Makalah ini membahas pemikiran ekonomi Al-Ghazali, cendekiawan muslim abad ke-11. Ia menjelaskan konsep-konsep seperti pertukaran sukarela, evolusi pasar, peran produksi dan perdagangan dalam perekonomian. Al-Ghazali juga membahas hierarki kebutuhan manusia, sumber-sumber pendapatan, dan perlunya keseimbangan antara kebutuhan dan kemewahan.
7 Indikator Analisis Teknikal Saham Yang Paling Populer.pptx
Pemikiran Ekonomi Al-Ghazali
1. Makalah
Pemikiran Ekonomi Al-Ghazali
( 450 - 550 H/1058 – 1111 M )
Disusun oleh :
Opissen Yudisyus 20100430019
Taofik Hariyanto 20100430035
Arini Dian Rukmana 20100430018
Restika Cahya Ningsih 20100430024
EKONOMI KEUANGAN DAN PERBANKAN ISLAM
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2012
2. DAFTAR ISI
Halaman
BAB I Pendahuluan
Latar belakang
Rumusan masalah
Tujuan
1
1
1
2
BAB II Pembahasan
Riwayat Hidup
Karya-karya
Pemikiran Ekonomi
Pertukaran Sukarela dan Evolusi Pasar
Aktivitas Produksi
Barter dan Evolusi Uang
Peranan Negara dan Keuangan Publik
3
3
3
4
6
9
11
13
BAB III Penutup
Kesimpulan
Daftar Pustaka
16
16
17
3. BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia diciptakan oleh Allah Swt dalam bentuk yang paling baik untuk melaksanakn
tugas sebagai khalifah dalam rangka pengabdiannya kepada Allah Swt. Maka dari itu,
tugas manusia sebagai khalifah adalah diberi amanah oleh Allah untuk memberdayakan
seisi dunia dengan sebaik-baiknya demi kesejahteraan seluruh makhluk.
Untuk melaksanakan tugasnya, manusia diberi akal oleh Allah untuk berpikir agar manusia
dapat memperhatikan alam sekitar dan mempergunakan akalnya untuk berbuat kebaikan.
Firman Allah Swt.: “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh
dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat
pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran (QS. Shad [38]:29)”. Dalam hal ini,
Islam memang memerintahkan manusia untuk mencari dan mengembangkan ilmu
pengetahuan.
Kontribusi kaum Muslimin sudah sangat besar dalam kelangsungan dan perkembangan
pemikiran ekonomi. Para kaum Muslimin tersebut tetap berpegang teguh pada Alqur‟an
dan hadits dalam mengemukakan gagasan, konsep dan teori ekonomi. Cendekiawan
Muslim tersebut tetap merespon berbagai tantangan ekonomi yang dihadapi pada waktu-
waktu tertentu. Hal ini berarti bahwa pemikiran ekonomi Islam seusia Islam itu sendiri.
Mereka juga mengambil sedikit pemikiran dari para ilmuwan Yunani, Persia, India, dan
Cina.
Dalam makalah ini, kelompok kami akan membahas pemikiran ekonomi dari salah satu
cendekiawan yang terkenal, yaitu Al-Ghazali. Al-Ghazali tidak memfokuskan pada satu
bidang tertentu. Ia juga memperhatikan pada berbagai studi fiqihnya. Hal ini dikarenakan
ekonomi Islam dengan fiqih Islam tidak bisa dipisahkan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pemikiran ekonomi dari Al-Ghazali?
2. Karya-karya apa saja yang diciptakan oleh Al-Ghazali?
3. Pengaruh apa yang mempengaruhi pemikiran Al-Ghazali?
4. 4. Kontribusi pemikiran ekonomi Al-Ghazali terhadap pemikiran ekonomi modern
saat ini?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui berbagai pemikiran dari Al-Ghazali.
2. Mengetahui karya-karya yang telah dihasilkan oleh Al-Ghazali.
3. Mengetahui ada atau tidaknya pengaruh pemikiran Al-Ghazali terhadap pemikiran
ekonomi barat ?
5. BAB II
PEMIKIRAN EKONOMI AL-GHAZALI
2.1 Riwayat Hidup Al-Ghazali
Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Tusi Al-Ghazali lahir di Tus,
sebuah kota kecil di Khurasan, Iran, pada tahun 450 H ( 1058 M ).
Sejak kecil, Al-Ghazali hidup dalam dunia tasawuf dengan asuhan seorang sufi. Sejak
muda, ia antusias terhadap ilmu pengetahuan dan belajar ditempat yang berbeda,
diantaranya bahasa arab dan fiqih di kota Tus, usul fiqh di kota Jurjan. Kemudian di kota
Baghdad pada tahun 483 H ( 1090 M ), ia aktif mengajar sehingga mendapat
penghormatan menjadi guru besar di Madrasah Nizhamiyah.
Meskipun telah menjadi guru besar, ia masih merasakan kehampaan dan keresahan dalam
dirinya, akhirnya pada tahun 488 H ( 1095 M ), ia sering hidup berpindah-pindah. Kota
pertama yang di tuju yaitu Syiria dengan tujuan untuk merenung, membaca, dan menulis
selama kurang lebih 2 tahun.
Kemudian ke Palestina, Kota Iskandariah, Mesir kemudian kembali ke Tus, pada tahun
499 H ( 1105 M ). Dan di kota Tus, ia mendirikan sebuah Madrasah bagi para fuqaha dan
mutashawwifin. Dan kota tersebut menjadi tempat terakhirnya hingga meninggal dunia
pada tanggal 14 Jumadal Akhir atau 19 Desember 1111 M.
2.2 Karya-karya Al-Ghazali
Al-Ghazali diperkirakan, telah menghasilkan 300 buah karya tulis yang meliputi berbagai
ilmu, seperti logika, filsafat, moral, tafsir, fiqh, ilmu-ilmu Al qur‟an, tasawuf, politk,
administrasi dan perilaku ekonomi. Namun, yang ada hingga kini hanya 84 buah.
Diantaranya adalah Ihya „ulum Al-Din, al Mustashfa, Mizan Al „Amal, Al Tibr Al Masbuk
fi Nasihat Al Mulk
Dan banyak hasil karyanya yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, seperti
Latin, Spanyol, Yahudi, Prancis, Jerman dan Inggris. Dan dijadikan referensi oleh kurang
lebih 44 pemikir barat, seperti Raymond Martin, Thomas Aquinas dan Pascal.
6. 2.3 Pemikiran Ekonomi dari Al-Ghazali
Perhatian Al-Ghazali di bidang ekonomi tertuang dalam berbagai studi fiqihnya, karena
ekonomi islam, pada hakikatnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari fiqh Islam.
Namun, pemikiran-pemikiran ekonominya didasarkan pada pendekatan tasawuf karena,
pada masa hidupnya, orang-orang kaya, berkuasa sulit menerima pendekatan fiqih dan
filosofis dalam mempercayai Yaum Al-Hisab ( Hari Pembalasan ).
Pemikiran sosioekonomi Al-Ghazali berakar dari sebuah konsep maslahat atau
kesejahteraan sosial atau uitilitas ( kebaikan bersama ), yakni sebuah konsep yang
mencakup semua aktifitas manusia dan membuat kaitan yang erat antara individu dengan
masyarakat.
Kesejahteraan (maslahah) dari suatu masyarakat tergantung kepada pencarian dan
pemeliharaan lima tujuan dasar ( maqasyid syariah ), yakni agama (al-diin), hidup atau
jiwa (nafs), keluarga atau keturunan (nasl), harta atau kekayaan (maal) dan intelek atau
akal (aql).
Dilihat dari utilitarianisme ,mereka melihat maksimalisasi dari utilitas sebagai kriteria
moral untuk organisasi dalam masyarakat. Menurut para utilitarian, seperti Jeremy
Bentham (1748-1832) dan John Stuart Mill (1806-1876), masyarakat harus bertujuan
untuk memaksimalisasikan jumlah utilitas dari individual, bertujuan untuk “kebahagiaan
terbesar untuk jumlah terbesar”.
Dalam ekonomi neoklasik, rasionalitas didefinisikan secara tepat dalam istilah dari
kebiasaan maksimalisasi utilitas dibawah keadaan ekonomi tertentu. Sebagai kebiasaan
usaha hipotetikal, utilitas tidak membutuhkan adanya keadaan mental seperti
“kebahagiaan”, “kepuasan”, dll.
Utilitas digunakan oleh ekonom dalam konstruksi sebagai kurva indiferen, yang berperan
sebagai kombinasi dari komoditas yang dibutuhkan oleh individu atau masyarakat untuk
mempertahankan tingkat kepuasan. Utilitas individu dan utilitas masyarakat bisa dibuat
sebagai variabel tetap dari fungsi utilitas (contohnya seperti peta kurva indiferen) dan
fungsi kesejahteraan sosial. Ketika dipasangkan dengan komoditas atau produksi, fungsi
ini bisa mewakilkan efisiensi Pareto, yang digambarkan oleh kotak Edgeworth dan kurva
kontrak. Efisiensi ini merupakan konsep utama ekonomi kesejahteraan.
7. Fungsi kesejahteraan sosial dalam hierarki utilitas individu dan sosial menurut Al-Ghazali
:
kebutuhan (daruriat )
kesenangan atau kenyamanan (hajat)
kemewahan (tahsinaat)
Fungsi kesejahteraan sosial dalam hierarki utilitas individu dan sosial menurut Al-Ghazali
:
Kebutuhan (daruriat ) yaitu kebutuhan terhadap makanan, pakaian, dan rumah.
Namun, kebutuhan tersebut cenderung fleksibel, mengikuti waktu dan tempat serta
bisa mencakup kebutuhan sosiopsikologis
Kesenangan atau kenyamanan (hajat) terdiri dari semua kegiatan dan hal-hal yang
tidak membahayakan bagi lima tujuan dasar, tetapi dibutuhkan untuk
menghilangkan rintangan dan kesukaran dalam hidup.
kemewahan (tahsinaat), mencakup kegiatan-kegiatan yang tidak sekedar
kenyamanan saja, meliputi hal-hal yang melengkapi, menerangi atau menghiasi
hidup
Tiga alasan mengapa seseorang harus melakukan aktivitas-aktivitas ekonomi :
untuk mencukupi kebutuhan hidup
untuk mensejahterakan keluarga
untuk membantu orang lain yang membutuhkan
Al-Ghazali menyatakan bahwa pendapatan dan kekayaan seseorang berasal dari tiga
sumber :
• pendapatan melalui tenaga individual
• laba perdagangan
8. • pendapatan karena nasib baik, seperti melalui warisan, menemukan harta
terpendam atau mendapat hadiah.
Al-Ghazali mengkritik orang-orang yang usahanya hanya untuk memenuhi tingkatan
sekedar penyambung hidupnya. Namun, ia memandang wajar manusia yang selalu ingin
lebih selama untuk memenuhi kebutuhan dan persiapan di masa depan. Tetapi, jika
semangat selalu ingin lebih ini menjurus kepada keserakahan dan pengejaran nafsu
pribadi, hal ini harus dilarang
2.3.1 Pertukaran Sukarela dan Evolusi Pasar
Secara mengejutkan, AL-Ghazali menyuguhkan pembahasan terperinci tentang peranan
dan signifikansi aktifitas perdagangan yang dilakukan dengan sukarela,serta proses
timbulnya pasar yang berdasarkan kekuatan permintaan dan penawaran untuk menentukan
harga dan laba, bagi AL-Ghozali pasar berevolusi sebagai bagian dari hukum alam segala
sesuatu, yakni sebuah eksperesi berbagai hasrat yang timbul dari diri sendiri untuk saling
memuaskan kebutuhan ekonomi, seperti halnya petani juga membutuhkan tukang kayu dan
pandai besi.
Imam Ghazali juga secara eksplisit menjelaskan perdagangan regional. Kata Ghazali:
“Selanjutnya praktek-praktek ini terjadi di berbagai kota dan negara. Orang-orang
melakukan perjalanan ke berbagai tempat untuk mendapatkan alat-alat makanan dan
membawanya ke tempat lain. Urusan ekonomi orang akhirnya diorganisasikan ke kota-
kota di mana tidak seluruh makanan dibutuhkan. Keadaan inilah yang pada giliran
menimbulkan kebutuhan alat transportasi. Terciptalah kelas pedagang regional dalam
masyarakat. Motifnya tentu saja mencari keuntungan. Para pedagang ini bekerja keras
memenuhi kebutuhan orang lain dan mendapat keuntungan dan makan oleh orang lain
juga. (Ihya, III:227).
Dengan demikian AL-Ghazali menyatakan jelas-jelas mutualitas dalam pertukaran
ekonomi yang mengharuskan spesialisasi dan pembagian kerja menurut daerah dan
sumberdaya. Ia juga menyadari pentingnya perdagangan untuk memberikan nilai tambah
terhadap barang-barang karena perdagangan membuat barang-barang dapat dijangkau pada
waktu dan tempat di mana dibutuhkan. Al-Ghazali juga menyebutkan perlunya perlunya
9. rute perdagangan yang terjamin dan aman, serta negara seharusnya memberikan
perlindungan sehingga pasar dapat meluas dan perekonomian dapat tumbuh.
a. Permintaan, penawaran, harga, dan laba
Sepanjang tulisannya ia berbicara mengenai harga yang berlaku seperti yang ditentukan
oleh praktik-praktik pasar.Sebuah konsep yang dikemudian hari dikenal sebagai al-
tsamanal-adil (harga yang adil) dikalangan ilmuan muslim atau equilibrium price (harga
keseimbangan) dikalangan ilmuwan eropa kontemperer.
Al-Ghazali juga menjelaskan permintaan dan penawaran. Untuk kurva penawaran yang
“naik dari kiri bawah ke kanan atas” dinyatakan oleh dia sebagai “jika petani tidak
mendapatkan pembeli dan barangnya, ia akan menjualnya pada harga yang lebih murah”.
Gambaran grafis dari pernyataan Al-Ghazali ini adalah sebagai berikut :
Pada tingkat harga P1, jumlah barang yang ditawarkan oleh penjual adalah sebesar Qs1,
sementara jumlah barang yang diminta adalah hanya sebesar Qd1. Dengan demikian, sang
petani tidak mendapatkan cukup pembeli. Untuk mendapatkan tambahan pembeli, maka
sang petani menurunkan harga jual produknya, dari P1 menjadi P*, sehingga jumlah
pembelinya naik dari Qd1 menjadi Q*.
Sementara untuk kurva permintaan yang “turun dari kiri atas ke kanan bawah” dijelaskan
oleh dia sebagai “harga dapat diturunkan dengan mengurangi permintaan”. Secara grafis,
hal ini dapat digambarkan sebagai berikut :
P
1
P
*
Qd1 Q* Qs1 Jumlah
Equilibrium Price
Harga S
D
10. Pada mulanya harga yang diminta oleh petani adalah sebesar P1. Pada harga ini jumlah
permintaan dan penawaran terhadap produk petani tersebut adalah sebesar Q1. Dengan
menurunkan jumlah permintaan dari Q1 menjadi hanya sebesar Q2 (yakni dengan
menggeser kurva permintaan D1 ke kiri bawah menjadi kurva D2), maka tingkat harga
akan turun dari P1 menjadi P2. Dengan demikian harga dapat diturunkan dengan
mengurangi permintaan.
Al-Ghazali juga telah memahami konsep elastisitas permintaan. Ia menyatakan :
“Mengurangi margin keuntungan dengan menjual pada harga yang lebih murah akan
meningkatkan volume penjualan dan ini pada gilirannya akan meningkatkan keuntungan”.
Bahkan ia telah mengidentifikasikan produk makanan sebagai komoditas dengan kurva
permintaan yang inelastis. Ia menyatakan :
“Karena makanan adalah kebutuhan pokok, perdagangan makanan harus seminimal
mungkin didorong oleh motif mencari keuntungan untuk menghindari eksploitasi melalui
penggenaan harga yang tinggi dan keuntungan yang besar. Keuntungan semacam ini
seyogyanya dicari dari barang-barang yang bukan merupakan kebutuhan pokok”.
b. Etika perilaku pasar
Dalam pandangan AL-Ghazali pasar harus berfungsi berdasarkan etika dan moral para
pelakunya. Ia memperingatkan larangan mengambil keuntungan dengan cara menimbun
makanan dan barang-barang kebutuhan dasar lainnya. Ia menganggap iklan palsu itu
sebagai salah satu kejahatan pasar dan harus dilarang.Lebih jauh ini,ia memperingatkan
S
P1
P2
Q2 Q1 Jumlah
Harga
D1
D2
11. para pedagang agar tidak memberikan informasi yang salah mengenai berat,jumlah atau
harga barang penjualannya.
2.3.2 Aktifitas Produksi
Al Ghazali memberikan perhatian yang cukup besar ketika menggambarkan berbagai
macam aktifitas produksi dalam sebuah masyarakat,termasuk hirarki dan karakteristiknya.
Fokus utamanya adalah tentang jenis aktifitas yang sesuai dengan dasas- dasar ekonomi
islam.
a. Produksi Barang Kebutuhan Dasar Sebagai Kewajiban Sosial.
Seperti yang telah dikemukakan, Al Ghazali menganggap kerja adalah sebagai bagian dari
ibadah seseorang. Bahkan secara khusus ia memandang bahwa produksi barang barang
kebutuhan dasar sebagai kewajiban sosial (fard al kifayah ). Hal ini jika telah ada
sekelompok orang yang berkecimpung di dunia usaha yang memproduksi barang-barang
tersebut dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan masyarakat , maka kewajiban
mahsyarakat telah terpenuhi. Namun jika tidak ada seorangpun yang melibatkan diri dalam
kegiatan tersebut atau jika jumlah yang diproduksi tidak mencukupi kebutuhan masyarakat
semua akan dimintai pertanggungjawabananya di akhirat.
b. Hirarki Produksi
Secara garis besar ia membagi aktifitas produksi kedalam 3 kelompok berikut :
Industri dasar, yakni industri-industri yang menjaga kelangsungan hidup manusia.
Kelompok ini terdiri dari 4 jenis aktifitas, yakni agrikultur untuk makanan, tekstil
untuk pakaian, konstruksi untuk perumahan, dan aktifitas Negara, termasuk
penyediaan infrakstruktur, khususnya untuk memfasilitasi produksi kebutuhan
barang barang pokok dan untuk meningkatkan kerja sama dan koordinasi pihak
pihak yang terlibat dalam produksi.
Aktifitas penyokong, yakni aktifitas yang bersifat tambahan bagi industri dasar,
seperti industri baja eksplorasi dan pengembangan tambang serta sumber daya
hutan.
Aktifitas komplementer yang berkaitan dengan industri dasar , seperti
penggilingan dan pembakaran produk produk aglikultur.
12. Al Ghazali mengakui kelompok yang pertama adalah kelompok yang paling penting dan
peranan pemerintah sebagai kekuatan mediasi dalam kelompok ini cukup krusial. Dengan
klasifikasi ini, ia percaya bahwa untuk menjamin keserasian sesioekonomi, ketiga
kelompok aktifitas tersebut harus ditingkatkan secara aktif.
c. Tahapan Produksi, Spesialisasi dan Keterkaitannya
Al Ghazali juga mengakui adanya tahapan produksi yang beragam sebelum produk
tersebut dikonsumsi. Selanjutnya ia menyadari adanya kaitan yang sering kali terdapat
pada mata rantai produksi sebuah gagasan yang sangat dikenal dalam pembahasan
kontemporer berkaitan dengan hal ini ia menyatakan “selanjutnya pandai besi membuat
peralatan cangkul bagi petani, dan tukang kayu memproduksi peralatan yang diperlukan
oleh pandai besi. Hal yang sama berlaku bagi mereka yang terlibat dalam produksi
peralatan dan perkakas yang dibutuhkan dalam memproduksi bahan makanan.”
Al Ghazali menguraikan argumennya dengan menggunakan contoh jarum senada dengan
contoh pabrik penitinya adam smith 7 abad kemudian “bahkan jarum yang kecil itu
menjadi berguna hanya setelah melewati tangan tangan penbuat jarum sebanyak 25kali,
setup kali melalui proses yang berbeda.”
Ia juga menawarkan gagasan mengenai spesialisasi dan saling ketergantungan dalam
keluarga. Walaupun menitikberatkan kerja sama dan koordinasi, Al Ghazali mengakui
perihal lingkungan yang kompetetif ketika aktifitas ekonomi berlangsung.
“bila orang hidup dalam suatu masyarakat dan keinginanya terhadap berbagai hal
timbul, aka ada perjuangan untuk keinginan keinginan tersebut. Ada persaingan, tapi
keseimbangan dapat dijaga melalui penggunaan kekuasaan dan pemeliharaan keadilan.”
Ia menggunakan kata “persaingan” dalam istilah yang lebih luas daripada penggunaanya
dimasa sekarang dan menyatakanya bahwa persaingan pada umumnya tidaklah terkutuk
atau dilarang. Lebih jauh, ia mengidentifikasi tiga tingkatan persaingan, yakni persaingan
yang wajib, yang disukai, dan yang dibolehkan. Dalam hal ini persaingan yang wajib
berhubungan dengan kewajiban agama dalam rangka memperoleh keselamatan, persaingan
yang disukai berhubungan denganperolehan barag kebutuhan pokok dan perlengkapan ,
dan juga membantu pemenuhan kebutuhan orang lain, dan persaingan yang dibolehkan
berhubungan dengan perolehan barang barang mewah. Namun demikian, ia menegaskan
13. bahwa persaingan jangan sampai mengakibatkan kecemburuan dan melanggar hak orang
lain.
Disamping itu, menarik pula bahwa Al Ghazali telah mendahului Thomas Malthus
beberapa ratus tahun ketika membahas masalah populasi dan bagaimana mengatur
pertumbuhanya. Ia menyebutkan sedikitnya dua motif ekonomi bagi pengendalian
kelahiran, yaitu beban memiliki keluarga besar dan memungkinkan bahwa beban yang
berlebihan dapat memaksa seseorang menggunakan cara cara haram untuk mencari
kehidupan. Namun, walaupun pengendalian kelahiran dapat diterima ( metode yang
disarankan adalah Azl yaitu senggama terputus), Al Ghazali menyatakan bahwa tindakan
tindakan yang didasari motif seperti itu cenderung menempatkan seseorang dibawah
orang2 yang mulia dan pilihan.
2.3.3 Barter dan Evolusi Uang
Al-Ghazali telah menyadari bahwa salah satu penemuan yang terpenting dalam
perekonomian adalah uang. Ia menjelaskan bagaimana uang mengatasi permasalahan yang
timbul dari suatu pertukaran.
a. Problema Barter dan Kebutuhan terhadap Uang.
Al-Ghazali menjabarkan hal tentang, dalam penciptaan uang dinar dan dirham adalah salah
satu karunia dari Allah yang semua transaksi ekonomi ada didalamnya. Dinar dan dirham
tidak memberikan manfaat secara langsung, akan tetapi orang membutuhkannya untuk
ditukarkan dengan barang lainnya. Contohnya, seseorang mempunyai kunyit, tapi ia juga
membutuhkan unta untuk transportasi. Sedangkan orang lain, mempunyai unta tapi tidak
dibutuhkan sekarang, tetapi menginginkan kunyit. Transaksi barter ini sangat sulit, karena
tidak ada kesamaan diantara keduanya. Jadi, untuk barang-barang seperti ini perlu media
yang dapat menentukan nilai tukarnya secara adil. Maka ditentukanlah misalnya seekor
unta sama dengan 100 dinar dan kunyit dengan jumlah tertentu sama dengan 100 dinar
pula. Namun, dinar dan dirham tidak dibutuhkan semata-mata karena „logamnya‟. Namun,
Dinar dan Dirham diciptakan untuk dipertukarkan dan untuk membuat aturan pertukaran
yang adil dan untuk membeli barang-barang yang memiliki kegunaan.
14. Dari penjelasan tersebut, Al-Ghazali mempunyai wawasan yang sangat komprehensif
mengenai problema barter:
Kurang memiliki angka penyebut yang sama (lack of common denominator),
Barang tidak dapat dibagi-bagi (indivisibility of goods),
Keharusan adanya dua keinginan yang sama (double coincidence of wants)
Ia kembali menegaskan bahwa evolusi uang terjadi hanya karena kesepakatan dan
kebiasaan (konvensi), yakni tidak akan ada masyarakat tanpa pertukaran barang dan tidak
ada pertukaran yang efektif tanpa ekuivalensi, dan ekuivalensi demikian hanya dapat
ditentukan dengan tepat bila ada ukuran yang sama. Al-Ghazali juga menyadaei Nilai
fundamental dari nilai suatu barang tidak hanya utilitas dan kegunaannya, akan tetapi juga
nilainya dalam pertukaran.
b. Uang yang Tidak Bermanfaat dan Penimbunan Bertentangan Dengan Hukum Ilahi.
Dalam hal ini, Al-Ghazali menekankan bahwa uang tidak diinginkan karena uang itu
sendiri, akan tetapi uang akan memiliki nilai jika digunakan dalam suatu pertukaran.
Al-Ghazali mengutuk pada mereka yang menimbun kepingan-kepingan uang (dari emas
dan perak)dan mengubahnya menjadi bentuk lain. Ia mengatakn bahwa, dinar dan dirham
diciptakan untuk mengatur dan memfasilitasi pertukaran, sebagai simbol untuk mengetahui
nilai barang. Barang siapa yang mengubahnya menjadi barang atau peralatan, maka ia
tidak bersyukur pada penciptanya dan lebih buruk dari penimbun uang itu sendiri. Karena
orang yang seperti itu adalah seperti orang yang memaksa penguasa untuk melakukan
fungsi-fungsi yang tidak cocok.
c. Pemalsuan dan Penurunan Nilai Uang.
Al-Ghazali menaruh perhatiannya pada problem yang muncul akibat pemalsuan dan
penurunan nilai dengan mencampur logam kelas rendah dengan koin emas atau perak,
atau memotong/mengikis muatan logamnya. Ia menganggap pemalsuan uang bukan hanya
dosa perseorangan, tetapi juga berpotensi merugikan masyarakat umum.
Mengenai penurunan nilai uang, Al-Ghazali berpendapat bahwa jika terjadi penurunan
nilai uang, maka hal tersebut terjadi karena kecurangan, yang mana pelakunya telah
mencampur kepingan logam yang mengandung sejumlah perak tertentu dengan tembaga.
15. Dan hal tersebut pelakunya harus dihukum. Namun, jika dalam pencampuran logam itu
merupakan hal yang statusnya resmi oleh Negara dan diketahui oleh semua
masyarakatnya, maka hal tersebut dapat diterima. Dengan demikian, akan memunculkan
teori uang feodalistik, yang menyatakan bahwa hak bendahara publik untuk mengubah
muatan logam dalam mata uang merupakan monopoli penguasa feodal.
d. Larangan Riba.
Bagi Al-Ghazali, alasan menentang riba‟ adalah kemungkinan terjadinya terjadinya
eksploitasi ekonomi dan ketidakadilan dalam traksaksi. Beliau juga memberikan alasan
bunga dapat muncul dalam bentuk yang tersembunyi. Pertama, bunga dapat muncul jika
ada pertukaran emas dengan emas, tepung dengan tepung, dan sebagainya, dengan jumlah
yang berbeda (riba al-fadl) atau dengan waktu penyerahan yang berbeda (riba al-nasiah).
Menurut Al-Ghazali kedua hal tersebut haram hukumnya. Jadi, agar kedua hal ini tidak
terjadi pertukaran harus dilakukan dengan kuantitas yang sama dan transfer kepemilikan
harus simultan. Namun, jika pertukaran melibatkan komoditas dengan jenis yang sama,
seperti logam (emas atau perak) atau bahan makanan (gandum atau gerst), hanya riba al-
nasiah yang dilarang, sementara riba al-fadl dibolehkan, bila pertukarannya antara
komoditas dengan jenis yang berbeda (logam dan makanan), keduanya diperbolehkan.
Selanjutnya, Al-Ghazali menyatakan bahwa menetapkan bunga atas utang piutang berarti
membelokkan uang dari fungsi utamanya, yakni untuk mengukur kegunaan objek
pertukaran. Oleh karena itu, bila jumlah uang yang diterima lebih banyak daripada jumlah
uang yang diberikan, akan terjadi perubahan standar nilai.
Selanjutnya Thomas Aquinas mengutuk bunga dan memvonisnya sebagai riba. Orang yang
memperanakkan uang disebut pendosa. Dalam bukunya yang sangat terkenal Summa
Theologica, Aquinas menjelaskan bahwa memungut bunga dari uang yang dipinjamkan
adalah tidak adil sebab ini sama artinya dengan menjual sesuatu yang tidak ada.
Pandangan Thomas Aquinas mirip dengan pandangan dengan aristoteles yang juga
mengutuk bunga hal itu disebabkan dengan bunga, orang memperoleh keuntungan tanpa
usaha dan biaya.
2.3.4 Peranan Negara dan Keuangan Publik
Dalam tata cara urusan negara, Al Ghazali menganggap negara sebagai institusi yang
penting, tidak hanya untuk memfungsikan urusan ekonomi masyarakat, tetapi juga untuk
16. pemenuhan kewajiban sosial sesuai yang diatur oleh wahyu. Menurutnya peranan utama
negara ialah sebagai suatu yang esensial untuk menjaga orang-orang agar hidup bersama
secara harmonis dan dalam kerja sama satu sama lain dalam mencari penghidupan. Ia
menyatakan .
“ Negara dan Agama adalah pilar yang tidak dapat dipisahkan dari sebuah masyarakat
yang teratur. Agama adalah fondasinya, dan penguasa yang mewakili negara adalah
penyebar dan pelindungnya, bila salah satu dari tiang ini lemah, masyarakat akan ambruk”.
a. Kemajuan Ekonomi Melalui Keadilan, Kedamaian, dan Stabilitas
Untuk meningkatkan kemakmuran dan pembangunan ekonomi, Al Ghazali menyatakan
negara harus : menegakkan keadilan, kedamaian, keamanan, aturan yang adil dan
seimbang serta stabilitas.
Lembaga yang bertugas dalam hal ini dinamakan Al Hisbah yang fungsi utamanya untuk
mengawasi praktik-praktik pasar yang merugikan, seperti pengakuan palsu tentang laba,
iklan palsu, timbangan, ukuran yang tidak benar, transaksi barang-barang haram dan lain-
lain. Peranan khusus negara dan penguasa dapat kita ketahui melalui sepuluh prinsip-
prinsip keadilan dan perlakuan yang adil terhadap warga negara, ditulis dalam buku
berjudul Kitab Nasihat Al Mulk ( Buku Nasihat Untuk Para Raja ).
Prinsip-prinsip Keadilan Dalam Kitab Nasihat Al Mulk:
Penguasa untuk tidak menyalahgunakan kekuasaan
Tidak sombong
Tidak terbuai oleh sanjungan
Tidak memperturutkan hasrat-hasrat duniawi
Bersikap waspada terhadap ulama-ulama yang palsu
b. Keuangan Publik
1). Sumber-sumber Pendapatan Negara
Dari Muslim
17. harta tanpa ahli waris yang pemiliknya tidak dapat dilacak, sumbangan
sedekah atau wakaf yang tidak ada pengelolanya
Dari Non-Muslim
Pajak berupa ghanimah (harta rampasan perang), fai (kepemilikan yang
diperoleh tanpa melalui peperangan), jizyah ( imbalan dari dua keuntungan :
pembebasan wajib militer dan perlindungan hak-hak sebagai penduduk), dan upeti
atau amwal al masalih
Pajak untuk pengeluaran publik, sekarang disebut analisis biaya-manfaat. Dengan tujuan
menghindari kerugian yang lebih besar dimasa yang akan datang.
Prinsip perpajakan yang diajarkan benefit –received dan ability-to-pay. Al Ghazali
menyarankan agar pembayar pajak mengetahui pemanfaatan sumber daya mereka.
2). Utang Publik
Al-Ghazali merupakan seorang di antara sedikit ilmuwan pada masanya yang membahas
utang publik sebagai sumber pendapatan negara lainnya. Al Ghazali mengizinkan utang
publik jika memungkinkan untuk menjamin pembayaran kembali dari pendapatan dimasa
yang akan datang. Ia mengatakan:
”Seseorang tidak boleh menafikan bolehnya penguasa untuk meminjam dari rakyat bila
kebutuhan negara menuntutnya. Namun demikian, pertanyaannya adalah: jika penguasa
tidak mengantisipasi pendapatan dalam Baitul Mal yang dapat melebihi apa yang
dibutuhkan bagi tentara dan pejabat publik lainnya, maka atas dasar apa dana-dana itu
dapat dipinjam?
3). Pengeluaran Publik
Al Ghazali menyarankan pengeluaran publik untuk penegakan keadilan,
sosioekonomi,keamanan dan stabilitas negara serta pengembangan suatu masyarakat yang
makmur. Dalam meningkatkan keadilan sosioekonomi, Al Ghazali memilih pembagian
sukarela dan membolehkan intervensi negara sebagai pilihan bila perlu, untuk
18. mengeliminasi kemiskinan dan kesukaran yang meluas. Ia juga menyatakan pengeluaran
publik dapat diadakan untuk fungsi-fungsi seperti pendidikan, hukum dan administrasi
publik, pertahanan dan pelayanan kesehatan serta menekankan kejujuran dan efisiensi
dalam urusan disektor publik.
Mengenai perkembangan masyarakat secara umum, Al-Ghazali menunjukkan perlunya
membangun infrastruktur sosio ekonomi. Ia berkata bahwa:
”sumber daya publik seharusnya dibelanjakan untuk pembuaatan jembatan-jembatan,
bangunan-bangunan keagamaan (masjid), pondokan, jalan-jalan dan aktivitas lainnya yang
senada yang manfaatnya dapat dirasakan oleh rakyat secara umumnya”
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa Al-Ghazali mengakui ”konsumsi bersama” dan
aspek spill-over dari barang-barang publik. Di samping itu, Al-Ghazali menekankan
kejujuran dan efisiensi dalam urusan di sektor publik. Ia memandang perbendaharaan
publik sebagai amanat yang dipegang oleh penguasa, yang tidak boleh bersikap boros.
19. BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Salah satu usaha untuk mencapai kebahagiaan dunia terutama memenuhi kebutuhan
materil, manusia harus bekerja. Dalam Al Qur‟an surat Al Jum‟ah : 10 Allah Swt.
Memerintahkan kaum muslimin untuk bekerja di samping beribadah. Kaum muslimin
boleh memilih jenis pekerjaan apapun yang diinginkan sesuai bakat dan minat masing-
masing, sepanjang tidak mengandung unsur haram. Nilai-nilai sosial keadilan, kebenaran,
kejujuran, persaudaraan, haruslah tertanam pada pelaku ekonomi kaum muslimin agar
sesuai dengan nilai-nilai moral yang merupakan prinsip dasar yang melandasi semua sikap
dan tindakan.
Islam mengatur bentuk-bentuk transaksi seperti jual beli, hutang, dan lain-lain. Hal ini
menunjukkan sifat agama Islam yang sempurna, sampai-sampai masalah yang menjadi
kajian ekonomi mikro sekalipun sudah dibahas dalam Al Qur‟an dan Hadist. Disinilah
kewajiban peran pemerintah untuk mengatur berlangsungnya kehidupan bermasyarakat
agar terjadi keselarasan dalam mencapai tujuan bersama. Salah satu instrumen untuk
mengatur ekonomi makro adalah dengan kebijakan fiskal .Islam memiliki pos-pos baik
pemasukan ataupun pengeluaran keuangan negara yang sifatnya khas seperti zakat, fa‟i,
ghanimah, kharaj, kums, dan lain-lain. Selain dengan sistem fiskal pengaturan ekonomi
makro dalam Islam adalah dengan sistem moneter. Dalam sejarah Islam sistem moneter
Islam adalah standar emas dengan dinar dan dirham. Stabilitas moneter dengan dinar dan
dirham sudah teruji dalam sejarah.
Masalah ekonomi sebagai masalah muamalat selalu berkembang mengikuti perkembangan
zaman. Bentuk-bentuk kelembagaan ekonomi dan jenis-jenis transaksi makin beragam,
berbeda dengan situasi zaman Rasulullah Saw. Untuk mengatasi hal ini Allah Swt
memberikan kebebasan untuk berijtihad terhadap masalah ekonomi yang secara zahir tidak
diatur dalam Al Qur‟an dan Hadist. Pemerintah boleh mengembangkan kebijakan sesuai
tuntutan situasi dan kondisi. Seperti pemikiran ekonomi Al-Ghazali yang banyak dijadikan
referensi oleh pemikir-pemikir ekonomi masa kini.
20. DAFTAR PUSTAKA
Azwar Karim, Adiwarman. 2010. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: Rajawali
Pers
Azwar Karim, Adiwarman. 2011. Ekonomi Mikro Islami Edisi Ketiga, Jakarta: Rajawali
Pers
Deliarnov. 2010. Perkembangan Pemikiran Ekonomi Edisi Ketiga, Jakarta: Rajawali Pers
Muhammad. 2004. Ekonomi Mikro Dalam Perspektif Islam, Yogyakarta: BPFE