SlideShare a Scribd company logo
1 of 70
Download to read offline
TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN
HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY)
November 11, 2019
Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​1
TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN
HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY)
November 11, 2019
TERMINOLOGI TASAWUF
(Istilah kata-kata dalam bahasa tasawuf)
1. W A K T U
Esensi waktu (al-Waqt). Menurut penelaah ahli hakikat, adalah suatu peristiwa yang
terbayangkan, yang hasilnya dikaitkan pada peristiwa yang terjadi. Peristiwa yang terjadi
merupakan waktu bagi peristiwa yang dibayangkan (akan datang). Seperti kalimat, “Anda di
datangi awal bulan”, maka, “kedatangan” merupakan sesuatu yang terbayang. Sedangkan awal
bulan adalah sesuatu yang terjadi nyata. Awal bulan berarti waktu bagi kedatangan.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq ra. Berkata : “Waktu adalah sesuatu yang
Anda berada di dalamnya. Kala Anda di dunia, maka waktu Anda adalah dunia. Bila di akhirat,
maka waktu Anda adalah akhirat. Ketika Anda senang, itulah waktu Anda. Kalau Anda susah,
susah itulah waktu Anda.” Maksud Syeikh tadi, waktu memiliki definini yang umum bagi
manusia.
Ada kala waktu diartikan sebagai zaman. Ada kalangan yang mengatakan, waktu
merupakan sesuatu antara dua zaman. Yang lampau dan yang akan datang.
Mereka juga mengatakan, bahwa orang Sufi merupakan anak sang waktu. Kalimat
tersebut dimaksudkan, bahwa sang Sufi disibukkan dengan priorotas utama yang harus
dikerjakan ketika itu, mandiri terhadap perolehan seketika.
Dikatakan : “Orang fakir tidak mementingkan apa yang telah lewat dan yang akan tiba
dalam waktunya, tapi lebih mementingkan apa yang ada pada saat itu.” Dikatakan :
“Menyibukkan terhadap waktu yang berlalu, berarti menelantarkan waktu berikutnya.”
Terakdang mereka bermaksud mendefinisikan waktu sebagai sesuatu yang dilakukan
ooleh Al-Haq kepada mereka tanpa adanya pilihan bagi mereka. Mereka mengatakan ( si Fulan
dengan hukum waktu). Yakni : Fulan menyerahkan diri kepada yang tampak dari yang ghaib
tanpa usahanya sendiri. Yaitu dalam hal yang tidak masuk kategori perintah Allah swt, atau
terapan menurut hukun syariat. Karena adanya penelantaran terhadadap apa yang diperintah
dan merekayasa dalam waktu untuk mengalahkan takdir, di samping meninggalkan kepedulian
terhadap sesuatu yagn Anda hasilkan melalui penyimpangan, berarti keluar dari agama.
Mereka berkata : “Waktu adalah pedang”. Sebagaimana fungsi pedang itu sendiri untuk
memotong. Maka waktu, disebabkan oleh kebenaran yang berlalu, yang memenangkan
kebenaran, akan melewatinya.
Dikatakan : “Pedang sangat halus sentuhannya, namun tajam sayatannya. Barangsiapa
menghindarinya (berkelit) akan selamat dan barangsiapa bertindak kasar akan tertebas
olehnya. Begitu juga waktu, siapa yang mencurahkan pada hukum waktu akan selamat, dan
barangsiapa menentangnya akan tertebas dan jatuh dalam kehancuran.”
Seperti dalam bait ini :
Dan seperti pedang..
Jika tak mencegahnya untuk menyentuh
Tajamnya, kalau mengasari tergoreslah.
Barangsiapa ditolong sang waktu, maka waktu hanya baginya. Dan barangsiapa
menentangnya, sang waktu pun akan marah ke padanya.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Waktu adalah pembubut yang akan
menggilasmu, namun tidak melenyapkanmu. Yakni, jika melenyapkan dan menyirnakanmu,
pasti bersih ketika dirimu sirna. Akan tetapi waktu mengambilmu, tanpa melenyapkanmu sama
sekali.”
Sang Syeikh bersyair :
Setiap hari ia lewat meraih tanganku..
Memberikan penyesalan dalam hatiku..
Kemudian... ia berlalu..
Dalam syair pula :
Seperti penghuni neraka
Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​2
TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN
HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY)
November 11, 2019
Jika kulit-kulitnya terpanggang matang..
Kembali pula kulit itu,
Bagi suatu penderitaan.
Dikatakan :
Bukanlah orang mati itu
Orang istirahat sebagai mayit.
Tetapi orang mati itu
Kematian hidupnya.
Orang cerdas adalah orang yang berada dalam hukum waktunya. Apabila waktunya
adalah sadar dalam Ilahi (ash-shahw), maka ia tegak mandiri dengan syari’at. Apabila waktunya
adalah sirna dalam Ilahi, yang kompeten adalah hukum-hukum hakikat.
2. M A Q A M
Maqam adalah tahapan adab (etika) seorang hamba dalam wushul kepada-Nya dengan
macam upaya, di-wujud-kan dengan suatu tujuan pencarian dan ukuran tugas. Masing-masing
berada dalam tahapannya sendiri ketika dalam kondisi tersebut, serta tingkah laku riyadhah
menuju ke pada-Nya.
Syaratnya, seorang hamba tidak akan menaiki dari satu maqam ke maqam lainnya
sebelum terpenuhi hukum-hukum maqam tersebut. Barangsiapa yang belum sepeuhnya
qana’ah, belum bisa mencapai tahap tawakkal. Dan siapa yang belum bisa tawakal tidak sah
bertaslim. Siapa yang tidak bertobat, tidak sah pula ber inabat, dan barang siapa tidak wara’
tidak sah untuk ber zuhud.
Al-Maqam berarti iqamah, sebagaimana kata al-madkhal berarti idkhaal, dan al-makhraj
berarti al-ikhraaj. Tidak seorang pun sah menahapi suatu maqam, kecuali dengan penyaksian
terhadap kedudukan Allah swt. terhadap dirinya dengan maqam tersebut, yang dengannya
strutur bangunan ruhaninya benar menurut pondasi yang shahih.
Saya mendangar Abu ali- al-Daqqaq r.a. berkata : “Ketika al-Wasithy masuk ke Naisabur,
bertanyalah ia kepada santri Abu Utsman, : “Apa yang diperintahkan Syeikh kalian kepada
kalian? Mereka menjawab : “Kami diperintah untuk menetapi taat serta melihat dan meneliti
penyimpangan di dalamnya.” Maka al-Wasithy berkata, “Syeikh kalian memerintah dengan
cara Majusi murni? Apakah Syeikh kalian tidak memerintah diri kalian dengan hal yang gaib
dengan memandang ke pada Yang Memunculkan dan Menjalankan yang gaib? Maksud al-
Wasithy dengan kta-kta itu, agar mereka menjaga diri dari posisi takjub. Bukannya menaiki ke
arah wilayah penyimpangan atau keteledoran (taqshir), karena yang demikian bisa merusakkan
adanya cacat dalam adab.
3. H A A L
Al-Haal (kondisi ruhani) menurut banyak orang merupakan arti yag intuitif dalam hati;
tanpa adanya unsur sengaja, usaha menarik, dan usaha lainnya, dari rasa senang atau sedih,
leluasa atau tergenggam, rindu atau berontak, rasa takut atau suka cinta, maka setiap al-Haal
merupakan karunia. Dan stiap Maqam adalah upaya. Pada al-Haal datang dari Wujud itu
sendiri, sedang al-Maqam diperoleh melalui upaya perjuangan. Orang yang memiliki Maqam,
menempati maqamnya, dan orang yang berada dalam Haal, bebas dari kondisinya.
Dzunnun al-Mishri ditanya tentang Al-‘Arif. Dia menjawab, Al-‘arif itu ada disini, lalu dia
pergi.
Salah seorang guru berkata : “Beberapa al-Haal seperti kilatan kalau menetap, itu sekedar
omongan nafsu.”
Mereka berkata : “Al-Haal sebagaimana namanya, yakni al-Haal seperti ketika menempati
dalam kalbu, kemudian hilang.
Kalau tidak menempati, pasti tidak dinamakan haal.
Dan setiap yang menempati, pastilah hilang,
Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​3
TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN
HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY)
November 11, 2019
Lihatlah pada bayangan ketika sampai ujungnya
Berkuranglah ketika ia memanjang
Beberpa kalangan mengisyaratkan abadinya al-Haal. Mereka berkata : “Sebenarnya jika
al-Haal tidak abadi dan tidak terdelegasi, itu hanyalah kilatan belaka. Pelakunya tidak sampai
pada al-Haal yang sebenarnya. Apabila predikat tersebut menetap terus, dinamkan al-Haal.”
Di sinilah Abu Utsman al-Hiry berkata “Aku tidak pernah benci terhadap maqam yang
telah diberikan Allah swt. Kepadaku.” Ia mengisyaratkan ketetapan abadinya dalam ridha. Dan
ridha merupakan bagian dari al-Haal.
Seharusnya dikatakan : Orang yang mengisyaratkan abadinya al-Haal, maka apa yang
dikatakannya benar. Terkadang al-Haal berarti bagian dari seseorang kemudian terpelihara di
dalamnya. Tetapi yang memiliki al-Haal ini memiliki beberapa ihwal, yaitu jalan-jalan yang tak
menetap di atas ihwal-ihwalnya yang menjadi bagiannya. Bila jalan-jalan yang ditempuh
menetap secara konsisten, seperti menetapnya ihwal-ihwal tersebut, ia naik ke ihwal lain yang
lebih lembut. Dan begitu selanjutnya, naik ke tahap seterusnya.
4. QABDH DAN BASTH
Kedua istilah ini merupakan kondisi ruhani setelah seseorang hamba menahapi tingkah
laku al-Khauf dan ar-Raja’. Al-Qabdh di mata seorang arif sama kedudukannya dengan tahap
al-Khauf di mata pemula. Sedangkan al-Basth, setara kedudukannya dengan a-Raja’ di mana
pemula yang mencari jalan kepada Allah swt.
Perbedaan antara Qabdh, Khauf, Basth dan Raja’
Al-Khauf : Muncul dari sesuatu di masa depan, terkadang takut kehilangan sang kekasih,
atau datangnya sesuatu yang ditakuti.
Ar-Raja’ : Membayangkan sang kekasih di masa depan atau sesuatu yang ditampakkan
akan hilangnya yang ditakuti, serta yang dibenci, bagi mereka yang pemula (dalam dunia Sufi).
Al-Qabdh : Tahap ruhani yang maknanya yang dihasilkan dalam waktu seketika, begitu
juga al-Basth.
Orang yang mempunyia khauf dan raja’, hatinya bergantung dalam dua kondisi waktu di
depannya. Sedangkan yang memiliki qabdh dan basth, waktunya diambil oleh yang
mengalahkan dalam kekinian. Hanya saja predikatnya terpaut dalam qabdh dab bats menurut
keterpaduan ihwal mereka. Dari segi yang datang, qabdh menjadi keharusan, namun menetapi
sesuatu yang lain, karena tak terpenuhi. Dan ddari segi yang tergenggam (al-maqbudh), tidak
ada jalan selain dominsai pendatang di dalam dirinya. Karena diambil secara keseluruhan dari
pihak pendatang tersebut.
Demikian pula yang dileluasakan (al-mabsuth), Kadang-kadang di dalamnya ada basth
yang membuat sang makhluk menjadi luas, sehingga tidak takut terhadap segala hal. Ia menjadi
mambsuth, tiada sesuatu pun berpengaruh di dalamnya, dari satu ihwal ke ihwal lain.
Saya mendengar Abu ali al-Daqqaq r.a. berkata : “Sebagian orang memasuki tempat Abu
Bakr al-Qihthy. Di sana ada seorarng anak sedang bermain sebagaimana permainan anak-anak
muda lainnya (yang bisa merusak hatinya). Orang-orang itu melewati tempat anak tersebut,
dan tampaknya ia tenggelam dalam permainan dengan teman-temannya. Mereka merasa ibi
kepada al-Qihthy, serayaa berkata, ‘Kasihan Syeikh, bagaimana digoda oleh anak-anak jelek itu?
Ketika mereka memasuki rumah al-Qihthy, ia menemuinya seakan-akan tak ada berita sedikit
pun soal mainan-mainan itu, lalu mereka pun heran. Mereka berkata. ‘Anda menebus orang
yang tidak dapat dipengaruhi puncak-puncak bukit?’ Al-Qihthy menjawab : “Sesungguhnya
kami telah dibebaskan dari belenggu segala hal dalam azali.” (artinya, ia telah tenggelam dalam
keparipurnaan ubudiyah kepada Allah swt. sehingga tidak ada yang berpengaruh selain Allah
swt.).
Kewajiban terendah dalam qabdh, adanya subyek dalam hatinya yang mengharuskan
bentuk isyarat cacat pada diri, atau adanya rumus yang di dalamnya seseorang berhak untuk
bersopan santun (adab), sehingga dalam kalbunya mendapatkan qabdh.
Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​4
TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN
HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY)
November 11, 2019
Terkadang yang datang dalam kalbunya merupakan isyarat untuk mendekat, atau yang
diterima merupakan kelembutan dan ketentraman, sehingga kalbu mendapatkan basth. Secara
global, wabdh masing-masing pelaku tergantung kualitas basth-nya, begitu juga basth-nya
diukur menurut qabdh-nya.
Terkadang sebab musabab qabdh menimbulkan musykil bagi pelakunya. Dalam kalbunya
ditemukan qabdh yang tidak dimengerti apa keharusan dan sebabnya. Keharusan yang dijalani
pelaku seperti ini alah taslim, sehingga waktu seperti itu berlalu. Sebab jika dicari, justru akan
menghalanginya. Atau ia menghadap waktu sebelum jatuh padanya, lewat ikhtiarnya, sehingga
berharap wabdh-nya bertambah. Barangkali hal itu tergolong su’ul adab. Jika menyerahkan diri
pada hukum waktu, maka dari dekat akan menghilangkan al-qabdh. Sesungguhnya Allah swt.
berfirman :
“Dan sesungguhnya Allah menyempitkan dan melapangkan, dan kepada-Nya-lah kamu
dikembalikan,” (Qs. Al-Baqarah : 245).
Terkadang basth datang seketika, tanpa si pelaku tahu sebabnya, sehingga ia pun
terkejut. Jalan yang harus ditempuh, jika demikian, ia harus tenang dn menjaga adab. Pada
waktu itu, ia sedang mengalami bisikan yang besar. Karena itu, si pelaku harus menghindari
makar yang samar di daamnya. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh sebagian Sufi, “Telah dibuka
padaku, pintu basth, kemudian diriku terguncang hebat, lantas aku pun tertutup dari
maqamku.” Karenanya berkatalah mereka, “Bertetaplah apda kelapangan (al-bisath) dan
hati-hatilah, berupaya melapangkan.”
Ada ahli hakikat (tahqiq) mengategorikan perilaku qabdh dan basth tergolong sesuatu
yang mereka mohonkan perlindungan. Karena keduanya disandarkan pada yang diatasnya
berupa tahap kehancuran hamba, sedangkan upaya hamba memasukinya dalam dunia hakikat
dapat melahirkan fakir dan bahaya.
Al-Junayd berkta : “Al-Khauf dari Allah membuatku tergenggam, Dan ar-Raja’ dari Allah
membuatku lapang. Hakikat telah mengumpulkan diriku. Dan Al-Haq memisahkanku. Apabila
Dia membuatku tergenggam adalah khauf, Dia menjadikan diriku fana’ dari diriku. Apabila
ar-Raja’ melapangkanku, Dia mengembalikan kepadaku. Apabila diriku terintegrasi hakikat,
maka Dia menghadirkanku. Apabila aku dipisahkan Al-Haq, aku disaksikan oleh selain diriku,
kemudian menutupiku, Allah swt. dalam semua hal itu adalah penggerakku tanpa
mengekangku, Dia yang membuatku takut tanpa genmbiraku. Aku dengan kehadiranku,
merasakan rasa wujud-ku. Fana’ku datang dari diriku, membuatku nikmat, atau mengabaikan
dariku, sehingga aku ringan.
5. HAIBAH DAN UNS
Rasa takut sisertai rasa hormat luar biasa (haibah) dan sukacita jiwa (uns) merupakan
tahap dari derajat-derajat dalam al-qabdh dan al-basth. Kalau qabdh berada di atas tingkatan
khauf, dan basth di atas tingkatan raja’, maka haibah lebih tinggi dariapda qabdh, kemudian uns
lebih sempurna daripada basth. (Maksudnya, Uns lebih tinggi tahapannya. Sebab haibah
muncul dari Qabdh, yang bermula dari Khauf. Sedang Uns muncul dari Raja’. Karena orang yang
takut kepada Allah swt, melihat kekurangan dirinya di hadapan Allah, hatinya akan terganggu
oleh-Nya, dan yang tersisa hanyalah sibuk dengan Allah, sehingga muncullah Haibah. Siapa yang
wushul-nya terus menerus, hatinya akan lapang dan mendapatkan uns. Catatan Kaki).
Hak haibah adalah kegaiban. Setiap pelaku haibah senantiasa lebur dalam kegaiban.
Orang-orang yang berada dalam gaib frekuensinya berbeda dalam haibah menurut penjelasan
mereka dalam kegaiban.
Sedangkan hak uns adalah pencerahan dalam kebenaran. Orang yang melakukan uns,
berarti cerah jiwanya. Kemudian frekuensinya berbeda menurut penjelasannya dalam bagian
“minuman jiwa”. Mereka berkata : “Tempat terendah dalam al-uns adalah jika seseorang
dilempar ke dalam neraka Jahanam, sama sekali sukacitanya tidak terpengaruh.”
Al-Junayd berkata : “Aku mendengar batinku berkata : “Seorang hamba bisa ssampai pada
suatu batas seandainya wajahnya tertebas pedang, sama sekali tidak merasakannya.”
Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​5
TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN
HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY)
November 11, 2019
Sedangkan dalam hatiku ada sesuatu, hingga tampak jelas bahwa persoalannya sampai
sedemikian itu.”
Diriwayatkan dari Ahmad bin Maqatil al-Ikky, ia berkata : “Aku memasuki tempat
asy-Syibly, sedangkan beliau tengah mencabut helai bulu alisnya dengan sebuah penjepit. Aku
katakan kepadanya; “Wahai tuanku, Anda berbuat demikian apda diri sendiri, sementara rasa
pedihnya kembali pada hatiku.’ Ia menjawab : “Celaka Anda! Hakikat itu tampak padaku, dan
aku tidak kuat memikulnya. Maka beginilah, aku memasuki kepedihan atas diriku, siapa tahu
aku merasakannya, lalu tertutup dariku. Aku tak menemukan kepedihan itu. Dan tidak tertutup
dariku, sedangkan kepedihan itu membuatku tidak tahan.”
Kondisi haibah dan uns, walaupun masing-masing tampak jelas, bagi ahli hakikat masih
dikategorikan kurang, karena keduanya mengandung perubahan pada diri hamba. Sedangkan
yang tidak berubah, dinamakan ahli tamkin. Mereka hangus dalam wujud nyata. Tidak ada
haibah dan tidak pula uns, tidak ilmu maupun rasa.
Cerita ini dikenal dari Abu Sa’id al-Kharraz : “Suatu saat di kampung, aku berkata :
Aku datang, maka aku tak mengerti
Dari mana, siapa aku,
Kecuali apa yang dikatakan manusia
Pada diriku dan dalam jenisku,
Aku datangi jin dan manusia
Jika tak kutemui seorang pun,
Aku datangi diriku.
Kemudian ada bisikan lembut menyusup ke dalam kalbuku :
Amboi, siapa yang tahu sebab-sebab
Yang lebih luhur wujud-nya,
Lalu ia bersukaria dengan kesesatan yang hina
Dan dengan manusia
Kalau engkau dari ahli wujd yang hakiki
Pastilah engkau gaib dari Jagad, Arasy dan Kursy
Sedang engkau tanpa kondisi ruhani bersama Allah
Jauh dari mengingat
Pada jin dan manusia.
6. TAWAJUD, WUJD DAN WUJUD
Tawajud adalah upaya memohon ekstase ruhani (wujd), melalui salah satu ragam ikhtiar.
Orang yang memiliki tawajud tidak dapat dkategorikan sempurna wujd-nya. Sebab, kalau ia
sempurna, pasti disebut wajid.
Dalam bab wazan Tafa’ul lebih banyak menampakkan sifat. Padahal bukan demikian,
seperti dalam syair :
Bila kelompak mata menjadi sempit;
Dan padaku tiada lagi sulit membuka
Lalu kurobek mata, tanpa cela.
Ada pandangan yang mengatakan, “Tawajud tidak terpasrahkan kepada pemangkunya
karena adanya beban dan masih jauh dari tahqiq.”
Ada pula yang mengatakan : “Tawajud diserahkan kepada para fakir yang secara internal
mengintai untuk menemukan makna-makna tersebut.”
Hakikat yang bisa dikenal, muncul dari kisah Abu Muhammad al-Jurairy, r.a. bahwa ia
berkata : “Ketika aku di sisi al-Junayd, di sana da Ibnu Masruq. Tiba-tiba Ibnu Masruq dan yang
lain berdiri sementara al-Junayd tetap saja diam. Aku berkata, “Tuanku, tidakkah Anda
mempunyai suatu pengalaman dalam penyimakan?’ Al-Junayd menjawab : “Dan kamu lihat
gunung-gunung itu, kamu sangka ia tetap ditempatnya, padahal ia berjalan seperti jalannya
awan.” (Qs. An-Naml :88). Lalu al-Junayd pun bertanya. “Anda, wahai Abu Muhammad,
tidakkah Anda berpengalaman juga dalam penyimakan?’ Aku katakan : “Tuanku, ketika aku
Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​6
TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN
HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY)
November 11, 2019
hadir di suatu temepat yang di dalamnya sedang berlangsung penyimakan, tiba-tiba di sana ada
orang-orang yang bersenang-senang dengan rasa malu, mka aku mengekang diri dan wujd-ku.
Ketika aku menghindar, aku mengirimkan wujd-ku, lalu aku ber-tawajud,”
Kemudian kata tawajud disebut dalam hikayat tersebut, sedangkan al-Junayd tidak
mengingkarinya.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali al-Daqqaq r.a. berkata : “Apabila manusia menjaga dtika
keutamaan sat dalam penyimimakan, Allah menjaga diri dan waktunya, karena berkat
etikanya.”
Sedangkan ekstase ruhani (wujd) itu sendiri merupakan sesuatu yang bersesuaian dengan
hati Anda, yang datang tanpa kesengajaan ataupun diupayakan. Karena itu para Syeikh
mengatakan : “Wujd adalah persesuaian hati, sedangkan al-mawajid (jama’ al-wujd) merupakan
bauh dari wirid. Setiap orang yanng bertambah upaya ruhaninya, Allah pun akan menambah
kelembutannya.”
Saya mendengar Syeijh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata : “Sesuatu yang sempit di dalam
hati itu, muncul dari sisi wirid. Siapa yang tidak wirid dengan lahiriahnya, maka tidak wirid pula
dalam sirr-nya. Setiap ada sesuatu di dalam diri pelaku al-wujd, maka tidak dapat dikategorikan
sebagai wujd. Seperti suatu al yang dilakukan melalui muamalat lahriah akan menemukan
manisnya ketaatan, dan apa yang mualamat lahriah akan menemukan manisnya ketaatan, dan
apa yang turun dalam btin hamba seputar hukum-hukum batin, akan menemukan al-mawajid.
Kemanisan adalah buah dari mualamat, dan mawajid merupakan produk dari karunia yang
turun”
Sedangkan wujud, merupakan suatu kondisi setelah menapaki tahap wujd. Wujud Al-Haq
tidak dapat dicapai kecuali setelah memadamkan unsur manusiawinya. Karena kemanusiawian
tidak akan baqa’ ketika muncul kekuasaan Hakikat. Inilah arti dari ucapan Husain an Nury,
“Sejak dua puluh tahun aku berada antara Ada dan tiada, yakni : Ketika kutemui Tuhanku,
sirnalah hatiku, dan ketika kutemui hatiku, aku kehilangan Tuhan-ku.”
Pernyataan ini relevan pula dengan ucapan al-Junayd, “Ilmu Tauhid” merupakan wahana
penjelasan bagi wujud-nya, dan wujud-nya merupakan wahana bagi ilmunya.” Dalam konteks
artian ini, penyair berkata :
Wujud-ku ada ketika aku gaib dari wujud
Karena yang tmpak padaku
Dalah syuhud (penyaksian).
Tawajud merupakan permulaan, dan wujud adalah tujuan akhir. Sedangkan wujd sebagai
perantara antara permulaan dan tujuan akhir.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata, “Tawajud mengharuskan adanya
kecelaan hamba. Sedang wujd mengharuskan ketenggalaman hamba. Demikian pula wujud
mengharuskan kesirnaan mengarungi lautan itu, lantas tenggelam di dalamnya. Struktur
persoalan ini dikatakan secara berurutan, mulai dari : Qusyud (bermaksud), wurud (sampai),
kemudian Syuhud (penyaksian), lalu Wujud, terakhir Khumud (sirna). Dengan kadar kriteria
wujud-lah, khumud dapat dicapai.
Bagi orang yang ber-wujud memiliki kesadaran (shahw) dan ketidaksadaran (mahw).
Kondisi shahw adalah kebadiannya dengan Al-Haq, sedang kondisi mahw-nya adalah
kefana’annya dengan Al-Haq. Keduanya saling berkelindan selamanya. Apabila shahw dengan
Al-Haq yang lebih unggul, ia telah sampai *wushul). Karena itu, Rasulullah saw. Bersabda (hadis
Qudsi), “Dengan-Ku ia mendengar dan dengan-Ku ia melihat.”
Manshur bin Abdullah berkata : “Seseorang berada dalam halaqah asy-Syibly, dan orang
itu kemudian beretanya. “Apakah pengaruh keabsahan wujd itu tampak pada diri orang-orang
yang mencapai al-wujud? Benar. Cahaya yang memancar, bersama dengan sinar kerinduan,
sehingga pengaruhnya mewarnai lubuk hatinya.” Demikian jawab asy-Syibly.”
Gambaran ini jelas dalam syair Ibnul Mu’tazz :
Gelas yang dibasai iar karena cemerlang beningnya,
Llau mutiara tumbuh dari bumi emas,
Sedang kaum menyucikan karena kagum
Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​7
TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN
HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY)
November 11, 2019
Pada cahaya air di dalam api dari anggur yang ranum,
Diwarisi ‘Aad dari negeri Iram
Sebagai simpanan Kisra, mulai dari nenek moyangnya.
Suatu kisha berkenaan dengan Abu Bakr ad-daqqy : “jahm ad-Duqqy mengambil kayu di
tangannay ketika sedang menyimak dalam gairahnya, kemudian ia mencabut dari akarnya.
Kemudian keduanya berkumpul ketika secara bersamaan saling memanggil. Ad.-Duqqy sendiri
sorang yang buta, lalu Jahm berdiri sambil berkeliling dengan penuh emosi. Abu Bakr ad-Duqqy
berkata : “Jika mendekat kepadaku, ulurkan kayu itu!’ Sementara Jahm ad- Duqqy adalah
manusia lemah, lantas ia menemukan sepotong kayu di dekatnya, seraya berkata, ‘Ini ia!’ Lalu
ad-Duqqy memegang kaki Jahm, hingga membuatnya tidak dapat bergerak lagi. “Wahai Syeikh,
tobat! Tobat!” teriak Jahm ad-Duqqy. Barulah kemudian Abu Bakr ad-Duqqy meelpaskannya.”
Semangat Jahm benar, dan pengekangan ad-Duqqy juga benar. Ketika Jahm menyadari
bahwa tindakan ad-Duqqy di atas kondisi ruhaninya, seketika itu pun ia insaf dan berdamai.
Begitu pula orang yang tidak berbuat maksiat, ia benar. Namun demikian, apabila yang
mengalahkan dirinya adalah kesirnaan diri, maka ia tidak berilmu dan tidak pula berakal, tidak
paham serta tidak merasa.
Isteri Abu Abdullah at-Targhundy berkata : “Ketika bencana kelaparan sedang melanda,
sementara manusia dijemput maut karena paceklik itu, tiba-tiba Abu Abdullah at-Targhundy
masuk ke dalam rumah. Ia melihat ada dua kilogram gandum. Berkatalah ia, ‘Orang-orang mati
karena kelaparan, sedang aku masih mempunyai simpanan gandum di rumah.’ Lalu ia pun
kehilangan akal. Dan sejak saat itu ia tidak pernah bangkit, kecuali pada waktu-waktu shalat
fardhu. Usai shalat kembali pada tingkah laku semula, dan begitu seterusnya sampai ia
meninggal dunia.”
Kisah ini menunjukkan, bahwa laki-laki tersebut selalu menjaga diri dalam adab syariat,
ketika dilanda oleh hukum-hukum hakikat. Demikian sifat ahli hakikat. Mengenai faktor
penyebab hilangnya akal pada dirinya, dikarenakan kepeduliannya (syafaqah) terhadap nasib
semua kaum Muslimin. Ini derajat yang lebih kuat dalam sikap perilakunya.
7. JAM’i DAN FARQi
Dua kata tersebut cukup populer di kalangan ahli tasawuf. Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq
berkata : “Al-farq, suatu kondisi yang dihubungkan kepada diri sendiri, dan al-Jam’, berkaitan
dengan hal yang menyirnakan diri sendiri. Artinya, Segala upaya hamba seperti menegakkan
ubudiyah dan hal-hal yang layak dengan tingkah laku manusiawi, disebut al-Farq. Sementara
jika datang dari arah Al-Haq (Allah swt.) seperti mucnulnya makna-makna dan datangnya
kelembutan serta ihsan, maka disebut al-Jam’.
Dafinisi ini merupakan kondisi paling sederhana dalam konteks jam’ dan farq. Sebab,
kondisi tersebut merupakan bagian dari penyaksian segala bentuk perbuatan. Siapa yang
meneyaksikan dirinya di hadapan Al-Haq dalam perbuatan-perbuatannya seperti ketatan dan
pegingkaran dirinya, maka hamba tersebut dideskripsikan dalam pemisahan (tafriqah).
Sedangkan yang menyaksikan dirinya di hdapan Al-Haq melalui perbuatan yang didelegasikan
dari Af’al Allah swt, maka sang hamba telah menyaskikan al-Jam’. Penetapan makhluk
merupakan pintu tafriqah, dan penetapan al-Haq merupakan predikat al-jam’.
Bagi hamba, haruslah berkondisi jam’ dan farq. Sebab siapa yang tidak berposisi farq, ia
tidak memiliki penghambaan (ubudiyah), dan siapa pun yang tidak berposisi jam’, ia tidak
pernah ma’rifat kepada-Nya. Firman Allah swt. (Hanya Kepadamu Kami menyembah),
merupakan isyarat terhadap al-farq. Sedangkan firman-Nya (dan hanya kepada-Mu kami
memohon pertolonan), merupakan isyarat al-jam’.
Apabila hamba berbicara kepada Tuhannya, melalui bahawa munajat, apakah memohon
mendoa, memuji, bersyukur, menyucikan diri atau pun meminta, maka ia telah menempati
tahap berpisah (tafriqah). Namun apabila ia telah terpesona melalui sirri-nya terhadap apa yang
dimunajatkannya kepada Tuhan, kemudian mendengarkan melalui kalbunya apa yag telah
dikatakan lewat munajat itu, hal-hal yang dimohonkan atau dimunajatkan kepada-Nya, atau
Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​8
TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN
HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY)
November 11, 2019
pun yang dikenalkan oleh-Nya, maka makna-Nya, atau bahkan yang dihamparkan dalam
hatinya dan di perlihatkan oleh-Nya, maka ia telah menyaksikan dalam al-jam’.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata : “Aku menguraikan beberapa
ucapan di sisi Ustadz Abu Sahl ash-Sha’luky r.a. (Engkau buat menjadi bersih pandanganku ke
padamu’). Ketika itu Abul Qasim an- Nashr Abadzy hadir di sana. Lalu Ustadz Abu Sahl berkata :
“(huruf ta’ dinashab’),. Maka Abu Nashr Abadzy, berkata : (Huruf ta’ didhammah’).”
Artinya, barangsiapa mengucapkan perkataan (“kujadikan”), berarti mengabarkan sikap
perilakunya sendiri, seakan-akan sang hamba berkata, “ini”!. Jika ia berkata (“engkau
jadikan”), seakan-akan mengatakan, bebas dari beban. Bahkan ia berkata kepada Tuhan-nya,
“Engkau-lah yang mengkhususkan kepadaku dengan ini, bukan aku, melalui
kemampuanku.” Yang pertama, berkaitan dengan bisikan do’a, dan yang ke dua, dengan sifat
bebas dari upaya dan ikrar melalui keutamaan dan sariguna. Maka, bedakan antara orang yang
mengatakan, “Melalui jerih payahku, aku menyembah-Mu,” dan ucapan orang : “Melalui
keutamaan dan kelembutan-Mu, aku menyaksikan-Mu.”
Adapun jam’ul jam’i di atas semua itu. Manusia memiliki frekuensi masing-masign sesuai
dengan manifestasi perilaku dan kepautan derajat mereka. Barang siapa menetapkan atas
dirinya, berarti menetapkan kemakhlukan, namun menyaksikan keseluruhan, berarti ia telah
mandiri kepada Yang Haq, dan inilah al-Jam’. Tetapi jika yang terlibas dari penyaksian terhadap
kemakhlukan, lebur dari dirinya, dan teraih universalitas, dari segala hal yang tampak dan
terdelegasi dari kekuasaan hakikat, maka tahap inilah yang disebut jam’ul jam’i.”
Tafriqah adalah penyaksian terhadsap makhluk, hanya untk Allah swt. Al-jam’ adalah
penyaksian terhadap makhluk bersama Allah swt. Dan jam’ul jam’i, berarti sirna dengan
univeraslitas, dan fana’-nya rasa kepada selain Allah swt. Ketika terlanda hakikat. Jam’ul jam’i
merupakan kondisi mulia. Sebagian kaum menamakan tahap ini sebagai al-farq kedua. Yaitu
dikembalikan pada tahap rasa pasca sirna, pada saat menjalani waktu-waktu fardhu, agar tetap
konsisten terhadap kefarduan dengan segenap waktunya, sehingga ia kembali, hanya untuk dan
bersama Allah swt, bukan bagi hamba bersama hamba. Sang hamba melihat dirinya pada
kondisi seperti itu dalam perbuatan Al-Haq. Ia menyaksikan awal Zat-nya dan kenyataannya
bersama Qudrat-Nya. Sedangkan tempat pijakan ketika menjalankan perbuatan dan tingkah
lakunya hanya bersama Ilmu dan Kehendak-Nya.
Sebagian Sufi mengisyaratakan kata al-Jam’ dan al-farq kepada Perbuatan Al-Haq atas
seluruh makhluk. Maka globalitas dari keseluruhan dalam proses bolak balik dan perbuatan,
harus dilihat dari satu arah, bahwa sebenarnya Allah-lah yang memunculkan
substansi-substansi mereka itu. Allah-lah yang menjalankan sifat-sifat mereka. Kamudian Allah
swt. Memisahkan dalam ragam : Satu kelompok, Allah swt. Membahagiakan mereka, dan
kelompok lain Allah swt. Menjauhkan dan menyengsarakan mereka. Satu kelompok lagi Allah
swt. Menarik hati mereka, dan kelompok yang lain dilupakan dan diputus-asakan dari
rahmat-Nya, dan satu golongan lagi Allah swt, memutus kehendak mereka untuk
menyatakanDiri-Nya. Ada kelompok yang disadarkan pada tahap rasa mereka dan ada yang
disirnakan. Ada kelompok yang didekatkan dan dihadirkan, Kemudian Allah meminumkan
karunia hingga mereka dimabukkan ruhaninya, namun juga ada golongan yang dicelakakan dan
diakhirkan, kemudian dijauhkan dan disingkirkan. Ragam Af’al-Nya tidak bisa dijangkau oleh
batasan, sementara rinciannya tidak dapat diuraikan dan diingat. Para Sufi pernah melantunkan
syair bagi al-Junayd, mengenai makna jama’ dan farq :
Engkau telah membuat nyata-Mu
Dalam rahasiaku
Lalu lisanku munajat pada-Mu
Kita berkumpul bagi makna-makna
Dan berbpisah bagi makna-makna pula
Jika Gaib-Mu adalah
Keagungan dari lintasan mataku
Toh Engkau buat keserasian dari dalam
Yang mendekatku.
Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​9
TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN
HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY)
November 11, 2019
Mereka bersyair lagi :
Jika telah tampak padaku
Keagungan, lalu keluar dalam tingkah orang
Yang tak dikehendaki
Maka aku berkumpul dan berpisah dengan-Nya
Sedang ketunggalan yang saling bertemu
Adalah dua dalam satu bilangan.
8. FANA’ DAN BAQo’
Sejumlah Sufi mengisyaratkan Fana’ pada gugurnya sifat-sifat tercela, sementara baqa’
diisyaratkan sebagai kejelasan sifat-sifat terpuji. Kalau pun seorang hamba tidak terlepas dari
salah satu sifat tersebut , maka dapatlah dimaklumi, sebenarnya, salah satu bagian apabila
tidak dijumpai dalam diri manusia, maka dapatlah ditemui sifat satunya lagi. Barangsiapa fana’
dari sifat-sifat tercela, maka yang tampak adalah sifat-sifat terpuji. Sebaliknya, jika yang
mengalahkan adalah sifat-sifat yang hina, maka sifat-sifat yang terpuji akan tertutupi.
Perlu diketahui, bahwa predikat yang menjadi sifat hamba mengandung perbuatan,
akhlak dan tingkahlaku. Perbuatan-perbuatan tersebut merupakan daya manusia melalui
ikhtiarnya. Sedangkan akhlak merupakan pembawaan. Namun sifat itu berubah menurut
konsistensi kebiasaannya. Sedangkan tingkah laku merupakan suatu perilaku yang dikembalikan
kepada hamba dari segi permulaannya. Hanya saja, penjernihannya muncul setelah
pembersihan amal. Seperti akhlak dalam satu segi. Demikian pula manakala sang hamba terus
menerus membersihkan perbuatannya, melalui upaya yang telah diberikan kepadanya. Allah
swt. Memberikan anugerah kepadanya melalui penjernihan tingkah laku, bahkan melalui
penyempurnaan tingkah laku tersebut.
Siapa yang berupaya meninggalkan perbuatan kehinaan dengan bahasa syariat, maka ia
telah fana’ dari syahwatnya. Jika telah fana’ dari syahwatnya, akan kekallah bangunan dirinya
serta keikhlasan dalam ubudiyahnya. Sipa yang zuhud di dunia dengan hatinya, maka ia telah
faa’ dari kesenangannya. Dan jika telah fana’ kesenangannaya, berarti telah kekal melalui
kejujuran kembali dirinya. Barangsiapa menerapi (mengobati) akhlaknya dari penyakit kalbu
seperti dengki, angkuh, bakhil, sangat bakhil, marah, sombong dan sebagainya dari kenakguhan
nafsu, maka berarti telah fana’ dari kebejatan akhlak. Kalau sudah demikian, yang kekal dalam
dirinya adalah ketidakpeduliannya kepada kepentingan pribadinya (futuwwah) dan kejujuran
pada diri sendiri. Barangsiapa menyaksikan berlakunya qudrat dalam mekanisme hukum dan
aturan, maka dapat dikatakan : Ia telah fana’ dari tanggungan perkara pertama dari makhluk.
Jika ia fana’ dari pengaruh-pengaruh imaji makhluk, maka ia kekal bersama sifat-sifat Al-Haq.
Dan siapa yang terlimpahi kerajaan hakikat, sehingga tiada sedikitpun yang disaksikan, baik
alam kenyataan, pengaruh, rumus, atau penundaan, maka ia telah fana’ dari makhluk, dan
abadi bersama Al-Haq. Ke-fana’-an hamba dari segala perbuatannya yang hina, dan
tingkahlakunya yang buruk, telah menghilangkan perbuatan-perbuatan seperti itu. Ke-fana’-an
mereka atas dirinya dari makhluk lainnya, dengan cara menghilangkan rasa untuk diri sendiri
dan mereka. Kalau telah fana’ dari perbuatan, akhlak dan tingkah laku, maka subyek ke-fana’an
dari semua itu tidak boleh di-maujud-kan.
Apabila dikatakan, “,Manusia benar-benar fana’ dari dirinya dan dari makhluk, maka
dirinya maujud dan makhluk juga maujud, tetapi ia tidak tahu dirinya dan juga juga tidak
mereka. Tidak ada rasa maupun berita. Maka dirinya ada, dan makhluk menjadi ada,
berikutnya. Namun ia lupa dari dirinya maupun semua makhluk, sama sekali tidak merasakan
adanya dirinya dan makhluk lainnya (karena keparipurnaan yang penuh dalam kesibukannya
terhdap sessuatu yang lebih luhur dari semuanya.)”
Terkadang Anda melihat seseorang memasuki tempat penguasa atau orang yang kejam,
lalu orang tersebut merendahkan diri atau merendah pada majelis di sana. Alangkah jauh jauh
hati itu, juga dirinya, hingga tak mungkin untuk mengatakan sesuatu. Allah berfirman :
Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​10
TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN
HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY)
November 11, 2019
“Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan)nya, dan
mereka melukai jari-jari tangannya.” (Qs. Yusuf 31).
Suatu gambaran ketika mereka sama sekali tidak menemukan rasa sakit ketika (pertama
kali menyaksikan raut muka Yusuf a.s.). Mereka adalah wanita-wanita yang lemah, dan mereka
berkata :
“Dan mereka berkata : “Maha Sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini
tidak lain, hanyalah malaikat yang mulia.” (Qs. Yusuf : 31).
Inilah kealpaan makhluk atas perilakunya sendiri ketika bertemu dengan sesamanya.
Bagaimana menurut dugaan Anda dengan orang yang dibuka untuk menyaksikan Al-Haq?
Kalaupun mereka lupa dari rasa dalam dirinya dan orang-orang sejenisnya, maka adakah lebih
menakjubkan lagi ketimbang melihat-Nya?
Barangsiapa fana’ dari kebodohannya, yang kekal adalah ilmunya. Siapa yang fana’ dari
kesenangannya, yang kekal adalah zuhudnya. Siapa yang fana’ dari angan-angannya, yang kekal
adalah kehendaknya. Demikian juga seluruh konotasi kiprahnya. Apabila hamba fana’ dari
sifatnya yang bisa diingat, kemudian menaiki tahap lebih tinggi dengan fana’nya dari melihat
ke-fana’-an itu sendiri. (Inilah yang disebut Fana’u Fana’ ). Sebagaimana digambarkan penuyair :
Ada kaum yang tersesat di padang gersang
Aa pula yang tersesat di padang cintanya
Mereka fana’, kemudian fana’ lalu fana’
Lantas mereka kekal dengan kekal dari kedekatan Tuhan-nya.
Yang pertama adalah fana’ dari dirinya, fana’ dari sifatnya karena Baqa’-Nya Sifat-sifat
Al-Haq. Kemudian fana’nya dari sifat-sifat Al-Haq karena penyaksiannya terhadap Al-Haq itu
sendiri, kemudian fana’-nya dari melihat penyaksian fana’, melalui keleburan dirinya dalam
Wujud Al-Haq.
9. GHAIBAH DAN HUDHUR
Ghaibah berarti kegaiban kalbu dari segala apa yang diketahui, berkaitan dengan apa
yang berlaku pada tingkah laku makhluk, karena adanya faktor yang datang padanya, sehingga
perasaannya tersibukkan oleh kegaiban yang tiba itu. Kemudian rasa itu, dengan sendirinya dan
yang lainnya, menjadi gaib, karena faktor yang tiba, akibat mengingat pahala atau memikirkan
ancaman siksa.
Diriwayatkan bahwa Rabi’ bin Haitsam pergi ke ruah Ibnu Mas’ud r.a. kemudian ia
melewati kedai tukang pande (besi). Ia melihat bara yang menganga di perapian pande itu.
Tiba-tiba ia pingsan (karena membayangkan akibat-akibat pelaku dosa yang dibakar api). Ketika
siuman, ia ditanya. “Aku ingat bagaimana keadaan ahli neraka di neraka nanti.” Demikian
katanya.
Diriwayatkan dari Ali bin al-Husain. Ketika ia sedang sujud, tiba-tiba terasa ada jilatan
panas api yang tersulut di dalam rumahnya, dan ia sama sekali tidak bepaling dari shalatnya.
Lantas ditanya tentang keadaannya yang demikian itu. “Aku tercengang oleh nyala api besar,
lebih dari kobaran api itu.” Jawabnya.
Manakala ghaibah rasa yang muncul oleh faktor yang dibukakan Al-Haq seperti itu, maka
derajat mereka berbeda-beda menurut tingkah laku kondisinya.
Kisah yang populer, bahwa awal mula perilaku Abu Hafs an-Naisabury al-Haddad
meninggalkan pekerjaan di kedainya, yaitu ketika muncul seseorang yang membaca ayat
Al-Qur’an. Lalu ia menjadi lupa dari rasanya karena adanya sesuatu yang datang menyelusup.
Lalu ia menyusupkan tangannya pada bongkahan bara api, dan menariknya kembali sambil
memegang bara api yang menganga (sama sekali tidak merasa panas). Muridnya, saat melihat
kejadian itu pun berkata. “Wahai guru, apa ini? Seketika itu pula Abu Hafs memandang apa
yang tampak padanya, lalu meninggalkan pekerjaannya dan segera pergi berlalu dari kedai.
Saya mendengar Abu Nashr, muadzin di Naisabur. Ia dikenal sebagai laki-laki saleh. Ia
mengisahkan, “Aku sedang membaca Al-Qur’an di majelis Ustadz Abu Ali ad.Daqqaq di
Naisabur. Dan Ustadz sendiri sedang membahas soal haji, sampai hatiku terpengaruh
Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​11
TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN
HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY)
November 11, 2019
karenanya. Pada tahun ini pula aku pergi haji, dan meninggalkan kedai serta pekerjaan.
Sementara Ustadz Abu Ali r.a. juga pergi menunaikan haji pada tahun yang sama. Ketika di
Naisabur aku menjadi pelayannya dan ikut membaca Al-Qur’an di majelisnya. Suatu hari di
desa, aku melihatnya sedang bersuci dan lupa akan kendil bawaannya. Aku pun membawanya.
Sesampai di tempat tujuan kuletakkan di sisinya. Ia berkata, “Semoga Allah membalas kebaikan
kepadamu, ketika kamu membawa ini.” Lalu ia menatapku dalam-dalam, seakan-akan itu
sebagai tatapan terakhir. Tiba-tiba ia berkata, “Pernah sekali, aku bertemu denganmu, siapa
kamu? Aku menjawab, “Aku adalah orang yang memohon pertolongan kepada Allah swt, aku
menyertaimu sekedarnya, dan kutinggalkan hunianku, karenamu. Aku merasa teputus oleh
kemenangan dan waktu, ketika engkau berkata, “Pernah sekali, aku beertemu denganmu...!”
Sedangkan Hudhur, bisa berarti, seseorang sebagai pihak yang hadir bersama Al-Haq.
Sebab ketika ia ghaib dari makhluk, ia hadir bersama Al-Haq. Artinya, seakan-akan ia hadir,
kaerna limpahan dzikir pada yang haq di dalam kalbunya, yang berarti ia hadir dengan
kalbunya, di antara sisi Tuhannya. Dalam batas kegaibannya dari makhluk, maka kehadirannya
dikategorikan bersama Al-Haq. Namun apabila ia gaib secara universal, maka kehdiran tersebut
menurut kegaibannya. Manakala dikatakan “ Si Fulan hadir. Berarti, ia hadir dengan kalbunya
untuk Tuhannya. Ia tidak lupa dari-Nya dan tidak pula alpa. Lalu ia mukasyafah
dalam hudhur-nya menurut derajatnya, dengan segala makna yang dikhusukan oleh Al-Haq
kepadanya.
Kadang-kadang hudhur dikatakan, karena kembalinya hamba pada dimensi rasa terhadap
perilaku dirinya dan makhluk lainnya. Ia kembali pada kesadaran dari kegaibannya. Ini disebut
hadir bersama makhluk. Yang pertama disebut hadir bersama Al-Haq, dan frekuensi
kegaibannya beragam. Ada yang pendek gaibnya, adapula yang abadi.
Iriwayatkan bahwa Dzun Nuun mengutus salah seorang muridnya ke Abu Yazid
al-Bisthamy, untuk menyampaikan pesan agar Abu Yazid mengubah sifatnya. Ketika murid Dzun
Nuun telah sampai di daerah Bau Yazid, ia menanyakan rumah Abu Yazid, lalu ia pun menuju ke
rumah yang dimaksud. “Apa maksud kedatanganmu?” tanya Abu Yazid. “Aku ingin menemui
Abu Yazid.” Kata orang itu. “Siapa Abu Yazid? Di mana Abu Yazid? Aku juga sedang mencari Abu
Yazid.” Kata Abu Yazid. Orang itu pun segera pergi berlalu sambil bergumam, “Laki-laki itu pasti
gila!” Kemudian ia kembali pulang ke rumah Dzun Nuun, mengabarkan apa yang disaksikan.
Tiba-tiba Dzun Nuun menangis, sambil berkata, “Saudaraku Abu Yazid benar-benar telah pergi
bersama mereka yang pergi kepada Allah swt.”
10. SHAHUW DAN SUKR
Shahw adalah kesadaran hamba kepada rasa setelah mengalami kegaiban (ghaibah). Dan
Sukr adalah mabuk ruhani akibat sesuatu yang datang dengan sangat kuat. Sukr berati
tambahan bagi ghaibah di satu sisi. Karena itu orang sukr, kadang-kaang terhamparkan dirinya,
manakala berlum terpenuhi dalam sukr-nya. Kadang-kadang apda tahap sukr, segala
kekhawatiran berguguran dari kalbunya. Itulah perilaku orang yang menampakkan sukr, karena
tidak mampu memenuhi datangnya bisiskan yang luhur. Kdang, dalam kesadaran ada kesegran,
lalu mabuk pesonanya bertambah atas ghaibah-nya. Terkadang seorang yang sukr lebih
ghaibah ketimbang orang yang sedang berada dalam ghaibah itu sendiri mana kala sukr-nya
lebih kuat. Dan tidak jarang orang yang ghaibah itu lebih sempurna dalam ghaibah-nya
dibanding orang yang sukr, manakala sukr-nya tidak mencapai apa yang diinginkan.
Sedangkan ghaibah, terkadang datang kepada para hamba karena adanya sesuatu yang
mengalahkan kalbunya, disebab disiplin cinta sukacita, khauf dan raja’. Sementara sukr tidak
akan terwujud, kecuali kepada orang yang memiliki keseuaian- kesusaian ruhani. Apabila Allah
swt. membuka hamba melalui sifat Keindahan (al-Jamal), maka hamba akan mabuk kepayang
(sukr), dan ruhnya menjdai gembira, sementara kalbunya terpesona. Dalam sukr yang muncul
akibat mukasyafah Jamal, mereka mendengarkan syair :
Kesadaranmu dari kata-Ku,
Adalah sambung semuanaya
Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​12
TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN
HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY)
November 11, 2019
Dan mabuk kepayangmu dari bagian-Ku
Memperkenankan bagimu, meneguk minuman
Tak bosan-bosan peminumnya
Tak bosan-bosan peenguk minumnya
Menyerah pada bagian,
Yang gelas pialanya memabukkan jiwa.
Merek masih bersyair :
Orang-orang menjadi mabuk memutari gelas piala
Sedang mabukku datang dari Yang Memutarnya
Ada dua kemabukan bagiku
Dan bagi dua penyessal hanya satu
Yang dikhususkan bagiku di antara mereka
Hanya untukku
Dua mabuk kepayang
Mabuk cinta
Mabuk abadi
Ketika siuman
Tiba-tiba telah bugas si pemabuk
Anda perlu mengetahui bahwa, derajat kesadaran (Shahw) tergantung pada frekuensi
mabuk kepayang ruhani (sukr). Siapa yang sukr-nya bersama Al-Haq, maka Shahw-nya juga
bersama Al-Haq, barangsiapa sukr-nya masih diliputi oleh dunia, maka Shahw nya juga disertai
dunia yag benar. Barangsiapa menepati kebenaran dalam sikap perilaku, maka ia terjaga dalam
sukr-nya. Sukr dan Shahw mengisyaratkan pada ujung dari pemisahan. Manakala tampak dari
kekuasaan hakikat, mka sifat hamba diketahui dalam kesirnaan dan keterpaksaan. Mereka
bersyair :
APabila pagi telah terbit dengan bintang yang gembira
di dalamnya telah seimbang kemabukan dan kesukacitaan
Allah swt. berfirman :
“Tatkala Tuhannya menampak pada gunung itu, kejadian itu membuat gunung itu hancur
luluh dan Musa pun jatuh pingsan.” (Qs. Al-A’raaf :143).
Itulah pengalaman dalam Risalah Musa as, dan apalagi gunung dan kekuatannya menjadi
lebur berkeping-keping.
Sang hamba dalam kondisi sukr-nya menyaksikan kondisi ruhani itu sendiri, dan dalam
dalam Shahw-nya ia menyaksikan ilmu. Hanya saja dalam tingkah sukr-nya terjaga, tidak melalui
beban yang diupayakan. Sedangkan dalam Shahw-nya terjaga melalui upayanya. Shahw dan
Sukr terjadi setelah Dzauq dan Syurb.
11. DZAUQ DAN SYURB
Di antara bagian yang berlaku dalam tradisi Sufi adalah Dzauq dan Syurb. Mereka
mengonotasikan istilah tersebut dari peristiwa yang mereka temukan dari buah tajali dan buha
mukasyaah serta kejutan-kejutan yang muncul. Tahap pertama adalah Dzauq, kemudian Syurb,
lalu Irtiwa’.
Kejernihan muamalat mereka mendatangkan rasa (dzauq) makanwi, dan ketepatan
tahap-tahap mereka mengharuskan adanya minum (syurb). Sementara keabadian hubungan
mereka (wushul) mengharusskan adanya kesegaran (irtiwa’).
Orang yang memliki dzauq menampakkan sukr-nya. Dan orang yang sedang syurb
melahirkan kemabukkan. Orang yang irtiwa’ selalu menjerit. Dan siapa yang kuat cintanya,
maka abadi pula minum-nya. Apabila sifat-sifat seperti itu abadi, syurb tidak melahirkan mabuk
(sakran). Dan ia selalu menjerit bersama Al-Haq sebagai orang yang fana’ dari segala jagad
Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​13
TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN
HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY)
November 11, 2019
makhluk, sama sekali tidak berbpengaruh baginya apa yang datang, dan tidak berubah, apa
yang menyertainya. Barangsiapa jernih sirr-nya, maka minum-nya tidak akan pernah keruh. Dan
siapa yang menjadi peminum (ruhani) sebagai konsumsi, ia tidak akan pernah sabar dan tidak
pernah abadi tanpa konsumsi itu. Mereka bersyair :
Gelas minuman adalah susuna kita
Kalau tak kita rasakan
Tak hidup pula ita
Dalam syair mereka :
Aku heran orang yang bicara : Aku inngat Tuhanku
Apakah aku alpa, lalu aku ingat apa yang kulupa?
Kuminum cita, gelas demi gelas piala
Tuntas habis minuman, tak puas dahaga pula
Yahay bin Mu’adz menulis surat kepda Abu Yazid al-Bisthamy, “Di sana, orang yang
meminum gelas dari kecintaan, tiada dahaga usainya.” Lalu Abu Yazid menulis surat kembali.
“Aku heran atas kelemahan dirimu di sana. Sebab siapa yang merasa di samudera jagad raya, ia
akan hilang keberuntungannya.”
Ingatlah, bahwa piala-piala taqarub tampak dari kegaiban. Dan Anda tidak bisa
mengelilingi, kecuali dengan rahasia-rahasia kemerdekaan dan ruh-ruh bebas dari segala
belenggu.
12. MAHUW DAN ITSBAT
Mahuw berarti hilangnya sifat-sifat kebiasaan. Dan Itsbat berarti menegakkan
hukum-hukum ibadat. Barangsiapa menghapus perilaku hinanya dan menggantikannya dengan
perilaku mulia, maka dialah yang memiliki mahuw dan itsbat.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata : “Sebagian para syeikh berkata
pada kaum Sufi, “Bagaimana Anda mengalami mahw dan itsbat? Lalu orang itu diam, kemudian
berkata : “Adapun yang kuketahui, waktu adalah mahw dan itsbat. Sebab siapa yang tidak
memiliki mahw dan itsbat, berarti telah menelantarkan diri dan terabaikan.”
Mahw terbagi dalam mahw sirna (zallat) dari hal-hal yang lahiriah dan mahw alpa
(ghaflat) dari hal-hal yang batiniah, serta mahw dari bentuk sebab (Illat) pada hal-hal rahasia.
Dalam mahw zallat muncul itsbat pada muamalat. Pada mahw ghaflat muncul itsbat pada
tahapan-tahapan, dan dalam mahw illat muncul itsbat dalam wushul. Inilah mahw dan itsbat
sebagai syarat ubudiyah.
Sementara hakikat mahw dan itsbat, masing-masing tumbuh dari Qudrat. Mahw adalah
segala hal yang ditutup dan disirnakan tumbuh dari Qudrat. Mahw adalah segala hal yang
ditutup dan disirnakan ole Al-Haq. Dan Itsbat, segala hal yang dditampakkan dan dijelaskan oleh
al-Haq. Mahw dan itsbat dibatasi oleh Kehendak.
Allah swt. Berfirman :
“Allah menghapus apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki)”
(Qs. Ar-Ra’ad : 39).
Dikatakan : “Allah swt. Menghapus dzikir selain-Nya dari hati orang-orang ‘Arifin (Orang
yang ma’rifat). Dan Allah menetapkan pada lisan orang-orang yang menuju kepada Allah swt.
Dengan dzikrullah. Mahw Al-Haq pada setiap orang, dan peng-itsbat-an Allah swt. Kepdanya,
sesuai kelayakan tingkah lakunya.”
Barangsiapa di mahw-kan oleh Allah swt. Dari penyaksian, Allah swt. Memberikan itsbat
dengan kekuatan Haq-Nya. Dan siapa yang di-mahw oleh AL-Haq dari itsbat-nya, Allah
mengembalikan pada penyaksian jagad dunia, dan ditetapkan dalam wahana perpisahan.
Seseorang bertanya kepada asy-Syibly r.a. : “Apa yang membuat diriku melihatmu tampak
gelisah? Bukankah Dia bersamamu dan engkau bersamam-Nya? Asy-Syibly berkata : “Kalau aku
adalah aku bersama-Nya, tentu, aku adalah aku. Tetapi aku pun terhapus dalam wahana-Nya.
Orang yang dikaruniani keterhangusan berada di atas majw. Karena mahw meninggalkan bekas.
Sedangkan orang yang terhapus (muhaq) tidak meninggalkan bekas. Sementara cita-cita kaum
Sufi adalah, agar ereka dihanguskan oleh Al-Haq dari segala penyaksian mereka. Kemudian
Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​14
TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN
HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY)
November 11, 2019
Al-Haq tidak mengembalikan kepada penyaksian mereka. Kemudian Al-Haq tidak
mengembalikan kepada mereka seperti semula setelah mereka dihanguskan dalam ruhani itu.
13. SITR DAN TAJALLI
Orang awam berada dalam tutup (sitr). Dan orang khawash berada dalam keabadian
manifestasi (tajalli). Dalam suatu hadis, Allah swt. Apabila telah ber-tajalli terhadap sesuatu,
maka sesuatu itu khusyu’ (tunduk) kepada-Nya.
Orang yang berada dalam tahap sitr memakai sifat penyaksiannya. Dan orang yang
berada dalam tahap tajjali, selamanya disertai sifat khusyu’nya.
Sitr, bagi awam merupakan siksaan, dan bagi khawash (kalangan khusus dalam ruhani)
merupakan rahmat. Sebab tanpa ia tertutupi apa yang tersingkap dalam diri mereka, nisscaya
akan musnah di sisi Yang Maha Diraja Hakikat. Namun, sebagaimana tampak pada diri mereka,
apa yang tersingkap pun tertutup pada mereka.
Manshur al-Maghriby berkaa : “Aku menemui salah sorang fakir dalam kehidupan orang
Arab, diantaranya terdapat seorang pemuda. Pemuda itu melayani sang fakir. Tiba-tiba pemuda
itu pingsan. Lalu si fakir bertanya tentang keadaannya. Maka orang-orang di situ menjelaskan :
“Ia memiliki kemenakan wanita, dan ia sangat cinta kepadanya. Lalu gaids itu berjalan di
kemahnya, tiba-tiba pemuda itu melihat gadis yang kumal berdebu. Kemudain pemuda itu pun
pingsan.” Lantas si fakir berlalu menuju pintu kemah, sambil berkata kepada anak gadis itu.
“Sesuatu yang asing bagimu, menjadi tutup dan cacian. Aku datang hendak menolongmu
berkenaan dengan pemuda ini. Maka sebaiknya engkau kasihan terhadap apa yang ada pada
dirinya, dari cintanya kepada dirimu.” Lalu gadis itu berucap “Subhanallah!” Engkau orang yang
berhati sehat. Sebenarnya ia tidak tahan melihat kekumalanku, lalu bagaimana ia kuat
meneemaniku?”
Kehidupan orang-orang awam itu berada dalam penampakan (tajalli), sementara cobaan
mereka ada dalam ketertutupan (sitr). Bagi orang-orang khawash, mereka selalu berada di
antara ketidak pedulian dan kehidupan nyata. Karena ketika menampakkan diri kepada mereka,
justru mereka acuh, namun ketika mereka tertutup, mereka dikembalikan pada dunia, sehingga
mereka hidup.
Ada yang mengatakan, ketika Allah swt. Berfirman kepada Musa, “Apa yang ada pada
tanganmu wahai Musa.” (Qs. Thaaha :17), justru agar Musa tertutupi sebagian apa yang
menjadi sebab langsung yang berpengaruh akibat mukasyafah, lewat kejutan penyimakan.
Mohon ampunan (istighfar) itu sendiri merupakan upaya pencarian sitr. Dan ampunan
(maghfirah) adalah sitr. Seakan-akan ia mengabarkan, bahwa ia mecari str pada hatinya ketika
didatangi keperkasaan hakikat. Sebab bagi makhluk, tidak sedikit pun ada keabadian di sisi
Wujdu Al-Haq. Dalam hadis disebutkan : “Apabila dibuka Wajah-Nya, pastilah kesucian
Wajah-Nya (Cahaya-Nya) membakar apa yang dilihat oleh pandangannya.” (Hr. Muslim).
14. MUHADHARAH, MUKASYAFAH DAN MUSYAHADAH
Muhadharah, berarti kehadiran kalbu, stelah itu baru Mukhasyafah, yakni kehdiran kalbu
dengan sifat nyatanya, lalu Musyahadah, yaitu hadirnya Al-Haq tanpa dibayangkan. Apabila
langit rahasia (sirr) telah bersih dari mega sitr, maka matahari penyaksian tepancar dari bintang
kemuliaan.
Kebenaran musyahadah, seperti diungkapkan oleh al-Junayd r.a. “Wujdu Al-Haq
menyertai kesirnaanmu. Orang yang bertahap Muhadharah selalu terikat dengan
ayat-ayat-Nya. Dan orang yang mukasyafah terhampar oleh Sifat-sifat-Nya, sedangkan orang
yang musyahadah ditemukan Dzat-Nya. Orang yang Muhadharah ditunjukkan akalnya. Orang
yang mukasyafah didekatkan ilmunya. Dan orang yang musysahadah dihapuskan oleh
ma’rifatnya.”
Tidak ada tambahan lagi dalam penjelasan musyahadah lebih dari apa yang dikatakan
oleh Amr bin Utsman al-Makky r.a. Arti dari yang diucapkan, bahwa cahaya-cahaya yang
melingkupi kalbunya, tanpa adanya tutup dan faktor yang memutus di celahnya. Sebagaimana
Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​15
TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN
HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY)
November 11, 2019
perkiraan dalam kiltan yang bersambung. Seperti malam yang gelap dilampaui cahaya, dan
cahaya itu tidak terputus, maka jadilah cahaya siang. Begitupun kalbu, apabila keabadian Tajalli
tampak terus menerus, akan menjadi siang yang nikmat, tiada malam samak sekali.
Dalam syair yang mereka lantunkan :
Malamku, dengan Wajah-Mu terang benderang
Dan kegelapannya merambah manusia
Manusia berada dalam kegulitaan,
Sedang kami ada di cahaya benderang siang
An-Nury berkata : “Seorang hamba tidak sah ber-musyahadah, sepanjang masih hidup.
“Apabila subuh telah terbit, tak perlu lagi lampu.”
DaKetika terang subuh tiba,
Beredarlah cahayanya, dengan cahayanya
Cahaya-cahaya gemerlap bintang
Cahayatertelan gelas,
Jika saja tersimpan bara karena menelannya
Terbanglah secepat-cepatnya
Gelas piala, dan gelas piala manakah yang menghancurkan dan menyirnakan,
menghanguskan mereka dari diri mereka sendiri, sementara tak satu pun gelas piala yang
mengabadikan dan memercikan mereka. Gelas yang menghapus mereka secara menyeluruh
dan tiada menyisakan tulang belulang dari pengaruh-pengaruh sifat-sifat kemanusiaan.
Sebagaimana diucapkan : Mereka berjalan, namun tidak tetap, tidak teratur dan tidak ada
pengaruh.
15. LAWAIH, LAWAMI’ DAN THAWALI’
Kata-kata tersebut makananya saling berdekatan, nyaris tidak ada perbedaan besar. Kata
tersebut merupakan sifat-sifat dari orang yang sedang dalam tahap permulaan (bidayat).
Mereka yang sedang menaiki tahap dalam kalbu. Sehingga cahaya matahari ma’rifat tidak
menetap abadi dalam diri mereka. Namun Allah swt. Mendatangkan rezeki kalbunya dalam
setiap saat.
Sebagaimana Allah swt. Berfirman :
“Bagi mereka rezeki mereka di dalam surga, pagi dan petang.” (Qs. Maryam : 62).
Apabila langit kalbu dipenuhi mega dunia, terbayanglah kilatan kasyaf bagi mereka, dan
tampaklah kilatan taqarrub. Mereka dalam zaman yang menutup mereka, sedang mereka
mengintai ekjutan kilatan itu. Mereka seperti digambarkan dalam syair :
Wahai kilatan yang cemerlang
Dari sayap-sayap lagnit yang benderang
Lawaih sebagai tahap pertama, disusul Lawami’, kemudian Thawali’. Lawaih seperti
kilatan cahaya, tidak akan tampak sehingga cahayanya tertutup. Dalam syair dikatakan :
Kami berpisah setahun
Ketika kami bertemu
Seakan salamnya padaku
Salam selamat tinggal
Mereka berkata :
Wahai orang yang berjalan,
Dan bukan pezarah sebenarnya
Seakan ia terkena api
Lewat di depan pintu rumah tergesa-gesa
Padahal tak ada bencana
Jika ia memasukinya
Sedangkan Lawami’ lebih jelas daripada Lawaih. Hilangnya cahaya tidak secepat itu.
Lawami’ disinari cahaya beberapa waktu. Namun seperti ucapan syair : Dan mata menangis, tak
puas-puasnya memandang.
Dalam syair mereka berkata pula :
Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​16
TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN
HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY)
November 11, 2019
Tak sampai air wajahnya di mata
Kecuali telah penuh
Sebelum puasnya mendekat
Bila telah tampak cahayanya, ia memutus dirimu dan mengumpulkanmu dengan cahaya
itu. Tetapi cahaya siangnya tidak berlalu sampai pasukan-pasukan malam menyerang. Mereka
beada di antara pasukan Ruh dan Nuh. Karena mereka berada di antara Kasyaf dan Sitr. Mereka
bersyair :
Sedang malam mengandung kita
Dengan dinginnya yang mencekam
Sementara subuh, menyingkap selimut kita.
Thawali’ lebih lama dan abadi waktunya, lebih kuat dominasinya dan lebih abadi
ketetapannya. Thawali’ mampu menghapus kegelapan dan menyirnakan keraguan. Tetapi tetap
berada dalam bisikan yang lenyap. Tidak terlalu tinggi, tidak pula berdiam abadi. Waktu-waktu
memperolehnya dengan perjalanan yang cepat dan ihwal lenyapnya berbuntut panjang.
Makna-makna dari Lawaih, Lawami’ dan Thawali’ tersebut berbeda-benda disiplinnya.
Antara laian, ketika kehilangan jejak, tidak sedikitpun memberkas. Sepeti kilatan-kilatan, ketika
lenyap, seakan-akan malam panjang nan abadi yang ada. Ada pula yang meninggalkan bekas,
apabila hllang angkanya, yang ada tinggal dukanya. Apabila cahaya-cahayanya asing, yang tetap
beks-bekasnya. Orang akan berada di tahap tersebut setelah menghuni luapannya, hidup dalam
sorotan berkatnya. Lanatas pada hamparan ke dua kalinya, ia berharap dengan waktunya untuk
menunggu kembalinya cahaya itu, dan ia hidup dengan sesuatu yang ditemui, pada saat adanya
itu
16. BUWADAH DAN HUJUM
Buwadah adalah sesuatu yagn seketika datang mengejutkan kalbu Anda dari dimensi
ghaib, terkadang karena adanya faktor kesukacitaan atau kedukacitaan. Sedangkan Hujum,
sesuatu yang datang pada hati dengan kekuatan waktu tanpa rekayasa dari diri Anda.
Berbagai ragam bentuknya berbeda sesuai dengan kekuatan dan kelemahan sesuatu yang
tiba. Di antaranya ada orang yang diubah oleh Buwadah, namun pada kesempatan berikutnya
diaplikasikan oleh Hujum. Dan diantaranya ada yang berada di atas apa yang mengejutkannya,
baiks ecara potensi maupun aktual. Mereka adalah kaum yang dipenuhi kebajikan dan
kemuliaan. Sebagaimana dikatakan :
Jangan kau membuat petunjuk
Pengganti zaman kepada mereka
Bagi mereka ada kendali
Pada setiap Khitab yang agung
17. TALWIN DAN TAMKIN
Talwin merupakan sifat orang-orang yang memliki tingkah laku tahapan.Tamkin adalah sifat ahli
hakikat. Seorang hamba yang masih berjalan sepanjang jalan menuju Allah, maka dialah pemilik
talwin. Sebab, dalam perjalanannya masih menjumpai tahap demi tahap, berpindah dari satu
predikat ke predikat lain, keluar dari terminal ke persimpangan jalan. Tetapi jika telah sampai,
mereka akan mencapai ketenangan (tamakkun).
Senantiasa rasa cintamu tiba ingin di suatu tempat
Bimbangkan jiwa, di mana tempat menetap
Orang yang berada di tahap talwin selalu mendapat tambahan. Sedangkan pada tahap
tamkin, berarti telah sampai (wushul) kemudian sambung (ittishal). Tanda sampai itu : Ia,
dengan keseluruhan dari keseluruhan.
Salah seorang syeikh berkata : “Berakhirlah penggembaraan para pencari menuju
kemenangan dalam jiwanya. Apabila telah sampai kemenangan dalam jiwanya, berarti mereka
telah samapi.”
Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​17
TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN
HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY)
November 11, 2019
Mereka berharap demikian, sebagai pengunduran hukum-hukum kemanusiaan dan
termanifestasi oleh kerajaan hakikat. Manakala hamba menetap abadi dalam kondisi itu, dialah
pemilik tamkin itu.
Syeikh Abu ali-ad-Daqqaq r.a. berkata : “Musa a.s. adalah pemilik mawam talwin,
kemudian kembali dari mendengarkan Kalam, dan berharap untuk menutup wajahnya.
Sehingga ada pengaruh bagi tingkah laku. Sedangkan Nabi kita Muhammad saw. Adalah pemilik
tahap tamkin, kemudian kembali sebagaimana ia pergi. Sebb, apa yang disaksikan pada malam
itu, tidak berpengaruh. Kisah demikian juga dimetaforakan pada kisah wanita-wanita yang
melihat Yusuf as. Ketika mereka secara bersamaan memotong jemari tangannya, saat melihat
raut muka Yusuf as. Dengan tampang yang menghanyutkan dan mengejutkan. Sementara isteri
Raja Aziz, jiwanya lebih sempurna ketimbang mereka dalam mengekang tragedi tersebut.
Kemudian sejak hati itu ia tidak berubah, karena ia telah memiliki ketenangan (tamkin) dalam
peristiwa Yusuf as.
Ketahuilah, bahwa perubahan hati dalam diri hamba karena satu dari dua persoalan :
Kalau tidak karena adanya kekuatan yang tiba, atau justru karena kelemahan dirinya.
Sedangkan ketenangan atau kediaman dari hamba juga karena dua hla : Karena kekuatan atau
karea kelemahan sesuatu yang tiba itu.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad.-Daqqaq r.a. berkata : “Prinsip kaum Sufi dalam
memperbolehkan kelangsungan tamkin, terpaku pad dua hal.Pertama, tidak ada jalan lain
kepadanya, sebagaimana sabda Rasul saw. Dalam Hadits Qudsi :
“Apabila kamu mengabdi sebagaimana adanya kamu dalam kebakaan itu di sisi-Ku,
niscaya para Malaikat akan menjabat tangan kamu.” (H.r. Handzalah bin ar-Rabi’al Usaidi, dan
ditakhrij oleh Imam Muslim serta Tirmidzi).
Sabdanya pula :
“Aku punya waktu (khusus) yang tidak dapat leluasa di dalamnya kecuali Tuhanku.” (H.r.
Tirmidzi).
Kedua, sah berada dalam kondisi kelanggengan, mengingta ahli hakikat melakukan
tahapan dari sifat yang mempengaruhi melalui berbagai jalan. Sementara kalimat dalam hadits
di atas, “ ... Niscaya para malaikat akan menjabat tangan kamu.” Sama sekali bukan hal yang
mustahil. Jabat tangan dari Malaikat tidak apda kalangan pemula, mendasarkan pada Hadits
Nabi saw. “Sesungguhnya Malaikat meletakkan sayapnya pada pencari ilmu, sebagai rasa ridha
terhadap apa yang dilakukan.” (H.r. Tirmidzi, an-Nasa’i Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban,
Daraquthny dan Baihaqi).
Sedangkan sabdanya : “Aku punya waktu (khusus).” Dikondisikan menurut persepsi
pendengar. Namun dalam seluruh tingkah laku Nabi saw. Senantiasa berdiri di atas hakikat.
Yang pertama, bisa dikatakan : Seorang hamba, sepanjang masih menaiki
tahapan-tahapan, ia disebut pemilik talwin. IA sah-sah saja bila predikatnya bertambah dan
berkurang. Apabila telah sampai pada Yang Haq dengan meninggalkan hukum-hukum
kemanusiaan, Allah mendudukkannya dengan cara tidak dikembalikan pada penyakit-penyakit
nafsu, maka ia disebut Mutamakkin dalam haliyah (Perilaku ruhani)-nya menurut proporsi dan
haknya. Kemudain Allah swt. Mendudukkannya pada setiap jiwa, dan tidak ada batas bagi
kekuasaan-Nya. Karenanya, jika hamba senantiasa dalam tahap yang bertambah ia selalu
talwin, dan dalam prinsip haliyah-nya ia tamkin. Selamanya ia menempati tahapnya lebih tinggi
lagi dari sebelumnya, bahkan lebih tinggi lagi. Karena tiada lagi pangkal bagi kekuasaan-Nya
pada jenis manapun. Sedangkan orang yang merasuk dalam musyahadahnya, dan secara
universal relevan dengan rasanya, maka tiada batas tempat bagi kemanusiaan. Karena itu,
batallah keseluruhan, diri dan rasanya. Begitu juga berkaitan dengan jagad raya seisinya, jika
kegaiban ini abadi padanya, ia tersinarkan (mahw). Dan karena itu, tidak ada tahap talwin
maupun tamkin, tidak ada maqam ataupun haal. Sepanjang ia berada pada predikat tersebut, ia
tak terbebani tugas (takliff) ataupun pemuliaan. Sungguh, kecuali jika ia dikembalikan menurut
kondisi di luar itu semua, maka ia berada dalam situasi dimana dugaan-dugaan makhluk
berlaku, terpalingkan dari posisi tahqiq.
Alalh swt. Berfirman :
Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​18
TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN
HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY)
November 11, 2019
“Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka itu tidur dan Kami balik-balikan
mereka ke kanan dan ke kiri.” (Qs. Al-Kahfi:18).
18. QURB DAN BU’D
Awal tahap dalam taqarrub atau al-qurb (kedekatan) adalah kedekatan hamba dalam
taatnya dan disiplin waktu melalui ibadat-ibadatnya. Sedangkan tahap al-bu’d (penjauhan)
adalah pengotoran diri dengan menentang dan menghampakan diri terhadap taat kepada Allah
swt. Awal dari bu’d adalah jauh dari taufiq, kemudian jauh dari pembenaran (tahqiq). Bahkan
jauh dari taufiq adalah jauh dari tahqiq itu sendiri.
Dalam Hadits Qudsi dijelaskan, Nabi.s aw. Mengabarkan dari Allah swt.
“Para hamba senantiasa bertaqarrub kepada-Ku, sebagaimana aturan yang Aku wajibkan
kepada mereka. Dan seorang hamba senantiasa bertaqarrub kepada-Ku melalui ibadat-ibadat
sunnah, sampai si hamba menyintai-Ku dan Aku mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya,
Diri-ku sebagai pendengaran dan penglihatan baginya. Maka dengan-Ku ia melihat, dan
dengan-Ku ia mendengar.” (H.r. Bukhari dan Tirmidzi).
Kedekatan hamba pada Tuhannya, mula-mula dengan iman dan pembenarannya.
Kemudain kedekatannya melalui ihsan dan hakikatnya. Sedang kedekatan Al-Haq saat di dunia
ini didapati melalui kema’rifatan. Kelak di akhirat, hamaba dimuiakan untuk menyaksikan-Nya
secara nyata. Di antara masing-masing kedekatan itu, melalui kelembutan dan anugerah.
Kedekatan hamba kepada Allah swt. Tidak akan terwujud kecuali kajuhan hamba dari
makhluk. Predikat ini ada dalam hati, bukan hukum-hukum fisikal lahriah dan alam.
Kedekatan Allah swt. Termanifestasi melalui sifat Ilmu dan Qudrat yag bersifat universal
dan umum. Sedangkan melalui Maha Lembut dan Maha Penolong-Nya, sifatnya hanya khusus
bagi orang-orang beriman. Kemudian dengan pemberian anugerah “Kesukacitaan ruhani”,
kedekatan-Nya tertentu bagi para Wali-Nya. Allah swt. Berfirman : “Dan kami lebih dekat
kepadanya dibanding urat lehernya.” (Qs. Qaaf : 16) dan firman-Nya pula : “Dan kami lebih
dekat kepadanya dibanding diri kamu (sendiri).” (Qs. Al-Waqi’ah : 85). Pada ayat lain : “Dan Dia
bersama kamu, di mana pun kamu berada.” (Qs. Al-Hadid : 4) “Tiada pembicaraan rahasia
antara tiga orang, kecuali Dia-lah yang keempatnya.” (Qs. Al-Mujaadilah : 7). Siapapun yang
secara hakiki dekat dengan Allah swt. Minimal ia harus muraqabah kepada-Nya. Karena dengan
Muraqabah, sang hamba akan senantiasa mawas iri dengan takwa, kemudian mawas diri pada
hukum Allah swt. Dan kesetiaan, disusul kemawasan tehadap rasa malu. Mereka
mendengarkan nada-nada syair :
Seakan si Raqib menjaga getaran hatiku
Yang lain menjaga pandangan dan ucapanku
Tak ada selayang pandang di kedua mataku
Yang memburamkan Diri-Mu
Melainkan engkau katakan
Benar-benar engkau memandang-Ku
Tiada yang cemerlang kata yang meluncur
Dari mulutku selain Diri-Mu
Melainkan Engkau katakan, benar, engkau mendengar
Dengan pendengaran-Ku
Tiada getar hati dalam rahasia
Getran selain Diri-Mu
Melainkan engkau telah naik dengan pertolongan-Ku
Sahabatku telah membosankan ucapannya
Aku membisu dari mereka, pandangan dan lisanku
Bukanlah pelarianku dari dunia
Yang melupakan diriku dari mereka
Hanya saja aku telah tenggelam dalam penyaksianku
Di mana pun jua
Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​19
TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN
HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY)
November 11, 2019
Salah seorang syeikh menguji para santrinya. Masing-masing santrinya diberi seekor
burung. Kata syeikh itu : “Sembelihlah burung ini, namun jangan diketeahui oleh siapa pun !.”
Mereka pun pergi ke suatu tempat, dimana tak seorang pun melihatnya, lalu disembelihlah
burung itu di tempat yang sepi. Namun ada salah seorang yang datang menghadap kepada
syeikh tersebut, dengan membawa burungnya semula, tanpa disembelih. Syeikh itu
menanyakan kepada si murid, mengapa hingga ia tidak menyembelih burung tersebut. Ia
menjawab, “Engkau memerintahkan diriku untuk menyembelih burung itu, dengan syarat tidak
diketahui siapa pun. Tetapi tidak satu pun tempat, kecuali Allah swt. Melihatnya.” Syeikh itu
berkata, “Dengan ini, kehormatan kuberikan kepada muridku ini. Sebab pada umumnya di
antara kalian hanya bertumpu pada makhluk. Sedangkan ia tidak melalaikan Allah swt. Dan
memandang kedekatan berarti hijab bagi kedekatan itu sendiri.”
Siapa yang memandang dirinya sebagai tempat berpijak atau bernafas, maka dirinya
terkena makar. Karena itu para Sufi berkata “Semoga Allah swt. Menjagamu dari
kedekatan-Nya.” Yakni, mengisyaratkan atas musyahadah Anda karena dekat-Nya.” Yakni,
mengisyaratkan atas musyahadah Anda karena dekat-Nya, apabila Anda menemui-Nya. Hal ini
mengingat bahwa anugerah kebahagiaan spiritual yang disebabkan kedekatan-Nya merupakan
perlambang keagungan. Karena Allah swt, itu sendiri berada di belakang setiap puncak
kebahagiaan. Sedangkan wilayah-wilayah hakikat mengharuskan munculnya kedahsyatan dan
keleburan ruhani.
Mereka bersyair :
Cobaanku padamu, bahwa diriku
Tak peduli dengan cobaanku
Dekatmu bagai jauhmu
Kapankah tiba, waktu istirahatku?
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. sering menyenandungkan bait-bait ini :
Kinasihmu adalah perpisahan
Cintamu adalah kebencian
Dekatmu adalah jauh
Damaimu adalah perang
Abu Husain an.Nury sebagaian murid Abu Hamzah : “Apakah Anda salah seorang murid
Abu Hamzah yang mengisyaraktkan pada al-Qurb? Kalau Anda bertemu dengan belaiu
sampaikan, bahwa Abul Husain an-Nury berkirim salam, dan mengatakan kepadanya :
“Dekatnya dekat dalam perspektif kamia dalah setelah jauh (al-bu’d). Jika yang dimaksud
adalah dekat dengan Dzat, maka, Allah Maha Luhur (jauh) dari segala Kedekatan seperti itu.
Karena Allah Maha Suci dari segala batas dan wilayah, pangkal dan ukuran Allah tidak
berssentuhan dengan makhluk, begitu juga tidak terpisah dengan sesuatu yang didahului. Sefat
keagungan Shamadiyah-Nya jauh dari temu dan pisah. Dekat sebagaimana kedekatan materi,
dalah mustahil. Sedangkan dekat di sini adalah keharusan sifat-Nya yaitu dekat melalui Ilmu dan
Pandangan. Dekat adalah kewenangan dalam Sifat-Nya, yang dikhususkan kepada hamba yang
dikehendaki-Nya, yakni dekat dalam perspektif keutamaan melalui sifat kelembutan.
19. SYARIAT DAN HAKIKAT
Syariat adalah disiplin ubudiyah, sedangkan hakikat adalah musyahadah Ketuhanan.
(Musyahadah Ketuhanan (rububiyah) : artinya melihat dengan kalbu. Hal ini terungkap bahwa
syariat merupakan sarana mengetahui penempuhan jalan Allah swt. Sedangkan Hakikat adalah
kelestarian memandang kepada-Nya. Tharikat adalah menempuh jalan syariat tersebut, yakni
mengamallkan aturan-aturannya). Catatan kaki).
Setiap syariat yang tidak dikukuhkan dengan hakikat, tidak bisa diterima. Sebaliknya
Hakikat yang tidak dikukuhkan dengan syariat, tidak akan suskes.
Syariat turun dengan tugas-tugas dari Sang Khalik, sementara hakikat merupakan
implementasi pelaksanaan kebenaran. Syariat berarti Anda menyembah-Nya, sedangkan
Hakikat berarti Anda Menyaksikan-Nya. Syariat berarti bangkit sesuai dengan apa yang
Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​20
TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN
HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY)
November 11, 2019
diperintahkan, sementara Hakikat adalah menyaksikan apa yang di qadha-kan dan ditakdirkan,
apa yang tersembunyi dan apa yang tampak.
Saya mendengar Syeikh Abi Ali ad-Daqqaq berkata : “(Kepada-Mu kami menyembah)”
adalah menjaga syariat, dan “(Kepada-Mu kami meohon pertolongan)” adalah ikhtiar dengan
hakikat.
Perli diketahui, syariat itu sendiri adalah hakikat, bila dilihat bahwa syariat adalah
keharusan melalui perintah-Nya. Begitu pun hakikat adalah syariat, dari segi bahwa ma’rifat
kepada-Nya, karena perintah-Nya.
20. N A F A S
Nafas adalah hembusan kalbu melalui kelembutan-kelembutan kegaiban. Orang yang
memiliki nafas (ruhani), lebih lembut dan lebih jernih dibading yang memiliki ahwal ruhani.
Pemilik waktu adalah pemula, dan pemilik nafas, adalah pangkalnya. Pemilik tingkah kesufian
(ahwal) berada di antara keduanya. Orang-orang yang berada pada tahap awal adalah
pemelihara ruh, sedangkan pemilik nafas adalah ahli dalam rahasia-rahasia Ketuhanan.
Para Sufi berkata : “Sebaik-baik ibadat adalah menghitung nafas (hati) bersama Allah
swt.”
Mereka juga berkata : “Allah swt. Menciptakan kalbu, dan dijadikan kalbu itu sebagai
tambang ma’rifat. Allah swt. Mencipta rahasia di balik kalbu, dan dijadikan sebagai tempat
tauhid. Setiap nafas yang tidak muncul dari bukti-bukti ma’rifat dan setiap isyarat tauhid dalam
bentangan kerumitan, adalah mayat, yang pemiliknya akan dimintai pertanggung jawaban.”
Syeikh Abu Ali ad. Daqqaq r.a. berkata : “Bagi orang Arif” nafas tidak berserah kepadanya,
karena tidak ada toleransi yang mengalir menyertainya. Sedangkan bagi sang pecinta, nafas
adalah keharusan. Kalau tidak ada nafas, pastilah ia akan musnah.”
21. AL-KHAWATHIR
Al-Khawathir (bisikan-bisikan jiwa) adalah bisikan yang menghujam ke dalam rasa;
terkadang muncul dari Malaikat, terkadang dari setan, atau sekedar ungkapan nafsu, dan
bahkan pula bisikan langsung dari Allah swt. Yang Maha Benar.
Apabil bisikan datang dari malaikat, disebut Ilham. Jika muncul dari hawa nafsu disebut
Hawajis. Dan bila datang dari setan disebut Haswas. Sedangkan bisikan jiwa yang langsung dari
Allah swr. Disebut Bisikan Kebenaran (Khathir Haq).
Indikasi secara keseluruhan, apabila bisikan datang dari para malaikat, bisa diketahui
kebenarannya bila bisikan itu sesuai dengan ilmu pengetahuan. Karena itu, para Ulama Sufi
berkata : “Setiap bisikan yang tidak bisa disaksikan kebenarannya secara lahir, adalah bisikan
batil.” Apabila bisikan itu datang dari setan, rata-rata mengandung pada kemaksiatan.
Begitupun yang datang dari nafsu, lebih cenderung mengajak pada sikap menurut syahwat,
atau rasa takabur.
Para syeikh Sufi bersepakat, bahwa orang yang terlalu banyak makan makanan haram,
tidak akan bisa membedakan mana bisikan yang bersifat ilham dan mana yang waswas.
Saya mendengar Syeikh Abu ali ad-Daqqaq berkata : “Siapa yang makanan utamanya
diketahui (keharamannya), ia tidak akan bisa membedakan antara ilham dan waswas.
Sementara orang yang menghindari hasrat nafsunya, dengan cara mujahadah yang benar,
kejelasan ucapan batinnya akan tampak melalui perlawanan terhadap nasunya.”
Para syeikh sepakat, bahwa nafsu itu tidak bisa dibenarkan. Sedangkan kalbu tidak bisa
ditipu. Apabila Anda mujahadah semaksimal mungkin, agar ruh membisikan kepada Anda,
pastilah ruh tidak akan membisikan sesuatu kepada Anda.
An-Junayd membedakan antara bisikan nafsu dan bisikan setan : bahwa naffsu itu,
apabila menuntut Anda terhadap suatu perkara, ia akan menempel, dan akan kembali lagi
walaupun berlalu dalam jarak waktu, sampai bisikan nafsu itu benar-benar meraih kemauannya
dan mencapai tujuannya. Kecuali bagi orang-orang yang mujahadahnya benar, maka bisikan itu
tidak akan kembali. Kemudian nafsu itu selalu memusuhi Anda. Sementara setan, ketika
Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​21
TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN
HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY)
November 11, 2019
menjerumuskan Anda melalui godaannya, kemudian Anda menentangnya, maka setan akan
kembali mempengaruhi Anda dengan godaan lainnya. Sebab, secara keseluruhan, sikap kontra
adalah sama. Yang penting bagi setan, Anda bisa mengikuti ajakannya yang menjerumuskan.
Dan baginya, tidak ada peringatan dalam penjerumusan itu.
Dikatakan : “Setiap bisikan yang datang dari para malaikat, kadang-kadang cocok di hati si
penerima bisikan, terkadang juga tidak. Namun apabila bisikan langsung dari Allah swt. sama
sekali si hamba tidak menetang-Nya.”
Para Syeikh memperbincangkan soal bisikan berikutny. “Apabila bisikan dari Allah swt.
apakah bisikannya alebih kuat dibanding bisikan pertama.” Al-Junayd berkata : “Bisikan
pertama lebih kuat, sebab, apabila bisikan itu masih ada, orang yang mendapat bisikan kembali
pada refleksinya, dan dalam kaitan ini, perlu persyaratan ilmu pengetahuan. Meninggalkan
bisikan pertama berarti melemahkan bisikan kedua.”
22. ILMUL YAQIN, ‘AINUL YAQIN DAN HAQQUL YAQIN
Ungkapan di atas merupakan wacana ilmu yang sudah jelas.
Yaqin adalah ilmu yang tidak merasuki seseorang yang menyebabkan keraguan
sepenuhnya. Al-Yaqin tidak diucapkan dalam sifat Allah swt. karena memang tidak relevan.
Sedangkan Ilmu Yaqin adalah Yaqin itu sendiri. Termasuk katagori Yaqin adalah ‘Ainul Yaqin dan
Haqqul Yaqin.
Ilmu Yaqin menurut disiplin terminologi ulama, adalah sesuatu yang ada dengan syarat
adanya bukti. Sedangkan ‘Ainul Yaqin, sesuatu yang ada dengan disertai kejelasan. Haqqul
Yaqin, adalah sesuatu yang ada dengan sifat-sifat yang menyertai kenyataan.
Ilmu Yaqin, diperuntukkan bagi mereka yang cenderung rasional, ‘Ainul Yaqin,
diperuntukan bagi para ilmuwan. Sedangkan Haqqul Yaqin, hanya bagi orang-orang yang
ma’rifat.
23. W A R I D
Al-Warid (bisikan terpuji) adalah bisikan dalam hati, berupa bisikan terpuji, tanpa diduga
oleh seorang hamba. Tergolong kategori ini, adalah hal-hal yang tidak termasuk sisi dari bisikan
(khawathir).
Warid kadang-kaang datang dari Allah swt. dan terkadang juga dari intuisi pengetahuan.
Bisikan-bisikan terpuji (al-waridaat) ini lebih umum dibnding al-khawathir. Sebab bisikan
khawathir, hanya khusus bagi macam perintah, atau yang se-arti dengannya. Sementara warid,
lebih sebagai bisikan kegembiraan, atau kesedihan, genggaman dan keleluasaan Ilahi, dan
sejenisnya.
24. SYAAHID
Kebaynyakan yang berlaku dalam ucapan ulama, bahwa kata asy-Syaahid itu semakna
dengan ucapan kita : Si Fulan menyaksikan ilmu (yusyaahid al-ilm); Si Fulan menyaksikan
ekstase (yusyaahid –al-wujd) dan si Fulan menyaksikan keadaan-keadaan ruhani (yushaahid
al-haal).
Mereka mengartikan kata Syaahid adalah sesuatu yang hadir dalam hati manusia. Sesuatu
yang pada umumnya teringat, seakan-akan ia melihat dan memandangnya, walaupun obyek
tidak ada di hadapannya. Setiap yang dominan dalam hatinya, berarti ia menyaksikannya. Bila
yang dominan adalah ilmu, maka ia menyaksikan ilmu. Begitu juga bila yang dominan adalah
ekstase, berarti ia menyaksikan al-wujd.
Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​22
TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN
HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY)
November 11, 2019
Arti asy=Syaahid adalah yang hadir (al-haadhir). Jadi setiap yang hadir dalam hati Anda
berarti yang menjadi bukti Anda.
Asy-Syibly ditanya tentang musyahadah. Katanya, “Dari mana kita mendapatkan
musyahadah al-Haq? Padahal Allah Yang Maha Haq menyaksikan kita.” Beliau mengisyaratkan,
dengan kata, “Allah swt. yang menyaksikan.” Dengan menggunakan faktor dominan dalam
hatinya. Dan yang dominan pada dirinya adalah dzikir kepada Allah swt. Sedangkan yang hadir
dalam hati senantiasa juga dzikir kepada Allah swt. Siapa pun yang memperoleh sesuatu dari
sesama makhluk, maka hatinya akan berkait. Dikatakan, “Ia menjadi saksinya.” Artinya, hatinya
hadir. Rasa cinta mendorong seseorang untuk selalu ingat kepada sang kekasih dan
mengutamakan kekasihnya dibanding dirinya.
Sebagian Sufi sangat jeli dalam mencari akar kata asy-Syaahid ini.
Disebutkan demikian karena bermula dari asy-Syaahid. Seakan-akan jika melihat sosok
dengan sifat-sifat keindahannya – apabila sifat manusiawinya gugur dari dirinya, dan tidak
disibukkan oleh penyaksian pada keadaan sosok tokoh, dan tidak pula ada pengaruh
persahabatan di dalamnya dalam satu sisi – maka ia disebut saks “bagi”” sosok tersebut karena
ke-fana’an dirinya. Tetapi bila ada pengaruh di dalam menyertai sosok tersebut, ia disebut
sebagai saksi “atas” ssosok itu, sedangkan dirinya masih ada, dan masih menegakkan hukum
naluri manusia, baik sebagai saksi bagi sosok atau saksi atas sosok di atas. Dalam kontens inilah
relevan dengan sabda Nabi saw. “Aku melihat Tuhanku pada malam Mi’raj, dalam rupa yang
paling bagus. Yakni rupa paling bagus yang kulihat malam itu. Sama sekali tidak menyakitkan
diriku untuk melihat-Nya. Bahkan aku melihat Perupa dalam rupa, dan Kreator dalam kreasi.”
(H.r. Thabrani, riwayat dari Ubaidullah bin Au Rafi’ dan ayahnya dan dari Ibnu Abbas. Demikian
pula riwayat dari Ummu Thufail dari Mu’adz bin ‘Afra’).
Yang dimaksud hadits tersebut adalah penglihatan ilmu, bukan penglihatan mata.
25. NAFSU
Nafsu syai’ dalam bahasa Arab adalah wujud sesuatu (jati diri). Sedangkan menurut kaum
Sufi, “Ucapan kata nafs bukan dimaksudkan sebagai wujud, acuan masalah.” Yang mereka
maksudkan dangan nafs adalah sesuatu yang tercela dalam sifat-sifat hamba, akhlak dan
perbuatannya.
Perilaku tercela dari sifat-sifat hamba tebagi menjadi dua : Pertama, bersifat upaya dari
hamba, seperti perbuatan maksiat dan pengingkaran terhadap perintah dan larangan. Kedua,
budi pekertinya yang buruk dalam dirinya yang tercela. Maka terapi dan penyembuhannya
pada diri hamba adalah berjuang melawan kehinaan perilaku tersebut yang telah menjadi
kebiasaan sehari-hari.
Pada sifat yang pertama, termasuk hukum-hukum nafsu adalah hal-hal yang dilarang
setara dengan keharaman atau larangan yang besifat dibenci. Sedangkan pada sifat kedua,
berupa keburukan dan kehinaan akhlak. Inilah batasan globalnya. Kemudian rinciannya, seperti
takabur, amarah, dendam, dengki, buruk akhlak, sedikit bersyukur, dan yang lainnya. Yang
tergolong akhlak tercela.
Hukum nafsu terburuk adalah berupa khayalan bahwa sesuatu perbuatan yang muncul
dari nafsu dianggap baik. Atau perbuatan nafsu itu sebagai bagian takdir. Karena itulah
perbuatan nafsu seperti itu tergolong syirik khafy atau syirik yang samar. Karena itu, terapi
akhlak dalam menyingkirkan nafsu lebih penting daripada berlapar-lapar, haus atau berjaga
(tanpa tidur) dan sebagainya yang mengandung unsur penyusutan kekuatan fisik. Walaupun
cara seperti itu juga termasuk meninggalkan kesenangan nafsu.
Nafsu itu sendir merupakan nuansa lembut yang ada dalam hati, sebagai tempat akhlak
yang tercela. Sebagaimana ruh yang merupakan nuansa lembut dalam hati, namun sebagai
tempat akhlak terpuji. Dalam gambaran yang umum, masing-masing saling meundukkan.
Semuanya, merupakan bagian dari kesatuan manusia. Eksistensi ruh dan nafsu tergolong wadag
lembut dalam rupa, sebagaimana eksistensi malaikat dan setan, dengan sifat-sifat kelembutan.
Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​23
TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN
HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY)
November 11, 2019
Seperti benarnya mata sebagai tempat memnadang, telinga sebagai tempat mendengar,
hidung sebagai tempat penciuman, mulut sebagai tempat rasa, maka, begitu pun orang yang
mendengar, yang melihat, yang mencium dan yang merasakan, semuanya termasuk dalam
bagan manusia. Demikian pula, tempat sifat-sifat yang terpuji, tempatnya adalah hati dan ruh.
Sedangkan sifat-sifat tercela tempatnya adalah nafsu. Nafsu sendiri sebagai bagian dari
keseluruhan tersebut, begitu pula hati, hukum dan nama, kembali pada keseluruhan kesatuan
sosok manusia.
26. R U H
Ahli hakikat dari kalangan Ahli Sunnah berbeda pandangan soal Ruh. Ada yang
berpendapat, ruh adalah kehidupan. Yang lain berpandangan, ruh adalah kenyataan yang ada
dalam hati, yang bernuansa lembut. Allah swt. menjalankan kebiasaan makhluk dengan
mencipta kehidupan dalam hati, sepanjang arwahnya menempel di badan.
Manusia hidup dengan sifat kehidupan. Tetapi arwah selalu tercetak di dalam hati, dan
bisa naik ketika tidur dan berpisah dangan badan, kemudain kembali kepada-Nya.
Manusia terdiri dari ruh dan jasad. Karenanya Allah swt. menundukkan keduanya secara
keseluruhan, baik ketika di Mahsyar, diberi pahala maupun disiksa. Ruh adalah makhluk.
Bagi sementara pihak yang berkata bahwa ruh adalah qadim, merupakan kekeliruan
besar. Beberpa hadits mengindikasikan bahwa ruh adalah materi yang lembut.
27. SIIR
Sirr juga temasuk nuansa halus dalam hati manusia, sebgaimana arwah. Akarnya
menunjukkan bahwa sirr adalah temepat musahadah, sebagaimana arwah temWApat
mahabbah. Sedangkan kalbu tempat ma’rifat.
Para Sufi berkata: “Sirr adalah sessuatu yang membuat Anda mulia. Sedangkan rahasia
sirr, adalah sesuatu yang tidak bisa terungkap selain Allah Yang Haq.”
Dari kesimpulan para kaum Sufi, kita memandang bahwa sirr lebih lembut dibanding ruh.
Dan ruh lebih mulia dibanding kalbu.
Mereka berkata : “Sirr selalu merdeka dari belenggu tipudaya, baik dari pengaruh dunia
maupun kesenangan.”
Kata sirr diucapkan bagi segala hal yang terjaga dan termasuk antara hamba dengan Allah
swt. dalam ihwal ruhani. Dalam hal ini, ucapan seseorang yang mengatakan, “Rahasia-rahasia
kami adalah keperawwanan yang masih suci. Sedang mereka ragu,” masuk kategori ucapan sirr.
Mereka mengatakan : “Hati orang-orang merdeka, selalu menerima rahasia-rahasia jiwa
(asraar).
PRINSIP-PRINSIP TAUHID DALAM PANDANGAN KAUM SUFI
1. ​MA’RIFATULLAH
Abu Bakr asy-Syibly berkata : “Allah adalah Yang Esa, yang dikenal sebelum ada batas dan
huruf. Maha Suci Allah, tidak ada batasan bagi Dzat-Nya, dan tidak ada huruf bagi Kalam-Nya.”
Ruwaym bin Ahmad ditanya mengenai fardhu pertama, yang difardhukan Allah swt.
terhadap makhluk-Nya. Ia berkata : “Ma’rifat.” Karena firman Allah swt. : “Aku tidak
menciptakan jin manusia kecuali untuk menyembah kepada-Ku.” (Qs. Adz-Dzariyaat : 56).
Ibnu Abbas’ menafsiri Illa liya’buduun dimaksudkan adalah Illa liya’rifuuun(kecuali untuk
ma’rifat kepada-Ku).
Al-Junayd berkata : “Haat hikmah pertama yang dibutuhkan oleh hamba
adalah Ma’rifat makhluk terhadap Khalik, mengenal Sifat-sifat Pencipta dan yang tercita
bagSang makhluk merasa hina ketika dipanggil-Nya dan mengakui kewajiban taat kepada-Nya.
Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​24
TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN
HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY)
November 11, 2019
Barangsiapa tidak mengenal Rajanya, maka ia tidak mengakui terhadap raja, kepada siapa
kewajiban-kewajiban harus diberikan.
Abu Thayib –Maraghy berkata : “Akal mempunyai bukti, hikmah mempunyai isyarat, dan
Ma’rifat mempunyai Syahadat. Akal menunjukkan, hikmah mengisyaratkan, dan ma’rifat
menyaksikan; bahwa sanya kejernihan ibadat tidak akan tercapai kecuali melalui kejernihan
tauhid.”
Al-Junayd ditanya soal tauhid, jawabnya : “Menunggalkan Yang Maha Tunggal dengan
mewujudkan Wahdaniyah-Nya lewat keparipurnaan Ahadiyah-Nya. Bahwa Dia-lah Yang Esa
yang tiada beranak dan tidak diperanakkan. Dengan kontra terhadap antagoni, keraguan dan
keserupaan tanpa upaya menyerupakan dan bertanya bagimana, tanpa proyeksi dan
pemisalan; tidak ada sesuatu pun yang menyami-Nya. Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.”
Abu Bakr az-Zahir Abady ditanya tentang Ma’rifat. Jawabnya : “Ma’rifat adalah nama.
Artinya, wujud pengagungan dalam kalbu yang mencegah dirimu dari penyimpanngan dan
penyerupaan.”
2. ​ SIFAT-SIFAT
Abul Hasan al-Busyanjy ra. Berkata : “Tauhid berarti tahu bahwa Allah swt. tidak serupa
dengan makhluk dan tidak kontra pada Sifat-sifat.”
Ah-huasin bin Mansur al-Hallaj menegaskan, “Al-Qidam” hanyalah bagi-Nya. Segala yang
fisikal adalah Penampilan-Nya, yang tampak bendawi menetapkan-Nya, yang piranti
mengintegrasikan-Nya, kekuatannya berada di genggaman-Nya. Hal-hal yang tersusun waktu,
waktulah yang memisahkannya, dan yang ditegakkan oleh selain-Nya, maka bencanalah yang
menyentuhnya. Hal-hal yang terbuat oleh khayal, maka proyeksi menaikkan tahapan
kepada-Nya. Siapa yang berbicara soal tempat, maka akan berjumpa dengan kata di mana.
Sungguh Maha Suci Allah swt. Dia tidak dilindungi oleh sesuatu di atas, dan tidak pula dikecilkan
oleh yang di bawah. Dia tidak menerima batas dan tidak dicampuri keseluruhan. Dia tidak
ditemui oleh yang ada, juga tidak dihilangkan oleh tiada. Sifat-Nya tidak memliki sifat,
pekerjaan-Nya tidak memili cacat. Adanya tak terjangkau. Suci dari ihwal makhluk-Nya. Bahkan
makhluk tidak mencampuri-Nya dan dalam pekerjaan-Nya tak ada yang memasuki-Nya. Dia
menjelaskan kepada makhluk melalui Qidam-Nya, sebagaimana makhluk itu mengenal
penjelasan-Nya melalui kejadian baru (hudus)-Nya.”
Huruf adalah ayat-Nya. Wujud adalah ketetapan-Nya. Ma’rifat adalah tauhid-Nya, dan
tauhidnya adalah perbedaan-Nya dengan makhluk-Nya. Segala yang tergambar oleh khayal,
selalu berbeda dengan-Nya. Bagaimana bisa, Dia menempati sesuatu, yang dari-Nya sesuatu itu
bermula? Atau dia kembali pada sesuatu, padahal Dia-lah yang memunculkaNya ? Dia tidak bisa
dibandingkan dengan dugaan, kedekatan-Nya adalah karamah-Nya, ketinggian-Nya adalah
sesuatu yang tidak berukuran ketinggain, kedatangan-Nya tanpa berpindah, Dia-lah yang Awal
dan yang Akhir, Yang Dzahir dan Yang Batin, Yang Dekat dan Yang Jauh, Yang tidada sesuatu
pun menyamai-Nya, Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Yusuf bin al Husain berkata : “Ada seseorang berdiri di antara dua sisi Dzun Nuun
al-Mishsry, orang itu bertanya, “Berilah aku kabar tentang Tauhid, apa sebenarnya tauhid itu?
Dzun Nuun menjawab : “Tauhid berarti Anda tahu bahwa Kekuasaan Allah swt. terhadap segala
hal tanpa campur tangan, ciptaan-Nya terhadap makhluk tanpa perlu masukan, dari seab
langsung bagi segala sesuatu adalah ciptaan-Nya, dan tidak ada sebab langsung bagi
ciptaan-Nya. Seluruh langit tertinggi dan bumi terendah tak ada yang mengaturnya kecuali
Allah swt. Segala bentuk yang terproyeksi dalam khayal Anda, maka Allah justru berbeda
dengannya.”
Al-Junayd mengatakan : “Tauhid adalah ilmu Anda, dan ikrar Anda behwa sesungguhnya
Allah swt, adalah Tunggal dalam Azali-Nya, tak ada dua-Nya, dan tak sesuatu pun yang
mengerjakan pekerjaan-Nya.”
Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​25
TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN
HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY)
November 11, 2019
3. ​ I M A N
Abu Abdullah bin Khafifi berkata : :Iman berarti penetapan kalbu terhadap apa yang telah
dijelaskan oleh Al-Haq mengenai hal-hal yang gaib.”
Abul AbSayyary berkata : “Pemberian Allah itu ada dua macam :Karamah dan istidraj.
Segala hal yang menerap abadi dalam dirimu adalah karamah, dan segala yang sirna dari dirimu
adalah istidraj. Maka katakan saja , “Aku beriman, insya Allah’!.”
Sahl bin Abdullah at-Tustary menandaskan : “Orang-orang yang beriman melihat Allah
swt, dengan mata hati, tanpa pangkal batasan dan kawasan.
Abul Husain an-Nury berkata : “Kalbu adalah tempat penyaksian al-Haq. Kami tidak
pernah melihat Kalbu yang lebih rindu kepada-Nya, dibandingkan Kalbu Muhammad saw. Lalu
Allah swt. memuliakannya lewat Mi’raj, sebagai pendahuluan terhadap penglihatan kepada
Allah swt, dan penyempurnaan.”
Abu Utsman al-Maghriby berkata : “Aku meyakini sesuatu seputar arah. Ketika aku datang
ke Baghdad, hilanglah semua itu dari kalbuku. Lantas aku menulis surat kepada sahabatku di
Mekkah, “Aku sekarang masuk Islam, dengan Islam yang baru (sebenarnya).”
Abu Utsman ditanya soal mekhluk. Jawabnya : “Cetakan dan bayangan, yang berjalan di
atasnya hukum-hukum Kekuasan Ilahi.”
Al-Wasithy berkata : “Ketika arwah dan jasad tegak dengan seijin Allah, dan keduanya pun
tampak dengan ijin-Nya, maka keduanya pun tegak tidak dengan zatnya. Begitu juga
hasrat-hasrat dan gerak, berdiri tegak, tidak dengan zatnya, seijin Allah. Sebab gerakan-gerakan
dan hasrat itu merupakan cabang bagi jasad dan arwah.
4. ​R E Z E K I
Al-Wasithy ditanya soal kufur bagi dan kepda Allah. Jawabnya : “Kufur dan iman, dunia
dan akhirat, dari Allah kepada Allah, bersama Allah dan bagi Allah. Dari Allah sebagai permulaan
dan awal pemunculan, dan kepada Allah sebagi tempat kembali dan pangkalnya, bersama Allah
baqa’ dan fana’, dan bagi Allah kerajaan dan ciptaan.
Dikaakan oleh al-Junayd, bahwa sebagaian ulama bertanya soal tauhid. Kemudian dijawab
oleh al-Junayd : “Tauhid adalah keyakinan.” “Jelaskan padaku apa tauhid itu? Demikian kata si
penanya. “Tauhid adalah ma’rifat Anda, bahwa segala gerak makhluk dan diamnya merupakan
pekerjaan Allah swt, Dia Maha Esa tidak berkawan. Apabila ada sudah berpadangan demikian,
Anda telah menauhidkan-Nya.” Jawab Junayd.
Seseorang datang kepada Dzun Nuun minta didoakan : “Doakan aku!.” Kata orang
tersebut. “Kalau anda benar-benar mantap dalam ilmu gaib melalui kebenaran tauhid, maka
doa pasti dikabulkan. Jika tidak demikian sesuatu doa tidak mungkin bisa menyelamatkan orang
tenggelam.” Jawab Dzun Nuun.
Abul Husain an-Nury berkata : “Tauhid adalah segala bisikan yang mengisyaraktkan
kepada Allah, bahwa dia bebas dari campur tangan unsur keserupaan.” Sedangkan Abu Ali
ar-Ridzbary ketika ditanya soal tauhid, menjelaskan : “Tauhid adalah istiqamah kalbu dengan
penetapan terhadap suatu pemisahan pada penyimpangan dan pengingkaran terhadap
keserupaan. Tauhid melebur dalam satu kalimat, yaitu : Setiap yang tergambar oleh khayal dan
pikiran, maka Allah swt pasti berbeda dengan khayalan dan pikiran itu.” Karena firman Allah
swt. “
“Tidak ada sesuatu pun yang menyamai-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.” (Qs. Asy-Syuura : 11).
Abul Qasim an-nahr Abadzy berkata : “Surga abadi dengan keabadian yang
diabadikan-Nya, ingatan-Nya keapdamu, rahmat dan mahabbah-Nya kepadamu, abadi dengan
keabadian-Nya, dua hal yang berbeda, sesuatu yang abadi karena abadi-Nya, dan sesuatu yang
abadi karena diabadikan oleh-Nya.
Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​26
TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN
HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY)
November 11, 2019
Ahlul Haq berkata : “Sifat-sifat Dzat Yang Qadim abadi karena badi-Nya, berbeda dengan
ucapan oleh mereka yang bukan ahlul Haq.
Nashr Abadzy menandaskan : “Anda bersimpang siur antara sifat-sifat (fi’l) dengan
sifat-sifat Dzat. Keduanya adalah sifat Allah swt. secara esensial. Apa bila Anda terpancang pada
tahap pisah (tafriqah), maka Anda diintegrasi oleh sifat fi’l. Jika Anda sampai apda tahap al-ja’u
Anda akan terintegrasi oleh sifat-sifat Dzat-Nya.
Sang Syeikh. Imam Bau Ishaq al-Isfirayainy r.a. mengatakan : “Ketika aku datang dari
Baghdad. Aku belajar di masjid Naisabur perihal ruh. Aku menjelaskan secara gamblang bahwa
ruh adalah makhluk. Sementara Abul Qasim Abadzy duduk berjauhan dengan
kamimendengarkan pembicaraanku. Hingga berlalu beberapa hari, kemudian ia mengatakan
kepada Muhammad al-Farra’, ‘Aku bersaksi sesungguhnya kau seorang Muslim baru di tangan
laki-laki ini,’ katanya sambil menunjuk ke arahku.”
Dikisahkan tentang Yahya bin Mu’adz, bahwa seseorang telah berkata kepadanya :
“Tolong beritahu aku mengenai Allah swt?” Yahya menjawab : “Tuhan Yang Esa”. Lalu dikatakan
kepada Yahya : “Bagaimana Dia?” “Dia Raja Yang Maha Kuasa”. Jawab Yahya. Orang itu kembali
beretanya : “Di mana Dia?” “Dia benar-benar mengawai.” Jawabnya. “Aku tidak bertanya
tentang ini.” Tandas si penanya. Maka Yahya menjawab : “Tidak ada lagi selain itu.”
Ibnu Syahin bertanya pada al-Junayd tentang makna : ma’a. Junayd menjawab, bahwa
ma’a mengandung dua makna : ma’al an-biyaa’ (beserta para Nabi), mengandung arti
pertolongan dan penjagaan. Sebagaimana firman Allah swt. :
Sesungguhnya Aku bersama kalian berdua, Aku mendengar dan melihat.” (Qs.Thaaha
:46).
Dan makna ma’a secara umum sebagai predikat ilmu dan liputan. Allah swt. berfirman :
“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah yang keempat.” (Qs.
Al-Mujaadilah : &).
Ibnu Syahin berkomentar : “Orang seperti Anda benar-benar layak untuk menyampaikan
petunjuk kepada ummat, mengenai Allah swt.”
5. ​ARASY
Dzun Nuun ditanya mengenai firman Allah swt.
“Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayan di atas Arasy.” (Qs.Thaha : 5)
Jawabnya : “Yang Maha Pemurah tidak akan sirna, dan Arasy itu dicipta (baru). Sedangkan
Arasy terhadap yang Maha Pemurah (ar-Rahmaan) menjadi semayam (-Nya).”
Ja’far bin Nashr ditanya soal ayat tersebut. “Ilmu-Nya bersemayam terhadap segala
sesuatu. Dan sesuatu tidak ada yang lebih dekat kepada-Nya dari sesuatu yang lain.”
Ja’far ash-Shadiq berkata : “Barangsiapa berpandangan bahwa Allah swt. ada di dalam
sesuatu, atau di atas sesuatu, maka orang itu benar-benar musyrik. Sebab apabila ada di dalam
sesuatu, Allah pasti terbatas. Jika dari sesuatu, Allah pasti baru. Dan jika di atas sesuatu, maka
Allah mengandung sesuatu.”
Ja’far ash-Shadiq menafsiri Kalamullah : “Kemudian Dia mendekat, lalu tambah mendekat
lagi.” (Qs. An-Najm : 8), bahwa :Barangsiapa mengira bahwa dengan sendirinya ia bisa
mendekat, maka ia menciptakan jarak di sana. Padahal mendekat yang dimaksud dalam ayat
tersebut, selama ia mendekat kepada-Nya, ia merasa jauh dari segala ma’rifat. Karena tidak ada
dekat dan tidak ada jauh.”
Al-Kharraz berkata : “Hakikat mendengar adalah hilangnya sentuhan sesuatu dari kalbu
dan penenangan rasa menuju kepada Allah swt.”
Ibrahim al-Khawwas menegaskan : “Suatu ketika secara tidak sengaja aku mendapati
seorang lai-laki yang direkadaya setan, sehingga aku harus mengumandang adzan ke
telinganya. Tiba-tiba terdengar setan memanggilku dari lubang telinganya. “Biarkan ia, aku akan
membunuhnya, karena ia berkata : Al-Qur’an adalah makhluk.”
Ibnu Atha’ (Washil bin Atha’ al-Mu’tazily) berkata : “Sesungguhnya Allah swt. ketika
menciptakan huruf-huruf. Dia membuat rahasia bagi-Nya. Ketika Allah mencipta Adam as.
Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​27
Terjemah kitab al qusyairiyah
Terjemah kitab al qusyairiyah
Terjemah kitab al qusyairiyah
Terjemah kitab al qusyairiyah
Terjemah kitab al qusyairiyah
Terjemah kitab al qusyairiyah
Terjemah kitab al qusyairiyah
Terjemah kitab al qusyairiyah
Terjemah kitab al qusyairiyah
Terjemah kitab al qusyairiyah
Terjemah kitab al qusyairiyah
Terjemah kitab al qusyairiyah
Terjemah kitab al qusyairiyah
Terjemah kitab al qusyairiyah
Terjemah kitab al qusyairiyah
Terjemah kitab al qusyairiyah
Terjemah kitab al qusyairiyah
Terjemah kitab al qusyairiyah
Terjemah kitab al qusyairiyah
Terjemah kitab al qusyairiyah
Terjemah kitab al qusyairiyah
Terjemah kitab al qusyairiyah
Terjemah kitab al qusyairiyah
Terjemah kitab al qusyairiyah
Terjemah kitab al qusyairiyah
Terjemah kitab al qusyairiyah
Terjemah kitab al qusyairiyah
Terjemah kitab al qusyairiyah
Terjemah kitab al qusyairiyah
Terjemah kitab al qusyairiyah
Terjemah kitab al qusyairiyah
Terjemah kitab al qusyairiyah
Terjemah kitab al qusyairiyah
Terjemah kitab al qusyairiyah
Terjemah kitab al qusyairiyah
Terjemah kitab al qusyairiyah
Terjemah kitab al qusyairiyah
Terjemah kitab al qusyairiyah
Terjemah kitab al qusyairiyah
Terjemah kitab al qusyairiyah
Terjemah kitab al qusyairiyah
Terjemah kitab al qusyairiyah
Terjemah kitab al qusyairiyah

More Related Content

What's hot

Makhorijul Huruf dan Sifatul Huruf
Makhorijul Huruf dan Sifatul HurufMakhorijul Huruf dan Sifatul Huruf
Makhorijul Huruf dan Sifatul HurufYusuf Arifin
 
Ppt syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat
Ppt syariat, tarekat, hakikat, dan makrifatPpt syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat
Ppt syariat, tarekat, hakikat, dan makrifatGatot Birowo - STIE AAS
 
Zakat fitrah dan zakat mal
Zakat fitrah dan zakat malZakat fitrah dan zakat mal
Zakat fitrah dan zakat maldania_3d
 
Etika moral, akhlaq dan adab
Etika moral, akhlaq dan adabEtika moral, akhlaq dan adab
Etika moral, akhlaq dan adab031330
 
sejarah dan perkembangan ilmu tauhid
sejarah dan perkembangan ilmu tauhidsejarah dan perkembangan ilmu tauhid
sejarah dan perkembangan ilmu tauhidRoisMansur
 
Konsep Moderasi Beragama
Konsep Moderasi BeragamaKonsep Moderasi Beragama
Konsep Moderasi BeragamaAnis Masykhur
 
Kaidah2 fiqh Al yaqini yuzalu bi syak dan kebolehan dalam darurat
Kaidah2 fiqh Al yaqini yuzalu bi syak dan kebolehan dalam daruratKaidah2 fiqh Al yaqini yuzalu bi syak dan kebolehan dalam darurat
Kaidah2 fiqh Al yaqini yuzalu bi syak dan kebolehan dalam daruratArif Arif
 
PPT Iman kepada kitab kitab allah (nisrokhah)
PPT Iman kepada kitab kitab allah (nisrokhah)PPT Iman kepada kitab kitab allah (nisrokhah)
PPT Iman kepada kitab kitab allah (nisrokhah)Nisrokhah6
 
Ppt ski-bani-umayyah
Ppt ski-bani-umayyahPpt ski-bani-umayyah
Ppt ski-bani-umayyahselikurfa
 
Al-aam dan Khos Fiqh Muamalah
Al-aam dan Khos Fiqh MuamalahAl-aam dan Khos Fiqh Muamalah
Al-aam dan Khos Fiqh MuamalahYusuf Darismah
 
Contoh qodhiyah dalam ilmu mantiq
Contoh qodhiyah dalam ilmu mantiqContoh qodhiyah dalam ilmu mantiq
Contoh qodhiyah dalam ilmu mantiqIsna Fitrotin
 
Pengurusan jenazah powerpoint
Pengurusan jenazah powerpointPengurusan jenazah powerpoint
Pengurusan jenazah powerpointNenk Ajalah
 
Konsep Keluarga dalam Islam - (Secara Ringkas)
Konsep Keluarga dalam Islam - (Secara Ringkas)Konsep Keluarga dalam Islam - (Secara Ringkas)
Konsep Keluarga dalam Islam - (Secara Ringkas)Rendra Fahrurrozie
 
sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis
sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis
sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis Musyfi'ah Musyfi'ah
 

What's hot (20)

Makhorijul Huruf dan Sifatul Huruf
Makhorijul Huruf dan Sifatul HurufMakhorijul Huruf dan Sifatul Huruf
Makhorijul Huruf dan Sifatul Huruf
 
Ppt syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat
Ppt syariat, tarekat, hakikat, dan makrifatPpt syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat
Ppt syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat
 
Model penelitian agama
Model penelitian agamaModel penelitian agama
Model penelitian agama
 
Zakat fitrah dan zakat mal
Zakat fitrah dan zakat malZakat fitrah dan zakat mal
Zakat fitrah dan zakat mal
 
Etika moral, akhlaq dan adab
Etika moral, akhlaq dan adabEtika moral, akhlaq dan adab
Etika moral, akhlaq dan adab
 
sejarah dan perkembangan ilmu tauhid
sejarah dan perkembangan ilmu tauhidsejarah dan perkembangan ilmu tauhid
sejarah dan perkembangan ilmu tauhid
 
PPT Puasa Ramadhan
PPT Puasa RamadhanPPT Puasa Ramadhan
PPT Puasa Ramadhan
 
Konsep Moderasi Beragama
Konsep Moderasi BeragamaKonsep Moderasi Beragama
Konsep Moderasi Beragama
 
Ppt fikih
Ppt fikihPpt fikih
Ppt fikih
 
Ppt zakat fitrah
Ppt zakat fitrahPpt zakat fitrah
Ppt zakat fitrah
 
Presentasi Fiqh Zakat
Presentasi Fiqh ZakatPresentasi Fiqh Zakat
Presentasi Fiqh Zakat
 
Kaidah2 fiqh Al yaqini yuzalu bi syak dan kebolehan dalam darurat
Kaidah2 fiqh Al yaqini yuzalu bi syak dan kebolehan dalam daruratKaidah2 fiqh Al yaqini yuzalu bi syak dan kebolehan dalam darurat
Kaidah2 fiqh Al yaqini yuzalu bi syak dan kebolehan dalam darurat
 
PPT Iman kepada kitab kitab allah (nisrokhah)
PPT Iman kepada kitab kitab allah (nisrokhah)PPT Iman kepada kitab kitab allah (nisrokhah)
PPT Iman kepada kitab kitab allah (nisrokhah)
 
Ppt ski-bani-umayyah
Ppt ski-bani-umayyahPpt ski-bani-umayyah
Ppt ski-bani-umayyah
 
PPT puasa
PPT puasaPPT puasa
PPT puasa
 
Al-aam dan Khos Fiqh Muamalah
Al-aam dan Khos Fiqh MuamalahAl-aam dan Khos Fiqh Muamalah
Al-aam dan Khos Fiqh Muamalah
 
Contoh qodhiyah dalam ilmu mantiq
Contoh qodhiyah dalam ilmu mantiqContoh qodhiyah dalam ilmu mantiq
Contoh qodhiyah dalam ilmu mantiq
 
Pengurusan jenazah powerpoint
Pengurusan jenazah powerpointPengurusan jenazah powerpoint
Pengurusan jenazah powerpoint
 
Konsep Keluarga dalam Islam - (Secara Ringkas)
Konsep Keluarga dalam Islam - (Secara Ringkas)Konsep Keluarga dalam Islam - (Secara Ringkas)
Konsep Keluarga dalam Islam - (Secara Ringkas)
 
sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis
sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis
sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis
 

Similar to Terjemah kitab al qusyairiyah

Pokok pokok-manhaj-salaf-2-6
Pokok pokok-manhaj-salaf-2-6Pokok pokok-manhaj-salaf-2-6
Pokok pokok-manhaj-salaf-2-6Ra Hardianto
 
المكاشفة والمشاهدة
المكاشفة والمشاهدةالمكاشفة والمشاهدة
المكاشفة والمشاهدةwan rizal
 
Memahami konsep dan implementasi at tamakkun
Memahami konsep dan implementasi at tamakkunMemahami konsep dan implementasi at tamakkun
Memahami konsep dan implementasi at tamakkunMuhsin Hariyanto
 
AKIDAH AKHLAK RESUME KB 2.docx
AKIDAH AKHLAK RESUME KB 2.docxAKIDAH AKHLAK RESUME KB 2.docx
AKIDAH AKHLAK RESUME KB 2.docxyandra helira
 
39cedf97-bb30-4cc1-9d52-adbb2783b2f4.pdf
39cedf97-bb30-4cc1-9d52-adbb2783b2f4.pdf39cedf97-bb30-4cc1-9d52-adbb2783b2f4.pdf
39cedf97-bb30-4cc1-9d52-adbb2783b2f4.pdfRitaYusuf2
 
Al Jam’ dan al-Farq
Al Jam’ dan al-FarqAl Jam’ dan al-Farq
Al Jam’ dan al-FarqMazlan Ahmad
 
Membangun sikap khauf dan raja'
Membangun sikap khauf dan raja'Membangun sikap khauf dan raja'
Membangun sikap khauf dan raja'Muhsin Hariyanto
 
Memahami konsep dan implementasi at tamakkun
Memahami konsep dan implementasi at tamakkunMemahami konsep dan implementasi at tamakkun
Memahami konsep dan implementasi at tamakkunMuhsin Hariyanto
 
Adab terhadap Al-Qur'an
Adab terhadap Al-Qur'anAdab terhadap Al-Qur'an
Adab terhadap Al-Qur'anridwansyah218
 
Proses mendapatkan akidah
Proses mendapatkan akidahProses mendapatkan akidah
Proses mendapatkan akidahghaziplanters
 
"Hadith-Hadith Dhaif Bersangkut Haji Yang Dilemahkan Oleh : Al-`Ulwan , Al-Th...
"Hadith-Hadith Dhaif Bersangkut Haji Yang Dilemahkan Oleh : Al-`Ulwan , Al-Th..."Hadith-Hadith Dhaif Bersangkut Haji Yang Dilemahkan Oleh : Al-`Ulwan , Al-Th...
"Hadith-Hadith Dhaif Bersangkut Haji Yang Dilemahkan Oleh : Al-`Ulwan , Al-Th...Kaminorsabir Kamin
 
Tafsir qs al qalam - 68, ayat 44-45 - memahami dan menyikapi fenomena istridraj
Tafsir qs al qalam - 68, ayat  44-45 - memahami dan menyikapi fenomena istridrajTafsir qs al qalam - 68, ayat  44-45 - memahami dan menyikapi fenomena istridraj
Tafsir qs al qalam - 68, ayat 44-45 - memahami dan menyikapi fenomena istridrajMuhsin Hariyanto
 
BUKLET Kewajiban Syariah Islam PDF
BUKLET Kewajiban Syariah Islam PDFBUKLET Kewajiban Syariah Islam PDF
BUKLET Kewajiban Syariah Islam PDFAnas Wibowo
 

Similar to Terjemah kitab al qusyairiyah (20)

Pokok pokok-manhaj-salaf-2-6
Pokok pokok-manhaj-salaf-2-6Pokok pokok-manhaj-salaf-2-6
Pokok pokok-manhaj-salaf-2-6
 
المكاشفة والمشاهدة
المكاشفة والمشاهدةالمكاشفة والمشاهدة
المكاشفة والمشاهدة
 
Memahami konsep dan implementasi at tamakkun
Memahami konsep dan implementasi at tamakkunMemahami konsep dan implementasi at tamakkun
Memahami konsep dan implementasi at tamakkun
 
AKIDAH AKHLAK RESUME KB 2.docx
AKIDAH AKHLAK RESUME KB 2.docxAKIDAH AKHLAK RESUME KB 2.docx
AKIDAH AKHLAK RESUME KB 2.docx
 
Modul 12 kb 4
Modul 12 kb 4Modul 12 kb 4
Modul 12 kb 4
 
39cedf97-bb30-4cc1-9d52-adbb2783b2f4.pdf
39cedf97-bb30-4cc1-9d52-adbb2783b2f4.pdf39cedf97-bb30-4cc1-9d52-adbb2783b2f4.pdf
39cedf97-bb30-4cc1-9d52-adbb2783b2f4.pdf
 
Al Jam’ dan al-Farq
Al Jam’ dan al-FarqAl Jam’ dan al-Farq
Al Jam’ dan al-Farq
 
Maqamat wa Ahwal
Maqamat wa AhwalMaqamat wa Ahwal
Maqamat wa Ahwal
 
Buku mafahim bkldk
Buku mafahim bkldkBuku mafahim bkldk
Buku mafahim bkldk
 
Membangun sikap khauf dan raja'
Membangun sikap khauf dan raja'Membangun sikap khauf dan raja'
Membangun sikap khauf dan raja'
 
Tauhid
TauhidTauhid
Tauhid
 
Memahami konsep dan implementasi at tamakkun
Memahami konsep dan implementasi at tamakkunMemahami konsep dan implementasi at tamakkun
Memahami konsep dan implementasi at tamakkun
 
Adab terhadap Al-Qur'an
Adab terhadap Al-Qur'anAdab terhadap Al-Qur'an
Adab terhadap Al-Qur'an
 
Proses mendapatkan akidah
Proses mendapatkan akidahProses mendapatkan akidah
Proses mendapatkan akidah
 
TANDA_TANDA_BALIGH.pptx
TANDA_TANDA_BALIGH.pptxTANDA_TANDA_BALIGH.pptx
TANDA_TANDA_BALIGH.pptx
 
"Hadith-Hadith Dhaif Bersangkut Haji Yang Dilemahkan Oleh : Al-`Ulwan , Al-Th...
"Hadith-Hadith Dhaif Bersangkut Haji Yang Dilemahkan Oleh : Al-`Ulwan , Al-Th..."Hadith-Hadith Dhaif Bersangkut Haji Yang Dilemahkan Oleh : Al-`Ulwan , Al-Th...
"Hadith-Hadith Dhaif Bersangkut Haji Yang Dilemahkan Oleh : Al-`Ulwan , Al-Th...
 
BAB 1 .ppt
BAB 1 .pptBAB 1 .ppt
BAB 1 .ppt
 
Tafsir qs al qalam - 68, ayat 44-45 - memahami dan menyikapi fenomena istridraj
Tafsir qs al qalam - 68, ayat  44-45 - memahami dan menyikapi fenomena istridrajTafsir qs al qalam - 68, ayat  44-45 - memahami dan menyikapi fenomena istridraj
Tafsir qs al qalam - 68, ayat 44-45 - memahami dan menyikapi fenomena istridraj
 
BUKLET Kewajiban Syariah Islam PDF
BUKLET Kewajiban Syariah Islam PDFBUKLET Kewajiban Syariah Islam PDF
BUKLET Kewajiban Syariah Islam PDF
 
membiasakan perilaku terpuji
membiasakan perilaku terpujimembiasakan perilaku terpuji
membiasakan perilaku terpuji
 

Terjemah kitab al qusyairiyah

  • 1. TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY) November 11, 2019 Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​1
  • 2. TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY) November 11, 2019 TERMINOLOGI TASAWUF (Istilah kata-kata dalam bahasa tasawuf) 1. W A K T U Esensi waktu (al-Waqt). Menurut penelaah ahli hakikat, adalah suatu peristiwa yang terbayangkan, yang hasilnya dikaitkan pada peristiwa yang terjadi. Peristiwa yang terjadi merupakan waktu bagi peristiwa yang dibayangkan (akan datang). Seperti kalimat, “Anda di datangi awal bulan”, maka, “kedatangan” merupakan sesuatu yang terbayang. Sedangkan awal bulan adalah sesuatu yang terjadi nyata. Awal bulan berarti waktu bagi kedatangan. Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq ra. Berkata : “Waktu adalah sesuatu yang Anda berada di dalamnya. Kala Anda di dunia, maka waktu Anda adalah dunia. Bila di akhirat, maka waktu Anda adalah akhirat. Ketika Anda senang, itulah waktu Anda. Kalau Anda susah, susah itulah waktu Anda.” Maksud Syeikh tadi, waktu memiliki definini yang umum bagi manusia. Ada kala waktu diartikan sebagai zaman. Ada kalangan yang mengatakan, waktu merupakan sesuatu antara dua zaman. Yang lampau dan yang akan datang. Mereka juga mengatakan, bahwa orang Sufi merupakan anak sang waktu. Kalimat tersebut dimaksudkan, bahwa sang Sufi disibukkan dengan priorotas utama yang harus dikerjakan ketika itu, mandiri terhadap perolehan seketika. Dikatakan : “Orang fakir tidak mementingkan apa yang telah lewat dan yang akan tiba dalam waktunya, tapi lebih mementingkan apa yang ada pada saat itu.” Dikatakan : “Menyibukkan terhadap waktu yang berlalu, berarti menelantarkan waktu berikutnya.” Terakdang mereka bermaksud mendefinisikan waktu sebagai sesuatu yang dilakukan ooleh Al-Haq kepada mereka tanpa adanya pilihan bagi mereka. Mereka mengatakan ( si Fulan dengan hukum waktu). Yakni : Fulan menyerahkan diri kepada yang tampak dari yang ghaib tanpa usahanya sendiri. Yaitu dalam hal yang tidak masuk kategori perintah Allah swt, atau terapan menurut hukun syariat. Karena adanya penelantaran terhadadap apa yang diperintah dan merekayasa dalam waktu untuk mengalahkan takdir, di samping meninggalkan kepedulian terhadap sesuatu yagn Anda hasilkan melalui penyimpangan, berarti keluar dari agama. Mereka berkata : “Waktu adalah pedang”. Sebagaimana fungsi pedang itu sendiri untuk memotong. Maka waktu, disebabkan oleh kebenaran yang berlalu, yang memenangkan kebenaran, akan melewatinya. Dikatakan : “Pedang sangat halus sentuhannya, namun tajam sayatannya. Barangsiapa menghindarinya (berkelit) akan selamat dan barangsiapa bertindak kasar akan tertebas olehnya. Begitu juga waktu, siapa yang mencurahkan pada hukum waktu akan selamat, dan barangsiapa menentangnya akan tertebas dan jatuh dalam kehancuran.” Seperti dalam bait ini : Dan seperti pedang.. Jika tak mencegahnya untuk menyentuh Tajamnya, kalau mengasari tergoreslah. Barangsiapa ditolong sang waktu, maka waktu hanya baginya. Dan barangsiapa menentangnya, sang waktu pun akan marah ke padanya. Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Waktu adalah pembubut yang akan menggilasmu, namun tidak melenyapkanmu. Yakni, jika melenyapkan dan menyirnakanmu, pasti bersih ketika dirimu sirna. Akan tetapi waktu mengambilmu, tanpa melenyapkanmu sama sekali.” Sang Syeikh bersyair : Setiap hari ia lewat meraih tanganku.. Memberikan penyesalan dalam hatiku.. Kemudian... ia berlalu.. Dalam syair pula : Seperti penghuni neraka Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​2
  • 3. TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY) November 11, 2019 Jika kulit-kulitnya terpanggang matang.. Kembali pula kulit itu, Bagi suatu penderitaan. Dikatakan : Bukanlah orang mati itu Orang istirahat sebagai mayit. Tetapi orang mati itu Kematian hidupnya. Orang cerdas adalah orang yang berada dalam hukum waktunya. Apabila waktunya adalah sadar dalam Ilahi (ash-shahw), maka ia tegak mandiri dengan syari’at. Apabila waktunya adalah sirna dalam Ilahi, yang kompeten adalah hukum-hukum hakikat. 2. M A Q A M Maqam adalah tahapan adab (etika) seorang hamba dalam wushul kepada-Nya dengan macam upaya, di-wujud-kan dengan suatu tujuan pencarian dan ukuran tugas. Masing-masing berada dalam tahapannya sendiri ketika dalam kondisi tersebut, serta tingkah laku riyadhah menuju ke pada-Nya. Syaratnya, seorang hamba tidak akan menaiki dari satu maqam ke maqam lainnya sebelum terpenuhi hukum-hukum maqam tersebut. Barangsiapa yang belum sepeuhnya qana’ah, belum bisa mencapai tahap tawakkal. Dan siapa yang belum bisa tawakal tidak sah bertaslim. Siapa yang tidak bertobat, tidak sah pula ber inabat, dan barang siapa tidak wara’ tidak sah untuk ber zuhud. Al-Maqam berarti iqamah, sebagaimana kata al-madkhal berarti idkhaal, dan al-makhraj berarti al-ikhraaj. Tidak seorang pun sah menahapi suatu maqam, kecuali dengan penyaksian terhadap kedudukan Allah swt. terhadap dirinya dengan maqam tersebut, yang dengannya strutur bangunan ruhaninya benar menurut pondasi yang shahih. Saya mendangar Abu ali- al-Daqqaq r.a. berkata : “Ketika al-Wasithy masuk ke Naisabur, bertanyalah ia kepada santri Abu Utsman, : “Apa yang diperintahkan Syeikh kalian kepada kalian? Mereka menjawab : “Kami diperintah untuk menetapi taat serta melihat dan meneliti penyimpangan di dalamnya.” Maka al-Wasithy berkata, “Syeikh kalian memerintah dengan cara Majusi murni? Apakah Syeikh kalian tidak memerintah diri kalian dengan hal yang gaib dengan memandang ke pada Yang Memunculkan dan Menjalankan yang gaib? Maksud al- Wasithy dengan kta-kta itu, agar mereka menjaga diri dari posisi takjub. Bukannya menaiki ke arah wilayah penyimpangan atau keteledoran (taqshir), karena yang demikian bisa merusakkan adanya cacat dalam adab. 3. H A A L Al-Haal (kondisi ruhani) menurut banyak orang merupakan arti yag intuitif dalam hati; tanpa adanya unsur sengaja, usaha menarik, dan usaha lainnya, dari rasa senang atau sedih, leluasa atau tergenggam, rindu atau berontak, rasa takut atau suka cinta, maka setiap al-Haal merupakan karunia. Dan stiap Maqam adalah upaya. Pada al-Haal datang dari Wujud itu sendiri, sedang al-Maqam diperoleh melalui upaya perjuangan. Orang yang memiliki Maqam, menempati maqamnya, dan orang yang berada dalam Haal, bebas dari kondisinya. Dzunnun al-Mishri ditanya tentang Al-‘Arif. Dia menjawab, Al-‘arif itu ada disini, lalu dia pergi. Salah seorang guru berkata : “Beberapa al-Haal seperti kilatan kalau menetap, itu sekedar omongan nafsu.” Mereka berkata : “Al-Haal sebagaimana namanya, yakni al-Haal seperti ketika menempati dalam kalbu, kemudian hilang. Kalau tidak menempati, pasti tidak dinamakan haal. Dan setiap yang menempati, pastilah hilang, Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​3
  • 4. TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY) November 11, 2019 Lihatlah pada bayangan ketika sampai ujungnya Berkuranglah ketika ia memanjang Beberpa kalangan mengisyaratkan abadinya al-Haal. Mereka berkata : “Sebenarnya jika al-Haal tidak abadi dan tidak terdelegasi, itu hanyalah kilatan belaka. Pelakunya tidak sampai pada al-Haal yang sebenarnya. Apabila predikat tersebut menetap terus, dinamkan al-Haal.” Di sinilah Abu Utsman al-Hiry berkata “Aku tidak pernah benci terhadap maqam yang telah diberikan Allah swt. Kepadaku.” Ia mengisyaratkan ketetapan abadinya dalam ridha. Dan ridha merupakan bagian dari al-Haal. Seharusnya dikatakan : Orang yang mengisyaratkan abadinya al-Haal, maka apa yang dikatakannya benar. Terkadang al-Haal berarti bagian dari seseorang kemudian terpelihara di dalamnya. Tetapi yang memiliki al-Haal ini memiliki beberapa ihwal, yaitu jalan-jalan yang tak menetap di atas ihwal-ihwalnya yang menjadi bagiannya. Bila jalan-jalan yang ditempuh menetap secara konsisten, seperti menetapnya ihwal-ihwal tersebut, ia naik ke ihwal lain yang lebih lembut. Dan begitu selanjutnya, naik ke tahap seterusnya. 4. QABDH DAN BASTH Kedua istilah ini merupakan kondisi ruhani setelah seseorang hamba menahapi tingkah laku al-Khauf dan ar-Raja’. Al-Qabdh di mata seorang arif sama kedudukannya dengan tahap al-Khauf di mata pemula. Sedangkan al-Basth, setara kedudukannya dengan a-Raja’ di mana pemula yang mencari jalan kepada Allah swt. Perbedaan antara Qabdh, Khauf, Basth dan Raja’ Al-Khauf : Muncul dari sesuatu di masa depan, terkadang takut kehilangan sang kekasih, atau datangnya sesuatu yang ditakuti. Ar-Raja’ : Membayangkan sang kekasih di masa depan atau sesuatu yang ditampakkan akan hilangnya yang ditakuti, serta yang dibenci, bagi mereka yang pemula (dalam dunia Sufi). Al-Qabdh : Tahap ruhani yang maknanya yang dihasilkan dalam waktu seketika, begitu juga al-Basth. Orang yang mempunyia khauf dan raja’, hatinya bergantung dalam dua kondisi waktu di depannya. Sedangkan yang memiliki qabdh dan basth, waktunya diambil oleh yang mengalahkan dalam kekinian. Hanya saja predikatnya terpaut dalam qabdh dab bats menurut keterpaduan ihwal mereka. Dari segi yang datang, qabdh menjadi keharusan, namun menetapi sesuatu yang lain, karena tak terpenuhi. Dan ddari segi yang tergenggam (al-maqbudh), tidak ada jalan selain dominsai pendatang di dalam dirinya. Karena diambil secara keseluruhan dari pihak pendatang tersebut. Demikian pula yang dileluasakan (al-mabsuth), Kadang-kadang di dalamnya ada basth yang membuat sang makhluk menjadi luas, sehingga tidak takut terhadap segala hal. Ia menjadi mambsuth, tiada sesuatu pun berpengaruh di dalamnya, dari satu ihwal ke ihwal lain. Saya mendengar Abu ali al-Daqqaq r.a. berkata : “Sebagian orang memasuki tempat Abu Bakr al-Qihthy. Di sana ada seorarng anak sedang bermain sebagaimana permainan anak-anak muda lainnya (yang bisa merusak hatinya). Orang-orang itu melewati tempat anak tersebut, dan tampaknya ia tenggelam dalam permainan dengan teman-temannya. Mereka merasa ibi kepada al-Qihthy, serayaa berkata, ‘Kasihan Syeikh, bagaimana digoda oleh anak-anak jelek itu? Ketika mereka memasuki rumah al-Qihthy, ia menemuinya seakan-akan tak ada berita sedikit pun soal mainan-mainan itu, lalu mereka pun heran. Mereka berkata. ‘Anda menebus orang yang tidak dapat dipengaruhi puncak-puncak bukit?’ Al-Qihthy menjawab : “Sesungguhnya kami telah dibebaskan dari belenggu segala hal dalam azali.” (artinya, ia telah tenggelam dalam keparipurnaan ubudiyah kepada Allah swt. sehingga tidak ada yang berpengaruh selain Allah swt.). Kewajiban terendah dalam qabdh, adanya subyek dalam hatinya yang mengharuskan bentuk isyarat cacat pada diri, atau adanya rumus yang di dalamnya seseorang berhak untuk bersopan santun (adab), sehingga dalam kalbunya mendapatkan qabdh. Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​4
  • 5. TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY) November 11, 2019 Terkadang yang datang dalam kalbunya merupakan isyarat untuk mendekat, atau yang diterima merupakan kelembutan dan ketentraman, sehingga kalbu mendapatkan basth. Secara global, wabdh masing-masing pelaku tergantung kualitas basth-nya, begitu juga basth-nya diukur menurut qabdh-nya. Terkadang sebab musabab qabdh menimbulkan musykil bagi pelakunya. Dalam kalbunya ditemukan qabdh yang tidak dimengerti apa keharusan dan sebabnya. Keharusan yang dijalani pelaku seperti ini alah taslim, sehingga waktu seperti itu berlalu. Sebab jika dicari, justru akan menghalanginya. Atau ia menghadap waktu sebelum jatuh padanya, lewat ikhtiarnya, sehingga berharap wabdh-nya bertambah. Barangkali hal itu tergolong su’ul adab. Jika menyerahkan diri pada hukum waktu, maka dari dekat akan menghilangkan al-qabdh. Sesungguhnya Allah swt. berfirman : “Dan sesungguhnya Allah menyempitkan dan melapangkan, dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan,” (Qs. Al-Baqarah : 245). Terkadang basth datang seketika, tanpa si pelaku tahu sebabnya, sehingga ia pun terkejut. Jalan yang harus ditempuh, jika demikian, ia harus tenang dn menjaga adab. Pada waktu itu, ia sedang mengalami bisikan yang besar. Karena itu, si pelaku harus menghindari makar yang samar di daamnya. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh sebagian Sufi, “Telah dibuka padaku, pintu basth, kemudian diriku terguncang hebat, lantas aku pun tertutup dari maqamku.” Karenanya berkatalah mereka, “Bertetaplah apda kelapangan (al-bisath) dan hati-hatilah, berupaya melapangkan.” Ada ahli hakikat (tahqiq) mengategorikan perilaku qabdh dan basth tergolong sesuatu yang mereka mohonkan perlindungan. Karena keduanya disandarkan pada yang diatasnya berupa tahap kehancuran hamba, sedangkan upaya hamba memasukinya dalam dunia hakikat dapat melahirkan fakir dan bahaya. Al-Junayd berkta : “Al-Khauf dari Allah membuatku tergenggam, Dan ar-Raja’ dari Allah membuatku lapang. Hakikat telah mengumpulkan diriku. Dan Al-Haq memisahkanku. Apabila Dia membuatku tergenggam adalah khauf, Dia menjadikan diriku fana’ dari diriku. Apabila ar-Raja’ melapangkanku, Dia mengembalikan kepadaku. Apabila diriku terintegrasi hakikat, maka Dia menghadirkanku. Apabila aku dipisahkan Al-Haq, aku disaksikan oleh selain diriku, kemudian menutupiku, Allah swt. dalam semua hal itu adalah penggerakku tanpa mengekangku, Dia yang membuatku takut tanpa genmbiraku. Aku dengan kehadiranku, merasakan rasa wujud-ku. Fana’ku datang dari diriku, membuatku nikmat, atau mengabaikan dariku, sehingga aku ringan. 5. HAIBAH DAN UNS Rasa takut sisertai rasa hormat luar biasa (haibah) dan sukacita jiwa (uns) merupakan tahap dari derajat-derajat dalam al-qabdh dan al-basth. Kalau qabdh berada di atas tingkatan khauf, dan basth di atas tingkatan raja’, maka haibah lebih tinggi dariapda qabdh, kemudian uns lebih sempurna daripada basth. (Maksudnya, Uns lebih tinggi tahapannya. Sebab haibah muncul dari Qabdh, yang bermula dari Khauf. Sedang Uns muncul dari Raja’. Karena orang yang takut kepada Allah swt, melihat kekurangan dirinya di hadapan Allah, hatinya akan terganggu oleh-Nya, dan yang tersisa hanyalah sibuk dengan Allah, sehingga muncullah Haibah. Siapa yang wushul-nya terus menerus, hatinya akan lapang dan mendapatkan uns. Catatan Kaki). Hak haibah adalah kegaiban. Setiap pelaku haibah senantiasa lebur dalam kegaiban. Orang-orang yang berada dalam gaib frekuensinya berbeda dalam haibah menurut penjelasan mereka dalam kegaiban. Sedangkan hak uns adalah pencerahan dalam kebenaran. Orang yang melakukan uns, berarti cerah jiwanya. Kemudian frekuensinya berbeda menurut penjelasannya dalam bagian “minuman jiwa”. Mereka berkata : “Tempat terendah dalam al-uns adalah jika seseorang dilempar ke dalam neraka Jahanam, sama sekali sukacitanya tidak terpengaruh.” Al-Junayd berkata : “Aku mendengar batinku berkata : “Seorang hamba bisa ssampai pada suatu batas seandainya wajahnya tertebas pedang, sama sekali tidak merasakannya.” Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​5
  • 6. TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY) November 11, 2019 Sedangkan dalam hatiku ada sesuatu, hingga tampak jelas bahwa persoalannya sampai sedemikian itu.” Diriwayatkan dari Ahmad bin Maqatil al-Ikky, ia berkata : “Aku memasuki tempat asy-Syibly, sedangkan beliau tengah mencabut helai bulu alisnya dengan sebuah penjepit. Aku katakan kepadanya; “Wahai tuanku, Anda berbuat demikian apda diri sendiri, sementara rasa pedihnya kembali pada hatiku.’ Ia menjawab : “Celaka Anda! Hakikat itu tampak padaku, dan aku tidak kuat memikulnya. Maka beginilah, aku memasuki kepedihan atas diriku, siapa tahu aku merasakannya, lalu tertutup dariku. Aku tak menemukan kepedihan itu. Dan tidak tertutup dariku, sedangkan kepedihan itu membuatku tidak tahan.” Kondisi haibah dan uns, walaupun masing-masing tampak jelas, bagi ahli hakikat masih dikategorikan kurang, karena keduanya mengandung perubahan pada diri hamba. Sedangkan yang tidak berubah, dinamakan ahli tamkin. Mereka hangus dalam wujud nyata. Tidak ada haibah dan tidak pula uns, tidak ilmu maupun rasa. Cerita ini dikenal dari Abu Sa’id al-Kharraz : “Suatu saat di kampung, aku berkata : Aku datang, maka aku tak mengerti Dari mana, siapa aku, Kecuali apa yang dikatakan manusia Pada diriku dan dalam jenisku, Aku datangi jin dan manusia Jika tak kutemui seorang pun, Aku datangi diriku. Kemudian ada bisikan lembut menyusup ke dalam kalbuku : Amboi, siapa yang tahu sebab-sebab Yang lebih luhur wujud-nya, Lalu ia bersukaria dengan kesesatan yang hina Dan dengan manusia Kalau engkau dari ahli wujd yang hakiki Pastilah engkau gaib dari Jagad, Arasy dan Kursy Sedang engkau tanpa kondisi ruhani bersama Allah Jauh dari mengingat Pada jin dan manusia. 6. TAWAJUD, WUJD DAN WUJUD Tawajud adalah upaya memohon ekstase ruhani (wujd), melalui salah satu ragam ikhtiar. Orang yang memiliki tawajud tidak dapat dkategorikan sempurna wujd-nya. Sebab, kalau ia sempurna, pasti disebut wajid. Dalam bab wazan Tafa’ul lebih banyak menampakkan sifat. Padahal bukan demikian, seperti dalam syair : Bila kelompak mata menjadi sempit; Dan padaku tiada lagi sulit membuka Lalu kurobek mata, tanpa cela. Ada pandangan yang mengatakan, “Tawajud tidak terpasrahkan kepada pemangkunya karena adanya beban dan masih jauh dari tahqiq.” Ada pula yang mengatakan : “Tawajud diserahkan kepada para fakir yang secara internal mengintai untuk menemukan makna-makna tersebut.” Hakikat yang bisa dikenal, muncul dari kisah Abu Muhammad al-Jurairy, r.a. bahwa ia berkata : “Ketika aku di sisi al-Junayd, di sana da Ibnu Masruq. Tiba-tiba Ibnu Masruq dan yang lain berdiri sementara al-Junayd tetap saja diam. Aku berkata, “Tuanku, tidakkah Anda mempunyai suatu pengalaman dalam penyimakan?’ Al-Junayd menjawab : “Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka ia tetap ditempatnya, padahal ia berjalan seperti jalannya awan.” (Qs. An-Naml :88). Lalu al-Junayd pun bertanya. “Anda, wahai Abu Muhammad, tidakkah Anda berpengalaman juga dalam penyimakan?’ Aku katakan : “Tuanku, ketika aku Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​6
  • 7. TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY) November 11, 2019 hadir di suatu temepat yang di dalamnya sedang berlangsung penyimakan, tiba-tiba di sana ada orang-orang yang bersenang-senang dengan rasa malu, mka aku mengekang diri dan wujd-ku. Ketika aku menghindar, aku mengirimkan wujd-ku, lalu aku ber-tawajud,” Kemudian kata tawajud disebut dalam hikayat tersebut, sedangkan al-Junayd tidak mengingkarinya. Saya mendengar Syeikh Abu Ali al-Daqqaq r.a. berkata : “Apabila manusia menjaga dtika keutamaan sat dalam penyimimakan, Allah menjaga diri dan waktunya, karena berkat etikanya.” Sedangkan ekstase ruhani (wujd) itu sendiri merupakan sesuatu yang bersesuaian dengan hati Anda, yang datang tanpa kesengajaan ataupun diupayakan. Karena itu para Syeikh mengatakan : “Wujd adalah persesuaian hati, sedangkan al-mawajid (jama’ al-wujd) merupakan bauh dari wirid. Setiap orang yanng bertambah upaya ruhaninya, Allah pun akan menambah kelembutannya.” Saya mendengar Syeijh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata : “Sesuatu yang sempit di dalam hati itu, muncul dari sisi wirid. Siapa yang tidak wirid dengan lahiriahnya, maka tidak wirid pula dalam sirr-nya. Setiap ada sesuatu di dalam diri pelaku al-wujd, maka tidak dapat dikategorikan sebagai wujd. Seperti suatu al yang dilakukan melalui muamalat lahriah akan menemukan manisnya ketaatan, dan apa yang mualamat lahriah akan menemukan manisnya ketaatan, dan apa yang turun dalam btin hamba seputar hukum-hukum batin, akan menemukan al-mawajid. Kemanisan adalah buah dari mualamat, dan mawajid merupakan produk dari karunia yang turun” Sedangkan wujud, merupakan suatu kondisi setelah menapaki tahap wujd. Wujud Al-Haq tidak dapat dicapai kecuali setelah memadamkan unsur manusiawinya. Karena kemanusiawian tidak akan baqa’ ketika muncul kekuasaan Hakikat. Inilah arti dari ucapan Husain an Nury, “Sejak dua puluh tahun aku berada antara Ada dan tiada, yakni : Ketika kutemui Tuhanku, sirnalah hatiku, dan ketika kutemui hatiku, aku kehilangan Tuhan-ku.” Pernyataan ini relevan pula dengan ucapan al-Junayd, “Ilmu Tauhid” merupakan wahana penjelasan bagi wujud-nya, dan wujud-nya merupakan wahana bagi ilmunya.” Dalam konteks artian ini, penyair berkata : Wujud-ku ada ketika aku gaib dari wujud Karena yang tmpak padaku Dalah syuhud (penyaksian). Tawajud merupakan permulaan, dan wujud adalah tujuan akhir. Sedangkan wujd sebagai perantara antara permulaan dan tujuan akhir. Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata, “Tawajud mengharuskan adanya kecelaan hamba. Sedang wujd mengharuskan ketenggalaman hamba. Demikian pula wujud mengharuskan kesirnaan mengarungi lautan itu, lantas tenggelam di dalamnya. Struktur persoalan ini dikatakan secara berurutan, mulai dari : Qusyud (bermaksud), wurud (sampai), kemudian Syuhud (penyaksian), lalu Wujud, terakhir Khumud (sirna). Dengan kadar kriteria wujud-lah, khumud dapat dicapai. Bagi orang yang ber-wujud memiliki kesadaran (shahw) dan ketidaksadaran (mahw). Kondisi shahw adalah kebadiannya dengan Al-Haq, sedang kondisi mahw-nya adalah kefana’annya dengan Al-Haq. Keduanya saling berkelindan selamanya. Apabila shahw dengan Al-Haq yang lebih unggul, ia telah sampai *wushul). Karena itu, Rasulullah saw. Bersabda (hadis Qudsi), “Dengan-Ku ia mendengar dan dengan-Ku ia melihat.” Manshur bin Abdullah berkata : “Seseorang berada dalam halaqah asy-Syibly, dan orang itu kemudian beretanya. “Apakah pengaruh keabsahan wujd itu tampak pada diri orang-orang yang mencapai al-wujud? Benar. Cahaya yang memancar, bersama dengan sinar kerinduan, sehingga pengaruhnya mewarnai lubuk hatinya.” Demikian jawab asy-Syibly.” Gambaran ini jelas dalam syair Ibnul Mu’tazz : Gelas yang dibasai iar karena cemerlang beningnya, Llau mutiara tumbuh dari bumi emas, Sedang kaum menyucikan karena kagum Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​7
  • 8. TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY) November 11, 2019 Pada cahaya air di dalam api dari anggur yang ranum, Diwarisi ‘Aad dari negeri Iram Sebagai simpanan Kisra, mulai dari nenek moyangnya. Suatu kisha berkenaan dengan Abu Bakr ad-daqqy : “jahm ad-Duqqy mengambil kayu di tangannay ketika sedang menyimak dalam gairahnya, kemudian ia mencabut dari akarnya. Kemudian keduanya berkumpul ketika secara bersamaan saling memanggil. Ad.-Duqqy sendiri sorang yang buta, lalu Jahm berdiri sambil berkeliling dengan penuh emosi. Abu Bakr ad-Duqqy berkata : “Jika mendekat kepadaku, ulurkan kayu itu!’ Sementara Jahm ad- Duqqy adalah manusia lemah, lantas ia menemukan sepotong kayu di dekatnya, seraya berkata, ‘Ini ia!’ Lalu ad-Duqqy memegang kaki Jahm, hingga membuatnya tidak dapat bergerak lagi. “Wahai Syeikh, tobat! Tobat!” teriak Jahm ad-Duqqy. Barulah kemudian Abu Bakr ad-Duqqy meelpaskannya.” Semangat Jahm benar, dan pengekangan ad-Duqqy juga benar. Ketika Jahm menyadari bahwa tindakan ad-Duqqy di atas kondisi ruhaninya, seketika itu pun ia insaf dan berdamai. Begitu pula orang yang tidak berbuat maksiat, ia benar. Namun demikian, apabila yang mengalahkan dirinya adalah kesirnaan diri, maka ia tidak berilmu dan tidak pula berakal, tidak paham serta tidak merasa. Isteri Abu Abdullah at-Targhundy berkata : “Ketika bencana kelaparan sedang melanda, sementara manusia dijemput maut karena paceklik itu, tiba-tiba Abu Abdullah at-Targhundy masuk ke dalam rumah. Ia melihat ada dua kilogram gandum. Berkatalah ia, ‘Orang-orang mati karena kelaparan, sedang aku masih mempunyai simpanan gandum di rumah.’ Lalu ia pun kehilangan akal. Dan sejak saat itu ia tidak pernah bangkit, kecuali pada waktu-waktu shalat fardhu. Usai shalat kembali pada tingkah laku semula, dan begitu seterusnya sampai ia meninggal dunia.” Kisah ini menunjukkan, bahwa laki-laki tersebut selalu menjaga diri dalam adab syariat, ketika dilanda oleh hukum-hukum hakikat. Demikian sifat ahli hakikat. Mengenai faktor penyebab hilangnya akal pada dirinya, dikarenakan kepeduliannya (syafaqah) terhadap nasib semua kaum Muslimin. Ini derajat yang lebih kuat dalam sikap perilakunya. 7. JAM’i DAN FARQi Dua kata tersebut cukup populer di kalangan ahli tasawuf. Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Al-farq, suatu kondisi yang dihubungkan kepada diri sendiri, dan al-Jam’, berkaitan dengan hal yang menyirnakan diri sendiri. Artinya, Segala upaya hamba seperti menegakkan ubudiyah dan hal-hal yang layak dengan tingkah laku manusiawi, disebut al-Farq. Sementara jika datang dari arah Al-Haq (Allah swt.) seperti mucnulnya makna-makna dan datangnya kelembutan serta ihsan, maka disebut al-Jam’. Dafinisi ini merupakan kondisi paling sederhana dalam konteks jam’ dan farq. Sebab, kondisi tersebut merupakan bagian dari penyaksian segala bentuk perbuatan. Siapa yang meneyaksikan dirinya di hadapan Al-Haq dalam perbuatan-perbuatannya seperti ketatan dan pegingkaran dirinya, maka hamba tersebut dideskripsikan dalam pemisahan (tafriqah). Sedangkan yang menyaksikan dirinya di hdapan Al-Haq melalui perbuatan yang didelegasikan dari Af’al Allah swt, maka sang hamba telah menyaskikan al-Jam’. Penetapan makhluk merupakan pintu tafriqah, dan penetapan al-Haq merupakan predikat al-jam’. Bagi hamba, haruslah berkondisi jam’ dan farq. Sebab siapa yang tidak berposisi farq, ia tidak memiliki penghambaan (ubudiyah), dan siapa pun yang tidak berposisi jam’, ia tidak pernah ma’rifat kepada-Nya. Firman Allah swt. (Hanya Kepadamu Kami menyembah), merupakan isyarat terhadap al-farq. Sedangkan firman-Nya (dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolonan), merupakan isyarat al-jam’. Apabila hamba berbicara kepada Tuhannya, melalui bahawa munajat, apakah memohon mendoa, memuji, bersyukur, menyucikan diri atau pun meminta, maka ia telah menempati tahap berpisah (tafriqah). Namun apabila ia telah terpesona melalui sirri-nya terhadap apa yang dimunajatkannya kepada Tuhan, kemudian mendengarkan melalui kalbunya apa yag telah dikatakan lewat munajat itu, hal-hal yang dimohonkan atau dimunajatkan kepada-Nya, atau Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​8
  • 9. TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY) November 11, 2019 pun yang dikenalkan oleh-Nya, maka makna-Nya, atau bahkan yang dihamparkan dalam hatinya dan di perlihatkan oleh-Nya, maka ia telah menyaksikan dalam al-jam’. Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata : “Aku menguraikan beberapa ucapan di sisi Ustadz Abu Sahl ash-Sha’luky r.a. (Engkau buat menjadi bersih pandanganku ke padamu’). Ketika itu Abul Qasim an- Nashr Abadzy hadir di sana. Lalu Ustadz Abu Sahl berkata : “(huruf ta’ dinashab’),. Maka Abu Nashr Abadzy, berkata : (Huruf ta’ didhammah’).” Artinya, barangsiapa mengucapkan perkataan (“kujadikan”), berarti mengabarkan sikap perilakunya sendiri, seakan-akan sang hamba berkata, “ini”!. Jika ia berkata (“engkau jadikan”), seakan-akan mengatakan, bebas dari beban. Bahkan ia berkata kepada Tuhan-nya, “Engkau-lah yang mengkhususkan kepadaku dengan ini, bukan aku, melalui kemampuanku.” Yang pertama, berkaitan dengan bisikan do’a, dan yang ke dua, dengan sifat bebas dari upaya dan ikrar melalui keutamaan dan sariguna. Maka, bedakan antara orang yang mengatakan, “Melalui jerih payahku, aku menyembah-Mu,” dan ucapan orang : “Melalui keutamaan dan kelembutan-Mu, aku menyaksikan-Mu.” Adapun jam’ul jam’i di atas semua itu. Manusia memiliki frekuensi masing-masign sesuai dengan manifestasi perilaku dan kepautan derajat mereka. Barang siapa menetapkan atas dirinya, berarti menetapkan kemakhlukan, namun menyaksikan keseluruhan, berarti ia telah mandiri kepada Yang Haq, dan inilah al-Jam’. Tetapi jika yang terlibas dari penyaksian terhadap kemakhlukan, lebur dari dirinya, dan teraih universalitas, dari segala hal yang tampak dan terdelegasi dari kekuasaan hakikat, maka tahap inilah yang disebut jam’ul jam’i.” Tafriqah adalah penyaksian terhadsap makhluk, hanya untk Allah swt. Al-jam’ adalah penyaksian terhadap makhluk bersama Allah swt. Dan jam’ul jam’i, berarti sirna dengan univeraslitas, dan fana’-nya rasa kepada selain Allah swt. Ketika terlanda hakikat. Jam’ul jam’i merupakan kondisi mulia. Sebagian kaum menamakan tahap ini sebagai al-farq kedua. Yaitu dikembalikan pada tahap rasa pasca sirna, pada saat menjalani waktu-waktu fardhu, agar tetap konsisten terhadap kefarduan dengan segenap waktunya, sehingga ia kembali, hanya untuk dan bersama Allah swt, bukan bagi hamba bersama hamba. Sang hamba melihat dirinya pada kondisi seperti itu dalam perbuatan Al-Haq. Ia menyaksikan awal Zat-nya dan kenyataannya bersama Qudrat-Nya. Sedangkan tempat pijakan ketika menjalankan perbuatan dan tingkah lakunya hanya bersama Ilmu dan Kehendak-Nya. Sebagian Sufi mengisyaratakan kata al-Jam’ dan al-farq kepada Perbuatan Al-Haq atas seluruh makhluk. Maka globalitas dari keseluruhan dalam proses bolak balik dan perbuatan, harus dilihat dari satu arah, bahwa sebenarnya Allah-lah yang memunculkan substansi-substansi mereka itu. Allah-lah yang menjalankan sifat-sifat mereka. Kamudian Allah swt. Memisahkan dalam ragam : Satu kelompok, Allah swt. Membahagiakan mereka, dan kelompok lain Allah swt. Menjauhkan dan menyengsarakan mereka. Satu kelompok lagi Allah swt. Menarik hati mereka, dan kelompok yang lain dilupakan dan diputus-asakan dari rahmat-Nya, dan satu golongan lagi Allah swt, memutus kehendak mereka untuk menyatakanDiri-Nya. Ada kelompok yang disadarkan pada tahap rasa mereka dan ada yang disirnakan. Ada kelompok yang didekatkan dan dihadirkan, Kemudian Allah meminumkan karunia hingga mereka dimabukkan ruhaninya, namun juga ada golongan yang dicelakakan dan diakhirkan, kemudian dijauhkan dan disingkirkan. Ragam Af’al-Nya tidak bisa dijangkau oleh batasan, sementara rinciannya tidak dapat diuraikan dan diingat. Para Sufi pernah melantunkan syair bagi al-Junayd, mengenai makna jama’ dan farq : Engkau telah membuat nyata-Mu Dalam rahasiaku Lalu lisanku munajat pada-Mu Kita berkumpul bagi makna-makna Dan berbpisah bagi makna-makna pula Jika Gaib-Mu adalah Keagungan dari lintasan mataku Toh Engkau buat keserasian dari dalam Yang mendekatku. Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​9
  • 10. TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY) November 11, 2019 Mereka bersyair lagi : Jika telah tampak padaku Keagungan, lalu keluar dalam tingkah orang Yang tak dikehendaki Maka aku berkumpul dan berpisah dengan-Nya Sedang ketunggalan yang saling bertemu Adalah dua dalam satu bilangan. 8. FANA’ DAN BAQo’ Sejumlah Sufi mengisyaratkan Fana’ pada gugurnya sifat-sifat tercela, sementara baqa’ diisyaratkan sebagai kejelasan sifat-sifat terpuji. Kalau pun seorang hamba tidak terlepas dari salah satu sifat tersebut , maka dapatlah dimaklumi, sebenarnya, salah satu bagian apabila tidak dijumpai dalam diri manusia, maka dapatlah ditemui sifat satunya lagi. Barangsiapa fana’ dari sifat-sifat tercela, maka yang tampak adalah sifat-sifat terpuji. Sebaliknya, jika yang mengalahkan adalah sifat-sifat yang hina, maka sifat-sifat yang terpuji akan tertutupi. Perlu diketahui, bahwa predikat yang menjadi sifat hamba mengandung perbuatan, akhlak dan tingkahlaku. Perbuatan-perbuatan tersebut merupakan daya manusia melalui ikhtiarnya. Sedangkan akhlak merupakan pembawaan. Namun sifat itu berubah menurut konsistensi kebiasaannya. Sedangkan tingkah laku merupakan suatu perilaku yang dikembalikan kepada hamba dari segi permulaannya. Hanya saja, penjernihannya muncul setelah pembersihan amal. Seperti akhlak dalam satu segi. Demikian pula manakala sang hamba terus menerus membersihkan perbuatannya, melalui upaya yang telah diberikan kepadanya. Allah swt. Memberikan anugerah kepadanya melalui penjernihan tingkah laku, bahkan melalui penyempurnaan tingkah laku tersebut. Siapa yang berupaya meninggalkan perbuatan kehinaan dengan bahasa syariat, maka ia telah fana’ dari syahwatnya. Jika telah fana’ dari syahwatnya, akan kekallah bangunan dirinya serta keikhlasan dalam ubudiyahnya. Sipa yang zuhud di dunia dengan hatinya, maka ia telah faa’ dari kesenangannya. Dan jika telah fana’ kesenangannaya, berarti telah kekal melalui kejujuran kembali dirinya. Barangsiapa menerapi (mengobati) akhlaknya dari penyakit kalbu seperti dengki, angkuh, bakhil, sangat bakhil, marah, sombong dan sebagainya dari kenakguhan nafsu, maka berarti telah fana’ dari kebejatan akhlak. Kalau sudah demikian, yang kekal dalam dirinya adalah ketidakpeduliannya kepada kepentingan pribadinya (futuwwah) dan kejujuran pada diri sendiri. Barangsiapa menyaksikan berlakunya qudrat dalam mekanisme hukum dan aturan, maka dapat dikatakan : Ia telah fana’ dari tanggungan perkara pertama dari makhluk. Jika ia fana’ dari pengaruh-pengaruh imaji makhluk, maka ia kekal bersama sifat-sifat Al-Haq. Dan siapa yang terlimpahi kerajaan hakikat, sehingga tiada sedikitpun yang disaksikan, baik alam kenyataan, pengaruh, rumus, atau penundaan, maka ia telah fana’ dari makhluk, dan abadi bersama Al-Haq. Ke-fana’-an hamba dari segala perbuatannya yang hina, dan tingkahlakunya yang buruk, telah menghilangkan perbuatan-perbuatan seperti itu. Ke-fana’-an mereka atas dirinya dari makhluk lainnya, dengan cara menghilangkan rasa untuk diri sendiri dan mereka. Kalau telah fana’ dari perbuatan, akhlak dan tingkah laku, maka subyek ke-fana’an dari semua itu tidak boleh di-maujud-kan. Apabila dikatakan, “,Manusia benar-benar fana’ dari dirinya dan dari makhluk, maka dirinya maujud dan makhluk juga maujud, tetapi ia tidak tahu dirinya dan juga juga tidak mereka. Tidak ada rasa maupun berita. Maka dirinya ada, dan makhluk menjadi ada, berikutnya. Namun ia lupa dari dirinya maupun semua makhluk, sama sekali tidak merasakan adanya dirinya dan makhluk lainnya (karena keparipurnaan yang penuh dalam kesibukannya terhdap sessuatu yang lebih luhur dari semuanya.)” Terkadang Anda melihat seseorang memasuki tempat penguasa atau orang yang kejam, lalu orang tersebut merendahkan diri atau merendah pada majelis di sana. Alangkah jauh jauh hati itu, juga dirinya, hingga tak mungkin untuk mengatakan sesuatu. Allah berfirman : Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​10
  • 11. TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY) November 11, 2019 “Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan)nya, dan mereka melukai jari-jari tangannya.” (Qs. Yusuf 31). Suatu gambaran ketika mereka sama sekali tidak menemukan rasa sakit ketika (pertama kali menyaksikan raut muka Yusuf a.s.). Mereka adalah wanita-wanita yang lemah, dan mereka berkata : “Dan mereka berkata : “Maha Sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain, hanyalah malaikat yang mulia.” (Qs. Yusuf : 31). Inilah kealpaan makhluk atas perilakunya sendiri ketika bertemu dengan sesamanya. Bagaimana menurut dugaan Anda dengan orang yang dibuka untuk menyaksikan Al-Haq? Kalaupun mereka lupa dari rasa dalam dirinya dan orang-orang sejenisnya, maka adakah lebih menakjubkan lagi ketimbang melihat-Nya? Barangsiapa fana’ dari kebodohannya, yang kekal adalah ilmunya. Siapa yang fana’ dari kesenangannya, yang kekal adalah zuhudnya. Siapa yang fana’ dari angan-angannya, yang kekal adalah kehendaknya. Demikian juga seluruh konotasi kiprahnya. Apabila hamba fana’ dari sifatnya yang bisa diingat, kemudian menaiki tahap lebih tinggi dengan fana’nya dari melihat ke-fana’-an itu sendiri. (Inilah yang disebut Fana’u Fana’ ). Sebagaimana digambarkan penuyair : Ada kaum yang tersesat di padang gersang Aa pula yang tersesat di padang cintanya Mereka fana’, kemudian fana’ lalu fana’ Lantas mereka kekal dengan kekal dari kedekatan Tuhan-nya. Yang pertama adalah fana’ dari dirinya, fana’ dari sifatnya karena Baqa’-Nya Sifat-sifat Al-Haq. Kemudian fana’nya dari sifat-sifat Al-Haq karena penyaksiannya terhadap Al-Haq itu sendiri, kemudian fana’-nya dari melihat penyaksian fana’, melalui keleburan dirinya dalam Wujud Al-Haq. 9. GHAIBAH DAN HUDHUR Ghaibah berarti kegaiban kalbu dari segala apa yang diketahui, berkaitan dengan apa yang berlaku pada tingkah laku makhluk, karena adanya faktor yang datang padanya, sehingga perasaannya tersibukkan oleh kegaiban yang tiba itu. Kemudian rasa itu, dengan sendirinya dan yang lainnya, menjadi gaib, karena faktor yang tiba, akibat mengingat pahala atau memikirkan ancaman siksa. Diriwayatkan bahwa Rabi’ bin Haitsam pergi ke ruah Ibnu Mas’ud r.a. kemudian ia melewati kedai tukang pande (besi). Ia melihat bara yang menganga di perapian pande itu. Tiba-tiba ia pingsan (karena membayangkan akibat-akibat pelaku dosa yang dibakar api). Ketika siuman, ia ditanya. “Aku ingat bagaimana keadaan ahli neraka di neraka nanti.” Demikian katanya. Diriwayatkan dari Ali bin al-Husain. Ketika ia sedang sujud, tiba-tiba terasa ada jilatan panas api yang tersulut di dalam rumahnya, dan ia sama sekali tidak bepaling dari shalatnya. Lantas ditanya tentang keadaannya yang demikian itu. “Aku tercengang oleh nyala api besar, lebih dari kobaran api itu.” Jawabnya. Manakala ghaibah rasa yang muncul oleh faktor yang dibukakan Al-Haq seperti itu, maka derajat mereka berbeda-beda menurut tingkah laku kondisinya. Kisah yang populer, bahwa awal mula perilaku Abu Hafs an-Naisabury al-Haddad meninggalkan pekerjaan di kedainya, yaitu ketika muncul seseorang yang membaca ayat Al-Qur’an. Lalu ia menjadi lupa dari rasanya karena adanya sesuatu yang datang menyelusup. Lalu ia menyusupkan tangannya pada bongkahan bara api, dan menariknya kembali sambil memegang bara api yang menganga (sama sekali tidak merasa panas). Muridnya, saat melihat kejadian itu pun berkata. “Wahai guru, apa ini? Seketika itu pula Abu Hafs memandang apa yang tampak padanya, lalu meninggalkan pekerjaannya dan segera pergi berlalu dari kedai. Saya mendengar Abu Nashr, muadzin di Naisabur. Ia dikenal sebagai laki-laki saleh. Ia mengisahkan, “Aku sedang membaca Al-Qur’an di majelis Ustadz Abu Ali ad.Daqqaq di Naisabur. Dan Ustadz sendiri sedang membahas soal haji, sampai hatiku terpengaruh Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​11
  • 12. TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY) November 11, 2019 karenanya. Pada tahun ini pula aku pergi haji, dan meninggalkan kedai serta pekerjaan. Sementara Ustadz Abu Ali r.a. juga pergi menunaikan haji pada tahun yang sama. Ketika di Naisabur aku menjadi pelayannya dan ikut membaca Al-Qur’an di majelisnya. Suatu hari di desa, aku melihatnya sedang bersuci dan lupa akan kendil bawaannya. Aku pun membawanya. Sesampai di tempat tujuan kuletakkan di sisinya. Ia berkata, “Semoga Allah membalas kebaikan kepadamu, ketika kamu membawa ini.” Lalu ia menatapku dalam-dalam, seakan-akan itu sebagai tatapan terakhir. Tiba-tiba ia berkata, “Pernah sekali, aku bertemu denganmu, siapa kamu? Aku menjawab, “Aku adalah orang yang memohon pertolongan kepada Allah swt, aku menyertaimu sekedarnya, dan kutinggalkan hunianku, karenamu. Aku merasa teputus oleh kemenangan dan waktu, ketika engkau berkata, “Pernah sekali, aku beertemu denganmu...!” Sedangkan Hudhur, bisa berarti, seseorang sebagai pihak yang hadir bersama Al-Haq. Sebab ketika ia ghaib dari makhluk, ia hadir bersama Al-Haq. Artinya, seakan-akan ia hadir, kaerna limpahan dzikir pada yang haq di dalam kalbunya, yang berarti ia hadir dengan kalbunya, di antara sisi Tuhannya. Dalam batas kegaibannya dari makhluk, maka kehadirannya dikategorikan bersama Al-Haq. Namun apabila ia gaib secara universal, maka kehdiran tersebut menurut kegaibannya. Manakala dikatakan “ Si Fulan hadir. Berarti, ia hadir dengan kalbunya untuk Tuhannya. Ia tidak lupa dari-Nya dan tidak pula alpa. Lalu ia mukasyafah dalam hudhur-nya menurut derajatnya, dengan segala makna yang dikhusukan oleh Al-Haq kepadanya. Kadang-kadang hudhur dikatakan, karena kembalinya hamba pada dimensi rasa terhadap perilaku dirinya dan makhluk lainnya. Ia kembali pada kesadaran dari kegaibannya. Ini disebut hadir bersama makhluk. Yang pertama disebut hadir bersama Al-Haq, dan frekuensi kegaibannya beragam. Ada yang pendek gaibnya, adapula yang abadi. Iriwayatkan bahwa Dzun Nuun mengutus salah seorang muridnya ke Abu Yazid al-Bisthamy, untuk menyampaikan pesan agar Abu Yazid mengubah sifatnya. Ketika murid Dzun Nuun telah sampai di daerah Bau Yazid, ia menanyakan rumah Abu Yazid, lalu ia pun menuju ke rumah yang dimaksud. “Apa maksud kedatanganmu?” tanya Abu Yazid. “Aku ingin menemui Abu Yazid.” Kata orang itu. “Siapa Abu Yazid? Di mana Abu Yazid? Aku juga sedang mencari Abu Yazid.” Kata Abu Yazid. Orang itu pun segera pergi berlalu sambil bergumam, “Laki-laki itu pasti gila!” Kemudian ia kembali pulang ke rumah Dzun Nuun, mengabarkan apa yang disaksikan. Tiba-tiba Dzun Nuun menangis, sambil berkata, “Saudaraku Abu Yazid benar-benar telah pergi bersama mereka yang pergi kepada Allah swt.” 10. SHAHUW DAN SUKR Shahw adalah kesadaran hamba kepada rasa setelah mengalami kegaiban (ghaibah). Dan Sukr adalah mabuk ruhani akibat sesuatu yang datang dengan sangat kuat. Sukr berati tambahan bagi ghaibah di satu sisi. Karena itu orang sukr, kadang-kaang terhamparkan dirinya, manakala berlum terpenuhi dalam sukr-nya. Kadang-kadang apda tahap sukr, segala kekhawatiran berguguran dari kalbunya. Itulah perilaku orang yang menampakkan sukr, karena tidak mampu memenuhi datangnya bisiskan yang luhur. Kdang, dalam kesadaran ada kesegran, lalu mabuk pesonanya bertambah atas ghaibah-nya. Terkadang seorang yang sukr lebih ghaibah ketimbang orang yang sedang berada dalam ghaibah itu sendiri mana kala sukr-nya lebih kuat. Dan tidak jarang orang yang ghaibah itu lebih sempurna dalam ghaibah-nya dibanding orang yang sukr, manakala sukr-nya tidak mencapai apa yang diinginkan. Sedangkan ghaibah, terkadang datang kepada para hamba karena adanya sesuatu yang mengalahkan kalbunya, disebab disiplin cinta sukacita, khauf dan raja’. Sementara sukr tidak akan terwujud, kecuali kepada orang yang memiliki keseuaian- kesusaian ruhani. Apabila Allah swt. membuka hamba melalui sifat Keindahan (al-Jamal), maka hamba akan mabuk kepayang (sukr), dan ruhnya menjdai gembira, sementara kalbunya terpesona. Dalam sukr yang muncul akibat mukasyafah Jamal, mereka mendengarkan syair : Kesadaranmu dari kata-Ku, Adalah sambung semuanaya Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​12
  • 13. TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY) November 11, 2019 Dan mabuk kepayangmu dari bagian-Ku Memperkenankan bagimu, meneguk minuman Tak bosan-bosan peminumnya Tak bosan-bosan peenguk minumnya Menyerah pada bagian, Yang gelas pialanya memabukkan jiwa. Merek masih bersyair : Orang-orang menjadi mabuk memutari gelas piala Sedang mabukku datang dari Yang Memutarnya Ada dua kemabukan bagiku Dan bagi dua penyessal hanya satu Yang dikhususkan bagiku di antara mereka Hanya untukku Dua mabuk kepayang Mabuk cinta Mabuk abadi Ketika siuman Tiba-tiba telah bugas si pemabuk Anda perlu mengetahui bahwa, derajat kesadaran (Shahw) tergantung pada frekuensi mabuk kepayang ruhani (sukr). Siapa yang sukr-nya bersama Al-Haq, maka Shahw-nya juga bersama Al-Haq, barangsiapa sukr-nya masih diliputi oleh dunia, maka Shahw nya juga disertai dunia yag benar. Barangsiapa menepati kebenaran dalam sikap perilaku, maka ia terjaga dalam sukr-nya. Sukr dan Shahw mengisyaratkan pada ujung dari pemisahan. Manakala tampak dari kekuasaan hakikat, mka sifat hamba diketahui dalam kesirnaan dan keterpaksaan. Mereka bersyair : APabila pagi telah terbit dengan bintang yang gembira di dalamnya telah seimbang kemabukan dan kesukacitaan Allah swt. berfirman : “Tatkala Tuhannya menampak pada gunung itu, kejadian itu membuat gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan.” (Qs. Al-A’raaf :143). Itulah pengalaman dalam Risalah Musa as, dan apalagi gunung dan kekuatannya menjadi lebur berkeping-keping. Sang hamba dalam kondisi sukr-nya menyaksikan kondisi ruhani itu sendiri, dan dalam dalam Shahw-nya ia menyaksikan ilmu. Hanya saja dalam tingkah sukr-nya terjaga, tidak melalui beban yang diupayakan. Sedangkan dalam Shahw-nya terjaga melalui upayanya. Shahw dan Sukr terjadi setelah Dzauq dan Syurb. 11. DZAUQ DAN SYURB Di antara bagian yang berlaku dalam tradisi Sufi adalah Dzauq dan Syurb. Mereka mengonotasikan istilah tersebut dari peristiwa yang mereka temukan dari buah tajali dan buha mukasyaah serta kejutan-kejutan yang muncul. Tahap pertama adalah Dzauq, kemudian Syurb, lalu Irtiwa’. Kejernihan muamalat mereka mendatangkan rasa (dzauq) makanwi, dan ketepatan tahap-tahap mereka mengharuskan adanya minum (syurb). Sementara keabadian hubungan mereka (wushul) mengharusskan adanya kesegaran (irtiwa’). Orang yang memliki dzauq menampakkan sukr-nya. Dan orang yang sedang syurb melahirkan kemabukkan. Orang yang irtiwa’ selalu menjerit. Dan siapa yang kuat cintanya, maka abadi pula minum-nya. Apabila sifat-sifat seperti itu abadi, syurb tidak melahirkan mabuk (sakran). Dan ia selalu menjerit bersama Al-Haq sebagai orang yang fana’ dari segala jagad Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​13
  • 14. TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY) November 11, 2019 makhluk, sama sekali tidak berbpengaruh baginya apa yang datang, dan tidak berubah, apa yang menyertainya. Barangsiapa jernih sirr-nya, maka minum-nya tidak akan pernah keruh. Dan siapa yang menjadi peminum (ruhani) sebagai konsumsi, ia tidak akan pernah sabar dan tidak pernah abadi tanpa konsumsi itu. Mereka bersyair : Gelas minuman adalah susuna kita Kalau tak kita rasakan Tak hidup pula ita Dalam syair mereka : Aku heran orang yang bicara : Aku inngat Tuhanku Apakah aku alpa, lalu aku ingat apa yang kulupa? Kuminum cita, gelas demi gelas piala Tuntas habis minuman, tak puas dahaga pula Yahay bin Mu’adz menulis surat kepda Abu Yazid al-Bisthamy, “Di sana, orang yang meminum gelas dari kecintaan, tiada dahaga usainya.” Lalu Abu Yazid menulis surat kembali. “Aku heran atas kelemahan dirimu di sana. Sebab siapa yang merasa di samudera jagad raya, ia akan hilang keberuntungannya.” Ingatlah, bahwa piala-piala taqarub tampak dari kegaiban. Dan Anda tidak bisa mengelilingi, kecuali dengan rahasia-rahasia kemerdekaan dan ruh-ruh bebas dari segala belenggu. 12. MAHUW DAN ITSBAT Mahuw berarti hilangnya sifat-sifat kebiasaan. Dan Itsbat berarti menegakkan hukum-hukum ibadat. Barangsiapa menghapus perilaku hinanya dan menggantikannya dengan perilaku mulia, maka dialah yang memiliki mahuw dan itsbat. Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata : “Sebagian para syeikh berkata pada kaum Sufi, “Bagaimana Anda mengalami mahw dan itsbat? Lalu orang itu diam, kemudian berkata : “Adapun yang kuketahui, waktu adalah mahw dan itsbat. Sebab siapa yang tidak memiliki mahw dan itsbat, berarti telah menelantarkan diri dan terabaikan.” Mahw terbagi dalam mahw sirna (zallat) dari hal-hal yang lahiriah dan mahw alpa (ghaflat) dari hal-hal yang batiniah, serta mahw dari bentuk sebab (Illat) pada hal-hal rahasia. Dalam mahw zallat muncul itsbat pada muamalat. Pada mahw ghaflat muncul itsbat pada tahapan-tahapan, dan dalam mahw illat muncul itsbat dalam wushul. Inilah mahw dan itsbat sebagai syarat ubudiyah. Sementara hakikat mahw dan itsbat, masing-masing tumbuh dari Qudrat. Mahw adalah segala hal yang ditutup dan disirnakan tumbuh dari Qudrat. Mahw adalah segala hal yang ditutup dan disirnakan ole Al-Haq. Dan Itsbat, segala hal yang dditampakkan dan dijelaskan oleh al-Haq. Mahw dan itsbat dibatasi oleh Kehendak. Allah swt. Berfirman : “Allah menghapus apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki)” (Qs. Ar-Ra’ad : 39). Dikatakan : “Allah swt. Menghapus dzikir selain-Nya dari hati orang-orang ‘Arifin (Orang yang ma’rifat). Dan Allah menetapkan pada lisan orang-orang yang menuju kepada Allah swt. Dengan dzikrullah. Mahw Al-Haq pada setiap orang, dan peng-itsbat-an Allah swt. Kepdanya, sesuai kelayakan tingkah lakunya.” Barangsiapa di mahw-kan oleh Allah swt. Dari penyaksian, Allah swt. Memberikan itsbat dengan kekuatan Haq-Nya. Dan siapa yang di-mahw oleh AL-Haq dari itsbat-nya, Allah mengembalikan pada penyaksian jagad dunia, dan ditetapkan dalam wahana perpisahan. Seseorang bertanya kepada asy-Syibly r.a. : “Apa yang membuat diriku melihatmu tampak gelisah? Bukankah Dia bersamamu dan engkau bersamam-Nya? Asy-Syibly berkata : “Kalau aku adalah aku bersama-Nya, tentu, aku adalah aku. Tetapi aku pun terhapus dalam wahana-Nya. Orang yang dikaruniani keterhangusan berada di atas majw. Karena mahw meninggalkan bekas. Sedangkan orang yang terhapus (muhaq) tidak meninggalkan bekas. Sementara cita-cita kaum Sufi adalah, agar ereka dihanguskan oleh Al-Haq dari segala penyaksian mereka. Kemudian Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​14
  • 15. TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY) November 11, 2019 Al-Haq tidak mengembalikan kepada penyaksian mereka. Kemudian Al-Haq tidak mengembalikan kepada mereka seperti semula setelah mereka dihanguskan dalam ruhani itu. 13. SITR DAN TAJALLI Orang awam berada dalam tutup (sitr). Dan orang khawash berada dalam keabadian manifestasi (tajalli). Dalam suatu hadis, Allah swt. Apabila telah ber-tajalli terhadap sesuatu, maka sesuatu itu khusyu’ (tunduk) kepada-Nya. Orang yang berada dalam tahap sitr memakai sifat penyaksiannya. Dan orang yang berada dalam tahap tajjali, selamanya disertai sifat khusyu’nya. Sitr, bagi awam merupakan siksaan, dan bagi khawash (kalangan khusus dalam ruhani) merupakan rahmat. Sebab tanpa ia tertutupi apa yang tersingkap dalam diri mereka, nisscaya akan musnah di sisi Yang Maha Diraja Hakikat. Namun, sebagaimana tampak pada diri mereka, apa yang tersingkap pun tertutup pada mereka. Manshur al-Maghriby berkaa : “Aku menemui salah sorang fakir dalam kehidupan orang Arab, diantaranya terdapat seorang pemuda. Pemuda itu melayani sang fakir. Tiba-tiba pemuda itu pingsan. Lalu si fakir bertanya tentang keadaannya. Maka orang-orang di situ menjelaskan : “Ia memiliki kemenakan wanita, dan ia sangat cinta kepadanya. Lalu gaids itu berjalan di kemahnya, tiba-tiba pemuda itu melihat gadis yang kumal berdebu. Kemudain pemuda itu pun pingsan.” Lantas si fakir berlalu menuju pintu kemah, sambil berkata kepada anak gadis itu. “Sesuatu yang asing bagimu, menjadi tutup dan cacian. Aku datang hendak menolongmu berkenaan dengan pemuda ini. Maka sebaiknya engkau kasihan terhadap apa yang ada pada dirinya, dari cintanya kepada dirimu.” Lalu gadis itu berucap “Subhanallah!” Engkau orang yang berhati sehat. Sebenarnya ia tidak tahan melihat kekumalanku, lalu bagaimana ia kuat meneemaniku?” Kehidupan orang-orang awam itu berada dalam penampakan (tajalli), sementara cobaan mereka ada dalam ketertutupan (sitr). Bagi orang-orang khawash, mereka selalu berada di antara ketidak pedulian dan kehidupan nyata. Karena ketika menampakkan diri kepada mereka, justru mereka acuh, namun ketika mereka tertutup, mereka dikembalikan pada dunia, sehingga mereka hidup. Ada yang mengatakan, ketika Allah swt. Berfirman kepada Musa, “Apa yang ada pada tanganmu wahai Musa.” (Qs. Thaaha :17), justru agar Musa tertutupi sebagian apa yang menjadi sebab langsung yang berpengaruh akibat mukasyafah, lewat kejutan penyimakan. Mohon ampunan (istighfar) itu sendiri merupakan upaya pencarian sitr. Dan ampunan (maghfirah) adalah sitr. Seakan-akan ia mengabarkan, bahwa ia mecari str pada hatinya ketika didatangi keperkasaan hakikat. Sebab bagi makhluk, tidak sedikit pun ada keabadian di sisi Wujdu Al-Haq. Dalam hadis disebutkan : “Apabila dibuka Wajah-Nya, pastilah kesucian Wajah-Nya (Cahaya-Nya) membakar apa yang dilihat oleh pandangannya.” (Hr. Muslim). 14. MUHADHARAH, MUKASYAFAH DAN MUSYAHADAH Muhadharah, berarti kehadiran kalbu, stelah itu baru Mukhasyafah, yakni kehdiran kalbu dengan sifat nyatanya, lalu Musyahadah, yaitu hadirnya Al-Haq tanpa dibayangkan. Apabila langit rahasia (sirr) telah bersih dari mega sitr, maka matahari penyaksian tepancar dari bintang kemuliaan. Kebenaran musyahadah, seperti diungkapkan oleh al-Junayd r.a. “Wujdu Al-Haq menyertai kesirnaanmu. Orang yang bertahap Muhadharah selalu terikat dengan ayat-ayat-Nya. Dan orang yang mukasyafah terhampar oleh Sifat-sifat-Nya, sedangkan orang yang musyahadah ditemukan Dzat-Nya. Orang yang Muhadharah ditunjukkan akalnya. Orang yang mukasyafah didekatkan ilmunya. Dan orang yang musysahadah dihapuskan oleh ma’rifatnya.” Tidak ada tambahan lagi dalam penjelasan musyahadah lebih dari apa yang dikatakan oleh Amr bin Utsman al-Makky r.a. Arti dari yang diucapkan, bahwa cahaya-cahaya yang melingkupi kalbunya, tanpa adanya tutup dan faktor yang memutus di celahnya. Sebagaimana Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​15
  • 16. TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY) November 11, 2019 perkiraan dalam kiltan yang bersambung. Seperti malam yang gelap dilampaui cahaya, dan cahaya itu tidak terputus, maka jadilah cahaya siang. Begitupun kalbu, apabila keabadian Tajalli tampak terus menerus, akan menjadi siang yang nikmat, tiada malam samak sekali. Dalam syair yang mereka lantunkan : Malamku, dengan Wajah-Mu terang benderang Dan kegelapannya merambah manusia Manusia berada dalam kegulitaan, Sedang kami ada di cahaya benderang siang An-Nury berkata : “Seorang hamba tidak sah ber-musyahadah, sepanjang masih hidup. “Apabila subuh telah terbit, tak perlu lagi lampu.” DaKetika terang subuh tiba, Beredarlah cahayanya, dengan cahayanya Cahaya-cahaya gemerlap bintang Cahayatertelan gelas, Jika saja tersimpan bara karena menelannya Terbanglah secepat-cepatnya Gelas piala, dan gelas piala manakah yang menghancurkan dan menyirnakan, menghanguskan mereka dari diri mereka sendiri, sementara tak satu pun gelas piala yang mengabadikan dan memercikan mereka. Gelas yang menghapus mereka secara menyeluruh dan tiada menyisakan tulang belulang dari pengaruh-pengaruh sifat-sifat kemanusiaan. Sebagaimana diucapkan : Mereka berjalan, namun tidak tetap, tidak teratur dan tidak ada pengaruh. 15. LAWAIH, LAWAMI’ DAN THAWALI’ Kata-kata tersebut makananya saling berdekatan, nyaris tidak ada perbedaan besar. Kata tersebut merupakan sifat-sifat dari orang yang sedang dalam tahap permulaan (bidayat). Mereka yang sedang menaiki tahap dalam kalbu. Sehingga cahaya matahari ma’rifat tidak menetap abadi dalam diri mereka. Namun Allah swt. Mendatangkan rezeki kalbunya dalam setiap saat. Sebagaimana Allah swt. Berfirman : “Bagi mereka rezeki mereka di dalam surga, pagi dan petang.” (Qs. Maryam : 62). Apabila langit kalbu dipenuhi mega dunia, terbayanglah kilatan kasyaf bagi mereka, dan tampaklah kilatan taqarrub. Mereka dalam zaman yang menutup mereka, sedang mereka mengintai ekjutan kilatan itu. Mereka seperti digambarkan dalam syair : Wahai kilatan yang cemerlang Dari sayap-sayap lagnit yang benderang Lawaih sebagai tahap pertama, disusul Lawami’, kemudian Thawali’. Lawaih seperti kilatan cahaya, tidak akan tampak sehingga cahayanya tertutup. Dalam syair dikatakan : Kami berpisah setahun Ketika kami bertemu Seakan salamnya padaku Salam selamat tinggal Mereka berkata : Wahai orang yang berjalan, Dan bukan pezarah sebenarnya Seakan ia terkena api Lewat di depan pintu rumah tergesa-gesa Padahal tak ada bencana Jika ia memasukinya Sedangkan Lawami’ lebih jelas daripada Lawaih. Hilangnya cahaya tidak secepat itu. Lawami’ disinari cahaya beberapa waktu. Namun seperti ucapan syair : Dan mata menangis, tak puas-puasnya memandang. Dalam syair mereka berkata pula : Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​16
  • 17. TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY) November 11, 2019 Tak sampai air wajahnya di mata Kecuali telah penuh Sebelum puasnya mendekat Bila telah tampak cahayanya, ia memutus dirimu dan mengumpulkanmu dengan cahaya itu. Tetapi cahaya siangnya tidak berlalu sampai pasukan-pasukan malam menyerang. Mereka beada di antara pasukan Ruh dan Nuh. Karena mereka berada di antara Kasyaf dan Sitr. Mereka bersyair : Sedang malam mengandung kita Dengan dinginnya yang mencekam Sementara subuh, menyingkap selimut kita. Thawali’ lebih lama dan abadi waktunya, lebih kuat dominasinya dan lebih abadi ketetapannya. Thawali’ mampu menghapus kegelapan dan menyirnakan keraguan. Tetapi tetap berada dalam bisikan yang lenyap. Tidak terlalu tinggi, tidak pula berdiam abadi. Waktu-waktu memperolehnya dengan perjalanan yang cepat dan ihwal lenyapnya berbuntut panjang. Makna-makna dari Lawaih, Lawami’ dan Thawali’ tersebut berbeda-benda disiplinnya. Antara laian, ketika kehilangan jejak, tidak sedikitpun memberkas. Sepeti kilatan-kilatan, ketika lenyap, seakan-akan malam panjang nan abadi yang ada. Ada pula yang meninggalkan bekas, apabila hllang angkanya, yang ada tinggal dukanya. Apabila cahaya-cahayanya asing, yang tetap beks-bekasnya. Orang akan berada di tahap tersebut setelah menghuni luapannya, hidup dalam sorotan berkatnya. Lanatas pada hamparan ke dua kalinya, ia berharap dengan waktunya untuk menunggu kembalinya cahaya itu, dan ia hidup dengan sesuatu yang ditemui, pada saat adanya itu 16. BUWADAH DAN HUJUM Buwadah adalah sesuatu yagn seketika datang mengejutkan kalbu Anda dari dimensi ghaib, terkadang karena adanya faktor kesukacitaan atau kedukacitaan. Sedangkan Hujum, sesuatu yang datang pada hati dengan kekuatan waktu tanpa rekayasa dari diri Anda. Berbagai ragam bentuknya berbeda sesuai dengan kekuatan dan kelemahan sesuatu yang tiba. Di antaranya ada orang yang diubah oleh Buwadah, namun pada kesempatan berikutnya diaplikasikan oleh Hujum. Dan diantaranya ada yang berada di atas apa yang mengejutkannya, baiks ecara potensi maupun aktual. Mereka adalah kaum yang dipenuhi kebajikan dan kemuliaan. Sebagaimana dikatakan : Jangan kau membuat petunjuk Pengganti zaman kepada mereka Bagi mereka ada kendali Pada setiap Khitab yang agung 17. TALWIN DAN TAMKIN Talwin merupakan sifat orang-orang yang memliki tingkah laku tahapan.Tamkin adalah sifat ahli hakikat. Seorang hamba yang masih berjalan sepanjang jalan menuju Allah, maka dialah pemilik talwin. Sebab, dalam perjalanannya masih menjumpai tahap demi tahap, berpindah dari satu predikat ke predikat lain, keluar dari terminal ke persimpangan jalan. Tetapi jika telah sampai, mereka akan mencapai ketenangan (tamakkun). Senantiasa rasa cintamu tiba ingin di suatu tempat Bimbangkan jiwa, di mana tempat menetap Orang yang berada di tahap talwin selalu mendapat tambahan. Sedangkan pada tahap tamkin, berarti telah sampai (wushul) kemudian sambung (ittishal). Tanda sampai itu : Ia, dengan keseluruhan dari keseluruhan. Salah seorang syeikh berkata : “Berakhirlah penggembaraan para pencari menuju kemenangan dalam jiwanya. Apabila telah sampai kemenangan dalam jiwanya, berarti mereka telah samapi.” Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​17
  • 18. TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY) November 11, 2019 Mereka berharap demikian, sebagai pengunduran hukum-hukum kemanusiaan dan termanifestasi oleh kerajaan hakikat. Manakala hamba menetap abadi dalam kondisi itu, dialah pemilik tamkin itu. Syeikh Abu ali-ad-Daqqaq r.a. berkata : “Musa a.s. adalah pemilik mawam talwin, kemudian kembali dari mendengarkan Kalam, dan berharap untuk menutup wajahnya. Sehingga ada pengaruh bagi tingkah laku. Sedangkan Nabi kita Muhammad saw. Adalah pemilik tahap tamkin, kemudian kembali sebagaimana ia pergi. Sebb, apa yang disaksikan pada malam itu, tidak berpengaruh. Kisah demikian juga dimetaforakan pada kisah wanita-wanita yang melihat Yusuf as. Ketika mereka secara bersamaan memotong jemari tangannya, saat melihat raut muka Yusuf as. Dengan tampang yang menghanyutkan dan mengejutkan. Sementara isteri Raja Aziz, jiwanya lebih sempurna ketimbang mereka dalam mengekang tragedi tersebut. Kemudian sejak hati itu ia tidak berubah, karena ia telah memiliki ketenangan (tamkin) dalam peristiwa Yusuf as. Ketahuilah, bahwa perubahan hati dalam diri hamba karena satu dari dua persoalan : Kalau tidak karena adanya kekuatan yang tiba, atau justru karena kelemahan dirinya. Sedangkan ketenangan atau kediaman dari hamba juga karena dua hla : Karena kekuatan atau karea kelemahan sesuatu yang tiba itu. Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad.-Daqqaq r.a. berkata : “Prinsip kaum Sufi dalam memperbolehkan kelangsungan tamkin, terpaku pad dua hal.Pertama, tidak ada jalan lain kepadanya, sebagaimana sabda Rasul saw. Dalam Hadits Qudsi : “Apabila kamu mengabdi sebagaimana adanya kamu dalam kebakaan itu di sisi-Ku, niscaya para Malaikat akan menjabat tangan kamu.” (H.r. Handzalah bin ar-Rabi’al Usaidi, dan ditakhrij oleh Imam Muslim serta Tirmidzi). Sabdanya pula : “Aku punya waktu (khusus) yang tidak dapat leluasa di dalamnya kecuali Tuhanku.” (H.r. Tirmidzi). Kedua, sah berada dalam kondisi kelanggengan, mengingta ahli hakikat melakukan tahapan dari sifat yang mempengaruhi melalui berbagai jalan. Sementara kalimat dalam hadits di atas, “ ... Niscaya para malaikat akan menjabat tangan kamu.” Sama sekali bukan hal yang mustahil. Jabat tangan dari Malaikat tidak apda kalangan pemula, mendasarkan pada Hadits Nabi saw. “Sesungguhnya Malaikat meletakkan sayapnya pada pencari ilmu, sebagai rasa ridha terhadap apa yang dilakukan.” (H.r. Tirmidzi, an-Nasa’i Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Daraquthny dan Baihaqi). Sedangkan sabdanya : “Aku punya waktu (khusus).” Dikondisikan menurut persepsi pendengar. Namun dalam seluruh tingkah laku Nabi saw. Senantiasa berdiri di atas hakikat. Yang pertama, bisa dikatakan : Seorang hamba, sepanjang masih menaiki tahapan-tahapan, ia disebut pemilik talwin. IA sah-sah saja bila predikatnya bertambah dan berkurang. Apabila telah sampai pada Yang Haq dengan meninggalkan hukum-hukum kemanusiaan, Allah mendudukkannya dengan cara tidak dikembalikan pada penyakit-penyakit nafsu, maka ia disebut Mutamakkin dalam haliyah (Perilaku ruhani)-nya menurut proporsi dan haknya. Kemudain Allah swt. Mendudukkannya pada setiap jiwa, dan tidak ada batas bagi kekuasaan-Nya. Karenanya, jika hamba senantiasa dalam tahap yang bertambah ia selalu talwin, dan dalam prinsip haliyah-nya ia tamkin. Selamanya ia menempati tahapnya lebih tinggi lagi dari sebelumnya, bahkan lebih tinggi lagi. Karena tiada lagi pangkal bagi kekuasaan-Nya pada jenis manapun. Sedangkan orang yang merasuk dalam musyahadahnya, dan secara universal relevan dengan rasanya, maka tiada batas tempat bagi kemanusiaan. Karena itu, batallah keseluruhan, diri dan rasanya. Begitu juga berkaitan dengan jagad raya seisinya, jika kegaiban ini abadi padanya, ia tersinarkan (mahw). Dan karena itu, tidak ada tahap talwin maupun tamkin, tidak ada maqam ataupun haal. Sepanjang ia berada pada predikat tersebut, ia tak terbebani tugas (takliff) ataupun pemuliaan. Sungguh, kecuali jika ia dikembalikan menurut kondisi di luar itu semua, maka ia berada dalam situasi dimana dugaan-dugaan makhluk berlaku, terpalingkan dari posisi tahqiq. Alalh swt. Berfirman : Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​18
  • 19. TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY) November 11, 2019 “Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka itu tidur dan Kami balik-balikan mereka ke kanan dan ke kiri.” (Qs. Al-Kahfi:18). 18. QURB DAN BU’D Awal tahap dalam taqarrub atau al-qurb (kedekatan) adalah kedekatan hamba dalam taatnya dan disiplin waktu melalui ibadat-ibadatnya. Sedangkan tahap al-bu’d (penjauhan) adalah pengotoran diri dengan menentang dan menghampakan diri terhadap taat kepada Allah swt. Awal dari bu’d adalah jauh dari taufiq, kemudian jauh dari pembenaran (tahqiq). Bahkan jauh dari taufiq adalah jauh dari tahqiq itu sendiri. Dalam Hadits Qudsi dijelaskan, Nabi.s aw. Mengabarkan dari Allah swt. “Para hamba senantiasa bertaqarrub kepada-Ku, sebagaimana aturan yang Aku wajibkan kepada mereka. Dan seorang hamba senantiasa bertaqarrub kepada-Ku melalui ibadat-ibadat sunnah, sampai si hamba menyintai-Ku dan Aku mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya, Diri-ku sebagai pendengaran dan penglihatan baginya. Maka dengan-Ku ia melihat, dan dengan-Ku ia mendengar.” (H.r. Bukhari dan Tirmidzi). Kedekatan hamba pada Tuhannya, mula-mula dengan iman dan pembenarannya. Kemudain kedekatannya melalui ihsan dan hakikatnya. Sedang kedekatan Al-Haq saat di dunia ini didapati melalui kema’rifatan. Kelak di akhirat, hamaba dimuiakan untuk menyaksikan-Nya secara nyata. Di antara masing-masing kedekatan itu, melalui kelembutan dan anugerah. Kedekatan hamba kepada Allah swt. Tidak akan terwujud kecuali kajuhan hamba dari makhluk. Predikat ini ada dalam hati, bukan hukum-hukum fisikal lahriah dan alam. Kedekatan Allah swt. Termanifestasi melalui sifat Ilmu dan Qudrat yag bersifat universal dan umum. Sedangkan melalui Maha Lembut dan Maha Penolong-Nya, sifatnya hanya khusus bagi orang-orang beriman. Kemudian dengan pemberian anugerah “Kesukacitaan ruhani”, kedekatan-Nya tertentu bagi para Wali-Nya. Allah swt. Berfirman : “Dan kami lebih dekat kepadanya dibanding urat lehernya.” (Qs. Qaaf : 16) dan firman-Nya pula : “Dan kami lebih dekat kepadanya dibanding diri kamu (sendiri).” (Qs. Al-Waqi’ah : 85). Pada ayat lain : “Dan Dia bersama kamu, di mana pun kamu berada.” (Qs. Al-Hadid : 4) “Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, kecuali Dia-lah yang keempatnya.” (Qs. Al-Mujaadilah : 7). Siapapun yang secara hakiki dekat dengan Allah swt. Minimal ia harus muraqabah kepada-Nya. Karena dengan Muraqabah, sang hamba akan senantiasa mawas iri dengan takwa, kemudian mawas diri pada hukum Allah swt. Dan kesetiaan, disusul kemawasan tehadap rasa malu. Mereka mendengarkan nada-nada syair : Seakan si Raqib menjaga getaran hatiku Yang lain menjaga pandangan dan ucapanku Tak ada selayang pandang di kedua mataku Yang memburamkan Diri-Mu Melainkan engkau katakan Benar-benar engkau memandang-Ku Tiada yang cemerlang kata yang meluncur Dari mulutku selain Diri-Mu Melainkan Engkau katakan, benar, engkau mendengar Dengan pendengaran-Ku Tiada getar hati dalam rahasia Getran selain Diri-Mu Melainkan engkau telah naik dengan pertolongan-Ku Sahabatku telah membosankan ucapannya Aku membisu dari mereka, pandangan dan lisanku Bukanlah pelarianku dari dunia Yang melupakan diriku dari mereka Hanya saja aku telah tenggelam dalam penyaksianku Di mana pun jua Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​19
  • 20. TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY) November 11, 2019 Salah seorang syeikh menguji para santrinya. Masing-masing santrinya diberi seekor burung. Kata syeikh itu : “Sembelihlah burung ini, namun jangan diketeahui oleh siapa pun !.” Mereka pun pergi ke suatu tempat, dimana tak seorang pun melihatnya, lalu disembelihlah burung itu di tempat yang sepi. Namun ada salah seorang yang datang menghadap kepada syeikh tersebut, dengan membawa burungnya semula, tanpa disembelih. Syeikh itu menanyakan kepada si murid, mengapa hingga ia tidak menyembelih burung tersebut. Ia menjawab, “Engkau memerintahkan diriku untuk menyembelih burung itu, dengan syarat tidak diketahui siapa pun. Tetapi tidak satu pun tempat, kecuali Allah swt. Melihatnya.” Syeikh itu berkata, “Dengan ini, kehormatan kuberikan kepada muridku ini. Sebab pada umumnya di antara kalian hanya bertumpu pada makhluk. Sedangkan ia tidak melalaikan Allah swt. Dan memandang kedekatan berarti hijab bagi kedekatan itu sendiri.” Siapa yang memandang dirinya sebagai tempat berpijak atau bernafas, maka dirinya terkena makar. Karena itu para Sufi berkata “Semoga Allah swt. Menjagamu dari kedekatan-Nya.” Yakni, mengisyaratkan atas musyahadah Anda karena dekat-Nya.” Yakni, mengisyaratkan atas musyahadah Anda karena dekat-Nya, apabila Anda menemui-Nya. Hal ini mengingat bahwa anugerah kebahagiaan spiritual yang disebabkan kedekatan-Nya merupakan perlambang keagungan. Karena Allah swt, itu sendiri berada di belakang setiap puncak kebahagiaan. Sedangkan wilayah-wilayah hakikat mengharuskan munculnya kedahsyatan dan keleburan ruhani. Mereka bersyair : Cobaanku padamu, bahwa diriku Tak peduli dengan cobaanku Dekatmu bagai jauhmu Kapankah tiba, waktu istirahatku? Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. sering menyenandungkan bait-bait ini : Kinasihmu adalah perpisahan Cintamu adalah kebencian Dekatmu adalah jauh Damaimu adalah perang Abu Husain an.Nury sebagaian murid Abu Hamzah : “Apakah Anda salah seorang murid Abu Hamzah yang mengisyaraktkan pada al-Qurb? Kalau Anda bertemu dengan belaiu sampaikan, bahwa Abul Husain an-Nury berkirim salam, dan mengatakan kepadanya : “Dekatnya dekat dalam perspektif kamia dalah setelah jauh (al-bu’d). Jika yang dimaksud adalah dekat dengan Dzat, maka, Allah Maha Luhur (jauh) dari segala Kedekatan seperti itu. Karena Allah Maha Suci dari segala batas dan wilayah, pangkal dan ukuran Allah tidak berssentuhan dengan makhluk, begitu juga tidak terpisah dengan sesuatu yang didahului. Sefat keagungan Shamadiyah-Nya jauh dari temu dan pisah. Dekat sebagaimana kedekatan materi, dalah mustahil. Sedangkan dekat di sini adalah keharusan sifat-Nya yaitu dekat melalui Ilmu dan Pandangan. Dekat adalah kewenangan dalam Sifat-Nya, yang dikhususkan kepada hamba yang dikehendaki-Nya, yakni dekat dalam perspektif keutamaan melalui sifat kelembutan. 19. SYARIAT DAN HAKIKAT Syariat adalah disiplin ubudiyah, sedangkan hakikat adalah musyahadah Ketuhanan. (Musyahadah Ketuhanan (rububiyah) : artinya melihat dengan kalbu. Hal ini terungkap bahwa syariat merupakan sarana mengetahui penempuhan jalan Allah swt. Sedangkan Hakikat adalah kelestarian memandang kepada-Nya. Tharikat adalah menempuh jalan syariat tersebut, yakni mengamallkan aturan-aturannya). Catatan kaki). Setiap syariat yang tidak dikukuhkan dengan hakikat, tidak bisa diterima. Sebaliknya Hakikat yang tidak dikukuhkan dengan syariat, tidak akan suskes. Syariat turun dengan tugas-tugas dari Sang Khalik, sementara hakikat merupakan implementasi pelaksanaan kebenaran. Syariat berarti Anda menyembah-Nya, sedangkan Hakikat berarti Anda Menyaksikan-Nya. Syariat berarti bangkit sesuai dengan apa yang Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​20
  • 21. TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY) November 11, 2019 diperintahkan, sementara Hakikat adalah menyaksikan apa yang di qadha-kan dan ditakdirkan, apa yang tersembunyi dan apa yang tampak. Saya mendengar Syeikh Abi Ali ad-Daqqaq berkata : “(Kepada-Mu kami menyembah)” adalah menjaga syariat, dan “(Kepada-Mu kami meohon pertolongan)” adalah ikhtiar dengan hakikat. Perli diketahui, syariat itu sendiri adalah hakikat, bila dilihat bahwa syariat adalah keharusan melalui perintah-Nya. Begitu pun hakikat adalah syariat, dari segi bahwa ma’rifat kepada-Nya, karena perintah-Nya. 20. N A F A S Nafas adalah hembusan kalbu melalui kelembutan-kelembutan kegaiban. Orang yang memiliki nafas (ruhani), lebih lembut dan lebih jernih dibading yang memiliki ahwal ruhani. Pemilik waktu adalah pemula, dan pemilik nafas, adalah pangkalnya. Pemilik tingkah kesufian (ahwal) berada di antara keduanya. Orang-orang yang berada pada tahap awal adalah pemelihara ruh, sedangkan pemilik nafas adalah ahli dalam rahasia-rahasia Ketuhanan. Para Sufi berkata : “Sebaik-baik ibadat adalah menghitung nafas (hati) bersama Allah swt.” Mereka juga berkata : “Allah swt. Menciptakan kalbu, dan dijadikan kalbu itu sebagai tambang ma’rifat. Allah swt. Mencipta rahasia di balik kalbu, dan dijadikan sebagai tempat tauhid. Setiap nafas yang tidak muncul dari bukti-bukti ma’rifat dan setiap isyarat tauhid dalam bentangan kerumitan, adalah mayat, yang pemiliknya akan dimintai pertanggung jawaban.” Syeikh Abu Ali ad. Daqqaq r.a. berkata : “Bagi orang Arif” nafas tidak berserah kepadanya, karena tidak ada toleransi yang mengalir menyertainya. Sedangkan bagi sang pecinta, nafas adalah keharusan. Kalau tidak ada nafas, pastilah ia akan musnah.” 21. AL-KHAWATHIR Al-Khawathir (bisikan-bisikan jiwa) adalah bisikan yang menghujam ke dalam rasa; terkadang muncul dari Malaikat, terkadang dari setan, atau sekedar ungkapan nafsu, dan bahkan pula bisikan langsung dari Allah swt. Yang Maha Benar. Apabil bisikan datang dari malaikat, disebut Ilham. Jika muncul dari hawa nafsu disebut Hawajis. Dan bila datang dari setan disebut Haswas. Sedangkan bisikan jiwa yang langsung dari Allah swr. Disebut Bisikan Kebenaran (Khathir Haq). Indikasi secara keseluruhan, apabila bisikan datang dari para malaikat, bisa diketahui kebenarannya bila bisikan itu sesuai dengan ilmu pengetahuan. Karena itu, para Ulama Sufi berkata : “Setiap bisikan yang tidak bisa disaksikan kebenarannya secara lahir, adalah bisikan batil.” Apabila bisikan itu datang dari setan, rata-rata mengandung pada kemaksiatan. Begitupun yang datang dari nafsu, lebih cenderung mengajak pada sikap menurut syahwat, atau rasa takabur. Para syeikh Sufi bersepakat, bahwa orang yang terlalu banyak makan makanan haram, tidak akan bisa membedakan mana bisikan yang bersifat ilham dan mana yang waswas. Saya mendengar Syeikh Abu ali ad-Daqqaq berkata : “Siapa yang makanan utamanya diketahui (keharamannya), ia tidak akan bisa membedakan antara ilham dan waswas. Sementara orang yang menghindari hasrat nafsunya, dengan cara mujahadah yang benar, kejelasan ucapan batinnya akan tampak melalui perlawanan terhadap nasunya.” Para syeikh sepakat, bahwa nafsu itu tidak bisa dibenarkan. Sedangkan kalbu tidak bisa ditipu. Apabila Anda mujahadah semaksimal mungkin, agar ruh membisikan kepada Anda, pastilah ruh tidak akan membisikan sesuatu kepada Anda. An-Junayd membedakan antara bisikan nafsu dan bisikan setan : bahwa naffsu itu, apabila menuntut Anda terhadap suatu perkara, ia akan menempel, dan akan kembali lagi walaupun berlalu dalam jarak waktu, sampai bisikan nafsu itu benar-benar meraih kemauannya dan mencapai tujuannya. Kecuali bagi orang-orang yang mujahadahnya benar, maka bisikan itu tidak akan kembali. Kemudian nafsu itu selalu memusuhi Anda. Sementara setan, ketika Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​21
  • 22. TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY) November 11, 2019 menjerumuskan Anda melalui godaannya, kemudian Anda menentangnya, maka setan akan kembali mempengaruhi Anda dengan godaan lainnya. Sebab, secara keseluruhan, sikap kontra adalah sama. Yang penting bagi setan, Anda bisa mengikuti ajakannya yang menjerumuskan. Dan baginya, tidak ada peringatan dalam penjerumusan itu. Dikatakan : “Setiap bisikan yang datang dari para malaikat, kadang-kadang cocok di hati si penerima bisikan, terkadang juga tidak. Namun apabila bisikan langsung dari Allah swt. sama sekali si hamba tidak menetang-Nya.” Para Syeikh memperbincangkan soal bisikan berikutny. “Apabila bisikan dari Allah swt. apakah bisikannya alebih kuat dibanding bisikan pertama.” Al-Junayd berkata : “Bisikan pertama lebih kuat, sebab, apabila bisikan itu masih ada, orang yang mendapat bisikan kembali pada refleksinya, dan dalam kaitan ini, perlu persyaratan ilmu pengetahuan. Meninggalkan bisikan pertama berarti melemahkan bisikan kedua.” 22. ILMUL YAQIN, ‘AINUL YAQIN DAN HAQQUL YAQIN Ungkapan di atas merupakan wacana ilmu yang sudah jelas. Yaqin adalah ilmu yang tidak merasuki seseorang yang menyebabkan keraguan sepenuhnya. Al-Yaqin tidak diucapkan dalam sifat Allah swt. karena memang tidak relevan. Sedangkan Ilmu Yaqin adalah Yaqin itu sendiri. Termasuk katagori Yaqin adalah ‘Ainul Yaqin dan Haqqul Yaqin. Ilmu Yaqin menurut disiplin terminologi ulama, adalah sesuatu yang ada dengan syarat adanya bukti. Sedangkan ‘Ainul Yaqin, sesuatu yang ada dengan disertai kejelasan. Haqqul Yaqin, adalah sesuatu yang ada dengan sifat-sifat yang menyertai kenyataan. Ilmu Yaqin, diperuntukkan bagi mereka yang cenderung rasional, ‘Ainul Yaqin, diperuntukan bagi para ilmuwan. Sedangkan Haqqul Yaqin, hanya bagi orang-orang yang ma’rifat. 23. W A R I D Al-Warid (bisikan terpuji) adalah bisikan dalam hati, berupa bisikan terpuji, tanpa diduga oleh seorang hamba. Tergolong kategori ini, adalah hal-hal yang tidak termasuk sisi dari bisikan (khawathir). Warid kadang-kaang datang dari Allah swt. dan terkadang juga dari intuisi pengetahuan. Bisikan-bisikan terpuji (al-waridaat) ini lebih umum dibnding al-khawathir. Sebab bisikan khawathir, hanya khusus bagi macam perintah, atau yang se-arti dengannya. Sementara warid, lebih sebagai bisikan kegembiraan, atau kesedihan, genggaman dan keleluasaan Ilahi, dan sejenisnya. 24. SYAAHID Kebaynyakan yang berlaku dalam ucapan ulama, bahwa kata asy-Syaahid itu semakna dengan ucapan kita : Si Fulan menyaksikan ilmu (yusyaahid al-ilm); Si Fulan menyaksikan ekstase (yusyaahid –al-wujd) dan si Fulan menyaksikan keadaan-keadaan ruhani (yushaahid al-haal). Mereka mengartikan kata Syaahid adalah sesuatu yang hadir dalam hati manusia. Sesuatu yang pada umumnya teringat, seakan-akan ia melihat dan memandangnya, walaupun obyek tidak ada di hadapannya. Setiap yang dominan dalam hatinya, berarti ia menyaksikannya. Bila yang dominan adalah ilmu, maka ia menyaksikan ilmu. Begitu juga bila yang dominan adalah ekstase, berarti ia menyaksikan al-wujd. Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​22
  • 23. TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY) November 11, 2019 Arti asy=Syaahid adalah yang hadir (al-haadhir). Jadi setiap yang hadir dalam hati Anda berarti yang menjadi bukti Anda. Asy-Syibly ditanya tentang musyahadah. Katanya, “Dari mana kita mendapatkan musyahadah al-Haq? Padahal Allah Yang Maha Haq menyaksikan kita.” Beliau mengisyaratkan, dengan kata, “Allah swt. yang menyaksikan.” Dengan menggunakan faktor dominan dalam hatinya. Dan yang dominan pada dirinya adalah dzikir kepada Allah swt. Sedangkan yang hadir dalam hati senantiasa juga dzikir kepada Allah swt. Siapa pun yang memperoleh sesuatu dari sesama makhluk, maka hatinya akan berkait. Dikatakan, “Ia menjadi saksinya.” Artinya, hatinya hadir. Rasa cinta mendorong seseorang untuk selalu ingat kepada sang kekasih dan mengutamakan kekasihnya dibanding dirinya. Sebagian Sufi sangat jeli dalam mencari akar kata asy-Syaahid ini. Disebutkan demikian karena bermula dari asy-Syaahid. Seakan-akan jika melihat sosok dengan sifat-sifat keindahannya – apabila sifat manusiawinya gugur dari dirinya, dan tidak disibukkan oleh penyaksian pada keadaan sosok tokoh, dan tidak pula ada pengaruh persahabatan di dalamnya dalam satu sisi – maka ia disebut saks “bagi”” sosok tersebut karena ke-fana’an dirinya. Tetapi bila ada pengaruh di dalam menyertai sosok tersebut, ia disebut sebagai saksi “atas” ssosok itu, sedangkan dirinya masih ada, dan masih menegakkan hukum naluri manusia, baik sebagai saksi bagi sosok atau saksi atas sosok di atas. Dalam kontens inilah relevan dengan sabda Nabi saw. “Aku melihat Tuhanku pada malam Mi’raj, dalam rupa yang paling bagus. Yakni rupa paling bagus yang kulihat malam itu. Sama sekali tidak menyakitkan diriku untuk melihat-Nya. Bahkan aku melihat Perupa dalam rupa, dan Kreator dalam kreasi.” (H.r. Thabrani, riwayat dari Ubaidullah bin Au Rafi’ dan ayahnya dan dari Ibnu Abbas. Demikian pula riwayat dari Ummu Thufail dari Mu’adz bin ‘Afra’). Yang dimaksud hadits tersebut adalah penglihatan ilmu, bukan penglihatan mata. 25. NAFSU Nafsu syai’ dalam bahasa Arab adalah wujud sesuatu (jati diri). Sedangkan menurut kaum Sufi, “Ucapan kata nafs bukan dimaksudkan sebagai wujud, acuan masalah.” Yang mereka maksudkan dangan nafs adalah sesuatu yang tercela dalam sifat-sifat hamba, akhlak dan perbuatannya. Perilaku tercela dari sifat-sifat hamba tebagi menjadi dua : Pertama, bersifat upaya dari hamba, seperti perbuatan maksiat dan pengingkaran terhadap perintah dan larangan. Kedua, budi pekertinya yang buruk dalam dirinya yang tercela. Maka terapi dan penyembuhannya pada diri hamba adalah berjuang melawan kehinaan perilaku tersebut yang telah menjadi kebiasaan sehari-hari. Pada sifat yang pertama, termasuk hukum-hukum nafsu adalah hal-hal yang dilarang setara dengan keharaman atau larangan yang besifat dibenci. Sedangkan pada sifat kedua, berupa keburukan dan kehinaan akhlak. Inilah batasan globalnya. Kemudian rinciannya, seperti takabur, amarah, dendam, dengki, buruk akhlak, sedikit bersyukur, dan yang lainnya. Yang tergolong akhlak tercela. Hukum nafsu terburuk adalah berupa khayalan bahwa sesuatu perbuatan yang muncul dari nafsu dianggap baik. Atau perbuatan nafsu itu sebagai bagian takdir. Karena itulah perbuatan nafsu seperti itu tergolong syirik khafy atau syirik yang samar. Karena itu, terapi akhlak dalam menyingkirkan nafsu lebih penting daripada berlapar-lapar, haus atau berjaga (tanpa tidur) dan sebagainya yang mengandung unsur penyusutan kekuatan fisik. Walaupun cara seperti itu juga termasuk meninggalkan kesenangan nafsu. Nafsu itu sendir merupakan nuansa lembut yang ada dalam hati, sebagai tempat akhlak yang tercela. Sebagaimana ruh yang merupakan nuansa lembut dalam hati, namun sebagai tempat akhlak terpuji. Dalam gambaran yang umum, masing-masing saling meundukkan. Semuanya, merupakan bagian dari kesatuan manusia. Eksistensi ruh dan nafsu tergolong wadag lembut dalam rupa, sebagaimana eksistensi malaikat dan setan, dengan sifat-sifat kelembutan. Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​23
  • 24. TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY) November 11, 2019 Seperti benarnya mata sebagai tempat memnadang, telinga sebagai tempat mendengar, hidung sebagai tempat penciuman, mulut sebagai tempat rasa, maka, begitu pun orang yang mendengar, yang melihat, yang mencium dan yang merasakan, semuanya termasuk dalam bagan manusia. Demikian pula, tempat sifat-sifat yang terpuji, tempatnya adalah hati dan ruh. Sedangkan sifat-sifat tercela tempatnya adalah nafsu. Nafsu sendiri sebagai bagian dari keseluruhan tersebut, begitu pula hati, hukum dan nama, kembali pada keseluruhan kesatuan sosok manusia. 26. R U H Ahli hakikat dari kalangan Ahli Sunnah berbeda pandangan soal Ruh. Ada yang berpendapat, ruh adalah kehidupan. Yang lain berpandangan, ruh adalah kenyataan yang ada dalam hati, yang bernuansa lembut. Allah swt. menjalankan kebiasaan makhluk dengan mencipta kehidupan dalam hati, sepanjang arwahnya menempel di badan. Manusia hidup dengan sifat kehidupan. Tetapi arwah selalu tercetak di dalam hati, dan bisa naik ketika tidur dan berpisah dangan badan, kemudain kembali kepada-Nya. Manusia terdiri dari ruh dan jasad. Karenanya Allah swt. menundukkan keduanya secara keseluruhan, baik ketika di Mahsyar, diberi pahala maupun disiksa. Ruh adalah makhluk. Bagi sementara pihak yang berkata bahwa ruh adalah qadim, merupakan kekeliruan besar. Beberpa hadits mengindikasikan bahwa ruh adalah materi yang lembut. 27. SIIR Sirr juga temasuk nuansa halus dalam hati manusia, sebgaimana arwah. Akarnya menunjukkan bahwa sirr adalah temepat musahadah, sebagaimana arwah temWApat mahabbah. Sedangkan kalbu tempat ma’rifat. Para Sufi berkata: “Sirr adalah sessuatu yang membuat Anda mulia. Sedangkan rahasia sirr, adalah sesuatu yang tidak bisa terungkap selain Allah Yang Haq.” Dari kesimpulan para kaum Sufi, kita memandang bahwa sirr lebih lembut dibanding ruh. Dan ruh lebih mulia dibanding kalbu. Mereka berkata : “Sirr selalu merdeka dari belenggu tipudaya, baik dari pengaruh dunia maupun kesenangan.” Kata sirr diucapkan bagi segala hal yang terjaga dan termasuk antara hamba dengan Allah swt. dalam ihwal ruhani. Dalam hal ini, ucapan seseorang yang mengatakan, “Rahasia-rahasia kami adalah keperawwanan yang masih suci. Sedang mereka ragu,” masuk kategori ucapan sirr. Mereka mengatakan : “Hati orang-orang merdeka, selalu menerima rahasia-rahasia jiwa (asraar). PRINSIP-PRINSIP TAUHID DALAM PANDANGAN KAUM SUFI 1. ​MA’RIFATULLAH Abu Bakr asy-Syibly berkata : “Allah adalah Yang Esa, yang dikenal sebelum ada batas dan huruf. Maha Suci Allah, tidak ada batasan bagi Dzat-Nya, dan tidak ada huruf bagi Kalam-Nya.” Ruwaym bin Ahmad ditanya mengenai fardhu pertama, yang difardhukan Allah swt. terhadap makhluk-Nya. Ia berkata : “Ma’rifat.” Karena firman Allah swt. : “Aku tidak menciptakan jin manusia kecuali untuk menyembah kepada-Ku.” (Qs. Adz-Dzariyaat : 56). Ibnu Abbas’ menafsiri Illa liya’buduun dimaksudkan adalah Illa liya’rifuuun(kecuali untuk ma’rifat kepada-Ku). Al-Junayd berkata : “Haat hikmah pertama yang dibutuhkan oleh hamba adalah Ma’rifat makhluk terhadap Khalik, mengenal Sifat-sifat Pencipta dan yang tercita bagSang makhluk merasa hina ketika dipanggil-Nya dan mengakui kewajiban taat kepada-Nya. Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​24
  • 25. TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY) November 11, 2019 Barangsiapa tidak mengenal Rajanya, maka ia tidak mengakui terhadap raja, kepada siapa kewajiban-kewajiban harus diberikan. Abu Thayib –Maraghy berkata : “Akal mempunyai bukti, hikmah mempunyai isyarat, dan Ma’rifat mempunyai Syahadat. Akal menunjukkan, hikmah mengisyaratkan, dan ma’rifat menyaksikan; bahwa sanya kejernihan ibadat tidak akan tercapai kecuali melalui kejernihan tauhid.” Al-Junayd ditanya soal tauhid, jawabnya : “Menunggalkan Yang Maha Tunggal dengan mewujudkan Wahdaniyah-Nya lewat keparipurnaan Ahadiyah-Nya. Bahwa Dia-lah Yang Esa yang tiada beranak dan tidak diperanakkan. Dengan kontra terhadap antagoni, keraguan dan keserupaan tanpa upaya menyerupakan dan bertanya bagimana, tanpa proyeksi dan pemisalan; tidak ada sesuatu pun yang menyami-Nya. Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Abu Bakr az-Zahir Abady ditanya tentang Ma’rifat. Jawabnya : “Ma’rifat adalah nama. Artinya, wujud pengagungan dalam kalbu yang mencegah dirimu dari penyimpanngan dan penyerupaan.” 2. ​ SIFAT-SIFAT Abul Hasan al-Busyanjy ra. Berkata : “Tauhid berarti tahu bahwa Allah swt. tidak serupa dengan makhluk dan tidak kontra pada Sifat-sifat.” Ah-huasin bin Mansur al-Hallaj menegaskan, “Al-Qidam” hanyalah bagi-Nya. Segala yang fisikal adalah Penampilan-Nya, yang tampak bendawi menetapkan-Nya, yang piranti mengintegrasikan-Nya, kekuatannya berada di genggaman-Nya. Hal-hal yang tersusun waktu, waktulah yang memisahkannya, dan yang ditegakkan oleh selain-Nya, maka bencanalah yang menyentuhnya. Hal-hal yang terbuat oleh khayal, maka proyeksi menaikkan tahapan kepada-Nya. Siapa yang berbicara soal tempat, maka akan berjumpa dengan kata di mana. Sungguh Maha Suci Allah swt. Dia tidak dilindungi oleh sesuatu di atas, dan tidak pula dikecilkan oleh yang di bawah. Dia tidak menerima batas dan tidak dicampuri keseluruhan. Dia tidak ditemui oleh yang ada, juga tidak dihilangkan oleh tiada. Sifat-Nya tidak memliki sifat, pekerjaan-Nya tidak memili cacat. Adanya tak terjangkau. Suci dari ihwal makhluk-Nya. Bahkan makhluk tidak mencampuri-Nya dan dalam pekerjaan-Nya tak ada yang memasuki-Nya. Dia menjelaskan kepada makhluk melalui Qidam-Nya, sebagaimana makhluk itu mengenal penjelasan-Nya melalui kejadian baru (hudus)-Nya.” Huruf adalah ayat-Nya. Wujud adalah ketetapan-Nya. Ma’rifat adalah tauhid-Nya, dan tauhidnya adalah perbedaan-Nya dengan makhluk-Nya. Segala yang tergambar oleh khayal, selalu berbeda dengan-Nya. Bagaimana bisa, Dia menempati sesuatu, yang dari-Nya sesuatu itu bermula? Atau dia kembali pada sesuatu, padahal Dia-lah yang memunculkaNya ? Dia tidak bisa dibandingkan dengan dugaan, kedekatan-Nya adalah karamah-Nya, ketinggian-Nya adalah sesuatu yang tidak berukuran ketinggain, kedatangan-Nya tanpa berpindah, Dia-lah yang Awal dan yang Akhir, Yang Dzahir dan Yang Batin, Yang Dekat dan Yang Jauh, Yang tidada sesuatu pun menyamai-Nya, Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Yusuf bin al Husain berkata : “Ada seseorang berdiri di antara dua sisi Dzun Nuun al-Mishsry, orang itu bertanya, “Berilah aku kabar tentang Tauhid, apa sebenarnya tauhid itu? Dzun Nuun menjawab : “Tauhid berarti Anda tahu bahwa Kekuasaan Allah swt. terhadap segala hal tanpa campur tangan, ciptaan-Nya terhadap makhluk tanpa perlu masukan, dari seab langsung bagi segala sesuatu adalah ciptaan-Nya, dan tidak ada sebab langsung bagi ciptaan-Nya. Seluruh langit tertinggi dan bumi terendah tak ada yang mengaturnya kecuali Allah swt. Segala bentuk yang terproyeksi dalam khayal Anda, maka Allah justru berbeda dengannya.” Al-Junayd mengatakan : “Tauhid adalah ilmu Anda, dan ikrar Anda behwa sesungguhnya Allah swt, adalah Tunggal dalam Azali-Nya, tak ada dua-Nya, dan tak sesuatu pun yang mengerjakan pekerjaan-Nya.” Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​25
  • 26. TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY) November 11, 2019 3. ​ I M A N Abu Abdullah bin Khafifi berkata : :Iman berarti penetapan kalbu terhadap apa yang telah dijelaskan oleh Al-Haq mengenai hal-hal yang gaib.” Abul AbSayyary berkata : “Pemberian Allah itu ada dua macam :Karamah dan istidraj. Segala hal yang menerap abadi dalam dirimu adalah karamah, dan segala yang sirna dari dirimu adalah istidraj. Maka katakan saja , “Aku beriman, insya Allah’!.” Sahl bin Abdullah at-Tustary menandaskan : “Orang-orang yang beriman melihat Allah swt, dengan mata hati, tanpa pangkal batasan dan kawasan. Abul Husain an-Nury berkata : “Kalbu adalah tempat penyaksian al-Haq. Kami tidak pernah melihat Kalbu yang lebih rindu kepada-Nya, dibandingkan Kalbu Muhammad saw. Lalu Allah swt. memuliakannya lewat Mi’raj, sebagai pendahuluan terhadap penglihatan kepada Allah swt, dan penyempurnaan.” Abu Utsman al-Maghriby berkata : “Aku meyakini sesuatu seputar arah. Ketika aku datang ke Baghdad, hilanglah semua itu dari kalbuku. Lantas aku menulis surat kepada sahabatku di Mekkah, “Aku sekarang masuk Islam, dengan Islam yang baru (sebenarnya).” Abu Utsman ditanya soal mekhluk. Jawabnya : “Cetakan dan bayangan, yang berjalan di atasnya hukum-hukum Kekuasan Ilahi.” Al-Wasithy berkata : “Ketika arwah dan jasad tegak dengan seijin Allah, dan keduanya pun tampak dengan ijin-Nya, maka keduanya pun tegak tidak dengan zatnya. Begitu juga hasrat-hasrat dan gerak, berdiri tegak, tidak dengan zatnya, seijin Allah. Sebab gerakan-gerakan dan hasrat itu merupakan cabang bagi jasad dan arwah. 4. ​R E Z E K I Al-Wasithy ditanya soal kufur bagi dan kepda Allah. Jawabnya : “Kufur dan iman, dunia dan akhirat, dari Allah kepada Allah, bersama Allah dan bagi Allah. Dari Allah sebagai permulaan dan awal pemunculan, dan kepada Allah sebagi tempat kembali dan pangkalnya, bersama Allah baqa’ dan fana’, dan bagi Allah kerajaan dan ciptaan. Dikaakan oleh al-Junayd, bahwa sebagaian ulama bertanya soal tauhid. Kemudian dijawab oleh al-Junayd : “Tauhid adalah keyakinan.” “Jelaskan padaku apa tauhid itu? Demikian kata si penanya. “Tauhid adalah ma’rifat Anda, bahwa segala gerak makhluk dan diamnya merupakan pekerjaan Allah swt, Dia Maha Esa tidak berkawan. Apabila ada sudah berpadangan demikian, Anda telah menauhidkan-Nya.” Jawab Junayd. Seseorang datang kepada Dzun Nuun minta didoakan : “Doakan aku!.” Kata orang tersebut. “Kalau anda benar-benar mantap dalam ilmu gaib melalui kebenaran tauhid, maka doa pasti dikabulkan. Jika tidak demikian sesuatu doa tidak mungkin bisa menyelamatkan orang tenggelam.” Jawab Dzun Nuun. Abul Husain an-Nury berkata : “Tauhid adalah segala bisikan yang mengisyaraktkan kepada Allah, bahwa dia bebas dari campur tangan unsur keserupaan.” Sedangkan Abu Ali ar-Ridzbary ketika ditanya soal tauhid, menjelaskan : “Tauhid adalah istiqamah kalbu dengan penetapan terhadap suatu pemisahan pada penyimpangan dan pengingkaran terhadap keserupaan. Tauhid melebur dalam satu kalimat, yaitu : Setiap yang tergambar oleh khayal dan pikiran, maka Allah swt pasti berbeda dengan khayalan dan pikiran itu.” Karena firman Allah swt. “ “Tidak ada sesuatu pun yang menyamai-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Qs. Asy-Syuura : 11). Abul Qasim an-nahr Abadzy berkata : “Surga abadi dengan keabadian yang diabadikan-Nya, ingatan-Nya keapdamu, rahmat dan mahabbah-Nya kepadamu, abadi dengan keabadian-Nya, dua hal yang berbeda, sesuatu yang abadi karena abadi-Nya, dan sesuatu yang abadi karena diabadikan oleh-Nya. Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​26
  • 27. TERJEMAH KITAB RISALAH AL-QUSYAIRIYAH (ABUL QOSIM BIN HAWAZIN AL IMAM AL-QUSYAIRY) November 11, 2019 Ahlul Haq berkata : “Sifat-sifat Dzat Yang Qadim abadi karena badi-Nya, berbeda dengan ucapan oleh mereka yang bukan ahlul Haq. Nashr Abadzy menandaskan : “Anda bersimpang siur antara sifat-sifat (fi’l) dengan sifat-sifat Dzat. Keduanya adalah sifat Allah swt. secara esensial. Apa bila Anda terpancang pada tahap pisah (tafriqah), maka Anda diintegrasi oleh sifat fi’l. Jika Anda sampai apda tahap al-ja’u Anda akan terintegrasi oleh sifat-sifat Dzat-Nya. Sang Syeikh. Imam Bau Ishaq al-Isfirayainy r.a. mengatakan : “Ketika aku datang dari Baghdad. Aku belajar di masjid Naisabur perihal ruh. Aku menjelaskan secara gamblang bahwa ruh adalah makhluk. Sementara Abul Qasim Abadzy duduk berjauhan dengan kamimendengarkan pembicaraanku. Hingga berlalu beberapa hari, kemudian ia mengatakan kepada Muhammad al-Farra’, ‘Aku bersaksi sesungguhnya kau seorang Muslim baru di tangan laki-laki ini,’ katanya sambil menunjuk ke arahku.” Dikisahkan tentang Yahya bin Mu’adz, bahwa seseorang telah berkata kepadanya : “Tolong beritahu aku mengenai Allah swt?” Yahya menjawab : “Tuhan Yang Esa”. Lalu dikatakan kepada Yahya : “Bagaimana Dia?” “Dia Raja Yang Maha Kuasa”. Jawab Yahya. Orang itu kembali beretanya : “Di mana Dia?” “Dia benar-benar mengawai.” Jawabnya. “Aku tidak bertanya tentang ini.” Tandas si penanya. Maka Yahya menjawab : “Tidak ada lagi selain itu.” Ibnu Syahin bertanya pada al-Junayd tentang makna : ma’a. Junayd menjawab, bahwa ma’a mengandung dua makna : ma’al an-biyaa’ (beserta para Nabi), mengandung arti pertolongan dan penjagaan. Sebagaimana firman Allah swt. : Sesungguhnya Aku bersama kalian berdua, Aku mendengar dan melihat.” (Qs.Thaaha :46). Dan makna ma’a secara umum sebagai predikat ilmu dan liputan. Allah swt. berfirman : “Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah yang keempat.” (Qs. Al-Mujaadilah : &). Ibnu Syahin berkomentar : “Orang seperti Anda benar-benar layak untuk menyampaikan petunjuk kepada ummat, mengenai Allah swt.” 5. ​ARASY Dzun Nuun ditanya mengenai firman Allah swt. “Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayan di atas Arasy.” (Qs.Thaha : 5) Jawabnya : “Yang Maha Pemurah tidak akan sirna, dan Arasy itu dicipta (baru). Sedangkan Arasy terhadap yang Maha Pemurah (ar-Rahmaan) menjadi semayam (-Nya).” Ja’far bin Nashr ditanya soal ayat tersebut. “Ilmu-Nya bersemayam terhadap segala sesuatu. Dan sesuatu tidak ada yang lebih dekat kepada-Nya dari sesuatu yang lain.” Ja’far ash-Shadiq berkata : “Barangsiapa berpandangan bahwa Allah swt. ada di dalam sesuatu, atau di atas sesuatu, maka orang itu benar-benar musyrik. Sebab apabila ada di dalam sesuatu, Allah pasti terbatas. Jika dari sesuatu, Allah pasti baru. Dan jika di atas sesuatu, maka Allah mengandung sesuatu.” Ja’far ash-Shadiq menafsiri Kalamullah : “Kemudian Dia mendekat, lalu tambah mendekat lagi.” (Qs. An-Najm : 8), bahwa :Barangsiapa mengira bahwa dengan sendirinya ia bisa mendekat, maka ia menciptakan jarak di sana. Padahal mendekat yang dimaksud dalam ayat tersebut, selama ia mendekat kepada-Nya, ia merasa jauh dari segala ma’rifat. Karena tidak ada dekat dan tidak ada jauh.” Al-Kharraz berkata : “Hakikat mendengar adalah hilangnya sentuhan sesuatu dari kalbu dan penenangan rasa menuju kepada Allah swt.” Ibrahim al-Khawwas menegaskan : “Suatu ketika secara tidak sengaja aku mendapati seorang lai-laki yang direkadaya setan, sehingga aku harus mengumandang adzan ke telinganya. Tiba-tiba terdengar setan memanggilku dari lubang telinganya. “Biarkan ia, aku akan membunuhnya, karena ia berkata : Al-Qur’an adalah makhluk.” Ibnu Atha’ (Washil bin Atha’ al-Mu’tazily) berkata : “Sesungguhnya Allah swt. ketika menciptakan huruf-huruf. Dia membuat rahasia bagi-Nya. Ketika Allah mencipta Adam as. Copyrigh ​©​ ​https://modin1.blogspot.com​ – ​https://modin1.wordpress.com​ Page ​27