1. 3/4/2014 Hizbut Tahrir Indonesia » Blog Archive » Kaidah Mengikuti Ulama Dalam Pengambilan Hukum Syariah
http://m.hizbut-tahrir.or.id/2014/04/03/kaidah-mengikuti-ulama-dalam-pengambilan-hukum-syariah/ 1/6
Kaidah Mengikuti Ulama Dalam Pengambilan Hukum
Syariah
April 3rd, 2014 by solihan
Akhir-akhir ini kita melihat makin hangatnya perbincangan tentang keragaman
fatwa fuqaha dalam satu persoalan, antara yang mengharamkan dan menghalalkan. Akibatnya,
khalayak mengalami kebingungan: ulama manakah yang harus mereka ikuti pendapatnya;
seperti apakah standar yang benar dalam mengambil dan menolak suatu pendapat dari para
ulama? Untuk menjawab pertanyaan yang sangat penting ini, kita akan membahas topik ini dari
beberapa sisi.
1. Prinsip yang ditetapkan oleh syariah dalam memahami dan mengamalkan hukum.
Allah SWT telah menyeru setiap Muslim secara langsung untuk memahami nash-nash syariah
baik ayat al-Quran ataupun teks-teks as-Sunnah serta mengamalkan tuntutan yang terkandung
dalam nash-nash tersebut (Lihat: QS al-Anfal [8]: 20 dan al-A’raf [7]:3).
Pada prinsipnya nash-nash syariah adalah ungkapan berbahasa Arab yang
memiliki dilalah dan makna yang bisa dipahami. Seorang Muslim bisa memahami bahasa al-
Quran, yakni bahasa Arab, secara langsung. Dengan itu ia pun bisa langsung memahami
seruan Asy-Syari’ dari nash-nash tersebut dan mengamalkan tuntutan yang ada di dalamnya.
Hal seperti ini telah dipraktikkan oleh para sahabat Rasulullah saw. Itulah prinsip dalam
persoalan ini bagi setiap Muslim.
Dr. Abdul Karim Zaidan menyatakan dalam kitabnya, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh:
Setiap mukallaf harus menaati Allah dan Rasul-Nya tanpa kecuali.Kewajiban ini tentu
menuntut mereka untuk mengetahui perkara yang disyariahkan Allah SWT baik yang
termaktub dalam al-Quran ataupun yang terangkai dalam ucapan Rasulullah saw.
Mengetahui perkara yang disyariatkan Allah SWT dilakukan dengan merujuk pada nash-
nash al-Quran dan as-Sunnah, mengambil hukum dari keduanya setelah memahami nash-
nash tersebut dan mengetahui maksud yang terkandung di dalamnya. Jika seorang mukallaf
tidak menemukan hukum secara jelas dalam nash-nash tersebut, baru dia beralih pada
ijtihad sebagaimana yang diperintahkan oleh syariah. Lalu berijtihadlah dia dalam koridor
yang ditetapkan syariah. Inilah jalan yang lurus untuk mengetahui dan mengamalkan
hukum-hukum (Al-Wajiz, hlm. 411).
Hanya saja, kebanyakan kaum Muslim kesulitan melakukan itu. Hal ini bisa disebabkan mereka
2. 3/4/2014 Hizbut Tahrir Indonesia » Blog Archive » Kaidah Mengikuti Ulama Dalam Pengambilan Hukum Syariah
http://m.hizbut-tahrir.or.id/2014/04/03/kaidah-mengikuti-ulama-dalam-pengambilan-hukum-syariah/ 2/6
tidak mengetahui bahasa Arab atau kurang mengetahui makna-maknanya secara mendalam,
khususnya setelah banyak kesalahan dalam tata bahasa dan khalayak sudah tidak mengetahui
lagi bahasa Arab yang baik dan benar (fushha). Mereka yang seperti ini membutuhkan orang
lain yang lebih memahami nash-nash syariah. Hal seperti itu dibolehkan di mata syariah
dengan sejumlah patokan tentunya.
Dulu, sekelompok sahabat Rasulullah saw. saling bertanya satu sama lain tentang beberapa
persoalan tertentu yang memang cukup sukar untuk mereka pahami. Rasulullah saw. telah
menyebutkan bertingkatnya pemahaman para sahabat terhadap nash-nash syariah. Rasulullah
saw. bersabda, “Di antara umatku, orang yang paling sayang kepada umatku adalah Abu
Bakar; orang yang paling ketat dalam masalah yang ditetapkan Allah adalah Umar; orang
yang paling pemalu adalah Utsman; orang yang paling mahir dalam membaca Kitabullah
adalah Ubay bin Kaab; orang yang paling memahami hukum faraidh adalah Zaid bin Tsabit;
orang yang paling tahu halal-haram adalah Muadz bin Jabal. Setiap umat memiliki orang
kepercayaan dan orang kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah bin al-Jarrah.” (HR at-
Tirmidzi).
Abdul Karim Zaidan mengatakan:
Jika seorang mukallaf tidak mampu mengetahui hukum-hukum melalui cara ini (yakni
berijtihad sendiri), dia harus bertindak seperti apa yang diperintahkkan Allah SWT, yakni dia
harus bertanya kepada orang yang memiliki pengetahuan tentang hukum Allah dalam
persoalan yang ingin diketahui status hukumnya itu. Allah SWT berfirman dalam QS an-Nahl
ayat 43 (yang artinya): Bertanyalah kalian kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika
kalian tidak tahu (Al-Wajiz, hlm. 411).
2. Perbedaan pendapat dan keragaman fatwa yang dibolehkan dan yang diharamkan.
Sesungguhnya perbedaan pendapat yang terjadi di antara para sahabat Rasulullah saw. dan
diakui oleh beliau adalah dalam persoalan yang memungkinkan adanya keragaman
pemahaman terhadap suatu makna. Rasulullah saw., misalnya, bersabda, “Janganlah seorang
pun shalat Ashar kecuali di Banu Quraidhah.” (HR al-Bukhari dari Ibnu Umar). Para sahabat
Rasulullah saw. berbeda pendapat dalam menyikapi perintah ini: sekelompok sahabat
melaksanakan shalat di perjalanan; sekelompok lainnya tidak melakukan itu karena
berketetapan hendak shalat di perkampungan Banu Quraidzah. Rasulullah saw. mengakui dua
pemahaman ini dan memujinya (Lihat: Ibnu al-Qayyim, I’lam al-Muwaqi’in, 1/203).
Jika nash syariah mengandung keragaman pemahaman maka perbedaan pendapat dalam hal
itu dibolehkan. Lain halnya dengan perkara yang qath’imaknanya dan tidak mengandung
makna ganda. Perbedaan pendapat di dalamnya adalah diharamkan. Misalnya firman Allah
SWT (yang artinya):Dirikanlah shalat (TQS al-Baqarah [2]: 43); Hai orang-orang yang
3. 3/4/2014 Hizbut Tahrir Indonesia » Blog Archive » Kaidah Mengikuti Ulama Dalam Pengambilan Hukum Syariah
http://m.hizbut-tahrir.or.id/2014/04/03/kaidah-mengikuti-ulama-dalam-pengambilan-hukum-syariah/ 3/6
beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika
kalian orang-orang yang beriman (TQS al-Baqarah [2]: 278).
Imam al-Mazari menyatakan dalam kitabnya, Idhah al-Mahshul min Burhan al-Ushul, bahwa
nash yang tidak memberikan ruang ijtihad adalah teks yang menunjukkan hukum dengan
jelas (sharih), disampaikan dalam redaksi yang tidak mengandung kemungkinan lain (Al-
Idhah, hlm. 305).
Al-Asnawi menyatakan dalam kitab Nihayat as-Sul, “Hukum yang memberikan ruang ijtihad
adalah hukum syariah yang bersifat zann menurut syariah. Karena itu keharaman zina dan
meminum khamar serta seluruh persoalan agama yang mutlak (dharuri) berada di luar
ruang ijtihad.” (Nihayat as-Sul, 4/530).
3. Standar syariah dalam memberikan pendapat syar’i atau fatwa.
Beberapa standar syariah yang terpenting adalah:
1) Pendapat tersebut lahir dari dan berpijak pada nash syariah berupa al-Quran dan as-
Sunah yang sahih, dan dalil yang ditunjukkan oleh keduanya yakni Ijmak Sahabat dan Qiyas.
Siapa saja yang memberikan pendapat syariah maka dia harus mengetahui nash-nash syariah,
Ijmak Sahabat dan Qiyas; mengetahui nash-nash yang me-nasakh dan yang di-mansukh;
mengetahui tatacara pen-tarjih-an jika ada dua nash yang jelas-jelas bertentangan, sama saja
apakah dua nash ini adalah hadis dengan hadis, atau hadis dengan al-Quran (Lihat: Abdul
Karim Zaidan, Al-Wajiz, hlm. 402-405).
2) Harus memahami fakta dengan pemahaman yang tepat dan cermat agar bisa
menurunkan nash yang cocok pada fakta tersebut. Karena itu nash-nash yang bercerita
tentang makanan dan minuman yang sangat urgen (dharurat) tidak bisa diturunkan pada
kebutuhan-kebutuhan lain yang tidak sampai pada taraf urgen, misalnya mengambil riba untuk
membeli mobil dan menganggap itu sebagai dharurat syar’I; hal seperti ini menyalahi metode
menurunkan nash-nash terhadap faktanya.
Dalam persoalan maslahat, Allah SWT sajalah yang menetapkan kemaslahatan para hamba,
bukan akal manusia, karena akal itu bersifat kurang dan tidak mampu untuk mengetahui segala
yang bermanfaat dan yang menimbulkan madarat (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 216).
3) Pendapat tersebut tidak boleh menyalahi nash atau pendapat yang jelas-jelas shahih,
yang berasal dari al-Quran dan as-Sunnah. Tidak ada ruang ijtihad dalam perkara yang sudah
ditetapkan oleh nash yang sharih. Jika sebuah ijtihad menyalahi pendapat yang sharih maka
pendapat tersebut harus dibuang jauh-jauh. Imam an-Nawawi berkata, “Seorang mufti dan
qadhi tidak perlu menghiraukan orang yang menentang dirinya jika memang dirinya tidak
menyalahi nash, Ijmak atau Qiyas Jali (Syarh Shahih Muslim, hlam. 2/24).
4. 3/4/2014 Hizbut Tahrir Indonesia » Blog Archive » Kaidah Mengikuti Ulama Dalam Pengambilan Hukum Syariah
http://m.hizbut-tahrir.or.id/2014/04/03/kaidah-mengikuti-ulama-dalam-pengambilan-hukum-syariah/ 4/6
4. Tarjih di antara sejumlah pendapat yang berbeda-beda.
Tarjih itu jika dilakukan oleh orang yang mampu mengkomparasikan sejumlah nash, atau
mengetahui ilmu pengetahuan syar’i, yang memungkinkan dia mengamalkan dalil, meninjaunya
dan men-tarjih salah satu dari dua dalil, maka harus didasarkan pada qarinah tertentu.
Misalnya, ketika memperhatikan dua pendapat, orang tersebut melihat salah satu pendapat
berpijak pada hadis dha’if, maka dia akan meninggalkan pendapat tersebut dan men-
tarjih pendapat yang lain. Contoh lain: orang tersebut memperhatikan dua pendapat, lalu
melihat bahwa salah satu pendapat berpijak pada nash yang sudah di-nasakh, maka dia
meninggalkan pendapat tersebut dan mengikuti pendapat yang kedua. Al-Juwaini
berkata, “Tarjih itu adalah memenangkan sebagian amarat atas sebagian yang lain secara
dzanni. (Al-Burhan, 2:175).
Jika tarjih dilakukan oleh orang awam, itu harus dilakukan dengan tidak menuruti hawa nafsu,
misalnya karena pendapat tersebut lebih mudah atau di dalamnya ada maslahat. Tarjih-nya
harus berpijak pada dua perkara: (1) faktor lebih mengetahui; yakni dengan mendengar dari
orang-orang bahwa si alim fulan itu lebih mengetahui dari yang lain; (2) faktor ketakwaan; ini
juga dengan cara mendengar dan menelusuri hal-ihwal ketakwaan dan kewaraan si alim ini.
Sirajudin al-Armawi menyatakan dalam kitab at-Tahshil min al-Mahshul, “Meminta fatwa tidak
boleh dilakukan kecuali dari orang yang diduga kuat sebagai mujtahid dan wara.” (2/305).
Al-Khudhari berkata dalam kitab Al-Ushul, “Meminta fatwa tidak boleh dilakukan kecuali dari
orang yang diketahui sebagai orang yang berilmu dan bersifat adil. Siapa saja yang
diketahui tidak memiliki salah satu dari dua sifat ini, maka biasanya dia tidak boleh diikuti.”
(hlm. 382).
Karena itu fatwa tidak boleh diambil misalnya dari orang yang terkenal suka canggung
terhadap para pelaku kezaliman dan kefasikan, juga dari orang yang suka duduk-duduk
dengan mereka karena ketakwaan orang seperti itu diragukan (Lihat: QS al-An’am [6]: 68 dan
an-Nisa’ [4]: 140).
Rasulullah saw. bersabda, “Setelahku nanti akan ada para pemimpin; siapa saja yang suka
menemui mereka, membenarkan kedustaan mereka, membantu mereka melakukan
kezaliman, maka orang itu tidak termasuk golonganku, aku bukan termasuk golongannya,
dan dia tidak akan datang kepadaku di telaga.” (HR al-Hakim).
Fatwa juga tidak boleh diambil dari orang yang suka berubah-ubah dalam berfatwa sesuai
dengan hawa nafsu dan kepentingan (Lihat: QS Shad [38]: 26).
5. Pendapat waliyul amri dalam pen-tarjih-an.
Para khalifah radhiyalLahu anhum telah mengadopsi satu pendapat syariah dalam sejumlah
5. 3/4/2014 Hizbut Tahrir Indonesia » Blog Archive » Kaidah Mengikuti Ulama Dalam Pengambilan Hukum Syariah
http://m.hizbut-tahrir.or.id/2014/04/03/kaidah-mengikuti-ulama-dalam-pengambilan-hukum-syariah/ 5/6
persoalan yang diperselisihkan yang dengan itu bisa membentuk dan menjaga persatuan kaum
Muslim. Misalnya, selama masa kekhilafahannya, Abu Bakar mengikuti pendapat jatuhnya talak
tiga sekaligus; Umar mengambil pendapat yang berbeda dengan pendapat Abu Bakar ketika
dia (Umar) memegang jabatan khilafah (tiga talak sekaligus tetap dipandang jatuh satu
talak, red.). Abu Bakar juga dalam posisinya sebagai waliyul amri telah mengambil pendapat
untuk membagikan fai dan ghanimah berupa tanah untuk tentara yang ikut berperang.
Sebaliknya, Umar mengambil pendapat yang berbeda dengan bersandar pada nash syariah,
yakni firman Allah SWT dalam surat al-Hasyr: 10).
Seorang waliyul amri boleh mengikuti satu pendapat dalam pen-tarjih-an, kemudian
memberlakukan pendapat tersebut kepada seluruh kaum Muslim untuk menyatukan pendapat
mereka dengan pendapatnya ini. Syaratwaliyul amri yang memiliki wewenang seperti itu
adalah orang yang benar-benar mengurus urusan kaum Muslim, yakni amirul mukminin, atau
khalifah kaum Muslim. Ketaatan kepada waliyul amri ini dikaitkan dengan ketaatan pada Allah
dan Rasul-Nya (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 59). Disyaratkan pula agar terpenuhi sifat waliyul
amri dari sisi bahwa dia diserahi urusan kaum Muslim melalui metode yang sah menurut
syariah. Juga disyaratkan agar dia adalah seorang Muslim yang telah memenuhi syarat-
syarat in’iqad yang sah menurut syariah.
Imam al-Qarafi menyatakan dalam kitab Anwar al-Buruq fi Anwa’ al-Furuq, “Seorang imam
ketika memegang otoritas publik terhadap rakyatnya, diharuskan untuk mencegah timbulnya
ketidakharmonisan dan pertentangan serta menghilangkan perbedaan di tengah-tengah
umat. Inilah salah satu kewajiban terpenting yang dia tanggung.” (2/103).
Inilah uraian singkat mengenai tatacara mengambil pendapat yang syar’i. Seorang Muslim
harus memperhatikan betul dari siapa dia mengambil agamanya. Ingatlah, setiap orang akan
berdiri di hadapan Allah SWT dan akan ditanyai tentang segala sesuatu baik yang besar
ataupun yang kecil. Ketidaktahuannya tidak bisa dijadikan alasan karena dia telah diwajibkan
untuk bertanya kepada orang yang tahu dari kalangan orang bertakwa dan berilmu (Lihat: QS
an-Nahl [16]: 43).
Kami memohon kepada Allah SWTagar kami termasuk orang yang mendengarkan pendapat
dan kemudian mengikuti pendapat terbaik. Akhir doa kami adalah pujian bagi Allah, Tuhan
semesta alam. [Hamad Thabib-Baitul Maqdis]; [Diterjemahkan dan disarikan oleh Dede
Koswara, Staff Pengajar Ma’had al-Abqary Serang]
Baca juga :
1. Dauroh Ulama Pekanbaru: “Peran Ulama dan Muballigh dalam Menegakkan Syariah
& Khilafah”
6. 3/4/2014 Hizbut Tahrir Indonesia » Blog Archive » Kaidah Mengikuti Ulama Dalam Pengambilan Hukum Syariah
http://m.hizbut-tahrir.or.id/2014/04/03/kaidah-mengikuti-ulama-dalam-pengambilan-hukum-syariah/ 6/6
2. DSI Ulama Semarang: Peran Ulama Dalam Penegakan Syariah dan Khilafah
3. Gegap Gempita Seruan Syariah dan Khilafah dari Ulama Garut dalam Acara Liqo
Syawal Ulama 1433 H
4. Wewenang Khalifah Mangadopsi Hukum Syariah
5. Pentingnya Peran Ulama dalam Menegakkan Khilafah