Dokumen tersebut memberikan penjelasan tentang sikap seorang mukmin dalam menghadapi berbagai cobaan kehidupan. Mukmin tidak akan pernah stres karena memiliki kebahagiaan hidup sejati dari taat dan ikhlas berserah diri kepada Allah. Mukmin yakin bahwa apa yang ditetapkan Allah untuknya adalah yang terbaik, sehingga dapat menghadapi setiap masalah dengan ketenangan dan ketabahan.
1. Orang Mukmin Tidak Pernah Stres!
Sebagai hamba Allah, dalam kehidupan di dunia manusia tidak akan luput dari berbagai cobaan,
baik kesusahan maupun kesenangan, sebagai sunnatullah yang berlaku bagi setiap insan, yang
beriman maupun kafir. Allah Ta’ala berfirman,
نَ عنوُنو جَ رَْج تُنو ن اَ يَْجلَ إَِلوَ ةً و نَ تَْجفَِل رَِل يَْجخَ لَْجلاوَ رِّ و شَّ ب الَِل مَْج كُنو لنوُنوبَْجنَ وَ
“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-
benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (Qs Al Anbiya’: 35)
Ibnu Katsir –semoga Allah Ta’ala merahmatinya– berkata, “Makna ayat ini yaitu: Kami menguji
kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami
melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang
beputus asa.” (Tafsir Ibnu Katsir, 5/342, Cet Daru Thayyibah)
Kebahagiaan hidup dengan bertakwa kepada Allah
Allah Ta’ala dengan ilmu-Nya yang Maha Tinggi dan Hikmah-Nya yang Maha Sempurna
menurunkan syariat-Nya kepada manusia untuk kebaikan dan kemaslahatan hidup mereka. Oleh
karena itu, hanya dengan berpegang teguh kepada agama-Nyalah seseorang bisa merasakan
kebahagiaan hidup yang hakiki di dunia dan akhirat. Allah Ta’ala berfirman,
مَْج كُنو ييَِلحَْج يُنو م اَ لَِل مَْج كُنو ع اَ دَ ذلاَ إَِل لَِل سنوُنو رَّ للَِلوَ لِلََِّلَِل بنولاُنوجيَِل تَ سَْج لا ننولاُنومَ آ نَ ذيَِللَّلا ه اَ يُّهأَ ي اَ
“Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul-Nya yang mengajak kamu
kepada suatu yang memberi (kemaslahatan) hidup bagimu.” (Qs al-Anfaal: 24)
Ibnul Qayyim -semoga Allah Ta’ala merahmatinya- berkata, “Ayat ini menunjukkan bahwa
kehidupan yang bermanfaat hanyalah didapatkan dengan memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka barangsiapa yang tidak memenuhi seruan Allah dan Rasul-
Nya, maka dia tidak akan merasakan kehidupan (yang baik). Meskipun dia memiliki kehidupan
(seperti) hewan yang juga dimiliki oleh binatang yang paling hina (sekalipun). Maka kehidupan
baik yang hakiki adalah kehidupan seorang yang memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya secara
lahir maupun batin.” (Kitab Al Fawa-id, hal. 121, Cet. Muassasatu Ummil Qura’)
Inilah yang ditegaskan oleh Allah Ta’ala dalam banyak ayat al-Qur’an, di antaranya firman-Nya,
نَ لنوُنومَ عَْج يَ ننولاُنوك اَ م اَ نَِل سَ حَْج أَ بَِل مَْج هُنو رَ جَْج أَ مَْج هُنو نَّيَ زَِل جَْج نَ لَ وَ ةً و بَ يِّ وطَ ةً وي اَ حَ هُنو نَّيَ يَِلحَْج نُنولَ فَ نٌ ف مَِل ؤَْج مُنو نوَ هُنو وَ ث ىَ نَْجأُنو وَْج أَ رٍ أ كَ ذَ نَْج مَِل اً وحلَِل اصَ لَ مَِل عَ نَْج مَ
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia), dan
sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka (di akhirat) dengan pahala yang lebih
baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Qs َِلAn Nahl: 97)
Dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman,
هُنو لَ ضَْج فَ لٍ أ ضَْج فَ ذ يَِل لَّ كُنو تَِل ؤَْج يُنووَ م ىًّى سَ مُنو لٍ أ جَ أَ ل ىَ إَِل اً ونسَ حَ اً وعت اَ مَ مَْج كُنو عَْج تِّ ومَ يُنو هَِل يَْجلَ إَِل بنولاُنوتنوُنو مَّثُنو مَْج كُنو بَّرَ لاورُنو فَِلغَْج تَ سَْج لا نَِل أَ وَ
“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Rabbmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu
mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik kepadamu (di
dunia) sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang
yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya (di akhirat nanti)” (Qs Huud: 3)
Dalam mengomentari ayat-ayat di atas, Ibnul Qayyim mengatakan, “Dalam ayat-ayat ini Allah
Ta’ala menyebutkan bahwa Dia akan memberikan balasan kebaikan bagi orang yang berbuat
kebaikan dengan dua balasan: balasan (kebaikan) di dunia dan balasan (kebaikan) di akhirat.”
(Al Waabilush Shayyib, hal. 67, Cet. Darul Kitaabil ‘Arabi)
2. Oleh karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan ibadah shalat, yang
dirasakan sangat berat oleh orang-orang munafik, sebagai sumber kesejukan dan kesenangan
hati, dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الصل ة في عيني قر ة وجعلت
“Dan Allah menjadikan qurratul ‘ain bagiku pada (waktu aku melaksanakan) shalat.” (HR.
Ahmad 3/128, An Nasa’i 7/61 dan imam-imam lainnya, dari Anas bin Malik, dishahihkan oleh
Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jaami’ish Shagiir, hal. 544)
Makna qurratul ‘ain adalah sesuatu yang menyejukkan dan menyenangkan hati. (Lihat Fatul
Qadiir, Asy Syaukaani, 4/129)
Sikap seorang mukmin dalam menghadapi masalah
Dikarenakan seorang mukmin dengan ketakwaannya kepada Allah Ta’ala, memiliki kebahagiaan
yang hakiki dalam hatinya, maka masalah apapun yang dihadapinya di dunia ini tidak
membuatnya mengeluh atau stres, apalagi berputus asa. Hal ini disebabkan karena keimanannya
yang kuat kepada Allah Ta’ala sehingga membuat dia yakin bahwa apapun ketetapan yang Allah
Ta’ala berlakukan untuk dirinya maka itulah yang terbaik baginya. Dengan keyakinannya ini
Allah Ta’ala akan memberikan balasan kebaikan baginya berupa ketenangan dan ketabahan
dalam jiwanya. Inilah yang dinyatakan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya,
مٌ ليِميعَل ءٍ ع يٍْء شَل لِّ كُّل بِمي للَّهُّل واَل هُّل بَللٍْءقَل دِميهٍْء يَل للَّهِمي بلاِمي نٍْء مِمي ؤٍْء يُّل نٍْء مَل وَل للَّهِمي ا نِمي ذٍْء إِميبِمي لَّه إِمي ةٍ ع بَلصيِمي مُّل نٍْء مِمي بَل صلاَل أَل ملاَل
“Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa (seseorang) kecuali denga izin Allah; Dan
barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk ke (dalam)
hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Qs At Taghaabun: 11)
Ibnu Katsir mengatakan, “Makna ayat ini: seseorang yang ditimpa musibah dan dia meyakini
bahwa musibah tersebut merupakan ketentuan dan takdir Allah, sehingga dia bersabar dan
mengharapkan (balasan pahala dari Allah Ta’ala), disertai (perasaan) tunduk berserah diri kepada
ketentuan Allah tersebut, maka Allah akan memberikan petunjuk ke (dalam) hatinya dan
menggantikan musibah dunia yang menimpanya dengan petunjuk dan keyakinan yang benar
dalam hatinya, bahkan bisa jadi Dia akan menggantikan apa yang hilang darinya dengan yang
lebih baik baginya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 8/137)
Inilah sikap seorang mukmin dalam menghadapi musibah yang menimpanya. Meskipun Allah
Ta’ala dengan hikmah-Nya yang maha sempurna telah menetapkan bahwa musibah itu akan
menimpa semua manusia, baik orang yang beriman maupun orang kafir, akan tetapi orang yang
beriman memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh orang kafir, yaitu ketabahan dan
pengharapan pahala dari Allah Ta’ala dalam mengahadapi musibah tersebut. Tentu saja semua
ini akan semakin meringankan beratnya musibah tersebut bagi seorang mukmin.
Dalam menjelaskan hikmah yang agung ini, Ibnul Qayyim mengatakan, “Sesungguhnya semua
(musibah) yang menimpa orang-orang yang beriman dalam (menjalankan agama) Allah
senantiasa disertai dengan sikap ridha dan ihtisab (mengharapkan pahala dari-Nya). Kalaupun
sikap ridha tidak mereka miliki maka pegangan mereka adalah sikap sabar dan ihtisab
(mengharapkan pahala dari-Nya). Ini (semua) akan meringankan beratnya beban musibah
tersebut. Karena setiap kali mereka menyaksikan (mengingat) balasan (kebaikan) tersebut, akan
terasa ringan bagi mereka menghadapi kesusahan dan musibah tersebut. Adapun orang-orang
kafir, maka mereka tidak memiliki sikap ridha dan tidak pula ihtisab (mengharapkan pahala dari-
Nya). Kalaupun mereka bersabar (menahan diri), maka (tidak lebih) seperti kesabaran hewan-
hewan (ketika mengalami kesusahan). Sungguh Allah telah mengingatkan hal ini dalam firman-
Nya,
نَل جنوُّل رٍْء يَل ل ملاَل للَّهِمي ا نَل مِمي نَل جنوُّل رٍْء تَلوَل نَل منوُّل لَلأٍْءتَل ملاَل كَل نَل منوُّل لَلأٍْءيَل مٍْء هُّل نَّهإِميفَل نَل منوُّل لَلأٍْءتَل ننواُّلكنوُّل تَل نٍْء إِمي مِمينوٍْء قَللٍْءا ءِمي غلاَل تِميبٍْءا فيِمي ننواُّلهِمي تَل ولَل
“Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita
kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu
menderitanya, sedang kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan.” (Qs An
Nisaa’: 104)
3. Oleh karena itu, orang-orang mukmin maupun kafir sama-sama menderita kesakitan. Akan
tetapi, orang-orang mukmin teristimewakan dengan pengharapan pahala dan kedekatan dengan
Allah Ta’ala.” (Ighaatsatul Lahfan, hal. 421-422, Mawaaridul Amaan)
Hikmah cobaan
Di samping sebab-sebab yang kami sebutkan di atas, ada faktor lain yang tak kalah pentingnya
dalam meringankan semua kesusahan yang dialami seorang mukmin dalam kehidupan di dunia,
yaitu dengan dia merenungkan dan menghayati hikmah-hikmah agung yang Allah Ta’ala jadikan
dalam setiap ketentuan yang diberlakukan-Nya bagi hamba-hamba-Nya yang beriman dan
bertakwa. Karena dengan merenungkan hikmah-hikmah tersebut dengan seksama, seorang
mukmin akan mengetahui dengan yakin bahwa semua cobaan yang menimpanya pada
hakikatnya adalah justru untuk kebaikan bagi dirinya, dalam rangka menyempurnakan
keimanannya dan semakin mendekatkan diri-Nya kepada Allah Ta’ala.
Semua ini di samping akan semakin menguatkan kesabarannya, juga akan membuatnya selalu
bersikap husnuzh zhann (berbaik sangka) kepada Allah Ta’ala dalam semua musibah dan cobaan
yang menimpanya. Dengan sikap ini Allah Ta’ala akan semakin melipatgandakan balasan
kebaikan baginya, karena Allah akan memperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan
hamba tersebut kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam sebuah hadits qudsi:
بي عبدي نّ ظ عند أنا
“Aku (akan memperlakukan hamba-Ku) sesuai dengan persangkaannya kepadaku.” (HSR al-
Bukhari no. 7066 dan Muslim no. 2675)
Makna hadits ini: Allah akan memperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba
tersebut kepada-Nya, dan Dia akan berbuat pada hamba-Nya sesuai dengan harapan baik atau
buruk dari hamba tersebut, maka hendaknya hamba tersebut selalu menjadikan baik persangkaan
dan harapannya kepada Allah Ta’ala. (Lihat kitab Faidhul Qadiir, 2/312 dan Tuhfatul Ahwadzi,
7/53)
Di antara hikmah-hikmah yang agung tersebut adalah:
[Pertama]
Allah Ta’ala menjadikan musibah dan cobaan tersebut sebagai obat pembersih untuk
mengeluarkan semua kotoran dan penyakit hati yang ada pada hamba-Nya, yang kalau
seandainya kotoran dan penyakit tersebut tidak dibersihkan maka dia akan celaka (karena dosa-
dosanya), atau minimal berkurang pahala dan derajatnya di sisi Allah Ta’ala. Oleh karena itu,
musibah dan cobaanlah yang membersihkan penyakit-penyakit itu, sehingga hamba tersebut
akan meraih pahala yang sempurna dan kedudukan yang tinggi di sisi Allah Ta’ala (Lihat
keterangan Ibnul Qayyim dalam Ighaatsatul Lahfan hal. 422, Mawaaridul Amaan). Inilah makna
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Orang yang paling banyak mendapatkan ujian/cobaan (di jalan Allah Ta’ala) adalah para Nabi,
kemudian orang-orang yang (kedudukannya) setelah mereka (dalam keimanan) dan orang-orang
yang (kedudukannya) setelah mereka (dalam keimanan), (setiap) orang akan diuji sesuai dengan
(kuat/lemahnya) agama (iman)nya, kalau agamanya kuat maka ujiannya pun akan (makin) besar,
kalau agamanya lemah maka dia akan diuji sesuai dengan (kelemahan) agamanya, dan akan
terus-menerus ujian itu (Allah Ta’ala) timpakan kepada seorang hamba sampai (akhirnya) hamba
tersebut berjalan di muka bumi dalam keadaan tidak punya dosa (sedikitpun)” (HR At Tirmidzi
no. 2398, Ibnu Majah no. 4023, Ibnu Hibban 7/160, Al Hakim 1/99 dan lain-lain, dishahihkan
oleh At Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al Hakim, Adz Dzahabi dan Syaikh Al Albani dalam Silsilatul
Ahaadits Ash Shahihah, no. 143)
[Kedua]
Allah Ta’ala menjadikan musibah dan cobaan tersebut sebagai sebab untuk menyempurnakan
penghambaan diri dan ketundukan seorang mukmin kepada-Nya, karena Allah Ta’ala mencintai
hamba-Nya yang selalu taat beribadah kepada-Nya dalam semua keadaan, susah maupun senang
(Lihat keterangan Ibnul Qayyim dalam Ighaatsatul Lahfan, hal. 424, Mawaaridul amaan) Inilah
4. makna sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Alangkah mengagumkan keadaan
seorang mukmin, karena semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya
ada pada seorang mukmin; jika dia mendapatkan kesenangan dia akan bersyukur, maka itu
adalah kebaikan baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu adalah
kebaikan baginya.” (HSR Muslim no. 2999)
[Ketiga]
Allah Ta’ala menjadikan musibah dan cobaan di dunia sebagai sebab untuk menyempurnakan
keimanan seorang hamba terhadap kenikmatan sempurna yang Allah Ta’ala sediakan bagi
hamba-Nya yang bertakwa di surga kelak. Inilah keistimewaan surga yang menjadikannya sangat
jauh berbeda dengan keadaan dunia, karena Allah menjadikan surga-Nya sebagai negeri yang
penuh kenikmatan yang kekal abadi, serta tidak ada kesusahan dan penderitaan padanya
selamanya. Sehingga kalau seandainya seorang hamba terus-menerus merasakan kesenangan di
dunia, maka tidak ada artinya keistimewaan surga tersebut, dan dikhawatirkan hamba tersebut
hatinya akan terikat kepada dunia, sehingga lupa untuk mempersiapkan diri menghadapi
kehidupan yang kekal abadi di akhirat nanti (Lihat keterangan Ibnul Qayyim dalam Ighaatsatul
Lahfan, hal. 423, Mawaaridul Amaan dan Ibnu Rajab dalam Jaami’ul ‘Uluumi wal Hikam, hal.
461, Cet. Dar Ibni Hazm). Inilah di antara makna yang diisyaratkan dalam sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam:
سبيل عابر أو غريب كأنك الدنيا في كن
“Jadilah kamu di dunia seperti orang asing atau orang yang sedang melakukan perjalanan.” (HSR
Al Bukhari no. 6053)
Penutup
Sebagai penutup, kami akan membawakan sebuah kisah yang disampaikan oleh Ibnul Qayyim
tentang gambaran kehidupan guru beliau, Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah di zamannya,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –semoga Allah merahmatinya–. Kisah ini memberikan pelajaran
berharga kepada kita tentang bagaimana seharusnya seorang mukmin menghadapi cobaan dan
kesusahan yang Allah Ta’ala takdirkan bagi dirinya.
Ibnul Qayyim bercerita, “Allah Ta’ala yang Maha Mengetahui bahwa aku tidak pernah melihat
seorang pun yang lebih bahagia hidupnya daripada gurunya, Ibnu Taimiyyah. Padahal kondisi
kehidupan beliau sangat susah, jauh dari kemewahan dan kesenangan duniawi, bahkan sangat
memprihatinkan. Ditambah lagi dengan (siksaan dan penderitaan yang beliau alami di jalan
Allah Ta’ala), yang berupa (siksaan dalam) penjara, ancaman dan penindasan (dari musuh-
musuh beliau). Tapi bersamaan dengan itu semua, aku mendapati beliau adalah termasuk orang
yang paling bahagia hidupnya, paling lapang dadanya, paling tegar hatinya serta paling tenang
jiwanya. Terpancar pada wajah beliau sinar keindahan dan kenikmatan hidup (yang beliau
rasakan). Kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan takut yang
berlebihan, atau timbul (dalam diri kami) prasangka-prasangka buruk, atau (ketika kami
merasakan) kesempitan hidup, kami (segera) mendatangi beliau (untuk meminta nasehat), maka
dengan hanya memandang (wajah) beliau dan mendengarkan ucapan (nasehat) beliau, serta
merta hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar,
yakin dan tenang.” (Al Waabilush Shayyib, hal. 67, Cet. Darul Kitaabil ‘Arabi)