1. BAB I
Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia dan Cara Peyebarannya
Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia di Medan (1963 M) dan di
Banda Aceh (1978 M) menghasilkan 3 butir kesimpulan:
1) Islam masuk ke Indonesia sejak abad 1 Hijriyah (VII M)
2) Islam masuk ke Indonesia langsung dari Makkah, tidak melalui India
3) Madzhab Syafi’i merupakan madzhab yang mewarnai Islam di Indonesia
Hasil seminar ini dikuatkan dengan bukti-bukti sebagai berikut:
1. Pada tahun 651 M, Khalifah Utsman mengirimkan delegasi ke China
untuk memperkenalkan Daulah Islam. Delegasi tsb. sempat singgah di
Kepulauan Nusantara. Tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan
pangkalan dagang di pantai barat Sumatera.
2. Thomas Arnold dalam bukunya The Preaching of Islam menyatakan
bahwa tahun 684 M di pantai barat Sumatera terdapat perkampungan arab.
3. Berita dari Dinasti Tang (China) yang menyebutkan adanya ekspansi
orang-orang Ta Cheh (Sebutan untuk orang Arab) pada tahun 674 M
terhadap Kerajaan Holing (Kalingga) yang dipimpin oleh Ratu Shima.
4. Menurut pendapat HAMKA berdasarkan hikayat raja-raja Pasai
menyebutkan bahwa Syekh Ismail yang berangkan menuju Samudera
Pasai bertemu dengan Sultan Muhammad (keturunan Sayyidina Abu
Bakar as-Siddiq) di Malabar. Keduanya menuju Samudera Pasai dan
bertemu Meurah Silu, yang setelah masuk Islam mengganti namanya
dengan Malik as-Saleh. Gelar al-Malik adalah gelar yang sering digunakan
raja-raja Mesir.
5. Di Negara Arab pada abad VII dan VIII M telah berkembang madzhab,
salah satunya adalah madzhab Syafi’i. Orang-orang yang datang ke
Indonesia untuk menyebarkan Islam sebagian besar pengikut madzhab
Syafi’i yang berhaluan ASWAJA.
Para pakar sejarah berbeda pendapat mengenai siapa dan dari mana Islam
dibawa ke Indonesia. Berikut di antaranya:
2. Snouck Hourgronje da Moquette dari Belanda berpendapat bahwa Islam
masuk ke Indonesia melalui Gujarat (India) berdasarkan penemuan
beberapa batu nisan yang ditemukan, seperti makam Maulana Malik
Ibrahim (Gresik) yang memiliki kesamaan bentuk dengan batu nisan di
Cambay (Gujarat). Soetjipto Wirjosoeparto juga sependapat, dibuktikan
dengan salah satu makam raja Islam Samudera Pasai yang dibuat dari
marmer buatan Gujarat.
Hoesein Djajadiningrat berpendapat bahwa Islam masuk ke Nusantara
melalui Persia (Iran). Buktinya adalah ejaan dalam tulisan arab
diistilahkan dengan bahasa Iran, yaitu jabar (zabar) untuk menyebut
fathah, jer (zer) untuk menyebut kasrah dan pes (pjes) untuk menyebut
dhammah, penulisan huruf sin yang tidak bergigi, serta pemakaian gelar
Syah bagi raja pada abat XV.
Alwi Shihab berpendapat bahwa Islam masuk ke Nusantara dibawa oleh
pedagang sufi – Muslim Arab yang memasuki Cina lewat jalur bagian
barat. Hal ini berdasarkan berita dari Dinasti Tang (Cina) yang
menyatakan adanya pemukiman sufi Arab di Cina yang penduduknya
diizinkan oleh penguasa untuk sepenuhnya menikmati kebebasan
beragama. Kata Cina yang dimaksud adalah gugusan pulau-pulau di timur,
termasuk Nusantara.
H. Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) berpendapat bahwa Islam
masuk ke Indonesia melalui Mesir dan Makkah, yang didasarkan pada
hikayat raja-raja Pasai dalam sejarah Melayu.
Perkembangan Islam di Indonesia
Para sejarawan secara umum berpendapat bahwa Islam masuk ke Nusantara
pada abad ke VII. Hal ini didasarkan pada perkembangan perdagangan dan
pelayaran di perairan laut sekitar kepulauan Indonesia. Di pulau Sumatera, secara
spesifik disebutkan bahwa Islam masuk pada abad ke VII sebagaimana pendapat
Sayyid Alwi Bin Thahir al-Haddari Mufsi bahwa Islam masuk ke Sumatera pada
tahun 650 M. Zaenal Arifin Abbas pun sepakat, ia menjelaskan bahwa pada tahun
684 M, seorang pemimpin Arab Islam yang berangkat ke Tiongkok telah memiliki
3. pengikut di Sumatera Utara. Kota pelabuhan yang disinggahi adalah Barus yang
terletak di sisi barat Sumatera, selanjutnya ke pesisir timur seperti Lamuri, Perlak,
dan Samudera Pasai.
Ulama yang menyebarkan agama Islam di Sumatera Barat di antaranya
adalah Syekh Baharuddin, sementara yang menyebarkan Islam ke Sumatera
Selatan adalah Raden Rahmat dan raja Minak Kumala Bumi (Lampung)
Perkembangan Islam di Jawa ditandai dengan catatan-catatan sejarah
berikut:
Datangnya utusan Raja Ta Cheh ke Kerajaan Kalingga (Jepara) pada tahun
674-675 M. Menurut Hamka, raja Ta Cheh adalah raja Arab Islam yag
mengirimkan utusan untuk mengunjungi kerajaan tsb yang dipimpin Ratu
Sima. Adapun tujuannya adalah untuk melihat keadaan sebenarnya tentang
situasi keamanan, kemakmuran, dan keadilan negeri tsb.
Adanya makam Fatimah binti Maimun bin Bibatullah yang tertulis angka
tahun Hijriyah 475 H/ 1082 M di desa Leran, Gresik.
Prabu Mudingsari dari Pajajaran telah masuk Islam pada tahun 1190 yang
memiliki sebutan Haji Purba.
Masa perkembangan Islam di Jawa di bawah pimpinan Walisongo,
menyebarkan Islam dengan cara damai melalui jalur pendidikan, sosial-politik,
ekonomi, dan kebudayaan. Tatanan sosial keagamaan dan pemerintahan lambat
laun terbentuk dengan munculnya kerajaan-kerajaan Islam, seperti Demak,
Pajang, mataram, Banten, dsb. Berikut ini adalah nama-nama Walisongo dan
wilayah dakwahnya.
1) Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) di Leran, Gresik.
2) Sunan Ampel (Raden Rahmat) di Ampel Denta (Surabaya).
3) Sunan Giri (Raden Paku/ M. Ainul Yaqin/ Jaka Samudra) di Sidomukti,
selatan Gresik.
4) Sunan Bonang (Raden Makdum Ibrahim) di Bonang, Kediri, Tuban, Lasem,
Rembang.
5) Sunan Kalijaga (Raden Said) di pesisir utara Jawa Tengah (Demak)
4. 6) Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) di Pesisir Cirebon, Pasundan/
Priangan, Banten.
7) Sunan Drajat (Raden Qosim/ R. Syaifuddin) di Pesisir Gresik, Lamongan.
8) Sunan Kudus (R. Ja’far Shodiq) di Kudus, Sragen, Gunung Kidul.
9) Sunan Muria (R. Umar Sa’id) di Muria (Kudus), Jepara, Tayu, Juwana (Pati)
Pada masa penjajahan Hindia Belanda, para ulama menggunakan strategi
politik non-cooperatif, yaitu dengan cara menolak bekerjasama dengan
pemerintah Belanda, mengambil jarak pemisah dalam menentukan langkah positif
untuk menyelamatkan umat dan generasi bangsa dari imperialisme. Pasca
kemerdekaan, pada ulama Indonesia khususnya yang tergabung dalam organisasi
NU memproklamirkan Resolusi Jihad demi utuhnya NKRI pada tanggal 21
Oktober 1945.
Cara Penyebaran Islam di Indonesia
5. BAB II
Pondok Pesantren dan Perannya Terhadap Berdirinya NU
A. Pengertian Pondok Pesantren
Pondok pesantren terdiri dari dua kata yaitu “Pondok” dan “Pesantren”
kata “Pondok” berasal dari bahasa arab “funduq” yang berarti tempat tidur,
asrama atau hotel. Sedangkan kata “pesantren” berasal dari kata dasar “santri”
yang mendapat awalan “pe” dan akhiran “an” menjadi “pesantrian”. Orang jawa
mengucapkannya ”pesantren” yang berarti ”tempat tinggal santri”.
Dalam ilmu pendidikan Islam, pondok pesantren didefinisikan sebagia
lembaga pendidikan untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati
dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral
keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari. Pondok pesantren merupakan
sebuah komplek pendidikan yang memiliki lima unsur (elemen) pokok, yaitu :
1. Kiai
Kiai merupakan cikal bakal dan unsur paling pokok dari sebuah pondok
pesantren. Ia mempunyai peranan yang sangat penting dan menentukan.
Selain sebagai guru (mu’alim) yang mengajarkan ilmu agama Islam, kiai
merupakan pemimpin yang menentukan arah, bentuk, dan corak pendidikan
di pesantrennya. Itulah sebabnya pertumbuhan, perkembangan dan
keberlangsungan hidup suatu pondok pesantren sangat tergantung kepada
kemampuan pribadi kiai dalam mengelolanya.
2. Santri
Santri adalah para pelajar di pondok pesantren guna menyerahkan diri
kepada kiai. Dalam tradisi pesantren santri dibedakan menjadi dua macam,
yaitu; santri mukim yang menetap di pondok pesantren dan santri kalong
yang pulang ke rumah masing-masing setiap selesai mengikuti pelajaran.
Para santri mukim hidup mandiri dan sederhana. Mereka mengurus
keperluannya sendiri, berpenampilan sederhana, hormat kepada kiai dan
selalu riyadlah melaksanakan amaliyah sunnah seperti puasa sunnah (senin
dan kamis), dan shalat malam. Pola hidup para santri diliputi suasana
6. keagamaan, keikhlasan dan kedisiplinan dibawah pengawasan kiai dan para
ustadz (guru).
3. Asrama
Asrama memiliki tiga fungsi utama, yaitu sebagai tempat tinggal para
santri, tempat belajar dan tempat latihan hidup mandiri. Gabungan dari
ketiga fungsi ini menunjukkan sifat dasar pondok pesantren yang
menekankan pendidikan agama dan kehidupan bersama dalam satu komplek
belajar yang berdampingan secara berimbang.
4. Masjid
Masjid merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dengan
pesantren dan merupakan tempat paling tepat untuk mendidik santri. Selain
berfungsi sebagai tempat praktik shalat lima waktu, khutbah dan shalat
jum’at, masjid juga berfungsi sebagai tempat pembelajaran kitab. Biasanya
penetapan waktu belajar dikaitkan dengan waktu menunaikan shalat fardlu
baik sebelum atau sesudahnya. Misalnya : pengajian ba’da ashar, ba’da
maghrib dan ba’da shubuh.
5. Kitab Salaf
Pengajian kitab salaf (kitab kuning) merupakan unsur pokok pondok
pesantren yang membedakan dengan lembaga pendidikan lainnya.
Pembelajarannya dimulai dari kitab-kitab tingkat dasar (elementer) yang
berisi teks ringkas dan sederana, kemudian dilanjutkan dengan kitab tingkat
menengah dan kitab-kitab dasar. Dilihat dari segi ilmu yang dipelajari,
kitab-kitab salaf yang diajarkan pondok pesantren meliputi : akidah, fikih,
akhlak/tasawuf, usul fikih, tafsir, hadis, nahwu, sharaf, dan tarikh (sejarah).
Selain lima elemen dasar tersebut, pondok pesantren memiliki
“pancajiwa” yang menjadi ciri khas dan tata nilai yang dipraktikkan dalam
kehidupan sehari-hari, yaitu :
1. Jiwa keikhlasan
2. Jiwa kesederhanaan tapi agung
3. Jiwa persaudaraan
4. Jiwa kemandirian
7. 5. Jiwa kebebasan atau kemerdekaan
B. Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren
Pondok pesantren sudah dikenal sejak abad ke-15 Masehi. Tokoh yang
dianggap sebagai perintis berdirinya pondok pesantren adalah Maulana Malik
Ibrahim. Dlaam melaksanakan dakwah Islam beliau menggunakan masjid dan
pondok pesantren sebagai pusat pembelajaran. Model dakwah Islam tersebut
dilanjutkan oleh para wali songo sehingga pondok pesantren menjadi lembaga
pendidikan Islam tertua di Indonesia dalam perkembangan berikutnya pondok
pesantren didirikan oleh para kiai yang bercita-cita mengajarkan dan menyebarkan
agama Islam.
Pada tahun 1619 Raden Rahmatullah (Sunan Ampel) mendirikan masjid
dan pondok pesantren di Kembangkuning, kemudian dipindahkan ke Ampel
Surabaya. Pondok pesantren ini sangat terkenal dan mempunyai pengaruh yang
sangat luas di seluruh Jawa Timur. Banyak santri yang datang dari berbagai
daerah untuk belajar di pondok pesantren ini. Para santri Ampel yang telah
menyelesaikan belajarnya kembali ke daeahnya masing-masing dan mendirikan
pondok pesantren baru, seperti : Sunan Giri di Gresik, Sunan Bonang di Tuban,
Sunan Drajat di Lamongan dan Raden Patah di Demak Jawa Tengah.
Dalam perkembangan berikutnya pondok pesantren didirkan oleh para kiai
yang bercita-cita mengajarkan dan menyebarkan agama islam. Pada mulanya
mereka mendirikan masjid/langgar sebagai tempat shalat berjama’ah dan
pengajian tentang keimanan, ibadah dan akhlak. Kedalam ilmu agama kepribadian
dan perilaku yang dilandasi keikhlasan dan akhlakul karimah dapat menarik para
penduduk untuk mengikuti kegiatan dakwahnya. Bukan hanya orang sedesanya
yang mengikuti pengajian, tetapi banyak juga orang dan desa lain yang
mengikutinya.
Untuk menampung para santri dari desa lain yang ingin belajar agama
Islam secara mendalam, maka muncullah gagasan untuk mendirikan asrama bagi
mereka. Gagasan itu disampaikannya kepada para jama’ah dan merekapun
memberikan dukungan dengan ikut berperan serta membangun pondok pesantren.
8. Demikianlah pondok pesantren tumbuh dan berkembang di Indonesia sejak
awal pertumbuhan dan perkembangan agama Islam. Tujuannya selain
mengajarkan agama Islam, juga mencetak kader-kader ulama dan mubaligh.
Karena itu wajar jika dikatakan bahwa pondok pesantren merupakan benteng
pertahanan bagi keberlangsungan dakwah Islam di Indonesia.
C. Peran Pondok Pesantren Terhadap Berdirinya NU
Peranan pondok pesantren dalam proses lahirnya Nahdlatul Ulama ada empat,
yaitu:
1. Peranan Pondok Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan
Pesantren sebagai lembaga pendidikan secara umum bertanggung jawab
terhadap proses pencerdasan bangsa. Sedangkan secara khusus, pesantren
bertanggung jawab atas kelangsungan tradisi keagamaan(Islam). Dari titik
pandang ini pesantren berangkat secara kelembagaan maupun inspiratif,
memilih model yang dirasakan mendukung secara penuh tujuan dan
hakikat pendidikan manusia itu sendiri yaitu membentuk mukminin sejati
yang mempunyai kualitas moral dan intelektual.
Pada dasarnya pendidikan pesantren mengutamakan aspek keagamaan
dengan metode klasiknya. Dalam pesantren bukan hanya tempat belajar,
melainkan tempat proses hidup itu sendiri karena dalam pesantren pada
dasarnya tidak ada pemisahan yang jelas antara sekolah dan lingkungan
hidup.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan memiliki intelektual yang tinggi
karena model-model pendidikan yang dilakukan tidak terikat secara
psikologis oleh waktu. Di samping para santri bebas belajar menurut
materi yang disuguhkan selama kapasitas intelektualnya mampu. Kitab-
kitab yang dikaji juga tidak kalah dengan materi di perguruan tinggi.
2. Peranan Pondok Pesantren sebagai Lembaga Dakwah
Pondo pesantren sebagai lembaga pendidikan bertugas melaksanakan
amar ma'ruf nahi munkar. Pendidikan pesantren mampu mencetak kader-
kader yang menguasai agama dan dapat memberikan ajaran agama melalui
9. dakwah secara aktual. Seorang da'i mampu terlibat langsung dengan
masyarakat dalam berbagai persoalan yang dihadapinya baik dalam
ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya.
Pondok pesantren mampu mempersiapkan dan mencetak para santri
berkepribadian muslim, yaitu berkepribadian yang beriman dan bertaqwa
kepada Allah SWT., berkhalak mulia, bermanfaat bagi masyarakat,
berkhidmah kepada masyarakat. Di samping itu, mampu berdiri sendiri,
bebas, teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama, menegakkan Islam,
dan kejayaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat.
3. Peranan Pondok Pesantren sebagai Tempat Pengabdian dan
Pelayanan Masyarakat
Pesantren dapat berfungsi sebagai lembaga pengabdian masyarakat,
karena:
o Cara memandang kehidupan sebagai peribadatan meliputi ritual
keagamaan murni maupun kegairahan untuk melakukan
pengabdian kepada masyarakat. Hal ini mendorong tumbuhnya
kesediaan untuk melakukan pengabdian tanpa memikirkan
imbalannya.
o Kecintaan mendalam terhadap peribadatan dan pengabdian kepada
masyarakat.
o Sanggup memberikan pengabdian apapun bagi kepentingan
masyarakat pendukungnya telah mendorong munculnya kesediaan
untuk mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan
perseorangan.
Pesantren sebagai tempat pelayanan masyarakat, karena pesantren
berperan besar dalam upaya meningkatkan kesejahteraan umat dengan
memberikan pelayanan kepada masyarakat, membantu kebutuhan
masyarakat, baik material maupun spiritual.
4. Peran Pondok Pesantren dalam Proses Lahirnya Nahdlatul Ulama
Sejarah lahirnya NU tidak bisa terlepas dari peran pesantren karena
pesantren merupakan bagian integral dari NU. NU lahir juga dibidani oleh
10. kiai pesantren dan bisa ditelusuri secara historis maupun empiris. Hampir
sebagian besar pesantren yang ada di Indonesia beraviliasi kepada NU.
Keinginan untuk mendirikan organisasi formal struktural dimulai dengan
kelompok-kelompok pengajian keliling. Selain itu, para ualam juga
membentuk diskusi yang diberi nama Tashwirul Afkar (1918) di Ampel
suci Surabaya. Forum diskusi untuk membahas berbagai masalah yang
dihadapi umat dipelopori oleh K.H. A. Wahab Hasbullah dan K.H. Mas
Mansyur. Namun akhirnya, K.H. Mas Mansyur masuk Muhammadiyah,
sedangkan kiai Wahab mendirikan NU.
Sebelum NU lahir, para ulama pesantren telah membentuk organisasi atau
jamiah untuk mewadahi diri dalam kiprahnya. Antara lain dalam
Nahdlatul Tujjar yaitu organisasi yang bertujuan untuk memperbaiki
ekonomi umat. Nahdlatul Wathon (1918) adalah sebuah organisasi yang
didirikan di kampung Kawatan Surabaya dan Nahdlatul Syubban adalah
organisasi kepemudaan.
Pesantren terutama yang terletak di daerah pedesaan adalah "NU kecil (NU
Jamiah). Kiai, ustad, santri, dan berbagai unsur lain dalam pesantren
merupakan rumah NU yang sejak awal didirikan sebagai "Jamiah Diniah
Ijtimaiyah" (organisasi sosial keagamaan) yang dibentuk sebagai wadah
perjuangan para ulama dan pra pengikutnya untuk membina syiar Islam
dan membangun kehidupan Islam.
Nahdlatul Ulam tidak berarti bahwa NU hanya beranggotakan para ulama,
namun anggotanya terdiri dari berbagai lapisan masyarakat dan selalu
terbuka untuk siapapun juga.
D. Proses Lahirnya NU
Ada tiga alasan yang melatarbelakangi lahirnya Nahdlatul Ulama 31 Januari 1926:
1. Motif Agama.
Bahwa Nahdlatul Ulama lahir atas semangat menegakkan dan mempertahankan
Agama Allah di Nusantara, meneruskan perjuangan Wali Songo. Terlebih
Belanda-Portugal tidak hanya menjajah Nusantara, tapi juga menyebarkan agama
11. Kristen-Katolik dengan sangat gencarnya. Mereka membawa para misionaris-
misionaris Kristiani ke berbagai wilayah.
2. Motif Nasionalisme.
NU lahir karena niatan kuat untuk menyatukan para ulama dan tokoh-tokoh
agama dalam melawan penjajahan. Semangat nasionalisme itu pun terlihat juga
dari nama Nahdlatul Ulama itu sendiri yakni Kebangkitan Para Ulama. NU
pimpinan Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari sangat nasionalis. Sebelum RI
merdeka, para pemuda di berbagai daerah mendirikan organisasi bersifat
kedaerahan, seperti Jong Cilebes, Pemuda Betawi, Jong Java, Jong Ambon, Jong
Sumatera, dan sebagainya. Tapi, kiai-kiai NU justru mendirikan organisasi
pemuda bersifat nasionalis.
3. Motif Mempertahankan Faham Ahlussunnah wal Jama’ah.
NU lahir untuk membentengi umat Islam khususnya di Indonesia agar tetap teguh
pada ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah (Para Pengikut Sunnah Nabi,
Sahabat dan Ulama Salaf Pengikut Nabi-Sahabat), sehingga tidak tergiur dengan
ajaran-ajaran baru (tidak dikenal zaman Rasul-Sahabat-Salafus Shaleh/ajaran ahli
bid'ah). Ketika aliran Salafi-Wahhabi berkembang di Dir’iyyah maupun Najed itu
belumlah membuat risau umat Islam dunia. Tetapi ketika mereka menguasai pusat
Islam yakni dua kota suci di Hijaz, maka hal ini menimbulkan dampak yang luar
biasa, termasuk dalam persebarannya ke seluruh dunia. Melihat perubahan ajaran
yang terjadi di Hijaz, maka hampir semua umat Islam Ahlussunnah wal Jama’ah
di seluruh dunia memprotes rencana pemerintahan baru di Hijaz yang ingin
memberlakukan asas tunggal, yakni madzhab Wahhabi.
Protes luar biasa pun muncul di Indonesia, ketika bulan Januari 1926 ulama-ulama
Ahlussunnah wal Jama’ah di Indonesia berkumpul di Surabaya untuk membahas
perubahan ajaran di dua kota suci. Dari pertemuan tersebut lahirlah panita Komite
Hijaz yang diberi mandat untuk mengahadap raja Ibnu Sa'ud guna menyampaikan
masukan dari ulama-ulama Ahlussunah wal Jama’ah di Indonesia. Akan tetapi
karena belum ada organisasi induk yang menaungi delegasi Komite Hijaz, maka
12. pada tanggal 31 Januari 1926, ulama-ulama Ahlussunnah wal Jama’ah Indonesia
kembali berkumpul dan membentuk organisasi Induk yang diberi nama Nahdlatul
Ulama (Kebangkitan Para Ulama) dengan Rois Akbar Hadhratus Syaikh KH.
Hasyim Asy’ari .
Susunan delegasi Komite Hijaz NU untuk menghadap raja Ibnu Sa'ud adalah
sebagai berikut:
Penasehat : KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Masyhuri Lasem, KH. Kholil
Lasem Ketua : KH. Hasan Gipo, Wakil Ketua : H. Shaleh Syamil Sekretaris :
Muhammad Shadiq Pembantu : KH. Abdul Halim
Materi pokok yang hendak disampaikan langsung ke hadapan raja Ibnu Sa'ud
adalah:
1) Meminta kepada raja Ibnu Sa'ud untuk memberlakukan kebebasan bermadzhab
empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. 2) Meminta tetap diramaikannya
tempat bersejarah karena tempat tersebut telah diwakafkan untuk masjid. 3)
Mohon agar disebarluaskan ke seluruh dunia setiap tahun sebelum jatuhnya
musim haji, baik ongkos haji, perjalanan keliling Makkah maupun tentang Syekh.
4) Mohon hendaknya semua hukum yang berlaku di negeri Hijaz, ditulis sebagai
undang-undang supaya tidak terjadi pelanggaran hanya karena belum ditulisnya
undang-undang tersebut. 5) Jam'iyyah NU mohon jawaban tertulis yang
menjelaskan bahwa utusan sudah menghadap raja Ibnu Sa'ud dan sudah pula
menyampaikan usul-usul NU tersebut.
13. BAB III
Amaliyah Warga Nahdlatul Ulama
A. Memuliakan Al Qur’an
Al Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
melalui perantara malaikat Jibril dan sampai kepada kita melalui jalan
mutawatir.
Fungsi al Qur’an :
1. Sumber pertama ajaran Islam
2. Petunjuk dan pembimbing umat manusia
3. Kitab suci dan syiar umat islam
4. Pengobat hati
Adapun usaha uuntuk memuliakan dan mensucikan al Quran adalah :
1. Mempelajari dan mengajarkan al Quran
Nabi Muhammad SAW bersabda
عن ثمان ع ضي ر هللا نه ع عن بي ن ال لى ص هللا يه ل ع و لم س ال ق : ( م يرك خ من
لم ع ت قرآن ال لمه وع )
Dari Ustman ra berkata Nabi Muhammad SAW bersabda : sebaik-baik kamu
adalah orang yang belajar al Qur’an dan mengajarkannya ( HR. Bukhori)
2. Membaca dan menyiarkan al Quran
Membaca al Qur’an termasuk ibadah yang mendapatkan pahala dan
terrmasuk mensyiarkan agama Islam .
Nabi SAW bersabda :
عن ي أب رة هري ال ق : - ال ق سول ر هللا لى ص هللا يه ل ع و لم س ( لموا ع ت قرآن ال
رأوه واق قدوا وارق . إن ف ثل م قرآن ال ومن لمه ع ت قام ف ه ب ثل م ك جراب شو مح كا س م
فوح ي ه ري ل ك كان م . ثل وم من لمه ع ت د رق ف وهو يف ه جوف ثل م ك جراب ي أوك لى ع
سك م )
Dari Abu Huroiroh Rosululloh bersabda : belajarlah al Quran dan bacalah ia,
sesungguhnya perumpamaan al Quran baginorang yang mempelajarinya lalu
membacanya dan tidak tidur adalah seperti mangkok yerdipenuhi minyak
kasturi baunya semerbak menyebar keseluruh tempat. Dan perumpamaan
14. orang yang mempelajari al Quran tetapi ia tidur dan alquran berada dalam
hatinya adalah seperti minyak kasturi dalam mangkok yang tertutup (HR ibnu
majah)
Adab membaca al quran menurut Imam Ghozali :
1. Pikiran tertuju kepada yang dibaca
2. Memahami kebesaran kalam Alloh
3. Membaca dengan tartil
4. Konsentrasi
5. Kita meyakini perintah dan larangan itu ditujukan kepada kita
6. Terkesan terhadap al Qur’an
Amaliyah untuk mencintai dan membaca alqur’an :
1. Khotaman al Qur’an
2. Semaan al Qur’an
3. Tadarrus al Qur’an
4. Musabaqoh tilawatil qur’an (MTQ)
3. Mensucikan al Qur’an
Cara mensucikan al Quran :
a. Mendengarakan dengan tenang ketika al Qur’an dibaca
b. Ketika membaca harus berpakaian yang sopan
c. Menemptkan mushaf di tempat yang tinggi
d. Sebelum menyentuh al qur’an harus berwudlu dulu
B. Doa Qunut
Doa qunut adalah doa yang dibaca dalam sholat sambil berdiri setelah I’tidal
pada rokaat terakhir.
Qunut ada 3 macam
1. Qunut subuh
2. Qunut witir ( dibaca dalam sholat witir setelah romadlon dapat 15 hari)
3. Qunut nazilah ( dibaca ketika umat Islam mendapat musibah)
Menurut imam syafii hukum membaca qunut subuh adalah sunah ab’adl jadi
apabila lupa tidak membacanya maka diganti dengan sujud sahwi
15. Bacaan Qunut
لهم ال ي هدن يمن ف ت هدي ني وعاف يمن ف يت عاف ني ول وت يمن ف يت ول ت ارك وب ي ل
يما ف يت أعط ني وق شر ما يت ض ق ك إن ف ضي ق ت ال و ضى ق ي يك ل ع ه وإن ال ذل ي من
يت وال ال و عز ي من ت عادي ت بارك ت نا رب يت عال وت لك ف حمد ال لى ع ما يت ض ق
فرك غ ت س أ وب وأت يك إل لى ص و هلل لى ع ا يدن س محمد لى وع هال به صح و و لم س
C. Sholat tarawih
Sholat tarowih adalah sholat yang dilakukan pada malam bulan romadlon yang
waktunya setelah sholat isya’ sampai subuh
Pada awalnya shalat tarawih dilaksanakan Nabi saw. dengan sebagian sahabat
secara berjamaah di Masjid Nabawi. Namun setelah berjalan tiga malam, Nabi
membiarkan para sahabat melakukan Shalat Tarawih secara sendiri-sendiri.
Hingga dikemudian hari, ketika menjadi Khalifah, Umar bin Khattab
menyaksikan adanya fenomena shalat tarawih terpencar-pencar di dalam
Masjid Nabawi. Terbersit di benak Umar untuk menyatukannya.Umar
memerintahkan Ubay bin Kaab untuk memimpin para sahabat melaksanakan
shalat tarawih secara berjamaah. Dan jamaah putri di imami oleh Sulaiman bin
abi Hastmah
Jumlah Rakaat Shalat Tarawih
Dalam riwayat Yazid bin Ar-Rumman dikabarkan jumlah rakaat shalat tarawih
yang dilaksanakan di zaman Umar adalah 23 rakaat. di masa Umar bin Abdul
Aziz, kaum muslimin shalat tarawih hingga 36 rakaat ditambah witir 3 rakaat.