih tinggi daripada orang
yang mengadakan perjalanan. Tetapi menurut pendapat Ibnu
4. 4
Qayyim al-Jauziyah hal ini bukanlah merupakan “al-hadhrah”, yang
terjadi dengan serta-merta karena at-taraqqî (tindakan yang sedang
dilakukan yang berwujud proses pencarian yang menghasilkan
sesuatu, semata-mata karena usaha manusia), namun merupakan
kemuliaan yang terjadi karena adanya konsistensi al-murâqabah
(pengawasan-melekat yang berasal dari Allah) dan perolehan maqâm
al-ihsân, yang merupakan ciri khusus para nabi dan orang-orang yang
memiliki ma’rifah. Penafsiran ini lebih tepat dan lebih benar. Orang
yang memiliki kemuliaan ini tidak dikepung oleh mendung kelalaian
dan tidak disibukkan oleh hal-hal yang berpeluang untuk
menjadikan dirinya terlena. Perkataan orang yang menyatakan
bahwa dirinya telah berada “di atas hijab pencarian”, bahkan ada
orang yang meyatakan bahwa orang yang memiliki ma’rifah akan
naik dari kedudukan pencarian ma’rifah ke kedudukan perolehannya.
Orang yang mencari sesuatu berbeda dengan orang yang sudah
memerolehnya. Orang yang mencari berarti masih berada di balik
hijab pencariannya. Sementara orang yang memiliki ma’rifah naik dari
hijab pencarian, karena dia sudah menyaksikan hakikat. Perkataan
semacam ini perlu mendapatkan kejelasan lebih lanjut. Sebab
pencarian tidak pernah lepas dari hamba selagi hukum-hukum
‘ubudiyyah masih berlaku pada dirinya. Tetapi maksudnya adalah
beralih di beberapa kedudukan pencarian, berpindah dari satu
‘ubudiyyah ke ‘ubudiyyah yang lain, namun dalam setiap
‘ubudiyyahnya sesembahannya tetap satu, tidak beralih dari-Nya
(Allah). Bagaimana mungkin posisi (maqâm) ma’rifah (yang telah
diperoleh seseorang) bisa membebaskan seseorang dari (proses)
pencarian? Ini merupakan masalah, yang karenanya banyak orang
yang terpeleset kakinya, dan orang-orang yang tertipu beranggapan
bahwa mereka tidak memerlukan proses pencarian lagi karena sudah
mencapai posisi ma’rifah. Mereka menyatakan bahwa pencarian
merupakan sarana dan ma’rifah merupakan tujuan, sehingga tidak
ada gunanya menyibukkan diri dengan sarana jika tujuan sudah
teraih. Innu qayiim al-Jauziyah menyatkan bahwa mereka yang
beranggapan seperti ini adalah orang-orang yang keluar dari agama
secara total, setelah mereka menyimpang dari jalan (yang benar).
Wallâhu a’lamu bish Shawâb.