1. Page 1 of 5
Kaya atau Miskin:
Bagaimana Kita Menyikapinya?
Tidak semua orang bisa bersyukur ketika mendapatkan nikmat, dan
tidak juga semua bisa bersabar ketika mendapatkan musibah. Hanya orang-
orang berimanlah yang tetap mampu menyikapinya dengan benar.
Untuk mengingatkan diri kita, Allah pun berfirman,
ِنَّمَر
إ
ك
َ
أ
ي
ِِبَر
ُ
ول
ُ
قَي
َ
ف
ُ
هَمَّع
َ
نَو
ُ
هَّمَر
إ
ك
َ
أ
َ
ف
ُ
هُّبَر ُه
َ
َلَتإاب اَّم ا
َ
ذِإ
ُ
ان َنسِ
إ
اْل ا
َ
ّم
َ
أ
َ
ف
﴿٥١﴿ ِن
َ
ان
َ
ه
َ
أ
ي
ِِبَر
ُ
ول
ُ
قَي
َ
ف
ُ
ه
َ
قإزِر ِهإي
َ
لَع َر
َ
د
َ
ق
َ
ف ُه
َ
َلَتإاب اَّم ا
َ
ذِإ ا
َ
ّم
َ
أَو ﴾٥١﴾
“Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu Dia dimuliakan-Nya dan
diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: "Rabbku telah memuliakanku".
Adapun bila Rabbnya (Allâh) mengujinya, lalu membatasi rezekinya
(menjadikannya hidup dalam kekurangan), maka dia berkata: "Rabbku
menghinakanku." (QS al-Fajr/89: 15-16). Itulah sikap kebanyakan manusia.
Kenikmatan dunia menjadi bidikan utama orang-orang yang tidak
beriman kepada Allâh dan hari kebangkitan. Mereka berjuang siang dan
malam demi kesuksesan duniawi semata. Limpahan kekayaan, dalam
pandangan mereka, merupakan pertanda kemuliaan hidup dan sumber
martabat. Dan sebaliknya, kurangnya materi, kemiskinan dan kehidupan
ekonomi yang sulit, di mata mereka menjadi petunjuk kehinaan.
Atas dasar itu, sebagian Ulama mengatakan bahwa melalui ayat di
atas, Allâh mengabarkan salah satu sifat orang kafir dan musyrik saat
menerima limpahan harta dan tatkala kekurangan materi dan terhimpit
kesulitan ekonomi.1
Sebagian Ulama lain menyebutkan bahwa hal itu
merupakan sifat bawaan setiap manusia yang bersumber dari sifat jahl
(kebodohan, ketidaktahuan tentang hakikat masalah) dan zhulm
(kezaliman).2
Allâh berfirman:
1
Ath-Thabari Jâmi’ al Bayân ‘an Āyi al-Qur`ân, juz XV, hal. 227; Al-
Qurthubi, Al-Jâmi li Ahkâm al Qur`ân, juz XX, hal. 47, ‘Athiyyah Sâlim, Tatimmah
Adhwâ al-Bayân, juz IX, hal. 217 dan Al- Jazâiri, Aisar at-Tafâsîr, juz II, hal. 1471.
2
As-Sa’di, Taisîr al-Karîm ar-Rahmân Fî Tafsîr Kalâm a-Mannan, hal. 1009, Al-
‘Utsaimin, Tafsîr Juz ‘Amma, hal. 200.
2. Page 2 of 5
“Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu Dia dimuliakan-Nya dan
diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: "Rabbku telah memuliakanku". (QS
al-Fajr/89: 15)
Pada ayat ini, Allâh mengingkari manusia yang memiliki keyakinan
jika diberi keluasan rezeki itu pertanda penganugerahan kemuliaan dari
Allâh bagi dirinya. Faktanya, tidak demikian adanya. Akan tetapi,
merupakan ujian dan cobaan bagi mereka dari Allâh,3
dan menguak apakah
ia bersabar atau berkeluh-kesah, apakah ia bersyukur atau mengingkari
nikmat.4
Hal ini seperti firman Allâh:
ۚ
“Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang kami berikan kepada
mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada
mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.” (QS al-Mu’minûn/23: 55-56)
Sebaliknya pada ayat berikutnya, Allah berfirman:
“Adapun bila Rabbnya (Allâh) mengujinya, lalu membatasi rezekinya
(menjadikannya hidup dalam kekurangan), maka dia berkata: "Rabbku
menghinakanku." (QS al-Fajr/89: 16)
Tatkala Allâh menguji manusia dengan menyempitkan rezekinya,
sebagian orang beranggapan hal tersebut merupakan bentuk kehinaan yang
harus ia terima.
Al-Qurthubi menegaskan salah satu sifat orang kafir, “Kemuliaan
dan kehinaan pada pandangan orang kafir berdasarkan banyak sedikitnya
kekayaan yang dimiliki seseorang”.5
Kekayaan Bukanlah Pertanda Kemuliaan dan Kemiskinan Bukanlah
Pertanda Kehinaan
Allâh tidak pernah menjadikan kekayaan dan kemiskinan yang
meliputi kondisi seseorang sebagai bentuk penilaian kemuliaan atau
3
Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân al ‘Azhîm, juz VIII, hal. 398.
4
Asy-Syaukâni, Fath al-Qadîr, juz V, hal. 621.
5
Al-Qurthubi, Al-Jâmi li Ahkâm al Qur`ân, juz XX, hal. 47.
3. Page 3 of 5
kerendahan derajatnya di sisi Allâh. Namun, itu semua merupakan ujian dan
cobaan yang Allâh berikan kepada umat manusia yang tidak lepas dari takdir
dan qadha-Nya.
Perhatikan firman Allâh berikut:
“Katakanlah: "Sesungguhnya Rabbku melapangkan rezeki bagi siapa yang
dikehendaki-Nya dan menyempitkan (bagi siapa yang dikehendaki-Nya), akan tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS Saba’/34: 36)
Allâh memberikan kekayaan kepada orang yang Dia cintai dan
orang yang tidak Dia cintai, menyempitkan rezeki orang yang Dia cintai dan
orang yang tidak Dia cintai. Pada ketentuan-ketentuan Allâh ini terdapat
hikmah yang luhur lagi sempurna yang tidak diketahui selain-Nya. Akan
tetapi, kebanyakan orang tidak menyadarinya.
Sedangkan firman Allâh: Kallâ (َّالَك) adalah bentuk kata bantahan
guna menjelaskan bahwa kenyataannya tidak seperti yang kalian katakan
dan tidak seperti pandangan manusia umumnya. Bantahan kepada orang-
orang yang mengukur segala sesuatu dengan materi. Dalam kata ini terdapat
unsur meluruskan pandangan yang keliru di atas, dan bahwa pemberian dan
menahan rezeki tidak terkait dengan pemuliaan bagi seseorang maupun
penghinaan baginya. Akan tetapi, itu semua merupakan ujian dari Allâh
kepada hamba-Nya.6
Ibnu Katsîr mengatakan, “Masalahnya tidak seperti yang ia
perkirakan. Tidak seperti pandangan yang pertama, juga tidak seperti
pandangan yang kedua. (Sebab) Allâh memberikan kekayaan kepada orang
yang Allâh cintai dan yang tidak Allâh cintai, menyempitkan rezeki pada
orang yang Allâh cintai dan yang tidak Dia cintai. Landasan dalam masalah
ini ialah ketaatan kepada Allâh dalam dua kondisi tersebut, jika berlimpah
harta, hendaknya bersyukur kepada Allâh atas nikmat itu, bila mengalami
kekurangan, hendaknya bersabar”.7
6
As-Sa’di, Taisîr al-Karîm ar-Rahmân Fî Tafsîr Kalâm a-Mannan, hal. 1009,
‘Athiyyah Sâlim, Tatimmah Adhwâ al-Bayân, juz IX, hal. 217 dan Al- Jazâiri, Aisar at-
Tafâsîr, juz II, hal. 1471.
7
Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur`an al ‘Azhîm, juz VIII, hal. 398.
4. Page 4 of 5
‘Abdur Rahmân as-Sa’di menjelaskan, bahwa “kekayaan dan
kemiskinan, keluasan dan sempitnya rezeki adalah cobaan dari Allâh dan
ujian untuk menguji para hamba-Nya, supaya dapat diketahui siapa saja
yang bersyukur dan bersabar, kemudian Allâh akan membalasnya dengan
pahala yang besar. Barang siapa yang tidak demikian (tidak bersyukur atau
bersabar), maka akan dibalas dengan siksa pedih”.8
Sementara itu, ‘Athiyyah Sâlim juga berkata, “Allâh Azza wa Jalla
menjelaskan bahwa Dia Azza wa Jalla memberi dan menahan (pemberian)
sebagai ujian bagi seorang hamba”.9
Perhatikanlah firman berikut:
ۗۖ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan
keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya
kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS al-Anbiyâ/21: 35)
Dan juga firman Allâh:
“Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan
dan Sesungguhnya di sisi Allâh-lah pahala yang besar.” (QS al-Anfâl/8: 28)
Sebagaimana menguji manusia dengan musibah (hal-hal yang tidak
mengenakkan), Allâh juga menguji manusia dengan kenikmatan.
Artipenting Muhâsabah
Seorang mukmin ketika mendapatkan kenikmatan dari Allâh
berupa kekayaan, ia akan mensyukuri Rabbnya, dan ia memandang itu
murni merupakan kemurahan dan curahan kebaikan Allâh terhadap dirinya,
bukan merupakan bentuk kemuliaan yang Allâh berikan kepada orang yang
berhak. Dan sebaliknya, jika mengalami cobaan kesulitan ekonomi, rejeki
seret, seorang mukmin akan bersabar dan mengharapkan pahala dari Allâh
seraya bermuhasabah (berintrospeksi diri), kejadian ini tiada lain karena
dosa-dosaku. Allâh tidak sedang menghinaku dan tidak sedang menganiaya
diriku.
8
As-Sa’di, Taisîr al-Karîm ar-Rahmân Fî Tafsîr Kalâm a-Mannan, hal. 1009.
9
‘Athiyyah Sâlim, Tatimmah Adhwâ al-Bayân, juz IX, hal. 217.
5. Page 5 of 5
Dalam dua ayat ini termuat satu petunjuk pentingnya seseorang
menyadari saat menerima limpahan rezeki atau terhimpit ekonominya.
Misalnya, mengatakan, “Mengapa Allâh memberiku rezeki melimpah? Apa
yang dikehendaki dariku? Pastilah aku harus bersyukur kepada-Nya.
Mengapa Allâh mengujiku dengan kekurangan harta dan penyakit? Pastilah
Allâh menghendaki agar aku bersabar.
Jadi, hendaklah selalu melakukan introspeksi diri dalam dua
kondisi tersebut. Sikap demikian akan menjauhkan manusia dari dua sifat
buruknya, kebodohan dan aniaya. Sebab limpahan kekayaan dan sempitnya
rezeki terjadi berdasarkan hikmah dan keadilan Allâh10
. Manusia pun harus
tetap memuji Allâh dalam kedua kondisi tersebut.11
[11]
Kesimpulan dan ‘Ibrah
Dari pembahasan di atas, dapat diperoleh kesimpulan dan pelajaran
sebagai berikut:
1. Sebagai orang yang beriman, kita harus menyikapi hidup ini dengan
sikap syukur dan sabar.
2. Jangan sampai kita terjebak dalam pandangan materialistik, yang
bersumber dari sikap hubbun dun-ya (cinta dunia), sehingga kita
terjebak ke dalam sikap yang salah dalam menilai setiap kenikmatan
yang diberikan oleh Allah kepada diri kita, dan musibah yang
menimpa diri kita.
3. Pandangan materialistik bukanlah pandangan yang pantas dimiliki
oleh setiap orang yang beriman, dan oleh karenanya harus kita jauhi,
agar kita kita tidak terjebak dalam sikap kufur atas nikmat Allah.
4. Allâh sangat membenci orang-orang yang bersikap kufur, dan
sebaliknya sangat mencintai orang-orang yang bersikap syukur atas
nikmat-nikmatNya
5. Bila kita mendapatkan musibah, segeralah kita bermuhasabah.
Karena, dengan bermuhasabahlah kita bisa mengevaluasi diri kita
masing-masing, dan memerbaiki langkah-langkah kita untuk
kepentingan masa depan kita.
Wallâhu a’lamu bis-shawâb.
10
Al-‘Utsaimin, Tafsîr Juz ‘Amma, hal. 201.
11
Ath-Thabari, Jâmi’ al Bayân an Āyi al-Qur`ân, juz XV, hal. 229.