REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
Keagamaan Abad 16
1. Corak Keagamaan di Indonesia Pada Abad 16
OKTOBER 26, 2012 BY RIF'AN
1
1 Vote
Pendahuluan
Keadaan geografis Indonesia yang berpulau-pulau dan jumlahnya mencapai ribuan pulau besar kecil
menyebabkan daerah pesisir telah memegang peranan yang cukup penting di bidang perdagangan
maupun kekuasaan politik dan ekonomi. Melihat kenyataan bahwa sejak permulaan berdirinya kerajaan
Islam di Indonesia baik yang terletak di Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kalimantan dan Maluku, maka daerah
pesisirlah yang menjadi pusat kerajaan, hal ini tidak mengenyampingkan peranan kerajaan Mataram
Islam yang berpusat di pedalaman. Dengan keadaan geografis semacam ini akan sulit untuk
membayangkan adanya suatu kekuasaan tunggal untuk menguasai seluruh Indonesia pada saat itu.
Dalam perkembangan masyarakat Indonesia-Hindu yang berpindah secara perlahan dan lambat ke
masyarakat Indonesia Islam dan lenyapnya kekuasan raja Indonesia-Hindu yang digantikan oleh
munculnya kekuasaan kerajaan Indonesia Islam telah membawa akibat pula dalam transformasi politik
dan sosial untuk menuju ke sistem masyarakat baru.
Keberadaan tulisan menunjukan kemajuan peradaban manusia, tulisan di nusantara di perkenalkan ejak
adanya proses Indianisasi pada madaawal Hindu-Buda, yang selanjutnya budaya baru tulis menulis
dilaanjutkan Islam .
Tulisan Jawi telah lama ada dalam khasanah kebudayaan melayu yang diperkirakan sekitar abad ke 10
Masehi atau 3 Hijrah hingga kemasa kini dan ia berasal daripada tulisan Arab[1]. Tulisan inilah yang
membangun kebudayaan melayu, keberadaan tulisan arab melayu di Nusantara identik dengan
penyebaran islam ke daerah melayu.
Masa sejak awal abad ke-13 M sampai penghujung abad ke-15 M dalam khazanah kesusastraan melayu
disebut masa peralihan,yaitu masa peralihan dari peradaban Hindu ke peradaban Islam. Dengan
masuknya peradaban Islam,orang melayu mulai mengenal tradisi tulis. Sebelumnya, mereka hanya
memiliki tradisi lisan. Aksara Jawi sudah wujud dan digunakan di wilayah Sumatra dan Semenanjung
Malaya jauh sebelum orang/pulau Jawa memeluk agama Islam (883 H/1468 M).
Bukti historis bahwa adanya tulisan jawi dalam kebudayaan Melayu lama dapat dilihat pada bahan-bahan
bertulis seperti : batu bersurat, manuskrip lama, kertas lama, majalah, batu nisan, bahan-bahan
2. yang dibuat daripada logam, kulit, alat senjata , batu lontar, tembikar dan sejenisnya, ukiran-ukiran pada
masjid, rumah, dan istana, azimat, rajah atau penangkal.
Penemuan pertama batu nisan yang tertulis dalam bahasa Arab di Sumatera bertarikh 55 Hijrah atau
setara dengan 674 M. Selain itu juga ditemukan di Kedah bertarikh 290 Hijrah. Kedua hal ini jelas telah
menunjukkan bahwa tulisan Jawi berasal dari orang Arab yang kemudian telah disesuaikan dengan
menambahkan beberapa huruf tambahan kepada huruf Arab untuk menyesuaikannya dengan gaya
bahasa orang Melayu. Penambahan ini lebih kepada melengkapi ejaan yang tidak ada dalam bahasa
Arab tetapi ditemui dalam bahasa Melayu[2].
Yang kedua, masih di abad 14, pada tahun 1310, ditemukan syair tentang keislaman yang ditulis dalam
bahasa Melayu dengan huruf Jawi di Minya’ Tujoh, Aceh. Karenanya para pakar sepakat bahwa
perkembangan karya ulama yang ditulis dengan huruf Jawi sudah berkembang pada Abad 14 pada
massa Kekhalifahan Samudra Pasai dan Kekhalifahan Islam lain di Semenanjung Malaka.
Pembahasan
Corak keagamaan pada abad 16 di Nusantara adalah corak keagamaan tasawuf, hal iini dapat dilihat dari
para ulama dan karya-karyanya. Berikut adalah para ulama abad 16 di nusantara:
Hamzah Fansuri
Hamzah Fansuri adalah seorang penganut mazhab tasawuf wahdat al-wujud atau wujudiyah atau
Martabat Tujuh. Keyakinannya itu terungkap baik dalam karya-karya teologisnya maupun dalam karya-karya
sastranya. Kesusastraan keagamaan Melayu pada masa Hamzah Fansuri hidup memang
berkembang pesat, seiring dengan penyebaran agama Islam di seluruh kepulauan Nusantara dan
pendirian berbagai kerajaan Melayu-Islam di beberapa tempat, yaitu di Pasai, Melaka dan Aceh.
Kesusastraan jenis ini berisi yurisprudensi, doktrin, mistisisme dan sebagainya. Dalam hal ini, Hamzah
Fansuri adalah salah seorang penulis kesusastraan keagamaan yang termasyhur dan sejajar dengan
Syeikh Nuruddin Ar-Raniri, Abadul Samad al-Falimbani, Syihabuddin bin Abdullah Muhammad, Syeikh
Muhammad Nafis bin Idris al-Banjari, dan Syeikh Daud bin Abdullah al-Fatani[3].
3. Wahdat al-wujud yang dianut oleh Hamzah Fansuri adalah salah satu doktrin tasawuf yang dipengaruhi
oleh filsafat dan berbagai sumber non-dogmatik lain. Tradisi wahdat al-wujud adalah bagian dari silsilah
intelektual yang dikembangkan dari teks-teks Yunani, Persia, dan India yang diterjemahkan ke dalam
bahasa Arab. Para pemikirnya antara lain adalah al-Kindi (sekitar 958 M), al-Farabi (sekira 958 M), Ibnu
Sina (958-1137 M), Ibnu Bajah (sekira 1138 M), Ibnu Taufail (sekira 1185 M), Ibnu Rusydi (1126-1198).
Sedangkan gagasan awalnya dapat dilacak hingga Plato dan Plotinus.
Doktrin ini juga mempunyai hubungan dengan tipe mistisisme Islam yang dapat ditemukan dalam studi -
studi mistik oleh Abu Yazid al-Bistami (sekira 874 M), al-Hallaj (sekira 921 M), dan Ibnu al-Farid (sekira
1235). Pengaruh terbesar datang dari Ibnu Arabi (sekira 1240 M), terutama di dalam kitabnya yang
berjudul Fusus al-Hikam.
Pengaruh:
Pengaruh doktrin ini di Melaka dapat ditemukan dalam Sejarah Melayu, yang mendeskripsikan bahwa
balairung Melaka mencari jawaban dari Pasai bagi pertanyaan tentang apakah para penghuni surga dan
neraka akan tetap tinggal kekal di dalamnya. Pertanyaan inilah yang diajukan juga oleh Ibnu Arabi.
Setelah jatuhnya Melaka ke tangan Portugis, pengaruh filsafat dan doktrin wujudiyah terutama telah
bergeser dari Melaka ke Aceh. Pada saat inilah Hamzah Fansuri menulis karya-karya keagamannya.
Situasi di Aceh pada masa itu memang memungkinkan para penulis untuk berkarya di sana. Setelah
Melaka jatuh, Aceh berkembang bukan hanya sebagai pusat perdagangan tetapi juga sebagai kerajaan
Islam yang terkemuka.
Hamzah Fansuri yakin dan mengajarkan bahwa, karena manusia berasal dari Tuhan, maka manusia tidak
merdeka. Kebebasannya adalah cerminan dari kebebasan Tuhan yang absolut. Maka, manusia dapat
saja mengikuti kehendaknya sendiri yang disesuaikan dengan kehendak sejati Tuhan, atau ia dapat juga
mengikuti kehendak dan nafsunya sendiri di dunia ini. Dunia ini juga berasal Tuhan, tetapi wujudnya
bukanlah wujud yang sejati. Jika manusia mengikuti dunia ini, berarti ia tertipu. Sedangkan jika ia
meninggalkan dunia ini, berarti ia menemukan hakikat dan nasibnya yang sejati[4] (al -Attas, 1970: 233-
353 via Piah dkk, 2002: 374).
Karena doktrin wujudiyah sangat populer pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 di berbagai
daerah, khususnya Aceh, pemikiran dan syair-syair Hamzah Fansuri tentu cukup luas tersebar di
kalangan kaum Sufi di aliran tersebut. Bahkan, penyebarannya tidak hanya di Aceh, melainkan juga di
beberapa daerah lain.
4. Di Jawa, misalnya, karya-karya Hamzah Fansuri disebarkan hingga ke Banten, Cirebon, Pajang, dan
Mataram, serta diterjemahkan atau digarap ke dalam bahasa Jawa. Sejak abad ke-17, mistik dan ajaran
yang ada di Jawa terwujud dalam bentuk manunggaling kawulo gusti, yang dalam berbagai bentuk tetap
hadir dalam sejarah agama Islam di Jawa[5] (Teeuw, 1995: 67).
Tetapi pandangan ini ditentang oleh ulama besar yang lain, yaitu Nurruddin ar-Raniri, yang berhasil
membujuk Sultan Iskandar Thani untuk memberantas ajaran wujudiyah Hamzah Fansuri. Walaupun
demikian, ada beberapa karya Hamzah Fansuri yang berhasil selamat – dari api pembakaran itu.
Karyanya:
Syair Si Burung Pingai
Syair Sidang Fakir
Syair Syarab al-‘Asikin
Syair Dagang
Syair Perahu
Asrar al-‘Arifin fi Bayan Ilmu Suluk wa al-Tauhid
Ruba‘i Hamzah Fansuri
Al-Muntahi
Abdul Rauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri al-Singkili
Abdul Rauf Singkel, yang bernama panjang Syeh Abdul Rauf bin Ali al -Jawi al-Fansuri al-Singkili, lahir di
Fansur, lalu dibesarkan di Singkil pada awal abad ke-17 M. Ayahnya adalah Syeh Ali Fansuri, yang masih
bersaudara dengan Syeh Hamzah Fansuri. A. Rinkes memperkirakan bahwa Abdul Rauf lahir pada tahun
1615 M. Ini didasarkan perhitungan, ketika Abdul Rauf kembali dari Mekah, usianya antara 25 dan 30
tahun[6].
Selama sekitar 19 tahun menghimpun ilmu di Timur Tengah, Abdul Rauf tidak hanya belajar di Mekah
saja. Ia juga mempelajari ilmu keagamaan dan tasawuf di bawah bimbingan guru-guru yang termasyhur
di Madinah. Di kota ini, ia belajar kepada khalifah (pengganti) dari tarekat Syattariyah, yaitu Ahmad
Kusyasyi dan penggantinya, Mula Ibrahim Kurani (Braginsky, 1998: 474). Dalam kata penutup salah satu
karya tasawufnya, Abdul Rauf menyebutkan guru-gurunya. Data yang cukup lengkap tentang pendidikan
dan tradisi pengajaran yang diwarisinya ini merupakan data pertama tentang pewarisan sufisme di
kalangan para sufi Melayu. Ia juga menyebutkan beberapa kota Yaman (Zabit, Moha, Bait al -Fakih, dan
lain-lain), Doha di Semenanjung Qatar, Madinah, Mekah, dan Lohor di India. Di samping itu, ia juga
5. menyebutkan daftar 11 tarekat sufi yang diamalkannya, antara lain Syattariyah, Kadiriyah, Kubrawiyah,
Suhrawardiyah, dan Naqsyabandiyah (Braginsky, 1998: 474).
Sepeninggal Ahmad Kusyasyi, Abdul Rauf memperoleh izin dari Mula Ibrahim Kurani untuk mendirikan
sebuah sekolah di Aceh. Sejak 1661 hingga hampir 30 tahun berikutnya, Abdul Rauf mengajar di Aceh.
Liaw Yock Fang (1975) menyebutkan bahwa muridnya ramai sekali dan datang dari seluruh penjuru
Nusantara. Dan, karena pandangan-pandangan keagamaannya sejalan dengan pandangan Sultan Taj al -
‘Alam Safiatun Riayat Syah binti Iskandar Muda (1645-1675), Abdul Rauf kemudian diangkat menjadi
Syeikh Jamiah al-Rahman dan mufti atau kadi dengan sebutan Malik al-Adil, menggantikan Syeh Saif al-
Rijal yang wafat tidak lama setelah ia kembali ke Aceh (Abdul Hadi WM, 2006: 241-242). Selain itu, ia
juga bersikap keras terhadap orang-orang yang menolak berkuasanya seorang raja perempuan (lihat
Mat Piah et.al, 2002: 61).
Dalam banyak tulisannya, Abdul Rauf Singkel menekankan tentang transendensi Tuhan di atas makhluk
ciptaan-Nya. Ia menyanggah pandangan wujudiyyah yang menekankan imanensi Tuhan dalam makhluk
ciptaan-Nya. Dalam karyanya yang berjudul Kifayat al-Muhtajin, Abdul Rauf berpendapat bahwa
sebelum Tuhan menciptakan alam semesta, Dia menciptakan Nur Muhammad. Dari Nur Muhammad
inilah Tuhan kemudian menciptakan permanent archetypes (al -a‘yan al-kharijiyyah), yaitu alam semesta
yang potensial, yang menjadi sumber bagi exterior archetypes (al-a‘yan al-kharijiyyah), bentuk konkret
makluk ciptaan. Selanjutnya, Abdul Rauf menyimpulkan bahwa walaupun a‘yan al -kharijiyyah adalah
emanasi (pancaran) dari Wujud Yang Mutlak, ia tetap berbeda dari Tuhan. Abdul Rauf mengumpamakan
perbedaan ini dengan tangan dan bayangannya. Walaupun tangan sangat sukar untuk dipisahkan dari
banyangannya, tetapi bayangan itu bukanlah tangan yang sebenarnya (lihat Azyumardi Azra dalam
Osman, 1997: 174).
Secara umum, Abdul Rauf ingin mengajarkan harmoni antara syariat dan sufisme. Dalam karya-karyanya
ia menyatakan bahwa tasawuf harus bekerjasama dengan syariat. Hanya dengan kepatuhan yang total
terhadap syariat-lah maka seorang pencari di jalan sufi dapat memperoleh pengalaman hakikat yang
sejati. Pendekatannya ini tentu saja berbeda dari pendekatan Nuruddin al -Raniri yang tanpa kompromi.
Abdul Rauf cenderung memilih jalan yang lebih damai dan sejuk dalam berinteraksi dengan aliran
wujudiyyah. Maka, walaupun ia menentang aliran yang diajarkan oleh Hamzah Fansuri itu, ia tidak
menyatakannya secara terbuka. Lagipula, ia juga tidak setuju dengan cara-cara radikal yang ditempuh
oleh Nuruddin (lihat Azyumardi Azra dalam Osman, 1997: 174).
Menariknya, dalam karya-karyanya ia tidak menyebut Nuruddin al-Raniri, yang karya-karyanya mungkin
sekali telah dikenalinya, tetapi seolah-olah mengisyaratkan peristiwa tragis yang pernah terjadi, melalui
kutipan sebuah hadis: “Jangan sampai terjadi seorang muslim menyebut muslim lain sebagai kafir.
Karena jika ia berbuat demikian, dan memang demikianlah kenyataannya, lalu apakah manfaatnya.
Sedangkan jika ia salah menuduh, maka tuduhan ini akan dibalikkan melawan ia sendiri” (Johns dalam
Braginsky, 1998: 476).
6. Dengan caranya yang lebih damai ini, ia dapat menahan berkembangnya heterodoksi dalam Islam yang
disebabkan oleh tafsir yang kurang tepat terhadap ajaran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as -Sumatrani
(Abdul Hadi WM, 2006: 241).
Pengaruh:
Syeh Abdul Rauf Singkel memiliki banyak murid yang tersebar di kepulauan Nusantara. Dua muridnya
juga masyhur, yaitu Syeh Jamaluddin al-Tursani dan Syeh Yusuf al-Makasari. Jamaluddin al-Tursani
adalah seorang ahli hukum ketatanegaraan terkenal dan pernah menjadi Kadi Malik al -Adil di istana
Aceh pada awal abad ke-18 M. Ia terkenal berkat karya hukum ketatanegaraannya yang komprehensif,
Syafinat al Hukam (Bahtera Para Hakim), yang merupakan perluasan baik terhadap Taj al -Salatin
maupun Bustan al-Salatin. Sedangkan Syeh Yusuf al-Makasari adalah seorang ulama dari Makassar.
Ulama inilah yang mendampingi Sultan Ageng Tirtayasa dalam perjuangannya melawan kolonialisme
Belanda (Abdul Hadi WM, 2006: 246).
Pada saat Abdul Rauf menjadi mufti, Aceh adalah kesultanan yang sangat penting di dunia Melayu
karena menjadi tempat persinggahan para jemaah haji. Orang dari Jawa dan daerah lain di Indonesia
yang pergi naik haji, harus singgah di Aceh. Sewaktu di Aceh, tidak sedikit pula dari jemaah haji belajar
agama dan ilmu tasawuf kepada Abdul Rauf (A.H. Johns dalam Liaw Yock Fang, 1975: 197). Mungkin
inilah sebabnya tarekat Syattariyah agak populer di Jawa dan nama Abdul Rauf sering disebut dalam
silsilah tarekat tersebut. Sebuah karangan Abdul Rauf, yaitu Dakai‘ik al -Huruf, dikutip dalam al-Tuhfa al-mursala
ila ruh al-nabi, sebuah risalah ilmu tasawuf yang sangat penting di Jawa (Liaw Yock Fang, 1975:
197).
Bersama dengan Nuruddin al-Raniri, Abdul Rauf Singkel menunjukkan bahwa Islam, sebagaimana yang
dipraktekkan di Asia Tenggara, adalah bagian dari pasang surut gagasan dan praktek religius dan
mistisisme di dunia. Gagasan dan praktek ini berakar pada Al -Qur‘an dan kehidupan komunitas Islam
awal, tetapi kemudian berkembang ke berbagai arah yang berbeda-beda. Perdebatan yang terjadi di
Aceh, dan juga di dunia Melayu pada umumnya, tidak bersifat unik bagi daerah ini saja, karena telah
muncul juga di berbagai belahan dunia Islam lainnya. Menurut Piah dkk (2002), Aceh menangkap
gagasan dan praktek-praktek ini dan mengeskpresikannya dengan cara yang rumit dan menantang bagi
kaum Muslim yang memahami keimanan mereka melalui medium bahasa Melayu.
Karyanya:
7. Oman Fathurrahman (dalam Osman, 1997: 242) mencatat tidak kurang dari 36 kitab berkenaan dengan
fikih dan syariat, tasawuf, dan tafsir Al-Qur‘an dan hadis, di antaranya adalah:
Daka‘ik al-Huruf (Kehalusan-kehalusan Huruf), dikutip dalam al-Tuhfa al-mursala ila ruh al-nabi, risalah
ilmu tasawuf yang sangat penting di Jawa.
Tafsir Baidhawi (terjemahan, 1884, diterbitkan di Istambul).
Mirat al-Turab fi Tashil Ma‘rifah al-Ahkam al-Syar‘iyyah li al-Malik al-Wahab (Cermin Para Penuntut Ilmu
untuk Memudahkan Tahu Hukum-hukum Syara‘ dari Tuhan, bahasa Melayu).
Umdat al-muhtajin ila Suluk Maslak al-Mufradin (Pijakan bai Orang-orang yang Menempuh Jalan
Tasawuf).
Tanbih al-Masyi al-Mansub ila Tariq al-Qusyasyi (Pedoman bagi Penempuh Tarekat al-Qusyasyi, bahasa
Arab).
Bayan al-Arkan (Penjelasan tentang Rukun-rukun Islam, bahasa Melayu).
Bidayah al-Baligah (Permulaan yang Sempurna, bahasa Melayu).
Sullam al-Mustafiddin (Tangga Setiap Orang yang Mencari Faedah, bahasa Melayu).
Piagam tentang Zikir (bahasa Melayu).
Tarjuman al-Mustafid bi al-Jawy.
Syarh Latif ‘Ala Arba‘ Hadisan li al-Imam al-Nawawiy (Penjelasan Terperinci atas Kitab empat Puluh Hadis
Karangan Imam Nawawi, bahasa Melayu).
Al-Mawa‘iz al-Ba‘diah (Petuah-petuah Berharga, bahasa Melayu).
Kifayat al-Muhtajin.
Bayan Tajilli (Penjelasan tentang Konsep Manifestasi Tuhan).
Syair Makrifat.
Al-Tareqat al-Syattariyah (Untuk Memahami jalan Syattariyah).
Majmu al-Masa‘il (Himpunan Petranyaan).
Syam al-Ma‘rifat (Matahari Penciptaan).
Syamsuddin Sumatrani
Syamsuddin Sumatrani dikenal sebagai seorang sufi yang mengajarkan faham wahdatul wujud (keesaan
wujud) dengan mengikuti faham wahdatul wujud Ibnu Arabi. Istilah wahdatul wujud itu sendiri
8. sebenarnya bukan diberikan oleh Ibnu Arabi sendiri. Artinya, Ibnu Arabi tidak pernah menyatakan
bahwa sistem pemikiran tasawufnya itu merupakan paham wahdatul wujud.
Dari hasil penelitian WC. Chittick, Sadr al-Din al-Qunawi (w. 673/1274) adalah orang pertama yang
menggunakan istilah wahdatul wujud, hanya saja al-Qunawi tidak menggunakannya sebagai suatu istilah
teknis yang independen. Selain al-Qunawi, masih banyak lagi yang menggunakan istilah wahdatul wujud.
Namun tokoh yang paling besar peranannya dalam mempopulerkan istilah wahdatul wujud adalah Taqi
al-Din Ibn Taymiyyah (w. 728/1328). Ia adalah pengecam keras ajaran Ibnu Arabi dan para pengikutnya.
Di antara kaum sufi yang mengikuti jejak pemikiran Ibnu Arabi tersebut adalah Syamsuddin Sumatrani.
Pengajaran Syamsuddin Sumatrani tentang Tuhan dengan corak paham wahdatul wujud dapat dikenal
dari pembicaraannya tentang maksud kalimat tauhid la ilaha illallah, yang secara harfiah berarti tiada
Tuhan selain Allah. Ia menjelaskan bahwa kalimat tauhid tersebut bagi salik (penempuh jalan tasawuf)
tingkat pemula (al-mubtadi) dipahami dengan pengertian bahwa tiada ada ma’bud (yang disembah)
kecuali Allah.
Sementara bagi salik yang sudah berada pada tingkat menengah (al -mutawassith), kalimat tauhid
tersebut dipahami dengan pengertian bahwa tidak ada maksud (yang dikehendaki) kecuali Allah.
Adapun bagi salik yang sudah berada pada tingkat penghabisan (al -muntaha), kalimat tauhid tersebut
difahami dengan pengertian bahwa tidak ada wujud kecuali Allah.
Namun ia mengingatkan bahwa terdapat perbedaan prinsipil antara pemahaman wahdatul wujud dari
para penganut tauhid yang benar (al-muwahhidin al-shiddiqin), dengan paham wahdatul wujud dari
kaum zindiq penganut panteisme. Di lihat dari satu sisi, kedua pihak itu memang nampak sependapat
dalam menetapkan makna kalimat tauhid la ilaha illallah, yakni tiada wujud selain Allah, sedang wujud
segenap alam adalah bersifat bayang-bayang atau majazi. Tetapi sebenarnya kedua belah pihak memiliki
perbedaan pemahaman yang sangat prinsipil. Bagi kaum panteisme yang zindiq alias sesat, mereka
memahaminya bahwa wujud Tuhan itu tidak ada, kecuali dalam kandungan wujud alam. Jadi bagi
kalangan panteis ini, segenap wujud alam adalah wujud Tuhan dan wujud Tuhan adalah wujud alam
(baik dari segi wujud maupun dari segi penampakannya).
Jadi para penganut paham panteisme itu mengidentikkan Tuhan dengan alam. Mereka menetapkan
adanya kesatuan hakikat dalam kejamakan alam tanpa membedakan antara martabat Tuhan dengan
martabat alam. Paham demikian menurut Syamsuddin Sumatrani adalah paham yang batil dan ditolak
oleh para penganut tauhid yang benar.
Bagi Syamsuddin Sumatrani, sebagaimana faham Ibnu Arabi, asdalah Keesaan Wujud berarti tidak ada
sesuatu pun yang memiliki wujud hakiki kecuali Tuhan. Sementara alam atau segala sesuatu selain
9. Tuhan keberadaannya adalah karena diwujudkan (maujud) oleh Tuhan. Karena itu dilihat dari segi
keberadaannya dengan dirinya sendiri, alam itu tidak ada (ma’dum); tetapi jika dilihat dari segi
“keberadaannya karena wujud Tuhan” maka jelaslah bahwa alam itu ada (maujud).
Dengan demikian martabat Tuhan sangat berbeda dengan martabat alam. Hal ini diuraikan dalam
ajarannya mengenai martabat tujuh, yakni satu wujud dengan tujuh martabatnya. Tulisnya: I’lam,
ketahui olehmu bahwa (se)sungguhnya martabat wujud Allah itu tujuh martabat; pertama martabat
ahadiyyah, kedua martabat wahdah, ketiga martabat wahidiyyah, keempat martabat alam arwah,
kelima martabat alam mitsal, keenam martabt alam ajsam dan ketujuh martabat alam insan.
Maka ahadiyyah bernama hakikat Allah Ta’ala, martabat Dzat Allah Ta’ala dan wahdah itu bernama
hakikat Muhammad, ia itu bernama sifat Allah, dan wahidiyyah bernama (hakikat) insan dan Adam
‘alaihi al-Salam dan kita sekalian, ia itu bernama asma Allah Ta’ala, maka alam arwah martabat (hakikat)
segala nyawa, maka alam mitsal martabat (hakikat) segala rupa, maka alam ajsam itu martabat (hakikat)
segala tubuh, maka alam insan itu martabat (hakikat) segala manusia. Adapun martabat ahadiyyah,
wahdah dan wahidiyyah itu anniyyat Allah Ta’ala, maka alam arwah, alam mitsal alam ajsam dan alam
insan itu martabat anniyyat al-makhluk.
Atas uraian Syamsuddin Sumatrani tersebut Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan memberikan ulasan: terhadap
tiga martabat pertama yang disebutnya dengan ‘anniyyat Allah, maksudnya adalah martabat wujud
aktual Tuhan; Sedang terhadap empat martabat berikutnya yang disebut martabat anniyyat al -makhluk,
maka yang dimaksudkannya adalah wujud aktual makhluk.
Dengan demikian, tiga martabat pertama adalah qadim (dahulu tanpa permulaan) dan baqa (kekal tanpa
kesudahan); Sedang empat martabat berikutnya disebut muhdats (yang dijadikan/diciptakan). Karena
itu pula istilah ‘alam tidak digunakan untuk tiga martabat pertama, tapi jelas dipergunakan untuk empat
martabat berikutnya. Dari semua itu dapatlah dipahami bahwa martabat ketuhanan itu tidak lain dari
tiga martabat pertama, sedang martabat alam atau makhluk mengacu pada empat martabat berikutnya.
Wallahu A’lam.
Peranan dan Pengaruhnya:
Pada masa pemerintahan Sayyid Mukammil (1589-1604), Syamsuddin Sumatrani sudah menjadi orang
kepercayaan sultan Aceh. Sayang dalam kitab Bustan al -Salathin sendiri tidak disingkapkan bagaimana
perjalanan Syamsuddin Sumatrani sehingga ia menjadi ulama yang paling dipercaya dalam l ingkungan
istana kerajaan Aceh selama tiga atau empat dasawarsa.
10. Syamsuddin Sumatrani wafat pada tahun 1039 H/1630 M, dan selama beberapa dasawarsa terakhir dari
masa hidupnya ia merupakan tokoh agama terkemuka yang dihormati dan disegani. Ia berada dalam
lindungan dan bahkan berhubungan erat dengan penguasa Kerajaan Aceh Darussalam.
Syamsuddin Sumatrani adalah satu dari empat ulama yang paling terkemuka. Ia berpengaruh serta
berperan besar dalam sejarah pembentukan dan pengembangan intelektualitas keislaman di Aceh pada
kisaran abad ke-l7 dan beberapa dasawarsa sebelumnya. Keempat ulama tersebut adalah Hamzah
Fansuri (?-?), Syamsuddin Sumatrani (?-1630), Nuruddin Raniri (?-1658), dan Abdur Rauf Singkel
(1615/20-1693). Mengenai ada tidaknya hubungan antara Syamsuddin Sumatrani dengan ketiga ulama
lainnya, ada baiknya disinggung seperlunya.
Mengenai hubungan Hamzah Fansuri dengan Syamsuddin Sumatrani, sejarawan A. Hasjmy cenderung
memandang Syamsuddin Sumatrani sebagai murid dari Hamzah Fansuri. Pandangannya ini diperkuat
dengan ditemukannya dua karya tulis Syamsuddin Sumatrani yang merupakan ulasan (syarah) terhadap
pengajaran Hamzah Fansuri. Kedua karya tulis Syamsuddin Sumatrani itu adalah Syarah Ruba’i Hamzah
Fansuri dan Syarah Syair Ikan Tongkol.
Adapun hubungannya dengan Nuruddin ar-Raniri, hal ini tidak diketahui secara pasti. Yang jelas adalah
bahwa tujuh tahun setelah Syamsuddin Sumatrani wafat, Raniri memperoleh kedudukan seperti
sebelumnya diperoleh Syamsuddin Sumatrani. Ia diangkat menjadi mufti Kerajaan Aceh Darussalam
pada tahun 1637 oleh Sultan Iskandar Tsani. Karena fatwanya yang men-zindiq-kan (mengkafirkan)
paham wahdatul wujud Syamsuddin Sumatrani, maka para pengikut Hamzah Fansuri dan Syamsuddin
Sumatrani dihukum oleh pihak penguasa dengan hukuman bunuh. Bahkan literatur-literatur yang
mereka miliki dibakar habis. Namun demikian, para pengikut paham Sumatrani itu ternyata tidak punah
semuanya.
Pada kisaran tahun 1644 Raniri disingkirkan dari kedudukannya selaku mufti kerajaan Aceh Darussalam.
Ia pun terpaksa pulang ke Ranir, Gujarat. Sebagai penggantinya, Sultanah Tajul Alam Safiatuddin (1641-
1675) kemudian mempercayakan jabatan mufti kerajaan kepada Saifur Rijal. Saifur Rijal adalah seorang
Minang yang juga penganut paham wahdatul wujud. Pada waktu itu ia baru pulang kembali ke Aceh dari
pendalaman kajian agama di India. Dengan demikian, paham tasawuf Syamsuddin Sumatrani itu kembali
mewarnai corak keislaman di Kerajaan Aceh Darussalam.
Karyanya:
Jawhar al-Haqa’iq
Risalah Tubayyin Mulahazhat al-Muwahhidin wa al-Mulhidin fi Dzikr Allah
Mir’at al-Mu’minin
11. Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri
Syarah Sya’ir Ikan Tongkol
Nur al-Daqa’iq
Thariq al-Salikin
Mir’at al-Iman atau Kitab Bahr al-Nur
Kitab al-Harakah
Al-Raniri
Ar-Raniri berperan penting saat berhasil memimpin ulama Aceh menghancurkan ajaran tasawuf
falsafinya Hamzah Fansuri yang dikhawatirkan dapat merusak akidah umat Islam awam terutama yang
baru memeluknya. Tasawuf falsafi berasal dari ajaran Al -Hallaj, Ibnu Arabi, dan Suhrawardi, yang khas
dengan doktrin Wihdatul Wujud (Menyatunya Kewujudan) di mana sewaktu dalam keadaan sukr
(‘mabuk’ dalam kecintaan kepada Allah Ta’ala) dan fana’ fillah (‘hilang’ bersama Allah), seseorang wali
itu mungkin mengeluarkan kata-kata yang lahiriahnya sesat atau menyimpang dari syariat Islam.
Maka oleh mereka yang tidak mengerti hakikat ucapan-ucapan tersebut, dapat membahayakan akidah
dan menimbulkan fitnah pada masyarakat Islam. Karena individu-individu tersebut syuhud
(‘menyaksikan’) hanya Allah sedang semua ciptaan termasuk dirinya sendiri tidak wujud dan kelihatan.
Maka dikatakan wahdatul wujud karena yang wajib wujudnya itu hanyalah Allah Ta’ala sedang para
makhluk tidak berkewajiban untuk wujud tanpa kehendak Allah. Sama seperti bayang-bayang pada
pewayangan kulit.
Konstruksi wahdatul wujud ini jauh berbeda malah dapat dikatakan berlawanan dengan faham
manunggaling kawula lan Gusti’. Karena pada konsep manunggaling kawula lan Gusti’, dapat diibaratkan
umpama bercampurnya kopi dengan susu, maka substansi dua-duanya sesudah menyatu adalah
berbeda dari sebelumnya. Sedangkan pada faham wihdatul wujud, dapat di umpamakan seperti satu
tetesan air murni pada ujung jari yang dicelupkan ke dalam lautan air murni. Sewaktu itu, tidak dapat
dibedakan air pada ujung jari dari air lautan. Karena semuanya kembali kepada Allah.
Maka pluralisme (menyamakan semua agama) menjadi lanjutan terhadap gagasan beliau dimana yang
penting dan utama adalah Pencipta, dan semua ciptaan adalah sama, hadir di alam mayapada hanya
karena kehendak Allah saja. Maka faham ini, tanpa dibarengi dengan pemahaman dan kepercayaan
syariat, dapat membelokkan aqidah. Pada zaman dulu, para waliyullah di negara-negara Islam Timur
Tengah sering, apabila di dalam keadaan seperti ini, dianjurkan untuk tidak tampil di khalayak ramai.
Tasawuf falsafi diperkenalkan di Nusantara oleh Fansuri dan Syekh Siti Jenar. Syekh Siti Jenar kemudian
dieksekusi mati oleh dewan wali (Wali Songo). Ini adalah hukuman yang disepakati bagi pelanggaran
12. syariat, manakala hakikatnya hanya Allah yang dapat maha mengetahui. Al-Hallaj setelah dipancung
lehernya, badannya masih dapat bergerak, dan lidahnya masih dapat berzikir. Darahnya pula mengalir
mengeja asma Allah, ini semua karomah untuk mempertahankan keberadaan Allah. Di Jawa, tasawuf
falsafi bersinkretisme dengan aliran kebatinan dalam ajaran Hindu dan Budha sehingga menghasilkan
ajaran Islam kejawen.
Ronggowarsito (Bapak Kebatinan Indonesia) dianggap sebagai penerus Siti Jenar. Karya-karyanya,
seperti Suluk Jiwa, Serat Pamoring Kawula Gusti, Suluk Lukma Lelana, dan Serat Hidayat Jati, sering
diaku-aku Ronggowarsito berdasarkan kitab dan sunnah. Namun banyak terdapat kesalahan tafsir dan
transformasi pemikiran dalam karya-karyanya itu. Ronggowarsito hanya mengandalkan terjemahan
buku-buku tasawuf dari bahasa Jawa dan tidak melakukan perbandingan dengan naskah asli bahasa
Arab. Tanpa referensi kepada kitab-kitab Arab yang ditulis oleh ulama ahli syariat dan hakikat yang
muktabar seperti Syekh Abdul Qadir Jailani dan Ibn Arabi, maka ini adalah sangat berbahaya.
Ar-Raniri dikatakan pulang kembali ke India setelah beliau dikalahkan oleh dua orang murid Hamzah
Fansuri pada suatu perdebatan umum. Ada riwayat mengatakan beliau wafat di India.
Pengaruh Al-Raniri
Al-Raniri merupakan sosok ulama yang memiliki banyak keahlian. Dia seorang sufi, teolog, faqih (ahli
hukum), dan bahkan politisi. Keberadaan Al -Raniri seperti ini sering menimbulkan banyak
kesalahpahaman, terutama jika dilihat dari salah satu aspek pemikiran saja. Maka sangat wajar, jika
beliau dinilai sebagai seorang sufi yang sibuk dengan praktek-praktek mistik, padahal di sisi lain, Al-Raniri
adalah seorang faqih yang memiliki perhatian terhadap praktek-praktek syariat. Oleh karena itu, untuk
memahaminya secara benar, haruslah dipahami semua aspek pemikiran, kepribadian dan aktivitasnya
(Azra: 1994).
Keragaman keahlian Al-Raniri dapat dilihat kiprahnya selama. di Aceh. Meski hanya bermukim dalam
waktu relatif singkat, peranan Al-Raniri dalam perkembangan Islam Nusantara tidak dapat diabaikan. Dia
berperan membawa tradisi besar Islam sembari mengeliminasi masuknya tradisi lokal ke dalam tradisi
yang dibawanya tersebut. Tanpa mengabaikan peran ulama lain yang lebih dulu menyebarkan Islam di
negeri ini, Al-Ranirilah yang menghubungkan satu mata rantai tradisi Islam di Timur Tengah dengan
tradisi Islam Nusantara.
Bahkan, Al-Raniri merupakan ulama pertama yang membedakan penafsiran doktrin dan praktek sufi
yang salah dan benar. Upaya seperti ini memang pernah dilakukan oleh para ulama terdahulu, seperti
Fadhl Allah Al-Burhanpuri. Namun, Al-Burhanpuri tidak berhasil merumuskannya dalam penjabaran yang
sisternatis dan sederhana, malahan membingungkan para pengikutnya, sehingga Ibrahim Al-Kurani
13. harus memperjelasnya. Upaya-upaya lebih lanjut tampaknya pernah juga dilakukan oleh Hamzah Fansuri
dan Samsuddin Al-Sumaterani, tetapi keduanya gagal memperjelas garis perbedaan antara Tuhan
dengan alam dan makhluk ciptaannya (Azra: 1994).
Oleh karena itu, dalam pandangan Al-Raniri, masalah besar yang dihadapi umat Islam, terutama di
Nusantara, adalah aqidah. paham immanensi antara Tuhan makhluknya sebagaimana dikembangkan
oleh paham wujudi”ah merupakan praktek sufi yang berlebihan. Mengutip doktrin Asy’ariyyah, Al -Raniri
berpandangan bahwa antara Tuhan dan alam raya terdapat perbedaan (mukhalkfah), sementara antara
manusia dan Tuhan terdapat hubunpn transenden.
Selain secara umum Al-Raniri dikenal sebagai syeikh Rifaiyyah, ia juga memiliki mata rantai dengan
tarekat Aydarusiyyah dan Qadiriyyah. Dari tarekat Aydarusiyyah inilah Al -Raniri dikenal sebagai ulama
yang teguh mernegang akar-akar tradisi Arab, bahkan simbol-simbol fisik tertentu dari budayanya,
dalam menghadapi lokal. Tidak hanya itu, ketegasan Al -Raniri dalam menekankan adanya keselarasan
antara praktek mistik dan syari’at merupakan bagian dari ajaran tarekat Aydarusiyyah.
Dari paparan di atas, sepintas memang belum banyak pembaruan yang telah dilakukan oleh Al -Raniri,
kecuali mempertegas paham Asy’ariyyah, memperjelas praktek-praktek syariat, dan sanggahan
terhadap paham wujudiyyah. Di sinilah dibutuhkaan kejelian untuk memandang Al-Raniri secara utuh,
baik kirah, pikiran maupun karya-karyanya (Azra: 1994). Bahkan, dari catatan sanggahan Al-Raniri
terhadap paham wujudiyyahlah dapat ditemukan, sejumlah pembaruanterutama dalam hal metodologi.
penulisan ilmiah, dimana beliau selalu mencantumkaan argumentasi berikut referensinya. Dari cara
seperti ini pula dalam perkembangannya ditemukan sejumlah ulama -ulama baru yang belum pernah
diungkap oleh penulis-penulis lain sebelumnya, berikut pemikiran-pemikiran yang baru.
Meski Al-Raniri berpengaruh besar dalam perkembangan Islam Nusantara, tetapi hingga kini belum
ditemukan para muridnya secara langsung, kecuali Syeikh Yusuf Al -Maqassari. Al-Maqassari dalam
kitabnya, Safinat al-Najah menjelaskan bahwa dari Al-Ranirilah diperoleh silsilah tarekat Qadiriyyah,
karena Al-Raniri adalah guru sekaligus syeikhnya. Hanya saia, bukti ini belum dianggap valid, karena
belum diketahui kapan dan dimana mereka bertemu. Kesulitan lainnya juga akan muncul ketika dicari
hubungan dan jaringan Al-Raniri dengan para ulama lain penyebar agama Islam di wilayah Nusantara,
ataupun para ulama asli Nusantara yang berkelana sampai ke Timur-Tengah. Yang ada hanyalah
kemungkinan bertemunya Al-Raniri dengan para jamaah haji dan para pedatang dari Nusantara yang
kebetulan menuntut ilmu di tanah haram, tepatnya ketika Al -Raniri bermukim di Makkah dan Madinah
(1621 M). Pertemuan inilah yang diduga adanya komunikasi langsung dengan para muridnya dari
Nusantara, termasuk dengan Al-Maqassari.
14. Kesulitan ini juga terus berlanjut, jika dikaitkan dengan keingianan mencari hubungan Al -Raniri dengan
dunia pesantren di wilayah Nusantara. Pasalnya, selain tiada literatur yang menunjukkan hal tersebut,
manuskrip-manuskrip yang berkaitan dengan pesantren pun tidak menunjukkan adanya hubungan
tersebut. Meski demikian, bukan berarti Al-Raniri tidak memiliki keterkaitan sama sekah dengan dunia
pesantren. Setidaknya, peran Al-Maqassari dan para jamaah haji serta para muridnya di Makkah dan
Madinah yang kemudian kembali ke tanah air merupakan keterkaitan tidak langsung Al-Raniri dengan
dunia pesantren di Indonesia.
Ada yang berpendapat bahawa beliau meninggal dunia di India. Pendapat lain menyebut bahawa beliau
meninggal dunia di Aceh. Ahmad Daudi, menulis: “Maka tiba-tiba dan tanpa sebab-sebab yang
diketahui, Syeikh Nuruddin ar-Raniri meninggalkan Serambi Mekah ini, belayar kembali ke tanah tumpah
darahnya yang tercinta, Ranir untuk selama-lamanya. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1054 H (1644 M).”
Bahawa beliau meninggal dunia pada 22 Zulhijjah 1069 H/21 September 1658 M. Tetapi Karel A.
Steenbrink dalam bukunya, Mencari Tuhan Dengan Kacamata Barat berpendapat lain, bahawa hingga
tahun 1644 M bererti Syeikh Nuruddin masih berada di Aceh. Menurutnya terjadi diskusi yang terlalu
tajam antara beberapa kelompok pemerintah: Seorang uskup agung (ar-Raniri) di satu pihak dan
beberapa hulubalang dan seorang ulama dari Sumatera Barat di pihak lain. Pihak yang anti ar-Raniri
akhirnya menang, sehingga ar-Raniri dengan tergesa-gesa kembali ke Gujarat. Tulisan Karel itu
barangkali ada benarnya, kerana secara tidak langsung Syeikh Nuruddin mengaku pernah kalah
berdebat dengan Saiful Rijal, penyokong fahaman Syeikh Hamzah al -Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-
Sumatra-i, perkara ini beliau ceritakan dalam kitab Fath al-Mubin.
Ada pun tempat meninggalnya, H.M. Zainuddin, berbeza pendapat dengan Ahmad Daudi di atas.
Menurut Zainuddin dalam Tarich Atjeh Dan Nusantara, jilid 1, bahawa terjadi pertikaian di istana, dalam
perebutan itu telah terbunuh seorang ulama, Faqih Hitam yang menentang tindakan Puteri Seri Alam.
Dalam pada itu Syeikh Nuruddin diculik orang, kemudian mayatnya diketemukan di Kuala Aceh.
Menurut H.M. Zainuddin pula, bahawa makam Syeikh Nuruddin itu dikenal dengan makam keramat
Teungku Syiahdin (Syeikh Nuruddin ar-Raniri) terletak di Kuala Aceh.
Dalam masa pemerintahan Iskandar Muda, kerajaan Aceh maju, ajaran sufi tidak menghalang kemajuan
yang berasaskan Islam. Sebaliknya masa pemerintahan Iskandar Tsani, ajaran sufi dianggap sesat,
ternyata kerajaan Aceh mulai menurun. Bantahan terhadap sesuatu pegangan yang pernah berkembang
di dunia Islam perlulah ditangani dengan penuh kebijaksanaan. Siapa saja yang memegang urusan
keislaman janganlah tersalah penilaian, sering terjadi yang benar menjadi salah, atau sebaliknya yang
salah menjadi benar.
karyanya:
Kitab Al-Shirath al-Mustaqim (1634)
15. Kitab Durrat al-faraid bi Syarh al-‘Aqaid an Nasafiyah (1635)
Kitab Hidayat al-habib fi al Targhib wa’l-Tarhib (1635) ?
Kitab Error! Hyperlink reference not valid. (1638)
Kitab Nubdzah fi da’wa al-zhill ma’a shahibihi
Kitab Latha’if al-Asrar
Kitab Asral an-Insan fi Ma’rifat al-Ruh wa al-Rahman
Kitab Tibyan fi ma’rifat al-Adyan
Kitab Akhbar al-Akhirah fi Ahwal al-Qiyamah
Kitab Hill al-Zhill
Kitab Ma’u’l Hayat li Ahl al-Mamat
Kitab Aina’l-‘Alam qabl an Yukhlaq
Kitab Syifa’u’l-Qulub
Kitab Hujjat al-Shiddiq li daf’I al-Zindiq
Kitab Al-Fat-hu’l-Mubin ‘a’l-Mulhiddin
Kitab Al-Lama’an fi Takfir Man Qala bi Khalg al-Qur-an
Kitab Shawarim al- Shiddiq li Qath’I al-Zindiq
Kitab Rahiq al-Muhammadiyyah fi Thariq al-Shufiyyah.
Kitab Ba’du Khalg al-samawat wa’l-Ardh
Kitab Kaifiyat al-Shalat
Kitab Hidayat al-Iman bi Fadhli’l-Manaan
Kitab ‘Aqa’id al-Shufiyyat al-Muwahhiddin
Kitab ‘Alaqat Allah bi’l-‘Alam
Kitab Al-Fat-hu’l-Wadud fi Bayan Wahdat al-Wujud
Kitab ‘Ain al-Jawad fi Bayan Wahdat al-Wujud
Kitab Awdhah al-Sabil wa’l-Dalil laisal li Abathil al-Mulhiddin Ta’wil
Kitab Awdhah al-Sabil laisan li Abathil al-Mulhiddin Ta’wil.
Kitab Syadar al-Mazid
Kitab Jawahir al-‘ulum fi Kasyfi’l-Ma’lum
Sumber:
16. http://melayuonline.com/ind/personage/dig 341 hamzah-fansuri.htm
http://acehpedia.org/Nuruddin_al-Raniri.htm
http://melayuonline.com/ind/personage/dig/348 abdul -rauf-singkel.htm
http://sufiroad.blogspot.com/2010/11/sufi-road-syeikh-hamzah-al-fansuri.html
http://taufikirawan.wordpress.com/2011/11/01/nuruddin-al-raniri.htm
http://www.gusmus.net/page.php mod=dinamis&sub=7&id=261.htm
http://www.ipuisi.com/penulisan-puisi-oleh-ulama-asia-tenggara.htm
Referensi:
Braginsky, V.I. Yang Indah, Berfaedah dan Kamal Sejarah Sastra Melayu Dalam Abad 7-19. Jakarta: INIS,
1998.
Harun Mat Piah, et,al. Traditional Malay Literature. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2002.
Liaw Yock Fang. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Singapura: Pustaka Nasional Singapura, 1975.
Abdul Hadi WM, “Aceh dan Kesusastraan Melayu”, dalam Sardono W. Kusumo (ed.). Aceh dalam
Lintasan Sejarah. Jakarta: IKJ Press, 2006. Hlm. 173-276.
Azyumardi Azra, “Education, Law, Mysticism: Constructing Social Realities”, dalam Mohd. Taib Osman
(ed.). Islam Civilization in the Malay World. Kuala Lumpur: 1997. Hlm. 141-195
Teeuw, A., 1994. Iindonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya
Harun Nasution, dkk., Ensiklopedi Islam Indonesia, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1992.
[1] Menurut Jelprison, tulisan arab melayu mulai berkembang pada awal abad 12. Menurut Hashim Haji
Musa dalam bukunya “Sejarah Perkembangan Tulisan Jawi” tulisan arab melayu berkembang pada
pertengahan abad 14. (Jelprison. 2008. Arab Melayu Sebuah Pengenalan.
kampungrison.wordpress.com).
[2] Azwar. Manuskrip Melayu dan Tulisan Jawi. ( Padang, sebuah website)
17. [3] Harun Mat Piah, dkk. Traditional Malay Literature. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2002.
xvii
[4] Harun Mat Piah, dkk. Traditional Malay Literature. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2002.
374
[5] Teeuw, A. Iindonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya, 1995. 67.
[6] Abdul Hadi WM, “Aceh dan Kesusastraan Melayu”, dalam Sardono W. Kusumo (ed.). Aceh dalam
Lintasan Sejarah. Jakarta: IKJ Press, 2006. 241