Al-Farabi adalah filosof muslim terbesar yang hidup pada abad ke-10 M. Ia lahir di Turkistan dan menghabiskan hidupnya untuk mempelajari dan menulis tentang filsafat Yunani klasik khususnya Aristoteles. Al-Farabi memperkenalkan filsafat Islam sebagai madzhab yang terpadu dan mendasarkan teori pengetahuannya pada pengaruh akal aktif melalui emanasi. Ia dianggap sebagai "Mahaguru Kedua" setel
1. Profil Al-Farabi
I. Riwayat Hidup
Al-Farabi bernama asli Abu Nashar Muhammad bin Muhammad Tharkhan bin Uzalag. Al-
Farabi diberi gelar “mahaguru kedua” setelah Aristoteles. Dia diberi gelar demikian karena
perhatiaannya dalam mengkaji dan mengkritisi buku-buku Aristoteles. Para ahli sejarah
berpendapat bahwa Al-Farabi dilahirkan di distrik Wasij, provinsi Farab, tanah Khurasan
yang terletak pada pinggir sungai Saijun di Turkistan, sesuai dengan riwayat Ibnu Hauqal.
Terdapat perbedaan pendapat dalam memastikan tahun kelahirannya. Tetapi pendapat
yang kuat menyebutkan dia lahir pada tahun 259 Hijriah atau 872 Masehi. Hal itu
berdasarkan kesimpulan tahun wafatnya yang disebut oleh Ibnu Khalkan bahwa al-Farabi
meninggal dunia di Damaskus pada tahun 339 H (950 M) dalam usia yang hampir mencapai
80 tahun.
Pada usia muda, al-Farabi bekerja sebagai hakim di daerahnya, akan tetapi dalam
relung hatinya Ia lebih tertarik pada ilmu pengetahuan, mengkaji filsafat dan kebenaran
metafisika. Oleh karena itu, ia meninggalkan profesinya sebagai hakim di usia sekitar 40
tahun, lalu pindah ke Baghdad sebagai pusat ilmu pengetahuan pada zamannya. Kemudian ia
berguru pada Abu Basyar bin Matta bin Yunus dalam mempelajari logika dan berguru pada
Abu Bakar bin Siraj dalam mengkaji nahwu. Setelah itu dia pergi ke Huran dalam mengkaji
logika dari Yuhan bin Hailan, dan kembali lagi ke Baghdad untuk melanjutkan kajiannya
tentang filsafat dan pembahasan buku-buku karya Aristoteles.
Al-Farabi menghabiskan waktunya di Baghdad selama kurang-lebih 30 tahun untuk
berkonsentrasi belajar, menulis, mengajar, menjelaskan dan mengomentari buku-buku
Aristoteles dan Plato. Sehingga, namanya menjadi terkenal, kehebatannya terdengar dimana-
mana, dan banyak murid yang bergabung untuk menuntut ilmu bersamanya.
Ketika suasana Baghdad kacau-balau setelah Panglima Dailami Tauzun menurunkan
Khalifah al-Muttaqi pada tahun 329 H, al-Farabi pindah ke damaskus tahun 330 H (941 M)
dan tinggal disana sendirian untuk membaca dan menulis buku. Al-Farabi tinggal di
Damaskus dalam keadaan sangat miskin dan bekerja sebagai tukang kebun. Dia
menghabiskan seluruh malam untuk membaca dan menulis dengan hanya diterangi lampu
penjaga kebun. Setelah itu, dia pindah ke Halab dan bergaul dengan amir Halab,
Saifuddaulah al-Hamdani, sehingga sang amir mengetahui kehebatannya dan
menghormatinya dengan menjadikannya sebagai penasihat.
Al-Farabi adalah seorang tokoh yang lebih senang menyendiri, berzuhud, merenung
dan berpikir, serta menjauhi kehidupan yang serba mewah, foya-foya dan materialistik. Dia
hidup sebagai sufi dan bersikap zuhud di dunia. Dia tidak menikah, tidak menyimpan harta,
tidak memperhatikan masalah pakaian, dan dia selalu mengenakan pakaian kaum sufi.
Diriwayatkan juga bahwa dia hanya meminta 4 dirham perak setiap hari untuk memenuhi
kebutuhan primernya dari Amir Saifuddaulah al-Hamdani. Padahal jika dia mau, dia pasti
bisa mendapatkan lebih dari itu.
2. Al-Farabi sangat terkenal dengan penguasaannya terhadap berbagai bahasa, cerdas,
berpikiran jernih, bersemangat tinggi, dan banyak menguasai berbagai cabang ilmu
pengetahuan di masanya. Dia sangat menguasai semua cabang filsafat, logika, fisika,
ketuhanan, ilmu alam, kedokteran, kimia, ilmu perkotaan, ilmu lingkungan, fiqh, ilmu
militer, dan musik, ada sumber yang menyebutkan bahwa dia menciptakan sebuah alat musik
yang mirip piano (atau memang piano itu sendiri) dan menulis sebuah buku tentang musik
yang dianggap sebagai salah satu buku terpenting di bidang musik Timur, serta membuatnya
sejajar dengan para pemusik kelas dunia.
Al-Farabi mendapatkan penghargaan dari ahli seejarah. Mereka menghargai dengan
penuh penghormatan serta menganggap sebagai filosof agung terkemuka. Ibnu Khalkan
berkomentar tentang al-Farabi, “sesungguhnya al-Farabi adalah salah satu filosof muslim
terbesar. Tidak ada seorang pun yang dapat menandingi sistematikanya. Ibnu Sina
menamatkan buku-bukunya dan mengutip pendapatnya dalam berbagai buku karangan.”
Ibnu Shaid al-Andalusi juga berkomentar tentang al-Farabi di dalam buku Thabaqat al-
Umam, “Sesungguhnya dialah filosof muslim sejati.” Ibnu al-Qothi memberinya gelar
“filosof muslim tanpa tanding” di dalam buku Akhbar al-Ulama bi Akhbar al-Hukama. Dia
menyebutkan bahwa Ibnu Sina pernah membaca buku metafisika karangan Aristoteles
sebanyak 40 kali namun dia tidak dapat memahaminya hingga merasa putus asa. Tetapi
ketika membaca buku al-Farabi yang berjudul Aghradh Ma Ba’da ath-Thabi’ah, dia dapat
memahami maksud buku tersebut. Tentu saja Ibnu Sina sangat bahagia. Dia bersyukur
kepada Allah dan bersedekah kepada kaum miskin.
Al-Farabi adalah penafsir dan perangkum terbaik buku-buku aristoteles, terutama buku-
buku logika dengan struktur bahasa yang baik dan mendalam. Oleh karena itu, dia disebut
sebagai “ahli logika” sebagaimana juga dia disebut “Mahaguru Kedua” setelah Aristoteles
sebagai “Mahaguru Pertama.”
Al-Farabi dikenal sangat menaruh perhatian pada sistem yang rasional, pengaturan dan
penyatuan. Sehingga dia senang menggabungkan pendapat aristoteles dan plato, serta antara
filsafat yunani dan agama Islam, sebagaimana yang dilakukan al-Kindi sebelumnya.
Sehingga, dia pun disebut perintis aliran Taufiq (kelompok akomodatif).
Profesor Dr. Ibrahim Madkur berpendapat, “al-Farabi adalah orang pertama yang
memberi corak filasafat Islam dalan wadahnya yang sempurna dan meletakkan dasar-dasar
serta prinsip-prinsipnya. Tetapi kami tidak memungkiri bahwa sebelumnya al-Kindi
mempunyai minat unutk mengkaji pemikiran plato dan aristoteles serta memaparkan sebagian
teori keduanya dengan metode syarh (penjelasan anjang lebar) dan ikhtisar (ringkasan dan
kesimpulan). Meskipun demikian, kami tidak menemukan pada diri al-Kindi madzhab filsafat
yang sempurna dengan segala makna kesempurnaan. Tetapi pandangan-pandangan al-Kindi
adalah sekumpulan teori yang terpisah dan berkaitan dengan berbagai ragam topik yang tidak
saling berkaitan. Sedangkan al-Farabi tidak demikian, dia membangun sendi-sendi sebuah
madzhab filosofis yang saling berkaitan.
3. Al-Farabi meninggal dunia di Damaskus pada tahun 339 H/950 M dalam usia 80 tahun.
Khalifah Saifuddaulah al-Hamdani menyempatkan diri melaksanakan salat jenazah atas
dirinya bersama orang-orang kepercayaannya. Selanjutnya, al-Farabi dimakamkan di
Damaskus.
II. Teori Pengetahuan dan Pandangan Utama terhadap Filsafat Ilmu
Al-Farabi berpendapat bahwa jendela pengetahuan adalah indera, sebab pengetahuan masuk
kedalam diri manusia melalui indera. Sementara pengetahuan totalitas terwujud mengetahui
pengetahuan parsial, atau pemahaman universal merupakan hasil penginderaan terhadap hal-
hal yang parsial. Jiwa mengetahui dengan daya dan indera adalah jalan yang dimanfaatkan
jiwa untuk memperoleh pengetahuan kemanusiaan. Tetapi pengetahuan inderawi tidak
memberikan kepada kita informasi tentang esensi segala sesuatu, melainkan hanya
memberikan sisi lahiriah segala sesuatu. Sedangkan pengetahuan universal dan esensi segala
sesuatu hanya dapat diperoleh melalui akal.
Al-Farabi berpendapat, bahwa dalam susunan akal manusia terdapat suatu kesiapan dan
persiapan fitrah untuk membebaskan totalitas dari gambaran-gambaran inderawi yang
bersifat parsial dan tersimpan di dalam daya fantasi dengan bantuan akal aktif. Sehingga, akal
potensial pindah ke tingkat akal aktual kemudian ke tingkat akal mustafad, dimana ia
membentuk seluruh objek rasional menjadi rasional secara aktual. Dan yang beremanasi
kepadanya dari akal aktif adalah suatu daya yang memungkinkannya memahami objek
rasional secara langsung. Al-Farabi menganalogikan hubungan antara akal potensial dengan
Akal Aktif seperti mata dengan matahari. Mata hanyalah kemampuan potensial untuk
melihat selama dalam kegelapan, tapi dia menjadi aktual ketika menerima sinar matahari.
Bukan hanya obyek-obyek indrawi saja yang bisa dilihat, tapi juga cahaya dan matahari yang
menjadi sumber cahaya itu sendiri.
Akal aktif mengumpulkan semua gambaran yang ada di dalam dirinya, lalu
mengirimnya ke alam indera agar mengenakan materi, sebagaimana juga mengirimnya ke
akal manusia agar menghasilkan pengetahuan. Diantara gambaran-gambaran yang ada dalam
akal dan alam indera manusia terdapat kesesuaian universal yang membuat pengetahuan
menjadi yaqiniyah (pasti).
Untuk menggambarkan proses ini, al-Farabi menganalogikan dengan sepotong benda
yang masuk ke dalam lilin cair, benda terseut tidak hanya tercetak pada lilin, tapi ia juga
merubah lilin cair tersebut menjadi sebuah citra utuh benda itu sendiri sehingga ia menjadi
satu. Atau, bisa juga dianalogikan dengan sepotong kain yang masuk ke dalam zat pewarna.
Perolehan aktualitas oleh akal potensial menjadi sempurna jika proses ini tidak hanya
berkaitan dengan pengetahuan primer, tapi juga dengan pengetahuan yang diupayakannya.
Pada tahap ini, akal aktual merefleksikan dirinya sendiri. Kandungan akal aktual adalah
pengetahuan murni. Akal aktual dapat mengetahui dirinya sendiri karena ia merupakan
intelek sekaligus pengetahuan itu sendiri. Ketika akal aktual sudah sampai pada tahap ini, ia
menjadi apa yang disebut al-Farabi dengan akal perolehan atau al-aql al-mustafad atau
acquired intelect.
4. Dengan demikian, akal perolehan merujuk pada akal aktual ketika mencapai tahap
mampu memposisikan diri sebagai pengetahuan (self-intelligible) dan bisa melakukan proses
pemahaman tanpa bantuan kekuatan lain (self-inttellective). akal perolehan adalah bentuk
akal manusia paling tinggi. akal perolehan adalah yang paling mirip dengan dengan akal
Aktif karena keduanya memiliki kandungan yang sama. Di samping itu, akal perolehan juga
tidak membutuhkan raga bagi kehidupannya dan tidak membutuhkan kekuatan fisik badani
untuk aktifitas berpikirnya.
Kesesuaian itu dibawa ke pusat semua gambar inderawi dan rasional dari akal aktif.
Adapun tujuan akhir dari akal manusia adalah kebersambungan dengan akal yang terpisah
dan mengindentikan diri dengannya. Artinya, bahwa pengetahuan yaqiniyah tidak akan
dicapai kecuali melalui emanasi yang berasal dari akal aktif sebagai pemberi pengetahuan
dan pemberi gambar-gambar. Oleh karena itu ia disebut ma’rifah isyraqiyah (pengetahuan
iluminatif).
Jafar Ali Yasin mengatakan, “seakan-akan dalam proses memahami ini, jiwa memulai
dari indera untuk berakhir dibalik indera hingga ke tingkat akal mustafad. Kapan saja ia
memiliki kesiapan total, maka ia akan sampai ke tingkat akal aktif tanpa perantara. Lalu ia
memberika sebuah daya pemahaman totalitas secara langsung, maka pada saat itu gambar-
gambar alam parsial bersepakat dengan objek rasional abstrak dengan alasan bahwa akal aktif
adalah yang pertama dan yang terakhir didalam pengetahuan manusia ini, baik pengetahuan
yang bersifat inderawi maupun rasional.”
Dalam hal itu, al-Farabi sangat terpengaruh oleh Aristoteles dan kaum Neo-Platonis,
dan dia berusaha melakukan penggabungan di antara keduanya. Oleh karena itu, pendapatnya
tentang pengetahuan sama dengan pendapat Aristoteles, sedangkan pendapatnya tentang
pengetahuan yang diemanasi dari akal aktif sama dengan pendapat kaum Neo-Platonis.
Sumber :
Najati, Muhammad Ustman.2002. Jiwa dalam Pandangan Filosof Muslim. Bandung :
Pustaka hidayah.
Ismail, Bustamam. “Mengenal Al-Farabi: Filosofis Muslim.” hbis.wordpress.com. 01 August
2008<http://hbis.wordpress.com/2008/08/01/mengenal-al-farabi-filosofis-muslim/;