Seminar yang dihadiri oleh OC Kaligis dan Chairul Huda memberikan pendapat bahwa anggota DPRD tidak perlu mengembalikan dana tunjangan komunikasi yang telah diterima, karena aturan tersebut tidak berlaku surut. Keduanya beranggapan bahwa pejabat publik tidak boleh digugat atas kebijakan publik yang dilaksanakan.
1. Nomor 21 Tahun 2007. Seminar itu menghadirkan pengacara
senior OC Kaligis dan pakar hukum pidana dari Universitas
Muhammadiyah Jakarta Chairul Huda. Pesertanya seratusan
anggota DPRD kota dan kabupaten se-Indonesia.
Baik OC Kaligis maupun Chairul Huda sama-sama
berpendapat, anggota DPRD tak perlu mengembalikan
rapelan dana tunjangan komunikasi dan operasional pimpinan
itu. Alasannya, asas hukum menganut asas retroaktif yang
menyatakan suatu peraturan perundang-undangan tak berlaku
surut.
2. OC Kaligis juga berpendapat pejabat publik seharusnya dilindungi dari gugatan
baik perdata maupun pidana saat melaksanakan kebijakan publik. Dalam kasus
anggota DPRD menerima dana tunjangan komunikasi yang diatur dalam PP
Nomor 37 Tahun 2006, itu juga dalam rangka melaksanakan kebijakan publik.
“Jangan dikembalikan, Pak,” kata OC Kaligis.
Komentar saya: Pertanyaan untuk OC Kaligis, kebijakan publik yang mana yang
dilakukan anggota DPRD dalam konteks PP Nomor 37 Tahun 2006 dan/atau PP
Nomor 21 Tahun 2007? Yang ada adalah kebijakan kantong sendiri. Mengantongi
rapel tunjangan komunikasi bukan kebijakan publik, melainkan kebijakan
rekening bank sendiri.Senada dengan Kaligis, Chairul Huda juga mengatakan
anggota DPRD tak perlu mengembalikan dana itu. Perintah pengembalian dana
tunjangan komunikasi, lanjutnya, merupakan tindakan kesewenang-wenangan
pemerintah pusat yang harus dilawan. “Bahkan, jika ada yang belum menerima
harus ditagih,” katanya.
3. OC Kaligis juga berpendapat pejabat publik seharusnya dilindungi dari gugatan
baik perdata maupun pidana saat melaksanakan kebijakan publik. Dalam kasus
anggota DPRD menerima dana tunjangan komunikasi yang diatur dalam PP
Nomor 37 Tahun 2006, itu juga dalam rangka melaksanakan kebijakan publik.
“Jangan dikembalikan, Pak,” kata OC Kaligis.
Komentar saya: Pertanyaan untuk OC Kaligis, kebijakan publik yang mana yang
dilakukan anggota DPRD dalam konteks PP Nomor 37 Tahun 2006 dan/atau PP
Nomor 21 Tahun 2007? Yang ada adalah kebijakan kantong sendiri. Mengantongi
rapel tunjangan komunikasi bukan kebijakan publik, melainkan kebijakan
rekening bank sendiri.Senada dengan Kaligis, Chairul Huda juga mengatakan
anggota DPRD tak perlu mengembalikan dana itu. Perintah pengembalian dana
tunjangan komunikasi, lanjutnya, merupakan tindakan kesewenang-wenangan
pemerintah pusat yang harus dilawan. “Bahkan, jika ada yang belum menerima
harus ditagih,” katanya.
4. Ada yang khawatir, ada juga yang tak mau mengembalikan dana tunjangan
komunikasi itu. waktu itu, juga muncul aksi anggota DPRD memberikan kuasa
kepada kantor pengacara OC Kaligis & Associates untuk melakukan uji materi
atas PP tersebut. Bahkan, anggota DPRD Batam Kholik Widiarto mengaku tak
akan mengembalikan tunjangan itu, karena merasa kewajiban itu merupakan
bentuk inkonsistensi pemerintah pusat yang sebelumnya mengesahkan pemberian
tunjangan komunikasi tersebut. “Sampai kiamatpun, saya tak akan
mengembalikan,” katanya sengit.Komentar saya: Goblog kalau mau main keras.
Tipu-menipu lebih baik hasilnya. Bukankah demokrasi itu bagus. Bagus karena
memberi jalan untuk secara legal memperkaya diri sendiri dan teman-teman dari
uang pembayar pajak. Antara politikus (penipu) jangan saling mendahului.Ketua
Adeksi Soerya Respationo mengatakan, seminar tersebut merupakan upaya dari
Adeksi menyikapi persoalan PP 37 Tahun 2006 juncto PP 21 Tahun 2007 agar
anggota DPRD tak terjerat hukum seperti saat sejumlah anggota DPRD di
sejumlah daerah ditahan karena dianggap melanggar PP Nomor 110 Tahun 2000.
5. masalah pengembalian tunjangan komunikasi itu
dalaBagaimana dengan suara-suara dari anggota Adeksi yang
tak ingin mengembalikan tunjangan komunikasi? “Kita kan tak
berpatokan pada keinginan tapi pada aspek hukumnya.
Makanya, kami undang pengacara senior, pakar hukum dan
lainnya sebagai masukan ke Adeksi,” kata Ketua DPRD Batam,
itu.
Komentar saya: Politikus hanya berbicara mengenai aspek
legal. Sedangkan aspek kewarasan dikubur saja.
Adeksi, kata Soerya, akan membahas m rapat pengurus Adeksi,
mendatang. “Setelah semua masukan kami kumpulkan, kami
rapat dan menyikapi ini. Sikap resmi Adeksi akan kami
tentukan nanti,” tukasnya.
6. Berdasarkan PP Nomor 37 tahun 2006 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan
Pimpinan dan Anggota DPRD, anggota DPRD Batam menerima rapelan
tunjangan komunikasi sebesar Rp 64,26 juta per orang. Kemudian, selain itu
Ketua DPRD Batam mendapatkan rapelan dana operasional Rp128,52 juta dan
Wakil Ketua DPRD Rp 68,544 juta.
Kemudian, karena banyak dikecam dan didemo, pemerintah mengeluarkan PP
Nomor 21 Tahun 2007 yang salah satu pasalnya mewajibkan anggota DPRD
yang sudah menerima rapelan dana komunikasi tersebut mengembalikannya
paling lama sebulan sebelum masa jabatan mereka berakhir.
7. Di DPRD Batam sendiri, baru anggota DPRD dari PKS yang
mengembalikan dan mencicilnya. Yang lain, belum mengembalikan
karena ada yang menolak ada juga yang menunggu hingga akhir masa
jabatan. (med)
Yang menarik ialah untuk menunjang PP 21 Tahun 2007 tentang
pengembalian rapel Tunjangan Komunikasi itu dikeluarkan Surat Edaran
(SE) No 700/08/SJ yang isinya „mengancam‟ anggota DPRD yang tidak
mengembalikan dana tunjangan akan dibawa ke jalur hukum.
Namun, sebaliknya, akan diberikan reward bagi yang
mengembalikannya. Bagus juga untuk pembayar pajak. Tetapi sayangnya
di lapangan keputusan Mendagri ini tumpul. Sesama politikus jangan
saling mendahului. Akhirnya Mendagri mengeluarkan SE No
555/3032/SJ, yang isinya membatalkan SE No 700/08/SJ, artinya…..
kalau ada wakil rakyat, yang masih mau mengantongi uang rapel
Tunjangan Komunikasi sudah dibuat legal. Sebentar lagi harus dibuat PP
yang membatalkan PP 21 Tahun 2007 supaya lengkap legalitas
memperkaya konco-konco dengan uang dari pembayar pajak.
8. Asyik bukan?
Sebagai bahan Perenungan:
Pelantikan anggota DPR tahun 2009 ini akan memakan biaya Rp 46
milyar atau setara dengan 144 kg emas. Atau kira-kira 4.5 kali jumlah
emas yang ada di atas tugu Monas. Dalam emas, memang masih
kalah dibandingkan tujangan rumah purna bakti Megawati yang kerja
sebagai presiden hanya 3 tahun lebih.Tetapi jumlah itu tetap banyak,
144 kg emas!! Apalagi jumlah anggota DPR itu hanya 560 orang. Jadi
seorang menelan biaya 260 gram emas. Atau kalau diukur dengan
kambing, maka biaya per orangnya setara dengan 80 ekor kambing.
Banyak juga. Ini baru biaya pelantikan. Nanti ada lagi tunjangan,
gaji, uang saku kalau pergi study banding keluar negri.
9. embaca di koran nada yang sumbang mengenai DPR yang mengawali tugSaya
masnya dengan pengeluaran 144 kg emas atau 80 ekor kambing per orang. Berita
di TV menunjukkan adanya protes mahasiswa. Entah apa yang diprotes. Yang
pasti ditujukan kepada anggota DPR. Mahasiswa ini goblog. Untuk apa
demonstrasi.Lebih baik mereka berkampanye untuk memboikot pemilu.
Tunjukkan apa itu sistem yang bernama demokrasi. Hitler, Mussolini, Truman,
L.B Johnson, Abraham Lincoln adalah produk demokrasi modern. Hitler
menghantarkan 7 juta (9%) etnis Jerman ke alam baka. Yang hidup menjadi
sengsara.
Mussolini 400 ribu (1%), Truman 400 ribu. Johnson dengan perang Vietnamnya
mengirim 58 ribu ke alam baka dan 153 ribu luka-luka pemilihnya. Dan untuk
pahlawan US yang paling
10. disanjung, Abraham Lincoln mengirim 620 ribu (2% dari penduduk US)
ke alam baka. Tragis. Mereka ini dipilih untuk dijadikan ‘pemimpin’
bersama ‘wakil rakyat’ .
Kemudian sang ‘pemimpin’ ini mengirim mereka ke alam baka, dan
untuk pengiriman ini para ‘pemimpin’ dan ‘wakil rakyat’ ini menodong
pembiayaannya kepada yang tinggal.
Demikian banyak penderitaan untuk yang namanya demokrasi. Yang
mati, yang sengsara dan yang diperas.Pemimpin Indonesia lebih baik,
karena mereka tidak mengirimkan rakyatnya ke alam baka, kecuali untuk
kasus Aceh, Timor-Timur, Dwikora, Trikora, dan perang kemerdekaan.
Kenapa perang kemerdekaan dimasukkan? Mmmmm, Malaysia,
Singapore, Brunei dan Suriname tidak perlu perang kemerdekaan untuk
merdeka.Untuk apa menempuh jalan yang perlu pengorbanan? Banyak
yang mati dan cacat untuk hal-hal yang seharusnya tidak perlu ada
pengorbanan. Tetapi karena keahlian politikus memberi semangat,
menggiring sapi-sapi yang mau disembelih dan diperas, mereka (sapi-
sapi ini) bisa dijadikan tumbal dan diperas.
11. Manusia tidak bisa belajar dari sejarah. Sejarah dan ilmu politik sudah ada di
peradaban manusia lebih lama dari pada hukum thermodinamika, siklus
Carnot atau siklus Diesel. Tetapi ilmu politik tidak bisa membawa manusia
kepada kemakmuran. Thermodinamika siklus Carnot, membuat anda bisa
naik mobil dan melakukan perjalanan jauh dengan mudah.Bagaimana dengan
ilmu politik? Demokrasi tetap saja sebagai produk yang gagal dan berguna
bagi politikus saja, selebihnya hanya sapi yang layak disembelih dan diperas.
Apakah manusia ini sudah gila (insane)? Atau hanyalah hubungan eksploitasi
antara politikus dengan sapi-sapinya. Sapi-sapi yang terlalu bebal untuk
belajar dari pengalaman (sejarah) walaupun ratusan tahun lamanya.