1. i
HYBRID CONTRACT / MULTI AKAD
Ditujukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“PERBANKAN SYARI’AH DI INDONESIA”
Dosen Pengampu :
Bakhrul Huda, M.E.I.
Disusun oleh :
1. Ahmad Sobri (G04219003)
2. Andika Anindita Iftinan (G04219007)
3. Avita Agustin Listiawan (G04219012)
PROGAM STUDI EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UIN SUNAN AMPEL SURABAYA
2019
2. ii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim...........
Puji syukur kehadirat Allah Swt, yang Maha Kuasa atas limpahan rahmat-
Nya sehingga kelompok kami dapat menyelesaikan penulisan makalah sesuai
dengan rencana. Shalawat serta salam semoga tetap terhaturkan kepada Rasulullah
Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari kegelapan menuju jalan
terang benderang berupa agama islam.
Makalah disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Perbankan
Syari’ah Di Indonesia dengan judul “Hybrid Contract”.
Dengan terselesaikannya penulisan makalah ini kami mengucapkan terimakasih
kepada :
1. Allah SWT karena hanya dengan seizin-Nya makalah ini dapat
terselesaikan.
2. Bapak Bakhrul Huda, M.E.I. Selaku dosen pembimbing mata kuliah
Perbankan Syari’ah Di Indonesia
3. Serta semua pihak yang terlibat dalam penyusunan makalah ini. Baik
secara langsung atau tidak secara langsung.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam menyusun tugas
makalah ini. Oleh karena itu mengharap kritik dan saran dari pembaca untuk
kesempurnaan penulisan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi
penulis dan pembaca. Amin.
Surabaya, 11 Februari 2020
Kelompok 10
3. iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................ii
Daftar Isi..................................................................................................................iii
BAB I ...................................................................................................................... 4
Pendahuluan ........................................................................................................ 4
A. Latar Belakang.......................................................................................... 4
B. Rumusan masalah..................................................................................... 5
C. Tujuan Masalah........................................................................................ 5
BAB II..................................................................................................................... 6
Pembahasan......................................................................................................... 6
A. Pengertian Akad ....................................................................................... 6
B. Pengertian Hybrid Contract / Multi akad ................................................. 6
C. Macam-Macam Multi Akad ..................................................................... 9
D. Dalil-Dalil Kebolehan/Keharaman Dalam Multi Akad.......................... 11
E. Praktik Multi Akad Dalam Lembaga Keuangan Syari’ah...................... 17
BAB III.................................................................................................................. 19
Penutup .............................................................................................................. 19
A. Kesimpulan............................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 20
4. 4
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dan
mengembangkan industri atau bisnis praktisi telah melakukan berbagai
upaya untuk mecipatakan produk-produk baru. Salah satu pilar penting
untuk menciptakan produk pembiayaan syariah dalam menyahuti tuntutan
kebutuhan masyarakat modern, adalah pengembangan hibryd contract
(multi akad). Bentuk akad tunggal sudah tidak mampu merespon transaksi
keuangan kontemporer.
Produk-produk dalam kegiatan keuangan syariah, jika terhadapnya
dilakukan pencermatan, beberapa atau bahkan sebagian besar ternyata
mengandung beberapa akad (multi akad). Sebagai contoh, dalam transaksi
kartu kredit syariah terdapat akad ijarah, qard, dan kafalah. obligasi
syariah mengandung sekurang-kurangnya akad mudarabah (atau ijarah)
dan wakalah, serta terkadang disertai kafalah atau wa’d. Dalam setiap
transaksi, akad-akad tersebut dilakukan secara bersamaan atau setidak-
tidaknya setiap akad yang terdapat dalam suatu produk tidak bisa
ditinggalkan, karena kesemuanya merupakan satu kesatuan. Transaksi
seperti itulah yang dalam tulisan ini diistilahkan dengan multi akad.
Multi akad merupakan suatu terobosan baru dalam transaksi bisnis
modern, meskipun pada zaman Nabi multi akad ini telah terjadi. Terbukti
adanya hadits Nabi yang melarang praktek multi akad yang tidak sesuai
dengan syari‘at Islam. Dalam kegiatan bisnis modern, transaksi yang
menggunakan multi akad beragam dan bermacam-macam dan sebagian
besar umat membutuhkan transaksi tersebut.
5. 5
B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian akad?
2. Apa pengertian hybrid contract / multi akad?
3. Apa saja dalil-dalil kebolehan / keharaman dalam multi akad?
4. Bagaimana praktik multi akad dalam lembaga keungan syari’ah?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian akad
2. Untuk mengetahui pengertian hybrid contract / multi akad
3. Untuk mengetahui dalil-dalil kebolehan / keharaman dalam multi akad
4. Untuk mengetahui praktik multi akad dalam Lembaga keuangan syari’ah
6. 6
BAB II
Pembahasan
1. Pengertian Akad
Hubungan hukum antara nasabah dengan bank syariah adalah
hubungan kontraktual. Dalam bahasa Indonesia istilah kontrak sama
pengertiannya dengan perjanjian. Kontrak / perjanjian dalam bahasa Arab
disebut dengan akad berasal dari Al-aqdun yang berarti ikatan atau simpul
tali. Kata ‘akad’ secara terminology fikih adalah perikatan antara ijab
(penawaran) dengan Kabul (penerimaan) secara yang dibenarkan syara.1
Dengan adanya suatu akad maka pihak terikat oleh ketentuan hukum
islam yang berupa hak-hak dan pemenuhan kewajiban-kewajiban (iltizam)
yang harus diwujudkan. Oleh karena itu, akad harus dibentuk oleh hal-hal
yang dibenarkan syariah. Sahnya suatu akad menurut hukum islam
ditentukan terpenuhinya rukun dan syarat akad. Rukun adalah sesuatu yang
harus ada dalam kontrak. Sedangkan syarat adalah hal yang sangat
berpengaruh atas keberadaan sesuatu, tetapi bukan merupakan bagian atau
unsur pembentuk dari sesuatu tersebut. Ini berarti apabila syarat tidak ada
maka sesuatu tersebut juga tidak akan terbentuk.2
2. Pengertian Hybrid Contract / Multi Akad
Hybrid contract atau diterjemahkan menjadi multi akad, kata multi
akad terdiri dari dua kata yaitu ‘multi’ dan ‘akad’. Multi dalam Bahasa
Indonesia berarti (1) banyak; lebih dari satu; lebih dari dua; (2) berlipat ganda.
Akad dalam Bahasa Indonesia berarti (1) janji; perjanjian; (2) kontrak.3
Dengan demikian, multi akad dalam Bahasa Indonesia berarti perjanjian
berganda atau kontrak yang banyak, lebih dari satu.
1 A. Shomad. 2010. Hukum Islam Penormaan Syariah dalamHukum Indonesia.Jakarta: Prenada
Media, hlm. 177
2 Gemala Dewi. Aspek-Aspek Hukumdalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia.
Jakarta: Kencana, 2004, hlm. 14
3 Tim penyusun.Op-cit,hlm. 671
7. 7
Sedangkan menurut istilah fikih, kata multi akad merupakan
terjemahan dari kata Arab yaitu Al-’uqûd al-murakkabah yang berarti akad
ganda (rangkap). Al-’uqûd al-murakkabah terdiri dari dua kata al-’uqûd dan
al-murakkabah. Kata ‘aqd secara etimologi artinya mengokohkan, meratifikasi
dan mengadakan perjanjian. Sedangkan secara terminologi ‘aqd berarti
mengadakan perjanjian atau ikatan yang mengakibatkan munculnya
kewajiban. Sedangkan kata Al-murakkabah (murakkab) secara etimologi,
yakni mengumpulkan atau menghimpun.4 Jadi Al-’uqûd al-murakkabah yaitu
perjanjian yang terkumpul atau akad yang menumpuk.
Adapun beberapa definisi tentang multi akad dari beberapa ulama :
1) Nazih Hammad mendefinisikan transaksi multi akad
sebagai berikut:
“Dua pihak bersepakat untuk melaksanakan akad yang
mengandung dua akad atau lebih, seperti jual beli dengan sewa
menyewa, hibah, wakalah, qardh, muzara’ah, sharaf, syirkah,
mudharabah dsb., sehingga semua akibat hukum akad-akad yang
terhimpun tersebut, serta semua hak dan kewajiban yang
ditimbulkannya dipandang seba gai satu kesatuan yang tidak dapat
dipisah-pisahkan, sebagaimana akibat hukum dari akad yang
satu”.5
2) Al-Imrani memberikan definisi yang dekat dengan
definisi “Nazih Hammad di atas sebagai berikut:
Kumpulan sejumlah akad maliyah yang beragam yang terdapat
dalam sebuah transaksi baik secara gabung (al-jam’) ataupun
secara timbal balik (al-taqabul) yang mana seluruh hak dan
4 Hasanudin, ”Multi Akad Dalam Transaksi Syariah Kontemporer Pada Lembaga Keuangan Syariah
di Indonesia”,Multi Akad padaLembaga KeuanganSyariah, (Mei, 2009), 3.
5 Nazih Hammad, al-‘Uqud al-Murakkabah fi al-Fiqh al-Islami (Damaskus: Dar al-Qalam, 2005), hal.
7.
8. 8
kewajiban yang menjadi konsekuensi dari transaksi itu dianggap
seperti akibat dari akad yang satu”.6
Dari definisi di atas dapat diambil beberapa kesimpulan tentang
batasan mengenai transaksi multi akad ini, yaitu bahwa: 1) transaksi multi
akad terjadi antara dua pihak atau lebih, 2) dalam transaksi ini terjadi dua
jenis akad yang beragam atau lebih, 3) beragam akad yang berbeda ini saling
terikat menjadi satu kesatuan akad, hingga seluruh akibat dari berbagai akad
tersebut seolah menjadi akibat dari akad yang satu, 4) jenis transaksi multi
akad dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu akad yang
mensyaratkan terjadinya adanya akad lain (mutaqabalah) dan berkumpulnya
sejumlah akad sekaligus dalam satu transaksi (mujtama’ah).
Terjadinya multi akad dalam transaksi bisa terjadi secara alamiah
(thabi’i) ataupun karena adanya modifikasi terhadap akad (ta’dili).7 Transaksi
multi akad yang alamiah terjadi antara akad pokok (al-‘aqd al-ashli) dan akad
yang mengikutinya (al-‘aqd al-tabi’i).
Di sisi lain, transaksi multi akad yang berupa modifikasi terjadi antara
berbagai akad yang bersifat mandiri tanpa tergantung dengan akad lainnya.
Tujuan adanya modifikasi tersebut di antaranya adalah untuk memudahkan
penerapan akad itu pada produk keuangan syariah, dengan harapan agar
poin-poin yang termuat pada ayat tersebut bisa diamalkan, sehingga praktik
transaksinya bisa sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, atau minimal tidak
bertentangan dengannya.
3. Macam-Macam Multi Akad
Menurut pendapat Imam Abu Hanifah multi akad dibagi menjadi 5
macam, diantaranya sebagai berikut:
6 Abdullah bin Muhammad al-Imrani, al-‘Uqud al-Maliyyah al-Murakkabah (Riyadh: Dar Kunuz
Isybiliya, 2010), hal. 46.
7 Burhanuddin Susamto, “Tingkat Penggunaan Multi Akad dalamFatwa Dewan Syariah Nasional-
Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)” al-Ahkam vol 11 no. 1, Juni 2016, hal. 209-211.
http://dx.doi.org/10.19105/al-ihkam.v11i1.862
9. 9
1) Al-’uqûd al-mutaqâbilah (akad Bergantung/akad Bersyarat)
Al-Mutaqâbilah menurut bahasa berarti berhadapan. Sesuatu dikatakan
berhadapan jika keduanya saling menghadapkan kepada yang lain.
Sedangkan yang dimaksud dengan al-’uqûd al-mutaqâbilah adalah
multi akad dalam bentuk akad kedua merespon akad pertama, di mana
kesempurnaan akad pertama bergantung pada sempurnanya akad
kedua melalui proses timbal balik. Dengan kata lain, akad satu
bergantung dengan akad lainnya.
2) Al-’uqûd al–mujtami’ah (akad Terkumpul)
Al-’uqûd al-mujtami’ah adalah multi akad yang terhimpun dalam satu
akad. Dua atau lebih akad terhimpun menjadi satu akad. Seperti
contoh “Saya jual rumah ini kepadamu dan saya sewakan rumah yang
lain kepadamu selama satu bulan dengan harga lima ratus ribu”. Multi
akad yang mujtami’ah ini dapat terjadi dengan terhimpunnya dua akad
yang memiliki akibat hukum berbeda di dalam satu akad terhadap dua
objek dengan satu harga, dua akad berbeda akibat hukum dalam satu
akad terhadap dua objek dengan dua harga, atau dua akad dalam satu
akad yang berbeda hukum atas satu objek dengan satu imbalan, baik
dalam waktu yang sama atau waktu yang berbeda.
3) Al-’uqûd al-mutanâqidhah wa al-mutadhâdah wa al-mutanâfiyah (akad
berlawanan)
Ketiga istilah al-mutanâqidhah, al-mutadhâdah, al-mutanâfiyah
memiliki kesamaan bahwa ketiganya mengandung maksud adanya
perbedaan. Tetapi ketiga istilah ini mengandung implikasi yang
berbeda. Mutanâqidhah mengandung arti berlawanan, seperti pada
contoh seseorang berkata sesuatu lalu berkata sesuatu lagi yang
berlawanan dengan yang pertama. Seseorang mengatakan bahwa
sesuatu benar, lalu berkata lagi sesuatu itu salah. Perkataan orang ini
disebut mutanâqidhah, saling berlawanan. Dikatakan mutanâqidhah
10. 10
karena antara satu dengan yang lainnya tidak saling mendukung,
melainkan mematahkan.
4) Al-’uqûd al-mukhtalifah (akad berbeda)
Multi akad yang mukhtalifah adalah terhimpunnya dua akad atau lebih
yang memiliki perbedaan semua akibat hukum di antara kedua akad
itu atau sebagiannya. Seperti perbedaan akibat hukum dalam akad jual
beli dan sewa, dalam akad sewa diharuskan ada ketentuan waktu,
sedangkan dalam jual beli sebaliknya. Contoh lain, akad ijârah dan
salam. Dalam salam, harga salam harus diserahkan pada saat akad
berlangsung (fi al-majlis), sedangkan dalam ijârah, harga sewa tidak
harus diserahkan pada saat akad berlangsung. Perbedaan antara multi
akad yang mukhtalifah dengan yang mutanâqidhah, mutadhâdah, dan
mutanâfiyah terletak pada keberadaan akad masing-masing tersebut.
Meskipun kata mukhtalifah lebih umum dan dapat meliputi ketiga
jenis yang lainnya, namun dalam mukhtalifah meskipun berbeda tetapi
tetap dapat ditemukan menurut syariat. Sedangkan untuk kategori
berbeda yang ketiga mengandung adanya saling meniadakan di antara
akad-akad yang membangunnya. Dari pendapat Imam Abu Hanifah
tersebut dapat disimpulkan bahwa multi akad yang mutanâqidhah,
mutadhâdah, dan mutanâfiyah adalah akad-akad yang tidak boleh
dihimpun menjadi satu akad. Meski demikian, pandangan ulama
terhadap tiga bentuk multi akad tersebut tidak seragam.
5) Al-’uqûd al-mutajânisah (akad sejenis)
Al-’uqûd al-murakkabah al-mutajânisah adalah akad-akad yang
mungkin dihimpun dalam satu akad, dengan tidak memengaruhi di
dalam hukum dan akibat hukumnya. Multi akad jenis ini dapat terdiri
dari satu jenis akad seperti akad jual beli dan akad jual beli, atau dari
beberapa jenis seperti akad jual beli dan sewa menyewa. Multi akad
11. 11
jenis ini dapat pula terbentuk dari dua akad yang memiliki hukum
yang sama atau berbeda.
Dari lima macam itu, menurutnya, dua macam yang pertama; al-’uqûd
al-mutaqâbilah, al-’uqûd al–mujtami’ah, adalah multi akad yang
diperbolehkan8
4. Dalil-dalil kebolehan / keharaman dalam multi akad
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa terdapat dua jenis transaksi
multi akad yang biasa digunakan, yaitu transaksi multi akad
bergantung/bersyarat (al-‘uqud al-mutaqabilah) dan multi akad tergabung (al-
‘uqud al-mujtami’ah). Maka pembahasan dalam bagian ini akan dibagi
menjadi dua pembahasan, yaitu transaksi bersyarat akad dan multi akad dalam
satu transaksi.
A. Dalil Transaksi Dengan Syarat Akad di Dalamnya (syarth ‘aqd fi
‘aqd)
Pembahasan mengenai akad bersyarat di dalam transaksi akan
berkisar pada beberapa hadis yang saling bertentangan mengenai
syarat. Beberapa hadis tersebut adalah:
a) Dalil yang Menunjukkan Kebolehan Syarat Akad
1) Dalil dari Jabir bin ‘Abdillah yang diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah membeli unta
darinya dengan syarat ditunggangi oleh Jabir sampai
Madinah.9 Dalil ini juga diriwayatkan oleh Ahmad, Abu
Dawud, Tirmidzi dan al-Nasa’i.
8 Hasanudin. Multi Akad Dalam Transaksi Syariah Kontemporer Pada Lembaga Keuangan Syariah di
Indonesia.Makalah Ekonomi Islam Edisi 28 Mei 2009. UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2009, Hlm.
3 – 4
9 Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (Kairo: Makniz, tt.), hal. 747-748.; Muslim
bin Hajjaj al-Naisaburi, Shahih Muslim (Kairo: Makniz, tt.), hal. 821-823.
12. 12
2) Hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ahmad, dan Abu
Dawud bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
َينِمِل ْس
ُ ْ
اْل َنْيَب ٌزِائ َج ُح
ْ
لُّالصى
َ
لَع
َنو ُمِل ْس
ُ ْ
اْلَو ا ًامَر َح َّل َح
َ
أ ْو
َ
أ
ً
ال
َ
ال َح َمَّر َحا ًح
ْ
لُص
َّ
الِإ
ا ًامَر َح َّل َح
َ
أ ْو
َ
أ
ً
ال
َ
ال َح َمَّر َحا
ً
طْر
َ
ش
َّ
الِإ ْمِه ِوطُر
ُ
ش
Janji perdamaian itu diperbolehkan di antara sesama
muslim, kecuali perjanjian yang mengharamkan yang
halal atau menghalalkan yang haram, sesama muslim
itu konsisten dengan syarat-syarat mereka kecuali
syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram.
b) Dalil yang Melarang Adanya Syarat Akad.
1) Hadis yang dikenal dengan istilah hadis Barirah,
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, bahwa
Rasulullah saw. pernah bersabda:
ِاب َت ِك ىِف َسْي
َ
ل ا
ً
طْر
َ
ش
َ
طَر
َ
ت
ْ
اش ِن َم ِ
َّ
اَّلل ِاب َت ِك ىِف ْت َس ْي
َ
لا
ً
وطُر
ُ
ش
َنو
ُ
طِر
َ
ت
ْ
ش َي ٍاس
َ
ن
ُ
أ ُال َبا َمُُ
َ
ل َسْي
َ
ل
َ
َ ِ
َّ
اَّلل
ِ
َّ
اَّلل
ُ
طْر
َ
ش ٍةَّر َم
َ
ة
َ
ائ ِم
َ
طَر
َ
ش ْنِإَوُق
َ
ثْو
َ
أَو ُّق َح
َ
أ
Kenapa manusia membuat syarat-syarat yang tak ada di
dalam Kitabullah, siapa yang membuat syarat-syarat
yang tak ada di dalam Kitabullah maka syarat itu tidak
berlaku baginya, meski ia menegaskannya seratus kali.
Syaratnya Allah itu lebih berhak dan lebih kuat.
2) Hadis dari Abdullah bin Amru bin al-‘Ash yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ahmad, Tirmidzi dan
Nasa’I bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
َسْي
َ
لا َم ُعْيَب
َ
الَو ْن َمْض
َ
ت ْم
َ
لا َم ُحْبِر
َ
الَو ٍعْيَب ىِف ِان
َ
طْر
َ
ش
َ
الَو ٌعْيَبَو
ٌ
ف
َ
ل َس ُّل ِحَي
َ
الََِْْع
13. 13
Tidak halal akad salaf (qardh) bersama akad bai’, dan
juga dua syarat dalam satu akad bai’, dan keuntungan
yang tidak kamu jamin, dan menjual apa yang tidak
kamu miliki.
Dalam hadis-hadis di atas, dan baik dari hadis yang membolehkan
ataupun yang melarang terdapat hadis yang bersifat umum dan bersifat
khusus.
Hadis kebolehan syarat akad. Hadis pertama bersifat khusus, secara
jelas menyatakan terjadinya syarat di dalam akad bai’ di masa Rasulullah.
Hadis kedua bersifat umum, mencakup berbagai syarat yang bisa dilakukan,
dengan syarat tidak mengganggu gugat konsep halal dan haram. Perpaduan
antara dua hadis umum dan khusus ini dapat menjadi landasan adanya syarat
di dalam akad, tak hanya terbatas pada akad bai’ saja namun juga berbagai
akad lain selama sesuai dengan petunjuk keumuman hadis yang kedua.
Hadis larangan syarat akad. Hadis pertama juga bersifat umum,
menyatakan batilnya segala syarat apapun yang tak ada di dalam Kitabullah,
baik syarat di dalam suatu akad ataupun syarat yang berada di luar akad. Dan
hadis kedua bersifat khusus, hadis itu jelas menyatakan bahwa tak boleh ada
dua syarat di dalam akad bai’. Bahkan terdapat riwayat lain yang menyatakan
bahwa Rasulullah melarang akad bai’ yang bersyarat.10
B. Dalil larangan multi akad dalam satu transaksi
Pembahasan mengenai hukum transaksi multi akad dalam fikih
akan selalu berkaitan dengan beberapa hadis Rasulullah yang
10 Hadis itu diriwayatkan oleh al-Thabrani dalam Mu’jam al-Awsath, al-Ashbahani dalamMusnad Abi
Hanifah, al-Hakim dalam Ma’rifat Ulum al-Hadits, dan Ibnu Hazm dalam al-Muhalla, seluruhnya
berasal dari Abdullah bin Ayyub al-Qirabi dengan sanadnya dari Abu Hanifah. Namun sanad dari
hadis ini lemah, dan matannya jelas bertentangan dengan hadis dalam bab ini yang lebih kuat (hadis
no. 1).
14. 14
melarang mengenai adanya dua akad dalam satu transaksi, beberapa
hadis itu adalah:
1) Hadis larangan melakukan dua jual beli dalam satu
jual beli
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dengan
sanadnya dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah saw.
bersabda:
ٍةَعْيَب ىِف ِنْيَتَعْيَب ْعِب
َ
ت
َ
الَو ُُ ْعَب
ْ
ات
َ
َ ٍىء ِل َم ى
َ
لَع َت
ْ
ل ِح
ُ
أا
َ
ذِإَو ٌم
ْ
ل
ُ
ظ ِى ِن
َ
غ
ْ
ال ُل
ْ
ط َم
“Mengulur waktu pemayaran hutang padahal ia mampu
adalah sebuah bentuk kezaliman, dan jika hutangmu dialihkan
kepada orang lain maka ikutilah, dan janganlah melakukan dua
jual beli dalam satu jual beli”.11
Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dengan
sanadnya dari Abu Hurairah bahwa ia berkata:
ِ
َّ
اَّلل ُلو ُسَر ى َه
َ
نﷺٍةَعْيَب ىِف ِنْيَتَعْيَب ْنَع
“Rasulullah saw. melarang dua jual beli dalam satu jual
beli”.12
Abu Dawud juga meriwayatkan dengan sanadnya dari
Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda:
ا َبِالر ِو
َ
أا َمُه ُس
َ
كْو
َ
أ ُُ
َ
ل
َ
َ ٍةَعْيَب ىِف ِنْيَتَعْيَب َاع َب ْن َم
“Siapa yang melakukan dua akad jual beli dalam satu
akad maka hendaklah ia mengambil yang paling kecil dari
keduanya atau (ia akan mendapatkan) riba”.13
11 Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi (Kairo: Makniz, tt.) hal. 407.
12 Ibid, 384.
15. 15
2) Hadis larangan melakukan dua akad dalam satu
akad
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan
sanadnya dari ‘Abdullah bin Mas’ud bahwa ia berkata:
ِ
َّ
اَّلل ُلو ُسَر ى َه
َ
نﷺٍة ََ ِاحَو ٍة
َ
ق
ْ
فَص ىِف ِنْيَت
َ
ق
ْ
فَص ْنَع
“Rasulullah saw. melarang dua akad di dalam satu
akad”.14
3) Hadis larangan menyatukan akad bai’ dan salaf
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan
sanadnya dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin al-‘Ash bahwa ia
berkata:
ِ
َّ
اَّلل ُلو ُسَر ى َه
َ
نﷺَم ِحْبِر
ْنَعَو ٍف
َ
ل َسَو ٍعْيَب ْنَعَو ٍةَعْيَب ىِف ِنْيَتَعْيَب ْنَعْم
َ
لا
ْنِع
َ
كَد َسْي
َ
لا َم ِعْيَب ْنَعَو ْن َمْضُي
“Rasulullah saw. melarang dua jual beli dalam satu jual
beli, juga melarang keuntungan dari sesuatu yang tidak
terjamin, dan melarang menjual barang yang bukan
milikmu”.15
Kata ‘naha’ dalam tiga hadis di atas jelas menunjukkan
sebuah pelarangan, dan hukum asal dari larangan adalah
menunjukkan keharaman perkara tersebut, dan selama tidak
ada qarinah yang memalingkan pelarangan ini kepada hal lain
13 Abu Dawud al-Sijistani, Sunan Abi Dawud (Kairo: Makniz, tt.), hal. 682.
14 Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad (Beirut: Muassasah al-Risalah, tt.), jil. 6, hal. 324.
15 Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad, jil. 11, hal. 203.
16. 16
maka ia akan kembali kepada hukum asalnya yaitu keharaman
perkara tersebut.
Mengenai hadis yang ketiga, yang menyatakan bahwa
Rasulullah melarang adanya akad bai’ dan akad salaf atau
qardh dalam satu transaksi, ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah
menyatakan bahwa larangan tesebut untuk menghindari dari
terjerumus ke dalam riba yang diharamkan. Sebagai
contohnya, hal itu terjadi karena seseorang meminjamkan uang
sejumlah seribu (qardh) lalu ia menjual barang yang bernilai
800 kepada orang itu dengan harga 1000 dengan niatan agar ia
bisa mendapatkan uang dua ribu darinya.16
Meski secara tekstual hadis-hadis di atas seolah
menyatakan pelarangan terhadap transaksi multi akad, namun
hadis-hadis tersebut tidak menunjukkan pengharaman terhadap
transaksi multi akad secara umum namun terkhusus kepada
beberapa bentuk multi akad saja, seperti terkumpulnya bai’ dan
salaf (qardh) dalam satu transaksi seperti yang ditunjukkan
pada hadis ketiga, atau tiga jenis penafsiran terhadap hadis
pertama dan kedua di atas.
Jika kembali pada kaidah tentang hukum asal pada
urusan muamalah maka dapat diketahui bahwa hukum asal
pada urusan muamalah adalah boleh kecuali jika ada dalil yang
menyatakan pengharaman atau pembatalannya.17
16 Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin (Dammam: Dar Ibn al-
Jauzi, 1423 H), jil 5, hal. 17-18.
17 Abdullah bin Muhammad al-Imrani, al-‘Uqud al-Maliyyah al-Murakkabah,hal.69-75.
17. 17
5. Praktik Multi Akad dalam Lembaga Keuangan Syari’ah
Diantara banyak produk Bank Syariah yang mengandung multi akad
dan yang sudah lazim dipraktikan, diantaranya adalah pembiayaan
murabahah, ijarah muntahiya bittamlik (IMBT) dan musyarakah
mutanaqishah (MMq).
Murabahah18 yang diterapkan di Bank Syariah adalah perpaduan dua
jual beli dan janji. Dapat dilihat pada produk Murabahah KPP (Kepada
Pemesan Pembeli) - al-Murabahah li al-Amir bi al-Syirā, yang melibatkan
tiga pihak, yaitu pembeli (nasabah), lembaga keuangan (Bank Syariah) dan
penjual (pemilik barang). Jual beli pertama antara Bank Syariah dengan
penyedia barang dan jual beli kedua antara nasabah dengan pihak bank.
Nasabah memesan suatu barang tertentu kepada Bank Syariah, kemudian
Bank Syariah membeli barang tersebut dari penyedia barang, baik secara
langsung atau wakalah kepada nasabah19. Tahap selanjutnya Bank Syariah
menjual barang itu kepada nasabah dengan harga perolehan ditambah
keuntungan yang disepakati. Baik Bank Syariah maupun nasabah saling
berjanji untuk membeli barang sesuai dengan pesanan. Bank Syariah dapat
menjual barang tersebut setelah barang dimiliki bank. Dua akad jual beli dan
janji tersebut dilaksanakan dalam satu transaksi dan tidak terpisah. Dampak
hukum dari transaksi itu, yaitu beralihnya objek jual beli dari Bank Syariah
kepada nasabah.
Ijarah muntahiya bittamlik (IMBT)20 adalah kontrak sewa menyewa
yang diakhiri dengan kepemilikan atas objek sewa. Praktik ijarah muntahiya
bittamlik di Bank Syariah adalah Bank Syariah menyewakan suatu objek sewa
18 Lihat Fatwa DSN-MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000. Ps.116-124 KHES. Ps. 9 PBI No.
7/46/PBI/2005/PBI No. 9/19/PBI/2007. Fatwa DSN-MUI No. 111/DSN-MUI/IX/2017.
19 Akad muarabahah biasanya digabung dengan akad wadi’ah atau akad wakalah,sehingga
melahirkan model akad baru muarabahah wa wadi’ah dan murabahah wa wakalah.
20 Lihat Fatwa DSN-MUI No. 27/DSN-MUI/III/2002. Ps.322-329 KHES. PS.16 PBI No.
7/46/PBI/2005. Butir III.7.d/PBI No. 9/19/PBI/2007. SEBI Nomor 10/14/DPbs tanggal 17 Maret 2008,
Fatwa DSN-MUI NO. 102/DSN-MUI/X/2016.
18. 18
kepada nasabah untuk waktu tertentu dengan harga sewa yang disepakati.
Setelah masa sewa selesai dan semua cicilan dibayar, objek sewa tersebut
beralih kepemilikannya kepada nasabah dengan menggunakan akad baru,
yakni hibah atau jual beli sesuai wa’ad.
Implementasi musyarakah mutanaqishah (MMq)21 dalam operasional
Bank Syariah adalah merupakan kerjasama antara Bank Syariah dengan
nasabah untuk pengadaan atau pembelian suatu barang atau benda, dimana
asset barang tersebut jadi milik bersama. Adapun besarnya kepemilikan dapat
ditentukan sesuai dengan sejumlah modal atau dana yang disertakan dalam
kontrak kerjasama tersebut. Selanjutnya nasabah akan membayar
(mengangsur) sejumlah modal/dana yang dimiliki Bank Syariah. Perpindahan
kepemilikan dari porsi Bank Syariah kepada nasabah seiring dengan
bertambahnya jumlah modal/dana nasabah dari pertambahan angsuran yang
dilakukan nasabah. Hingga angsuran berakhir berarti kepemilikan suatu
barang tersebut sepenuhnya menjadi milik nasabah. Penurunan porsi
kepemilikan Bank Syariah terhadap barang berkurang secara proporsional
sesuai dengan besarnya angsuran.
21 Lihat Fatwa DSN-MUI No. 73/DSN-MUI/XI/2008 dan Lampiran IV SEOJK No.
36/SEOJK.03/2015 Bagian II.1.2.
19. 19
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan
Terjadinya multi akad dalam transaksi bisa terjadi secara alamiah
(thabi’i) ataupun karena adanya modifikasi terhadap akad (ta’dili).
Transaksi multi akad yang alamiah terjadi antara akad pokok (al-‘aqd al-
ashli) dan akad yang mengikutinya (al-‘aqd al-tabi’i).
Menurut pendapat Imam Abu Hanifah multi akad dibagi menjadi 5
macam, diantaranya sebagai berikut:
1) Al-’uqûd al-mutaqâbilah (akad Bergantung/akad Bersyarat)
2) Al-’uqûd al–mujtami’ah (akad Terkumpul)
3) Al-’uqûd al-mutanâqidhah wa al-mutadhâdah wa al-mutanâfiyah
(akad berlawanan)
4) Al-’uqûd al-mukhtalifah (akad berbeda)
5) Al-’uqûd al-mutajânisah (akad sejenis)
Terdapat dua jenis transaksi multi akad yang biasa digunakan,
yaitu transaksi multi akad bergantung/bersyarat (al-‘uqud al-mutaqabilah)
dan multi akad tergabung (al-‘uqud al-mujtami’ah).
Murabahah yang diterapkan di Bank Syariah adalah perpaduan
dua jual beli dan janji. Ijarah muntahiya bittamlik (IMBT) adalah kontrak
sewa menyewa yang diakhiri dengan kepemilikan atas objek sewa.
Implementasi musyarakah mutanaqishah (MMq) dalam operasional Bank
Syariah adalah merupakan kerjasama antara Bank Syariah dengan
nasabah untuk pengadaan atau pembelian suatu barang atau benda,
dimana asset barang tersebut jadi milik bersama.
20. 20
DAFTAR PUSTAKA
A. Shomad. 2010. Hukum Islam Penormaan Syariah dalam Hukum Indonesia.
Jakarta: Prenada Media.
Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi (Kairo: Makniz, tt.).
2013. Ensiklopedia hadits jami' at-Tirmidzi. Jakarta: Almahira.
Fu'ad Abdul Baqi, Muhammad. 2016. Kumpulan Hadits Shahih Bukhari Muslim (Al-
Lu’lu Wal Marjan). Aqwam Medika.
Gemala Dewi. 2004. Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian
Syariah di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Huda, Nurul. Heykal, Mohamad. 2010. Lembaga Keuangan Islam (Tinjauan Teoritis
dan Praktis). Jakarta: Kencana.
Hasanudin. 2009. Multi Akad Dalam Transaksi Syariah Kontemporer Pada Lembaga
Keuangan Syariah di Indonesia. Jakarta.
Mujahidin, Akhmad. 2017. Hukum Perbankan Syariah. Depok: PT Raja Grafindo
Persada.
Nazih Hammad. 2005. al-‘Uqud al-Murakkabah fi al-Fiqh al-Islami. Damaskus: Dar
al-Qalam.
Umam, Khotibul. 2016. Perbankan Syariah (Dasar-dasar dan Dinamika
Perkembangannya di Indonesia). Jakarta: Rajawali Pers.
Usanti, Trisadini P. dkk. 2013. Transaksi Bank Syariah. Jakarta: Bumi Aksara.