1. MAKALAH
“ HYBRID CONTRACT “
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas “ Perbankan Syariah “
Dosen Pengampu:
Bahrul Huda, M.EI.
Penyusun:
Khusnul Khotimah (G04219040)
Milda Novita Vianti (G04219044)
Muhammad Yusrifal A (G04219045)
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2020
2. ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah Swt, yang Maha Kuasa atas limpahan rahmat-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah sesuai dengan rencana. Shalawat serta salam
semoga tetap terhaturkan kepada Rasulullah Muhammad Saw yang telah membawa umatnya
dari kegelapan menuju jalan terang benderang berupa agama Islam.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Perbankan Syariah
dengan judul “Hybrid Contract (Multi Akad)”.
Dengan terselesaikannya penulisan makalah ini penulis mengucapkan terimakasih
kepada :
1. Allah Swt karena hanya dengan seizin-Nya makalah ini dapat terselesaikan.
2. Bapak Bahrul Huda, M.EI. Selaku dosen pembimbing mata kuliah Perbankan Syariah.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam menyusun tugas makalah
ini. Oleh karenaa itu mengharap kritik dan saran dari pembaca untuk kesempurnaan penulisan
makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca. Amin
Surabaya, 18 Februari 2020
Penulis
3. iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................................... ii
DAFTAR ISI..............................................................................................................................iii
BAB I .........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN .....................................................................................................................1
A. Latar Belakang................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................1
C. Tujuan Masalah...............................................................................................................1
BAB II........................................................................................................................................2
PEMBAHASAN ........................................................................................................................2
A. Pengertian Hybrid Contract (Multi Akad) ......................................................................2
B. Dalil-dalil tentang kebolehan/keharaman Hybrid Contract (multi akad) .......................8
C. Praktek Hybrid Contract (multi akad) dalam Lembaga Keuangan syariah ..................10
PENUTUP................................................................................................................................14
A. Kesimpulan ...................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................................15
4. 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam dunia bisnis, kontrak/akad merupakan perangkat yang sangat berpengaruh,
karena dengan adanya kontrak (akad), antar pelaku bisnis memiliki tanggung jawab
untuk tidak mengingkari apa yang telah disepakati dalam kontrak, sehingga jika
pelanggaran itu terjadi maka pihak lain dapat menuntut ke pihak hukum berdasar kontrak
yang telah dibuat bersama. Pesatnya kemajuan teknologi digital dimasa ini, melahirkan
beberapa model bisnis yang kreatif, model bisnis modern tidak hanya memanfaatkan satu
kontrak (akad) bisnis saja, tetapi dengan menyatukan beberapa akad (kontrak) yang
saling berkaitan antar satu akad dengan akad yang lain sehingga menjadi satu kesatuan
sistem bisnis. Dan juga seiring dengan perkembangan ekonomi syariah, khususnya di
Indonesia, maka produk-produk ekonomi syariah pun berkembang dengan baik. Akad-
akad dalam transaksi syariah telah mengalami berbagai inovasi dari beberapa akad yang
ada dalam konsep fikih muamalah yang telah ada. Salah satu inovasi itu yaitu hadirnya
konsep multi akad dalam suatu transaksi. Transaksi dengan bentuk multi akad ini nyaris
terdapat dalam semua produk syariah pada masa ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Hybrid Contract (multi akad) ?
2. Bagaiamana dalil-dalil tentang kebolehan/keharaman Hybrid Contract (multi akad)?
3. Bagaimana praktek Hybrid Contract (multi akad) dalam lembaga keuangan syariah?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian dari Hybrid Contract (multi akad).
2. Untuk memahami dalil-dalil tentang kebolehan/keharaman Hybrid Contract (multi
akad).
3. Untuk memahami praktek Hybrid Contract (multi akad) dalam lembaga keuangan
syariah.
5. 2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hybrid Contract (Multi Akad)
Hybrid contract (multi akad) atau disebut al-‘uqud al-murakkabah (dalam bahasa
Arab), merupakan kebutuhan mendasar dalam praktik perbankan syariah saat ini.1 Multi
dalam bahasa Indonesia berarti banyak, lebih dari satu, lebih dari dua, berlipat ganda.
Dengan demikian, multi akad dalam bahasa Indonesia berarti akad berganda atau akad
yang banyak, atau lebih dari satu.
Dalam istilah fikih, hybrid contract (multi akad) disebut dengan al-‘uqud al-
murakkabah, terdiri dari dua kata, yaitu al-‘uqud dan al-murakkabah.2 Kata al-
murakkabah secara etimologi berarti al-jam’u, yang artinya mengumpulkan atau
menghimpun. Kata murakkab sendiri berasal dari kata rakkaba-yurakkibu-tarkiban yang
mempunyai makna meletakkan sesuatu pada sesuatu yang lain sehingga menumpuk, ada
yang diatas dan ada yang di bawah.
Berpijak dari pemaparan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian multi
akad adalah kesepakatan antara dua pihak untuk melakukan suatu akad yang berisi dua
akad atau lebih yang dilakukan secara bersamaan sehingga akibat hukum dari masing-
masing akad menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Selain istilah al-‘uqud al-murakkabah, ada beberapa istilah lain yang digunakan
ahli fikih yang memiliki hubungan, kemiripan, dan kesamaan dengan pengertian al-‘uqud
al-murakkabah. Istilah-istilah tersebut antara lain al-‘uqud al-mujtami’ah, al-‘uqud al-
muta’addidah, al-‘uqud al-mutakarrirah, al-‘uqud al-mutadakhilah, al-‘uqud al-
mukhtalithah.3Berikut adalah penjelasan pengertian dari beberapa istilah lain yang
mempunyai kesamaan atau mirip dengan murakkab ini.
1. Al-‘Uqud Al-Mujtami’ah
Kata ini mengandung arti terhimpun atau terkumpul, lawan dari terpisah.
Sesuatu yang terhimpun dari beberapa bagian meski tidak menjadi satu bagian
adalah arti dari kata ijtimâ'. Dengan begitu al-'uqûd al-mujtami'ah berarti
terhimpunnya dua akad atau lebih dalam satu akad.
1Rosyadi, Imron, Jaminan Kebendaan Berdasarkan Akad Syariah,(Depok: Kencana, 2017), hal. 21.
2Maulana, Hasanudin, “Multiakad DalamTransaksi Syariah Kontemporer Pada Lembaga Keuangan Syariah Di
Indonesia”,Vol. III. No. 1, Januari , 2011, hal. 157.
3Ibid.,hlm. 159.
6. 3
Selintas terdapat persamaan antara istilah murakkab dan mujtami'ah, yaitu
adanya unsur terhimpunnya beberapa akad dalam satu akad. Namun perbedaannya,
dalam murakkab beberapa akad itu menyatu menjadi satu akad (transaksi) yang
memiliki konotasi (keterkaitan) dan satu akibat hukum. Sedangkan dalam
mujtami'ah, belum tentu adanya penyatuan (peleburan) akad. Artinya, dalam ijtimâ'
beberapa akad itu dapat menyatu menjadi satu akad dan dapat pula akad-akad
tersebut berdiri sendiri. Dalam konteks awal, akad mujtami'ah dapat disebut dengan
salah satu bentuk akad murakkab, sedangkan dalam konteks kedua (tidak melebur
menjadi satu), ia tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk akad murakkab. Contoh
akad mujtami'ah yaitu akad sewa-menyewa (ijârah) dan jual beli (bay').
Oleh sebab itu, pengertian ijtimâ' (mujtami'ah) lebih luas dari pada
murakkab, karena ijtimâ' meliputi murakkab dan bukan murakkab. Para Ulama ada
yang tidak sependapat atas penggunaan istilah ijtimâ’ini. Seperti Al-'Imrânî yang
membedakan istilah murakkab dan mujtami'ah tidak seperti yang diuraikan di atas.
Akan tetapi, Nazih terlihat mempersamakan istilah murakkab dan mujtami'ah.
Dalam beberapa pembahasan, Nazih mencampur adukkan antara istilah akad
murakkab dan akad mujtami'ah.
2. Al-‘Uqud Al-Muta’addidah
Kata ta'addud berarti berbilang dan bertambah. Pengertian Ta'addud secara
terminologi yaitu akad terdapat tambahan jumlah syarat, akad, pelaku, harga, objek,
atau sejenisnya. Istilah ta'addud lebih umum dari pada murakkab. Akad murakkab
yang diartikan sebagai terhimpunnya dua akad atau lebih dalam satu akad
merupakan makna dari terbilang (ta'addud) dalam akad. Bedanya, ta'addud
mengandung persoalan-persoalan yang tidak termasuk dalam tujuan akad murakkab,
seperti berbilangnya dua pihak dalam harga, benda, atau lainnya." Karena itu
terdapat perbedaan mendasar antara murakkab dan ta'addud, dimana murakkab
mengandung konsekuensi satu, sedangkan ta'addud konsekuensinya bisa berbilang.
3. Al-‘Uqud Al-Mutakarrirah
Al-tikrâr berarti berulang. Kata ini digunakan untuk menyatakan adanya
proses terhimpun atau terulangnya sesuatu. Sedangkan secara terminologi al-tikrâr
diartikan sebagai mengulangi sesuatu yang telah dilakukan. Dalam hal akad, al-tikrâr
berarti mengulangi akad yang telah dilakukan sebelumnya. Berbeda dengan
murakkab dalam akad, al-tikrâr berarti mengumpulkan dan maksud yang paling
tetap untuk istilah ini adalah mengulangi akad yang sudah dilakukan dalam beberapa
7. 4
transaksi. Sedangkan dalam murakkab yang terjadi adalah terhimpunnya dua akad
atau lebih menjadi satu akad atau transaksi.
4. Al-‘Uqud Al-Mutadakhilah
Al-tadâkhul secara bahasa berarti masuk (al-wulúj), masuknya sesuatu pada
sesuatu yang lain, menyerupai beberapa hal dan saling melingkupi. Al-tadâkhul juga
berarti masuknya suatu bagian pada bagian yang lain. Arti terakhir ini lebih spesifik
karena yang masuk adalah suatu bagian pada bagian yang lainnya, sedangkan
pengertian pertama lebih luas karena mencakup masuknya sesuatu pada sesuatu
yang lain. Sesuatu itu dapat berupa bagian atau suatu yang utuh.
Dalam terminologi fikih, al-tadâkhul diartikan sebagai terhimpunnya suatu
hal tertentu dalam dua ketentuan hukum agama (syara’) dan cukup hanya melakukan
salah satu ketentuan hukum tersebut. Dari pengertian tersebut, al-tadâkhul
mengandung makna pengumpulan. Akan tetapi pengumpulan akad di sini dapat
terpenuhi dengan salah satu akadnya tanpa akad yang lain. Sementara pada
murakkab, kedua akad lebih tidak dipisahkan satu dari yang lainnya. Keduanya
digabungkan menjadi satu transaksi tersendiri yang berakibat hukum pada objek
transaksi dengan akibat yang satu. Jadi, perbedaan mendasarnya menjadi jelas
bahwa murakkab meniscayakan menyatunya dua atau lebih akad menjadi satu yang
mempunyai akibat hukum yang satu pula (dalam arti tidak bisa dipisahkan), namun
akad-akad tersebut harus dilaksanakan.
5. Al-‘Uqud Al-Mukhtalithah
Kata ini mempunyai arti yang sama dengan al-jam'u. Al-Ikhtilâth berarti
terhimpun, terkumpul, insert (tadâkhul), dan melebur. Seperti contoh seseorang
mencampurkan sesuatu pada yang lain, maka keduanya tercampur atau terkumpul.
Tercampurnya dua hal itu menyebabkan melebur menjadi satu sehingga kedua hal
tersebut tidak dapat dibedakan seperti tercampurnya barang-barang cair, dan bisa
dibedakan seperti dikumpulkannya suatu hewan dengan hewan yang lain.
Multiakad ('uqûd mukhtalithah) mempunyai makna seperti akad murakkab,
yaitu akad-akad yang terhimpun dalam satu akad yang menimbulkan akibat hukum
satu akad.
‘Uqûd mukhtalithah (contract mixed) yaitu akad yang menghimpun
beberapa akad modern di mana satu akad menyatu dengan akad lainnya. Dengan
kata lain akad yang terdiri dari penyatuan beberapa akad yang berbeda menjadi satu
akad. Contoh akad yang mukhtalith yaitu mengontrak rumah. Beberapa akad yang
8. 5
ada di dalamnya adalah akad sewa tempat tinggal, akad bekerja sebagai pembantu,
akad jual beli yang berkenaan dengan makanannya, dan akad wadiah yang
berkenaan dengan penitipan barang-barang (amti'ah).
Akad mukhtalith digunakan pula untuk menyebutkan akad murakkab.
Keduanya memiliki arti yang selaras, hanya berbeda dari sisi kedalaman maknanya
saja. Kata murakkab lebih spesifik dan khusus untuk multiakad daripada kata
mukhtalith yang dapat pula mengandung arti yang lain. Baik akad murakkab
maupun mukhtalith dimaksudkan untuk mengemukakan terhimpunnya beberapa
akad menjadi satu akad dan berkonotasi hukum satu pada objek akadnya.
Adapun jenis-jenis hybrid contract atau multiakad, menurut Al- ‘Imrani dibagi
menjadi lima macam, yaitu al-’uqûd al-mutaqâbilah, al-’uqûd al-mujtami’ah, al-’uqûd
al-mutanâqidhah wa al-mutadhâdah wa al-mutanâfiyah, al-’uqûd al-mukhtalifah, al-
’uqûd al-mutajânisah.4 Dari lima macam tersebut, menurutnya dua macammultiakad
yang umum dipakai, yaitu:al-’uqûd al-mutaqâbilah danal-’uqûd al-mujtami’ah. Berikut
penjelasan dari lima macam multiakad tersebut.
1. Akad Bergantung atau Akad Bersyarat (al-’uqûd al-mutaqâbilah)
Taqâbul menurut bahasa berarti berhadapan. Al-’uqûd al- mutaqâbilah adalah
multiakad dalam bentuk akad kedua merespon akad pertama, di mana kesempurnaan
akad pertama bergantung pada sempurnanya akad kedua melalui proses timbal balik.
Dengan kata lain, akad satu bergantung dengan akad lainnya. Dalam tradisi fikih,
model akad seperti ini sudah dikenal lama dan praktiknya sudah banyak. Banyak
ulama telah membahas tema ini, baik yang berkaitan dengan hukumnya, atau model
pertukarannya; misalnya antara akad pertukaran (mu'âwadhah) dengan akad tabarru’,
antara akad tabarru' dengan akad tabarru' atau akad pertukaran dengan akad
pertukaran. Ulama biasa mendefinisikan model akad ini dengan akad bersyarat
(isytirâth ‘aqd bi ‘aqd). Sebagai contoh , “ saya membeli rumah kamu dengan cara
kredit sebagaimana kamu beli rumah saaya dengan cara kredit pula .”. Selain itu
contoh lain yaitu antara akad pertukaran (mu’awadhah) dengan tabbaru’, antara akad
tabbaru’ dengan akad tabbaru’, atau akad pertukaran dengan akad pertukaran.
2. Akad Terkumpul (al-’uqûd al-mujtami’ah)
4Ali Amin Isfandiar, “Analisis Fiqih Muamalah Tentang Hybrid Contract Model dan Penerapannya Pada
Lembaga Keuangan Syariah”, Vol. 10, No. 2, November 2013, hlm. 214.
9. 6
Al-’uqûd al-mujtami’ah adalah multiakad yang terhimpun dalam satu akad.
Dua atau lebih akad terhimpun menjadi satu akad. Multiakad yang mujtami'ah ini
dapat terjadi dengan terhimpunnya dua akad yang memiliki akibat hukum berbeda di
dalam satu akad terhadap dua objek dengan satu harga, dua akad berbeda akibat
hukum dalam satu akad terhadap dua objek dengan dua harga, atau dua akad dalam
satu akad yang berbeda hukum atas satu objek dengan satu imbalan, baik dalam
waktu yang sama maupun waktu yang berbeda. Contoh dari akad ini yaitu wadiah
dan mudharabah pada giro.
3. Akad Berlawanan (al-’uqûd al-mutanâqidhah wa al-mutadhâdah wa al-mutanâfiyah)
Istilah al-mutanâqidhah, al-mutadhâdah, al-mutanâfiyah memiliki
persamaan, yaitu ketiganya mengandung maksud adanya perbedaan. Tetapi ketiga
istilah ini mengandung implikasi yang berbeda. Mutanaqidhah mengandung arti
berlawanan, seperti pada contoh: seseorang berkata sesuatu lalu berkata sesuatu lagi
yang berlawanan dengan yang pertama. Sedangkan arti etimologi dari mutadhâdah
adalah dua hal yang tidak mungkin terhimpun dalam satu waktu, seperti antara
malam dan siang. Adapun arti dari mutanâfiyah yaitu meniadakan, lawan dari
menetapkan.
Dari pengertian di atas, para ahli fikih merumuskan maksud dari multiakad
(‘uqûd murakkabah) yang mutanâqidhah, mutadhâdah, dan mutanâfiyah, yaitu:5
a. Satu hal dengan satu nama tidak cocok untuk dua hal yang berlawanan, maka
setiap dua akad yang berlawanan tidak mungkin dipersatukan dalam satu akad.
b. Satu hal dengan satu nama tidak cocok untuk dua hal yang berlawanan, karena
dua sebab yang saling meniadakan (menyangkal) akan menimbulkan akibat yang
saling meniadakan pula.
c. Dua akad yang secara praktik berlawanan dan secara akibat hukum bertolak
belakang tidak boleh disatukan (dihimpun).
d. Haram terhimpunnya akad jual beli dan sharf dalam satu akad. Mayoritas ulama
Maliki pendapat bahwa akadnya batal karena alasan ketentuan hukum kedua
akad itu yang saling meniadakan, yaitu dibolehkannya penundaan dan khiyar
dalam jual beli, sedangkan dalam sharf, penundaan dan khiyar tidak dibolehkan.
5Andri Soemitra, Hukum Ekonomi Syariah dan Fiqih Muamalah, (Jakarta Timur: Prenadamedia Group, 2019),
hlm. 51.
10. 7
e. Ada dua pendapat mengenai terhimpunnya jual beli dan ijarah, jual beli dan
sharf dengan satu imbalan (’iwadh). Pertama, dikatakan bahwa kedua akad batal
karena hukum kedua akad berlawanan dan tidak ada prioritas satu akad atas akad
yang lain, karenanya kedua akad itu tidak sah. Pendapat kedua mengatakan, sah
kedua akad dan imbalan dibagi untuk dua akad sesuai dengan harga masing-
masing objek akad. Penggabungan ini tidak membatalkan akad.
f. Terhimpunnya dua akad atas obyek yang memiliki harga berbeda dengan satu
imbalan (‘iwadh), seperti sharf dan bai’ atau menjual barang yang dikemukakan
bahwa akad telah yang mengikat sebelum serah terima, hukumnya sah, karena
keduanya dapat meminta imbalan sebagai harga masing-masing. Oleh karena itu,
kedua akad tersebut boleh dimintai imbalan secara bersamaan.
Dari pendapat ulama di atas disimpulkan bahwa multiakad yang
mutanâqidhah, mutadhâdah, dan mutanâfiyah adalah akad-akad yang tidak boleh
dihimpun menjadi satu akad. Meski demikian, pandangan ulama terhadap tiga bentuk
multiakad tersebut tidak seragam dan berbeda-beda.
4. Akad berbeda (al-’uqûd al-mukhtalifah)
Yang dimaksud dengan multiakad yang mukhtalifah adalah terhimpunnya dua
akad atau lebih yang memiliki perbedaan semua akibat hukum di antara kedua akad
itu atau sebagiannya. Seperti perbedaan akibat hukum pada akad jual beli dan sewa,
dalam akad sewa diharuskan ada ketentuan waktu, sedangkan dalam akad jual beli
sebaliknya. Contoh lain, seperti akad ijârah dan salam. Dalam salam, harga salam
harus diserahkan pada saat akad (fi al-majlis), sedangkan dalam ijârah, harga sewa
tidak harus diserahkan pada saat akad terjadi.
5. Akad sejenis (al-’uqûd al-mutajânisah)
Al-’uqûd al-murakkabah al-mutajânisah adalah akad-akad yang mungkin
dihimpun dalam satu akad, dengan tidak mempengaruhi di dalam hukum dan akibat
hukumnya. Multiakad jenis ini dapat terdiri dari satu jenis akad seperti akad jual beli
dan akad jual beli, atau dari beberapa jenis seperti akad jual beli dan sewa menyewa.
Multiakad jenis ini dapat pula terbentuk dari dua akad yang memiliki hukum yang
sama atau berbeda. Contoh dari akad ini bisa berupa satu macam akad seperti akad
jual beli dengan akad jual beli atau dua akad berbeda namun sejenis seperti akad jual
11. 8
beli dan akad sewa menyewa.
B. Dalil-dalil tentang kebolehan/keharaman Hybrid Contract (multi akad)
Pada status hukum multi akad, ulama berbeda pendapat terutama berkaitan
dengan hukum asalnya. Perbedaan ini mengenai apakah multi akad sah dan
diperbolehkan atau batal dan dilarang untuk diamalkan. Mengenai hal ini, ulama berada
dalam dua pendapat tersebutmembolehkan dan melarang.6
a. Dalil Yang Membolehkan
Mayoritas ulama Hanafiyah, beberapa pendapat ulama Malikiyah, ulama
Syafi’iyah, dan Hambali berpendapat bahwa hukum multi-akad sah dan dibolehkan
menurut syariat islam. Bagi yang membolehkan memiliki alasan bahwa hukum asal
dari akad adalah boleh dan sah, tidak diharamkan dan dibatalkan selama tidak ada
dalil hukum yang mengharamkan atau membatalkannya. Standar pengharaman
multi-akad, yaitu apabila :7
1. Dilarang karena nash agama
2. Medium hilah ribawi
3. Multi-akad menyebabkan jatuh ke riba
4. Multi-akad tersusun dari beberapa akad yang akibat hukumnya saling bertolak
belakang atau berlawanan.
Artinya: “Hukum asal muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil yang menunjukkan
keharamannya”.
b. Dalil Yang Melarang
Percakapan dan perdebatan mengenai keabsahan multi akad ini lahir bukan
tanpa sebab. Sejumlah hadits Nabi setidaknya tiga buah hadits secara lahiriyah
menunjukkan larangan penggunaan multi akad. Contohnya hadits yang berisi
larangan untuk melakukan ba’i dan salaf ( jual beli dan pinjaman ), larangan ba’i
6Imam Malik ibnAnas,Al-Muwadawwanah al-Kubra, juz4 , (Beirut: Dar al-Shadir, 1323 H), cet. Ke-1, hal. 126
7Raja Sakti Putra Harhap, “Hukum Multi Aqad Dalam Transaksi Syariah”, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016, hal. 43.
12. 9
antaini fi ba’i atin (dua akad jual beli dalam satu akad jual beli) dan shafqataini fi
shafqatin (dua transaksi dalam satu transaksi). Rasulullah bersabda:
)أحمد (رواه القروض ربيع تحظ و تمنع هللا صلى هللا رسول قال ,هريرة أبي عن
Artinya: Dari Abu Hurairah, berkata: “Rasulullah melarang jual beli dan pinjaman.”
(HR. Ahmad)8
Hadits nabi Muhammad yang mengatakan:
“Dari Aisyah r.a yang berkata: Rasulullah SAW masuk ke rumahku, lantas saya
bertutur kata kepadanya, lalu rasulullah bersabda: belilah dan merdekakanlah, maka
sesungguhnya wala’ adalah milik orang yang memerdekakannya. Kemudian nabi
berdiri pada waktu sore, lantas beliau memuji Allah dengan sesuatu yang sudah
semestinya untuk dipujikan, kemudian beliau bersabda: apa urusan para manusia,
mereka mensyaratkan beberapa syarat yang tidak terdapat dalam kitabullah. Barang
siapa yang mensyaratkan suatu syarat yang tidak terdapat di dalam kitab Allah adalah
bathil, kendatipun ia mensyaratkan seratus syarat, sebab syarat Allah adalah yang
lebih berhak dan lebih kuat.” (HR. Bukhari)9
Berdasarkan hadits ini, semua akad, syarat, dan janji dilarang selama tidak
serasi dengan apa yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan hadits nabi. Artinya,
akad yang diperbolehkan hanya akad yang telah dijelaskan dalam dua sumber hukum
tersebut.
Kalangan makiyah berpendapat bahwa multi akad merupakan solusi dan
kemudahan yang diperbolehkan dan disyariatkan selama mengandung manfaat dan
tidak dilarang agama. Karena hukum asalnya adalah sahnya syarat untuk semua akad
selama tidak bertentangan dengan agama dan juga berguna bagi manusia. Sedangkan
yang dimaksud dengan al-uqud al-mutaqabillah adalah multi akad dalam bentuk akad
kedua merespon akad pertama.
Imam Malik mengatakan:
بيعة في بيعتين عن نهي سلم و عليه رسوهلل ان ,بلغه انه
8Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, j. 2, (Beirut: Dar al-Ihyai al-Turats al-Araby, 1414
H), cet, ke-3, hal. 178.
9Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismail, Shahih Bukhari,cet, 1, juz III, kitab Al-Ilmiah, (Beirut, Libanon, 1992),
hal. 64.
13. 10
Artinya : Bersumber dari Malik, sesungguhnya dia mendengar bahwa Rasulullah
melarang melakukan jual beli dua kali sekalian.
Nash yang membuktikan kebolehan multi-akad dan akad secara umum dalam surah
Al-Maidah ayat 1:
تعقود با ا أوقو ا اأ منو ا الذين ايها يا
Artinya:” Wahai orang-orang yang beriman penuhilah olehmu akad-akad”.
Akhir kalimat diatas adalah akad-akad (uqud). Dalam ayat ini Allah
memerintahkan supaya orang yang beriman memenuhi akad antar mereka. Kata akad
ini disebutkan secara umum, tidak mengarah pada akad tertentu. Maka, secara prinsip
semua akad diperbolehkan oleh Allah dan orang mukmin wajib memenuhi akad itu.
Maka dari itu, al-Jashas menafsirkan ayat ini bahwa orang mukmin dituntut
memenuhi akad-akad, termasuk akad jual beli , sewa menyewa, nikah, dan semua
yang termasuk dalam kategori akad. Jika ada perbedaan boleh tidaknya suatu akad,
sah dan berlakunya suatu nadzar, ayat tersebut dapat dijadikan dalil, karena
keumuman ayat menunjukkan kebolehan semua bentuk akad, termasuk akad
penjaminan (kafalah), sewa menyewa, jual beli, dan sebagainya.10
Kebolehan multi akad yang dilandaskan atas prinsip hukum asal dari akad
adalah boleh dan hukum multiakad diibaratkan dengan hukum akad-akad yang
membangunnya, harus memperhatikan ketentuan-ketentuan agama yang
membatasinya. Artinya, walaupun multiakad diperbolehkan, ada batasan-batasan yang
tidak boleh dilanggar, sebab batasan itu menjadi rambu bagi multiakad agar tidak
terjerumus kepada praktek muamalah yang diharamkan. Batasan-batasan sebagaimana
dijelaskan pada bagian sebelumnya adalah batas bagi praktek multiakad yang tidak
boleh dilalui.
C. Praktek Hybrid Contract (multi akad) dalam Lembaga Keuangan syariah
Berikut beberapa penerapan hybrid contract (multi akad) dalam lembaga keuangan
syariah di Indonesia:
1. Hybrid contracts terkait dengan pajak
10Abu Bakar Ahmad Al-Razi Al-Jashash,AhkamAl-Qur’an, j (Beirut: Dar al-Fikr, tt), cet, ke-1.
14. 11
Banyak produk perbankan dan keuangan syariah yang mengandung hybrid
contracts, seperti Musyarakakah Mutanaqishah/MMq ( kerjasama antara dua pihak
atau lebih untuk kepimilikkan suatu barang atau asset, dimana kerjasama ini akan
mengurangi hak kepimilikkan salah satu pihak sementara pihak yang lain bertambah
hak kepimilikkannya) , Ijarah Muntahiyah bit Tamlik /IMBT (suatu manfaat/jasa
berupa barang yang jelas dalam tempo waktu yang jelas diikuti dengan adanya
pemberian kepemilikkan suatu barang yang bersifat khusus dengan adanya ganti yang
jelas) , pembiayaan take over, pembiayaan rekening koran, line facility, pasar uang
syariah dengan commodity syariah dan ragamlainnya.11 Pejabat dirjen pajak harus
mengerti teori hybrid contracts dengan tepat supaya tidak salah dalam penagihan
pajak.
2. Hybrid contracts terkait dengan akuntansi dan PSAK
Karena dari sekian banyak akad dalam sebuah produk pembiayaan, perlu
diketahui akad mana yang dituliskan dalam pembukuan. Dalam akad MMq
contohnya, apakah akad ijarah atau musyarakah yang dituliskan, demikian pula dalam
hybrid contracts yang lain, seperti kafalah bil ujrah(transaksi jaminan dengan
pengenaan imbal jasa) pada L/C, hiwalah bil ujrah (pengalihan hutang dengan
pengenaan imbal jasa) pada anjak piutang, wakalah bil ujrah (pewakilan dengan
pengenaan imbal jasa) pada factoring, produk gadai yang mengandung tiga akad, rahn
(gadai), qardh(hutang) dan ijarah (kerjasama). Apakah penerapan hybrid contracts
membutuhkan PSAK baru yang lebih relevan dengan teori hybrid contracts.
3. Hybrid contracts yang berkaitan dengan inovasi produk
Bank-bank syariah yang memiliki keinginan untuk mengembangkan dan
menginovasi produk perlu memahami teori hybrid contracts agar bank syariah bisa
unggul dan dapat bersaing dengan konvensional.12 Dengan demikian, peranan hybrid
contracts sangat penting bagi industri perbankan dan keuangan. Jangan sampai terjadi
banker syariah menolak peluang yang halal karena kurangnya keilmuan mengenai
teori-teori pengembangan akad-akad syariah. Untuk itu teori hybrid contracts perlu
digunakan dan dipahami dengan baik agar bank syariah mampu lebih kreatif dan
inovatif dalam mengembangkan produk-produknya. Disamping itu hybrid contracts
11Moh.Mufid, Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer,(Jakarta: Prenadamedia Group, 2018), hlm.
115.
12Umam, Khotibul, Legislasi Fiqih Ekonomi Dalam Produk Perbankan Syariah di Indonesia,(Yogyakarta:
BPFE, 2011), hal. 32.
15. 12
berhubungan dengan manajemen risiko, termasuk risiko hukum, karena itu praktisi
bank syariah mutlak harus memahami teori dan prakteknya.
4. Hybrid contracts terkait dengan putusan hakim di Pengadilan
Keputusan dari arbitrer di Basyarnas terkait dengan risiko hukum. Para hakim
yang menyelesaikan sengketa ekonomi syariah wajib memahami ini. Berapa banyak
putusan pengadilan yang salah, akibat tidak memahami teori hybrid contracts, contoh
kasus pembiayaan take over di Bukit Tinggi. Maka pengacara syariah juga harus
mengerti tentang teori dan praktik hybrid contracts agar tidak salah dalam melihat
akad yang serba hybrid, seperti musyarakah mutanaqishah, pembiayaan take over,
novasi, IMBT, dll.
5. Hybrid contracts terkait dengan struktur draft kontrak
Teori hybrid contracts akan memandu (memberi pedoman) kepada legal
officer dan notaris, akad-akad apapun yang mampu disatukan dalam satu draft
perjanjian (kontrak) dan akad-akad apa saja yang harus dipisahkan. Bahkan sampai
kepada akad-akad apa saja yang harus dinotarilkan dan akad-akad apa saja yang
dibuat di bawah tangan.
6. Hybrid contracts terkait dengan biaya (cost) notaris
Kalau notaris tidak mengerti teori hybrid, maka semua akad-akad dalam satu
produk, akan dikenakan biaya, semakin banyak akad dalam satu produk, maka akan
semakin banyak biayanya. Misalnya produk pembiayaan take over terdiri dari 3 akad,
MMq terdiri dari 4 akad, IMBT terdiri dari 2 akad ditambah wa’ad, kartu kredit terdiri
dari 3 akad, gadai (bisa) terdiri dari 3 akad, ijarah bertingkat (dua akad), begitu juga
ijarah multijasa. Bahkan pembiayaan murabahah bisa terdiri dari 3 akad, murabahah,
wakalah dan jaminan. Berhubung banyaknya akad dalam satu produk, maka teori
hybrid contracts ini harus dipahami notaries dan legal officer dengan baik.
7. Hybrid contracts terkait dengan kesimple-an dan efisiensi
Tanpa memahami teori hybrid contracts selalu terjadi pemborosan (tenaga dan
kertas) dan pengulangan pasal-pasal perjanjian yang tidak perlu. Seringkali terjadi
format-format akad yang terlalu tebal, karena pasal-pasalnya berulang-ulang di setiap
judul akad, dan ini menimbulkan pemborosan tenaga, kertas, dan biaya lainnya,
misalnya yang telah terjadi saat ini dimana praktisi perbankan memisahkan akad
Musyarakah Mutanaqishah dan ijarah, padahal keduanya bisa disatukan, sehingga
lebih efisien dan simple. Demikian pula pada pembiayaan take over, sindikasi dan
lain-lain sebagainya.
16. 13
8. Hybrid contracts terkait dengan regulasi
Para regulator (Bank Indonesia dan para direktur lembaga keuangan syariah di
OJK) harus memahami dengan baik dan tepat teori dan praktek ini supaya tidak salah
dalam membuat aturan. Kesalahan dalam membuat regulasi, akan sangat berbahaya
dan mengganggu pengembangan bank syariah dan LKS.
9. Hybrid contracts terkait dengan hukum positif (harmonisasi) dengan hukum positif
Hal ini termasuk masalah penting, sebab banyak sekali notaris yang salah
paham tentang akad-akad syariah, karena tidak memahami teori syariah tentang
hybrid contracts. Hybrid contracts dirumuskan kadang sebagai makharij (jalan keluar)
untuk mewujudkan sharia compliance yaitu supaya kontraknya halal dan sesuai
syariah, karena itu semua akad itu harus dilaksanakan walaupun kelihatan seperti
berputar (berbelit), tetapi semua itu dimaksudkan untuk kepatuhan kepada syariah,
Dalam prakteknya, terkadang tidak semua akad-akad itu harus dinotarilkan sebagai
akad otentik. Hal ini terjadi misalnya dalam akad pembiayaan KPR melalui
Musyarakah Mutanaqishah, termasuk pembiayaan take over, instrument commodity
syariah untuk pasar uang, pembiayaan multiguna syariah, hedging dengan Islamic
swap, dan sebagainya.
17. 14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Maka dapat disimpulkan bahwa pengertian multi akad adalah kesepakatan dua
pihak untuk melakukan suatu akad yang berisi dua akad atau lebih yang dilakukan secara
bersamaan sehingga akibat hukum dari masing-masing akad menjadi satu kesatuan yang
tidak bisa dipisahkan.
Multi akad memiliki beberapa istilah lain yang diantarnya yaitu al-‘uqud al-
mujtami’ah, al-‘uqud al-muta’addidah, al-‘uqud al-mutakarrirah, al-‘uqud al-
mutadakhilah, al-‘uqud al-mukhtalithah.
Adapun jenis-jenis hybrid contract atau multiakad, menurut Al- ‘Imrani terbagi
dalam lima macam, yaitu al-’uqûd al-mutaqâbilah, al-’uqûd al-mujtami’ah, al-’uqûd al-
mutanâqidhah wa al-mutadhâdah wa al-mutanâfiyah, al-’uqûd al-mukhtalifah, al-’uqûd
al-mutajânisah. Dari lima macam itu, menurutnya, dua macam yang pertama; al-’uqûd
al-mutaqâbilah, al-’uqûd al- mujtami’ah, adalah multiakad yang umum dipakai.
Mayoritas ulama Hanafiyah, sebagian pendapat ulama Malikiyah, ulama
Syafi’iyah, dan Hambali berpendapat bahwa hukum multi-akad sah dan dibolehkan
menurut syariat islam. Bagi yang membolehkan beralasan bahwa hukum asal dari akad
adalah boleh dan sah, tidak diharamkan dan dibatalkan selama tidak ada dalil hukum
yang mengharamkan atau membatalkannya.
18. 15
Dalam firman Allah pada surat al –Maidah ayat 1 memerintahkan agar orang
yang beriman memenuhi akad antar mereka. Kata akad ini disebutkan secara umum,
tidak menunjuk pada akad tertentu. Artinya, secara prinsip semua akad diperbolehkan
oleh Allah dan orang mukmin wajib memenuhi akad itu.
Penerapan Hybryd contract pada beberapa produk perbankan dan keuangan
syariah , seperti Musyarakakah Mutanaqishah (MMq), Ijarah Muntahiyah bit Tamlik
(IMBT), pembiayaan take over, pembiayaan rekening koran, line facility, pasar uang
syariah dengan commodity syariah dan masih banyak lagi. Pejabat dirjen pajak harus
memahami teori hybrid contracts dengan tepat agar tidak salah dalam penagihan pajak.
DAFTAR PUSTAKA
Rosyadi, Imron, (2017).Jaminan Kebendaan Berdasarkan Akad Syariah, Depok: Kencana.
Maulana, Hasanudin, (2011) “Multi akad Dalam Transaksi Syariah Kontemporer Pada
Lembaga Keuangan Syariah Di Indonesia”, Vol. III. No. 1, Januari.
Ali Amin Isfandiar, (2013) “Analisis Fiqih Muamalah Tentang Hybrid Contract Model dan
Penerapannya Pada Lembaga Keuangan Syariah”, Vol. 10, No. 2, November.
Andri Soemitra, (2019) Hukum Ekonomi Syariah dan Fiqih Muamalah, Jakarta Timur:
Prenadamedia Group.
Imam Malik ibnAnas, (1323 H) Al-Muwadawwanah al-Kubra, juz4 ,Beirut: Dar al-Shadir.
Raja Sakti Putra Harhap, (2016) “Hukum Multi Aqad Dalam Transaksi Syariah”, Vol. 1, No.
1, Agustus.
Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal, (1414 H) Musnad Ahmad, j. 2, Beirut: Dar al-Ihyai
al-Turats al-Araby.
Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismail, (1992) ShahihBukhari, cet, 1, juz III, kitab Al-Ilmiah,
Beirut, Libanon.
Abu Bakar Ahmad Al-Razi Al-Jashash, Ahkam Al-Qur’an, j ,Beirut: Dar al-Fikr, tt.
Moh.Mufid, (2018) Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer, Jakarta: Prenadamedia
Group.
Umam, Khotibul, (2011) Legislasi Fiqih Ekonomi Dalam Produk Perbankan Syariah di
Indonesia, Yogyakarta: BPFE.