Makalah ini membahas tentang keimanan kepada Allah SWT. Terdiri dari pendahuluan, pembahasan, dan penutup. Pembahasan menjelaskan tentang pengenalan terhadap Allah SWT yang meliputi makna ma'rifatullah dan cara mencapainya. Juga dasar keimanan kepada Allah SWT yang terdiri dari keyakinan hati, ucapan, dan perbuatan serta dapat bertambah dan berkurang.
1. Dosen Pembimbing : Abdul Hamid Aly,S.Pd.,M.Pd
Kelompok 4
Disusun oleh :
Nor Afifah NIM : 21901082094
Alif Rachman Izzulhaq NIM : 21901082106
Muhammad Iqbal Achdiyat NIM : 21901082107
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
PROGRAM STUDI AKUNTANSI
2020 / 2021
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
Keimanan kepada Allah SWT
2. i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul
Keimanan kepada Allah SWT 1.
Terima kasih saya ucapkan kepada Bapak Abdul Hamid Aly yang telah
membantu kami baik secara moral maupun materi. Terima kasih juga saya ucapkan
kepada teman-teman seperjuangan yang telah mendukung kami sehingga kami bisa
menyelesaikan tugas ini tepat waktu.
Kami menyadari, bahwa makalah yang kami buat ini masih jauh dari kata
sempurna baik segi penyusunan, bahasa, maupun penulisannya. Oleh karena itu, kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pembaca guna
menjadi acuan agar penulis bisa menjadi lebih baik lagi di masa mendatang.
Semoga makalah ini bisa menambah wawasan para pembaca dan bisa
bermanfaat untuk perkembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan.
Malang, 6 maret 2020
3. ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang........................................................................................................ 1
B. Rumusan masalah.................................................................................................. 1
C. Tujuan penulisan makalah.................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengenalan terhadap Allah swt (ma’rifat billah) .............................................. 2
B. Dasar keimanan kepada Allah SWT................................................................... 4
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................................ 8
B. Saran ....................................................................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA
4. 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Adanya alam semesta beserta isinya, termasuk manusia dengan segala kelebihan
dan kekurangannya pasti ada yang menciptakan. Siapa dia? Tentu “Sang Pencipta”.
Dialah Allah SWT. Untuk mengakui kebenaran dan keberadaan Allah SWT
dibutuhkan dalam hati, mengakui dan membenarkan tentang adanya Allah SWT.
Beriman kepada Allah adalah salah satu pokok terpenting yang harus dilakukan
oleh seluruh umat muslim, selain beriman kepada Malaikat, Kitab-Nya, Rasul-Nya,
iman kepada hari akhir, dan kepada qada’ dan qadar’. Seorang belum dikatakan
beriman kepada Tuhan-Nya apabila ia belum dapat meyakini dalam hatinya, bahwa
Tuhan Allah adalah dzat yang Maha Esa dengan segala keagungan dan sifat-sifatnya.
Maka dari itu, sebagai umat muslim kita wajib meyakini bahwa Allah
mempunyai sifat yang melekat pada-Nya, yang patut kita percayai dan kita imani.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud pengenalan terhadap Allah SWT (ma’rifat billah)?
2. Apa dasar keimanan kepada Allah SWT?
C. Tujuan Pembahasan
1. Mahasiswa dapat mengetahui apa itu pengenalan terhadap Allah SWT (ma’rifat
billah)
2. Mahasiswa dapat memahami apa dasar keimanan kepada Allah SWT
5. 2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengenalan kepada Allah SWT (ma’rifat billah)
Secara umum, Ma’rifatullah artinya mengenal Allah. Dan kata-kata makrifat itu
sendiri bahasa arab mengandung makna ihathah yang artinya mengetahui secara penuh,
maka makrifatullah dapat diartikan dengan mengenal atau mengetahui identitas zat Allah
secara keseluruhan. Namun bila diartikan dengan sekedar mengenal eksistensi Allah
maka siapapun dari kita pasti mampu mengetahui bahkan meyakini keberadaan-Nya,
baik melalui berbagai kajian dan penelitian. Lalu bagaimana mengenal/mengetahui
identitas zat Allah dengan sempurna? Inilah yang mustahil! Walau melalui suluk dan
banyak berdzikir dalam tarekat. Karena Rasulullah SAW saja tidak mampu memuji
Allah karena tidak mampu mengenal/mengetahui-Nya, jika Rasulullah SAW yang
menjadi makhluk termulia dan teragung di sisi Allah, Apakah kita yang sehina dan
sekotor ini mengaku-ngaku telah Makrifatullah?
Allah SWT berfirman:
“kita tidak akan mampu mengetahui sedikit dari sebagian ilmu-ilmu Allah melainkan
apa yang ia kehendaki saja”.
Orang yang telah sampai pada derajat Ma’rifatullah, telah dianggap dekat kepada
Allah ketika perbuatannya menjadi sangat baik dan hatinya tidak hetnti-hentinya berfikir
tentang sifat Allah yang menjadikan rasa takut (Khouf) sebagai cambuk untuk tingkah
lakunya dan rasa cinta (Mahabbah) sebagai kendali dalam imannya, sebagai petunjuk
kepada Allah dalam mencari keridoan-Nya.
Ma’rifat merupakan pengetahuan yang objeknya bukan hal-hal yang bersifat
eksoteris ( zahiri ), tetapi lebih mendalam terhadap penekanan aspek esoteris ( batiniyah )
dengan memahami rahasia-Nya. Maka pemahaman ini berwujud penghayatan atau
pengalaman kejiwaan. Sehingga tidak sembarang orang bisa mendapatkannya,
pengetahuan ini lebih tinggi nilai hakikatnya dari yang biasa didapati orang-orang pada
umumnya dan didalamnya tidak terdapat keraguan sedikitpun. Ma’rifat bagi orang awam
yakni dengan memandang dan bertafakkur melalui penzahiran (manifestasi) sifat
keindahan dan kesempurnaan Allah SWT secara langsung, yaitu melalui segala yang
diciptakan Allah SWT di alam raya ini.
Jelasnya, Allah SWT dapat dikenali di alam nyata ini, melalui sifat-sifat-Nya yang
tampak oleh pandangan makhluk-Nya.
Dari beberapa definisi bisa diketahui bahwa ma’rifat adalah mengetahui rahasia-
rahasia Tuhan dengan menggunakan hati sanubari, sehingga akan memberikan
pengetahuan yang menimbulkan keyakinan yang seyakin-yakinnya dari keyakinan
tersebut akan muncul ketenangan dan bertambahnya ketaqwaan kepada Allah SWT.
Cara mencapai Ma’rifat
Meneliti dan mengenal diri sendiri merupakan kunci rahasia untuk mengenal Allah
SWT, sebagaimana sabda Nabi saw :
“Barang siapa mengetahui diriya sendiri, maka ia akan mengetahui Tuhannya”.
6. 3
Langkah pertama untuk mengenal diri sendiri ialah mengetahui terlebih dahulu
bahwa diri ini tersusun dari betuk lahir yang disebut badan dan batin yang disebut
qalb. Dalam hal ini kata qalb bukan merupakan segumpal daging yang berada
disebelah kiri badan, tapi ia adalah ruh yang bersifat halus dan ghaib yang turun ke
dunia untuk melakukan tugas dan kelak akan kembali ke tempat asalnya.
Qalb merupakan alat terpenting untuk menghayati segala rahasia yang ada di
alam ghaib, sebagai puncak penghayatan ma’rifat kepada Allah SWT.
Jelasnya, qalb atau hati merupakan instrumen penting “fisiologi mistik” untuk
mendapatkan ma’rifat, karena dengan hati manusia bisa mengetahui, berhubungan,
dan berdialog dengan hal-hal yang ghaib, khususnya mengetahui dan berdialog
dengan Allah SWT. Itupun hanya qalb yang benar-benar hidup dan suci dari
sifatsifat tercela, dan setelah melakukan mujahadah. Maka, ma’rifat bukan datang
dengan sendirinya, melainkan harus melalui sebuah proses yang panjang yakni
dengan melakukan proses melatih diri dalam hidup keruhanian (riyadah) dan
memerangi hawa nafsu (mujahadah). Oleh karena itu, salah satu cara efektif
menyingkap hijab ruhani yakni dengan jalan menghindari segala bibit penyakit hati
tersebut. Bersungguh-sungguh memerangi ego kemanusiaan, melangkahi hal-hal
yang dianggap sebagai “manusiawi” menuju yang Ilahi, membuang jauh-jauh segala
bentuk ketergantungan terhadap makhluk, keserakahan fisik dan membenamkan diri
dalam taqarrub ilallah. Dalam mencapai hubungan dan kedekatan dengan Allah
SWT yakni dengan melepaskan dirinya dari hawa nafsu atau keinginan-keinginan
yang bersifat duniawi.
Proses qalb untuk dapat sampai pada kebenaran mutlak Allah SWT, erat kaitannya
dengan konsep Takhalliy, Tahalliy, dan Tajalliy.
Takhally yaitu mengosongkan dan membersihkan diri dari sifat-sifat keduniawian
yang tercela.
Tahalliy yaitu mengisi kembali dan menghias jiwa dengan jalan membiasakan diri
dengan sifat, sikap, dan berbagai perbuatan baik.
Tajalliy yaitu lenyapnya sifat-sifat kemanusiaan yang digantikan dengan sifat-sifat
ketuhanan.
Maka, pada intinya manusia adalah makhluk multidimensi, yang mempunyai
titik keistimewaan sekaligus perbedaan antara manusia dan binatang atau dengan
makhluk lainnya. Karena dalam diri manusia memiliki pengetahuan yang bisa
berhubungan dengan Rabb-nya. Dengan pengetahuan tentang Ke-Tuhanan tersebut,
manusia memiliki derajat yang tinggi dari makhluk lain, dan pengetahuan tersebut,
manusia hanya diperintahkan untuk selalu memuja atau beribadah kepada Allah
SWT semata.
Keutamaan-keutamaan ma’rifat :
a. Terhindar dari kerusakan.
Berdasarkan dawuh Sayyidina Ali Karromallohu Wajhah: Tidak mengalami
kerusakan orang yang menyadari akan kedudukan dirinya.
b. Ketika akan mati akan diberi kebaikan oleh Allah menurut bilangan makhluk.
“wahai hamba-Ku ketika kamu bertemu dengan aku dan kamu ma’rifat kepada Ku,
maka Ku berikan kebaikan menurut bilangan makhluk”.
Untuk memperoleh kejernihan hati menuju sadar (ma’rifat) kepada Allah dan
Rosululloh SAW. Antara lain:
7. 4
1. Memperbanyak taqorub mendekatkan diri dan bertaubat (memohon ampunan) Allah
SWT.
2. Memperbanyak Sholawat kepada Rosululloh SAW.
3. Memperbanyak Tasyaffuan (memohon syfa’at) kepada Rosululloh SAW.
B. Dasar Keimanan kepada Allah SWT
Iman secara bahasa berarti tashdiq (membenarkan). Sedangkan secara istilah syar’i,
iman adalah “keyakinan dalam hati, perkataan di lisan, amalan dengan anggota badan,
bertambah dengan melakukan ketaatan dan berkurang dengan maksiat”. Para ulama salaf
menjadikan amal termasuk unsur keimanan. Oleh sebab itu iman bisa bertambah dan
berkurang, sebagaimana amal juga bertambah dan berkurang. Dengan demikian definisi
iman memiliki 5 karakter: keyakinan hati, perkataan lisan dan amal perbuatan, bisa
bertambah dan bisa berkurang.
Makna bertambah dan berkurangnya iman seperti yang dinyatakan oleh putra
Imam ahmad yaitu Shalih rahimahullahu. Shalih rahimahullahu berkata: “ aku bertanya
kepada ayahku, apa itu makna bertambah dan berkurangnya iman?”. Beliau menjawab:
“bertambah iman adalah dengan adanya amalan, berkurangnya adalah dengan
meninggalkan amalan, seperti meninggalkan shalat, zakat, dan haji”.
Disebutkan dalam hadist dari Abu Hurairah:
“iman itu ada 70 atau 60-an cabang. Yang paling tinggi adalah perkataan ‘la ilaha
illallah’, yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalanan, dan sifat
malu (juga) merupakan bagian dari iman”. HR. Bukhori no.9 dan muslim no. 35.
Perkataan ‘syahadat’ menunjukan bahwa iman harus dengan ucapan di lisan.
Menyingkirkan duri dari jalan menunjukkan bahwa iman harus dengan amalan anggota
badan. Sedangkan sifat malu menunjukkan bahwa iman harus dengan keyakinan dalam
hati, karena sifat malu itu di hati. Inilah dalil yang menunjukkan bahwa iman yang benar
hanyalah jika terdapat tiga komponen di dalamnya yaitu:
1. Keyakinan dalam hati
2. Ucapan dalam lisan
3. Amalan dengan anggota badan
Maka tanpa adanya amalan, meskipun ada keyakinan dan ucapan, tidaklah disebut
beriman.
Iman kepada Allah merupakan salah satu dasar-dasar iman. Dasar iman yang
lainnya, yaitu iman kepada para malaikat-Nya, iman kepada kitab-kitab-Nya, iman
kepada para rasul-Nya, iman kepada hari akhir, iman kepada takdir yang baik dan yang
buruk.
Allah SWT berfirman:
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kejadian
kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari
kenudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi”. (QS. Al-baqarah: 177).
8. 5
Iman kepada Allah mengandung 4 unsur:
1. Mengimani Wujud (adanya) Allah, yaitu Wujud Allah telah dibuktikan oleh fitrah,
akal, Naqli, dan indera.
a. Bukti fitrah tentang wujud Allah
adalah bahwa iman kepada sang Pencipta merupakan fitrah setiap makhluk,
tanpa terlebih dahulu berpikir atau belajar. Dan kenyataan ini diakui oleh setiap
orang yang memiliki fitrah yang benar yang di dalam hatinya tidak terdapat
sesuatu yang memalingkannya dari fitrah ini.
Rasulullah bersabda:
“Semua bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, ibu bapaknyalah yang menjadikan
ia Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari).
b. Bukti akal tentang wujud Allah
adalah proses penciptaan semua makhluk, bahwa semua makhluk pasti ada
yang menciptakan. Karena tidak mungkin makhluk menciptakan dirinya sendiri,
dan tidak mungkin pula terjadi secara kebetulan. Kalau makhluk tidak dapat
menciptakan dirinya sendiri, dan tidak tercipta secara kebetulan, maka jelaslah,
makhluk-makhluk itu ada yang menciptakan, yaitu Allah Rabb semesta alam.
Allah SAW menyebutkan dalil aqli (akal) yang qath’i dalam surat Ath- thur :
“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun, ataukah mereka yang
menciptakan (diri mereka sendiri)?” ( QS. Ath-thur: 35).
Dari ayat di atas jelaslah bahwa makhluk tidak diciptakan tanpa pencipta, dan
makhluk tidak menciptakan dirinya sendiri. Jadi jelaslah, yang menciptakan
makhluk adalah Allah SAW.
c. Dalil Naqli
Meskipun secara fitrah dan akal manusia telah mampu menangkap adanya
Tuhan, namun manusia tetap membutuhkan informasi dari Allah SWT untuk
mengenal dzat-Nya. Sebab akal dan fitrah tidak bisa menjelaskan siapa Tuhan
yang sebenarnya.
Allah menjelaskan tentang jati diri-Nya di dalam Al-Qur’an :
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi
dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam
kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula)
matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-
Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha suci
Allah, Tuhan semesta alam”. (QS. Al-A’Raf: 54).
d. Dalil Inderawi
Bukti inderawi tentang wujud Allah SWT dapat dijelaskan melalui 2
fenomena :
1. Fenomena Pengabulan Do’a
Kita dapat mendengar dan menyaksikan terkabulnya doa orang-orang yang
berdo’a serta memohon pertolongan Allah yang diberikan kepada orang-
orang yang mendapatkan musibah. Hal ini menunjukkan secara pasti tentang
wujud Allah SWT. Allah berfirman :
“Dan (ingatlah kisah) Nuh, sebelum itu ketika dia berdo’a, dan Kami
memperkenankan do’anya, lalu Kami selamatkan dia beserta keluarganya
dari bencana besar”. (QS. Al-Anbiya: 76).
2. Fenomena Mukjizat
Kadang-kadang para Nabi diutus dengan disertai tanda-tanda adanya Allah
secara inderawi yang disebut mukjizat. Mukjizat ini dapat disaksikan atau
didengar banyak orang merupakan bukti yang jelas tentang wujud Yang
9. 6
Mengurus para nabi tersebut, yaitu Allah SWT. Karena hal-hal itu berada di
luar kemampuan manusia, Allah melakukannya sebagai pemerkuat dan
penolong bagi para Rasul.
Contoh nya ketika Allah memerintahkan Nabi Musa as. Agar memukul laut
dengan tongkatnya, Musa memukulkannya, lalu terbelah laut itu di antara
jalur-jalur itu menjadi seperti gunung-gunung yang bergulung. Allah
berfirman :
“Lalu Kami wahyukan kepada Musa :”Pukullah lautan itu dengan
tongkatmu : Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah
seperti gunung yang besar”. (QS. Asy Syu’araa: 63).
2. Mengimani rububiyah Allah, yaitu mengimani sepenuhnya bahwa dialah Rabb
satu-satunya, tidak ada sekutu dan tidak ada penolong bagi-Nya. Dialah Dzat yang
menciptakan, memberikan rizki, memiliki segala sesuatu serta memerintah. Rabb
adalah Zat yang menciptakan, memiliki serta memerintah. Jadi tidak ada pencipta
selain Allah, tidak ada pemilik selain Allah, dan tidak ada perintah-Nya.
Allah berfirman:
“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanya hak Allah, Maha suci Allah, Rabb
semesta alam”.
Perintah Allah SAW mencakup perintah alam semesta (kauni) dan perintah syara’
(syar’i). Dia adalah pengatur alam, pemutus seluruh perkara, sesuai dengan
tuntutan hikmah-Nya. Dia juga penentu peraturan-peraturan ibadah serta hukum-
hukum muamalat sesuai dengan tuntutan hikmah-hikmah-Nya. Oleh karena itu
barang siapa yang menjadikan penentu aturan-aturan mu’amalat selain Allah
berarti ia telah menyekutukan Allah serta tidak beriman kepada-Nya.
3. Mengimani uluhiyah Allah, yaitu benar-benar mengimani bahwa Dialah Ilah
(sesembahan) yang benar dan satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya. Al Ilah
artinya “al ma’luh”, yakni sesuatu yang disembah dengan penuh kecintaan serta
pengagungan.
Allah berfirman:
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang hak)
melainkan Dia yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-Hajj: 62).
4. Mengimani Asma dan sifat Allah, yaitu menetapkan nama-nama dan sifat-sifat
yang sudah ditetapkan Allah untuk diri-Nya dalam kitab suci-Nya atau sunna
Rasul-Nya dengan cara sesuai dengan kebesaran-Nya tanpa tahrif
(penyelewengan), ta’til (penghapusan), takyif (menanyakan bagaimana?), dan
tamtsii (menyerupakan).
Allah berfirman:
“Dan Allah memiliki asmaa-ul husna (nama-nama yang terbaik), maka
bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan
tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut)
nama-nama-Nya, mereka kelak akan mendapat balasan terhadap apa yang telah
mereka kerjakan”. (QS. Al-A’raf: 180).
Buah Iman Kepada Allah
Keimanan seseorang yang benar kepada Allah memberikan buah yang baik, di
antaranya yaitu:
10. 7
1. Merealisasikan pengesaan Allah sehingga tidak menggantungkan harapan kepada
selain Allah, tidak takut kepada yang lain, dan tidak menyembah kepada selain-
Nya.
2. Menyempurnakan kecintaan terhadap Allah, mengagungkan-Nya sesuai dengan
nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat –Nya yang maha tinggi.
3. Merealisasikan ibadah kepada Allah dengan mengerjakan apa yang diperintah
serta menjauhi apa yang dilarang-Nya.
11. 8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ma’rifatullah artinya mengenal Allah. Dan kata-kata makrifat itu sendiri bahasa
arab mengandung makna ihathah yang artinya mengetahui secara penuh, maka
makrifatullah dapat diartikan dengan mengenal atau mengetahui identitas zat Allah
secara keseluruhan.
Orang yang telah sampai pada derajat Ma’rifatullah, telah dianggap dekat kepada
Allah ketika perbuatannya menjadi sangat baik dan hatinya tidak hetnti-hentinya
berfikir tentang sifat Allah yang menjadikan rasa takut (Khouf) sebagai cambuk untuk
tingkah lakunya dan rasa cinta (Mahabbah) sebagai kendali dalam imannya, sebagai
petunjuk kepada Allah dalam mencari keridoan-Nya.
Iman secara bahasa berarti tashdiq (membenarkan). Sedangkan secara istilah
syar’i, iman adalah “keyakinan dalam hati, perkataan di lisan, amalan dengan anggota
badan, bertambah dengan melakukan ketaatan dan berkurang dengan maksiat”. Para
ulama salaf menjadikan amal termasuk unsur keimanan.
Iman kepada Allah adalah membenarkan tentang adanya Allah SWT dengan
keyakinan dan pengetahuan bahwa sesungguhnya Allah SWT wajib ada-Nya dengan
dzat nya.
B. Saran
Berdasarkan makalah di atas kami menyarankan agar Keimanan kita kepada
Allah SWT harus terus ditingkatkan, karena dengan Iman kita percaya bahwa Allah
SWT itu ada dan terus mengawasi kita dimanapun kita berada dan agar kita tidak
terjerumus ke hal-hal yang negatif, cara untuk meningkatkan Iman adalah dengan cara
mendekatkan diri atau berserah diri, mengenal Allah dengan cara Ma’rifat agar yakin
bahwa Allah itu benar-benar ada.
12. 9
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Warson Munawwir, kamus al-Munawwir, Pustaka Progresif, Surabaya, 2002, h.919.
Abuddin Nata, Akhlak.... h 220
Abdul Qadir al-Jilani, futuhul ghaib Menyingkap rahasia-rahasia Ilahi, Terj. Imron Rosidi,
Citra Risalah, Yogyakarta, 2009, h. 113.
Rosibon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, CV Pustaka Setia, Bandung. 2004, h. 78
Hasyim Muhammad, Dialog.... hal. 9
https://Id.m.wikipedia.org iman kepada Allah
https://muslim.or.id dasar-dasar keimanan
https://wahdah.or.id prinsip-prinsip dasar keimanan
https://deras.co.id khazanah