2. IMAN
Iman dari bahasa Arab yang artinya percaya.
Sedangkan menurut istilah, pengertian iman adalah
membenarkan dengan hati, diucapkan dengan lisan,
dan diamalkan dengan tindakan (perbuatan).
Pengertian iman kepada Allah adalah
membenarkan dengan hati bahwa Allah itu benar-
benar ada dengan segala sifat keagungan dan
kesempurnaanNya, kemudian pengakuan itu
diikrarkan dengan lisan, serta dibuktikan dengan
amal perbuatan secara nyata.
3. KUFUR
Kufur secara bahasa artinya menutupi, oleh karena itu
malam dalam bahasa arab dinamai kafir karena ia
menutupi siang, dan petani juga disebut kafir karena ia
menutupi biji dgn tanah. Adapun secara istilah, kufur ada
dua macam yaitu kufur akbar dan kufur ashgar.
• Kufur akbar adalah kufur yang mengeluarkan
pelakunya dari islam
• Kufur ashgar adalah kufur yang tidak mengeluarkan
pelakunya dari islam seperti berhukum dengan hukum
selain Allah, dosa-dosa besar seperti zina, kufur kepada
suami dsb.
Kufur ini bisa menjadi kufur akbar bila ia meyakini
kehalalannya dengan mengatakan bahwa Allah
menghalalkannya.
4. Kufur
Takdzir
•Mendustakan islam dengan hati dan lisan. Ia meyakini bahwa islam adalah dusta dan
mengatakan dengan lisannya. (Al Mulk: 9).
Kufur
Juchud
•Meyakini kebenaran islam dengan hatinya namun lisannya mendustakan bahkan memerangi dgn
anggota badan. Contohnya adalah kufurnya fir’aun dan kuffar quraisy.
Kufur
Istikbar
•Meyakini kebenaran islam dengan hati dan lisannya, namun ia bersombong diri dan tidak mau
menerima islam dan melaksanakannya karena sombong dan menganggap remeh. Dan kufur ini
disebut juga dengan kufur ‘ienad. Contohnya kufur iblis la’natullah ‘alaih
Kufur
I’radl
•Berpaling dari islam, tidak membenarkan dan juga tidak mendustakan. (Thaha: 124).
Kufur
Nifaq
•Mendustakan islam dengan hatinya dan memperlihatkan keimanan dengan lisan dan badannya,
seperti kufurnya Abdullah bin Ubay bin Salul gembong munafiq.
Kufur
Syakk
•Meragukan kebenaran islam dan para rasul.
5. Konsep Iman dan Kufur
Perkataan iman berasal dari bahasa Arab yang berarti
tashdiq (membenarkan), dan kufur juga dari bahasa Arab
berarti takzib (mendustakan).
Menurut Hassan Hanafi, ada empat istilah kunci yang
biasanya dipergunakan oleh para teologi muslim dalam
membicarakan konsep iman, yaitu:
• Ma’rifah bi al-aql, (mengetahui dengan akal).
• Amal, perbuatan baik atau patuh.
• Iqrar, pengakuan secara lisan, dan
• Tashdiq, membenarkan dengan hati, termasuk pula di
dalamnya ma’rifah bi al-qalb (mengetahui dengan hati).
6. Iman adalah tashdiq di dalam hati dan kufur ialah
mendustakan di dalam hati akan wujud Allah dan
keberadaan nabi atau rasul Allah. Menurut konsep ini,
iman dan kufur semata-mata urusan hati, bukan terlihat
dari luar. Jika seseorang sudah tashdiq
(membenarkan/meyakini) akan adanya Allah, ia sudah
disebut beriman, sekalipun perbuatannya tidak sesuai
dengan tuntunan ajaran agama.Konsep Iman seperti ini
dianut oleh mazhab Murjiah, sebagaian penganut
Jahmiah, dan sebagaian kecil Asy’ariah.
7. Iman adalah tashdiq di dalam hati dan di
ikrarkan dengan lidah. Dengan kata lain,
seseorang bisa disebut beriman jika ia
mempercayai dalam hatinya akan keberadaan
Allah dan mengikrarkan (mengucapkan)
kepercayaannya itu dengan lidah. Konsep ini
juga tidak menghubungkan iman dengan amal
perbuatan manusia. Yang penting tashdiq dan
ikrar.Konsep iman seperti ini dianut oleh
sebagian pengikut Maturidiah
8. Iman adalah tashdiq di dalam hati, ikrar dengan
lisan, dan dibuktikan dengan perbuatan, konsep
ketiga ini mengaitkan perbuatan manusia
dengan iman. Karena itu, keimanan seseorang
ditentukan pula oleh amal perbuatannya.
Konsep ini dianut oleh Mu’tazilah, Khawarij, dan
lain-lain.
9. Sejarah Timbulnya Perbedaan
Tentang Iman dan Kufur
Masalah iman dan kufur pertama kali muncul pada
pemerintahan Khalifah Ali Bin Abi Thalib yang ketika itu terjadi
peperangan dengan Mu’awiyah Bin Abu Sofyan dari bani
Umayyah lantaran tidak setuju terhadap pemerintahan Khalifah
Ali Bin Abi Thalib. Peperangan Siffin tersebut hampir di
menangkan pihak pasukan Ali Bin Abi Thalib, namun karena
kelicikan dari pihak Mu’awiyah Bin Abi Sofyan, mereka meminta
untuk berdamai sebagai dalih untuk menggulingkan
pemerintahan Khalifah Ali Bin Abi Thalib
10. Khalifah Ali Bin Abi Thalib menerima ajakan damai
tersebut karena desakan dari salah satu pasukan Ali Bin
Abi Thalib, Perdamaian tersebut menghasilkan perjanjian
yang justru merugikan Kalifah Ali Bin Abi Thalib, yang
menjadikan Mu’awiyah Bin Abu Sofyan dengan sendirinya
diangkat menjadi Khalifah tidak resmi. Karena hal itu
muncullah golongan yang disebut Khawarij yang keluar
dari barisan Ali Bin Abi Thalib lantaran tidak setuju
dengan keputusan Ali Bin Abi Thalib yang menerima
ajakan tahkim (arbitrase), bahkan mereka mengatakan Ali
Bin Abi Thalib dan semua yang terlibat dalam tahkim itu
telah kafir, Karena menurut Khawarij mereka tidak
mengembalikan hukum pada al-Qur’an.
11. Menurut aliran khawarij
Subsekte Khawarij yang sangat ekstrim, Azariqah,
menggunakan istilah yang lebih mengerikan
daripada kafir yaitu musyrik. Mereka memandang
musyrik bagi siapa saja yang tidak mau bergabung
ke dalam barisan mereka, sedangkan pelaku dosa
besar dalam pandangan mereka telah beralih status
keimanannya menjadi kafir millah (agama), dan itu
berarti ia telah keluar dari Islam. Si kafir semacam
ini akan kekal di neraka bersama orang-orang kafir
lainnya.
12. Subsekte Nadjah tak jauh berbeda dari Azariqah.
Kalau Azariqah memberikan predikat musyrik
kepada umat Islam yang tidak mau bergabung
dengan kelompok mereka, Nadjah pun memberikan
predikat yang sama kepada siapapun dari umat
Islam yang secara berkesinambungan mengerjakan
dosa kecil. Akan halnya dengan dosa besar, bila
tidak dilakukan secara kontinu, pelakunya tidak
dipandangan musyrik, tetapi kafir. Namun, jika
pelakunya melaksanakan terus-menerus, ia akan
menjadi musyrik.
13. Iman dalam pandangan Khawarij, tidak semata-
mata percaya kepada Allah. Mengerjakan segala
perintah kewajiban agama juga merupakan bagian
dari keimanan. Segala perbuatan yang berbau
religius, termasuk di dalamnya masalah kekuasaan
adalah bagian dari keimanan (al-amal juz’un al-
iman). Dengan demikian, siapapun yang
menyatakan dirinya beriman kepada Allah bahwa
Muhammad adalah Rasul-Nya, tetapi tidak
melaksanakan kewajiban agama dan malah
melakukan perbuatan dosa, ia dipandang kafir oleh
Khawarij.
14. Menurut aliran murjiah
Mereka berpendapat bahwa iman adalah
tashdiq secara kalbu saja, atau ma’rifah Allah
dengan kalbu, bukan secara demonstrative, baik
dalam ucapan maupun tindakan. Oleh karena
itu, jika seseorang telah beriman dalam hatinya,
ia tetap dipandang sebagai seorang mukmin
sekalipun menampakkan tingkah laku seperti
Yahudi atau Nasrani.
15. Subsekte Murji’ah yang ekstrim adalah mereka
yang berpandangan bahwa keimanan terletak di
dalam kalbu. Adapun ucapan dan perbuatan
tidak selamanya menggambarkan apa yang ada
di dalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan
dan perbuatan seseorang yang menyimpang
dari kaidah agama tidak berarti menggeser atau
merusak keimanannya, bahkan keimanannya
masih sempurna dalam pandangan Tuhan.
16. Sementara yang dimaksud Murji’ah moderat ialah
mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa
besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa di
neraka, ia tidak kekal di dalamnya, bergantung pada
dosa yang dilakukannya. Kendatipun demikian,
masih terbuka kemungkinan bahwa Tuhan akan
mengampun dosanya sehingga bebas dari siksaan
neraka. Cirri khas mereka lainnya adalah
dimasukkannya iqrar sebagai bagian penting dari
iman, di samping tashdiq (ma’rifah).
17. pendapat Abu Hanifah tentang pelaku dosa
besar dan konsep iman tidak jauh berbeda
dengan kelompok Murji’ah moderat lainnya. Ia
berpendapat bahwa seorang pelaku dosa besar
masih tetap mukmin, tetapi bukan berarti
bahwa dosa yang diperbuatnya tidak
berimplikasi. Andaikata masuk neraka, karena
Allah menghendakinya, ia tak akan kekal di
dalamnya.
18. MUKTAZILAH
Setiap pelaku dosa besar, menurut Mu’tazilah
menempati posisi tengah di antara posisi
mukmin dan posisi kafir. Jika meninggal dunia
sebelum bertobat, ia akan dimasukkan ke dalam
neraka selama-lamanya. Namun, siksaan yang
bakal diterimanya lebih ringan darpada siksaan
orang kafir.
19. Harun Nsution menjelaskan bahwa
menurut Mu’tazilah sangat menekankan
pentingnya menjelaskan bahwa menurut
Mu’tazilah, segala pengetahuan dapat
diperoleh dengan perantaraan akal dan
segala kewajiban dapat diketahui dengan
pemikiran yang mendalam. Dengan
demikian, menurut mereka, iman
seseorang dapat dikatakan benar apabila
didasarkan pada akal bukan karena taqlid
kepada orang lain.
20. MENURUT ALIRAN ASY’ARIYAH
Di antara definisi iman yang diinginkan Al-Asy’ari
dijelaskan oleh Asy-Syahrastasi, salah seorang teolog
Asy’ariyah. Asy-Syahrastani menulis: “Al-Asy’ari berkata:
“... iman adalah tashdiq bi al janan (membenarkan
dengan kalbu). Sedangkan ‘mengatakan’ (qawl) dengan
lisan dan melakukan berbagai kewajiban utama (amal bi
al-arkan) hanyalah merupakan cabang-cabang iman. Oleh
sebab itu, siapa pun yang membenarkan keesaan Tuhan
dengan kalbunya dan juga membenarkan utusan-
utusanNya beserta apa yang mereka bawa darinya, iman
orang semacam itu merupakan iman yang sahih ... Dan
keimanan seorang tidak akan hilang kecuali jika ia
mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut.”
21. MENURUT ALIRAN
MATURIDIYAH
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah
Samarkand berpendapat bahwa iman adalah
tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar bi
al-lisan. Pengertian ini dikemukakan oleh Al-
Maturidi sebagai bantahan terhadap Al-
Karamiyah, salah satu subsekte Murji’ah
22. Adapun pengertian iman menurut Maturidiyah
Bukhara adalah tashdiq bi al-qalb dan tashdiq bi
al-lisan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tashdiq bi
al-qalb adalah meyakini dan membenarkan
dalam hati tentang keesaan Allah dan rasul-
rasulNya beserta risalah yang dibawanya.
Adapun yang dimaksud engan tashdiq bi al-lisan
adalah mengakui kebenaran seluruh pokok
ajaran Islam secara verbal.
23. Maturidiyah Bukhara mengembangkan
pendapat yang berbeda. Al-Bazdawi menyatakan
bahwa iman tidak dapat berkurang, tetapi bisa
bertambah dengan adanya ibadah-ibadah yang
dilakukan. Al-Bazdawi menegaskan hal tersebut
dengan membuat analogi bahwa ibadah-ibadah
yang dilakukan berfungsi sebagai bayangan dari
iman. Jika bayangan itu hilang, esensi yang
digambarkan oleh bayangan itu tidak akan
berkurang. Sebaliknya, dengan kehadiran
bayang-bayang (ibadah) itu, iman justru menjadi
bertambah.