Cerita ini menceritakan pertemuan kembali antara seorang penulis dengan teman lamanya setelah lima tahun tidak bertemu. Teman lamanya menghilang tiba-tiba setelah sidang yudisium kuliahnya dulu karena ayahnya dituduh teroris. Kini mereka bertemu kembali dan temannya menceritakan alasan kepergiannya yang tiba-tiba beserta pengalamannya selama lima tahun di luar negeri.
5. 5
Ketika udara
Jadi teman bicara
Dan indahnya bulan purnama
Tak lagi kita lihat
Dari sudut yang sama
Barangkali memang itulah
Yang terbaik bagi kita
Meski perih
Meski sepi
Sebab apa-apa
Yang baik menurut kita
Tak selalu baik
Menurut Tuhan
Begitu sebaliknya
Ia yang Maha Tahu
Dan kita bodoh
6. 6
Jadi, tersenyumlah
Resapi segala keromantisan-Nya
Dan menjelmalah kita
Menjadi apa
Yang disebut Muhammad Iqbal
‘Tuhan Kecil’
Agar ketika Ia
Mengambil keputusan
Ia akan ‘mendiskusikannya’
Terlebih dahulu
Dengan kita
7. 7
1
Renjana
Depok, 1 Maret 2014
Belum ada kata ‘apa kabar’ atau sekadar ‘hai’ yang terucap dari
kamu maupun aku, yang menandakan bahwa percakapan kita
harus segera dimulai. Seolah ada kekuatan lain yang hadir,
memaksa kita untuk bungkam. Kamu, yang biasa berekspresi
ini-itu tanpa ragu, mengapa tak bicara lebih dulu? Dan aku,
mengapa aku mendadak gagu?
Aku menangkap pesan dari ekspresi itu, sinyal serupa yang
coba kita pancarkan dengan gelombang masing-masing: kita
sama-sama tak tahu jawabnya apa.
Tiga menit berlalu. Seratus delapan puluh detik yang kita
habiskan dengan mulut terkunci, dan entah kenapa kita masih
betah di sini. Aku sendiri masih nyaman dengan kamu yang
diam. Kali ini, tiada resah atau gundah yang bisa jadi alasan
untuk pergi duluan.
“Kamu masih rajin nulis, Dek?”
Kebisuan yang telah kita bangun akhirnya pecah oleh
kalimat tanya yang begitu terkesan dibuat-buat. Siapa pun tahu
itu. Seperti memang disiapkan untuk sekadar memulai
8. 8
percakapan, karena bukan itu yang benar-benar ingin kamu
ucapkan. Lima tahun sejak kepergianmu, ini kali pertama aku
mendengar lagi suara itu. Ternyata, tak banyak berubah. Nada
suaramu tak jauh berbeda dengan lima tahun yang lalu, hanya
saja terdengar sedikit ragu.
Kamu lantas menatapku, tepat di bola mata. Tatapan teduh
itu seolah mengulangi pertanyaanmu yang belum juga
kujawab.
Tampaknya, kamu mulai terbiasa dengan suasana ini.
Sedang aku masih saja canggung.
“Masih.” Akhirnya, keluar juga suara dari mulutku. “Dua
bukuku udah terbit. Besok siang, rencananya bakal ada
launching buku ketiga. Kumpulan prosa-prosa, kayak yang dulu
sering ditulis di blog.”
Aku menjawab sambil melengkungkan bibir, senyum yang
juga dibuat-buat. Entah kamu masih ingat atau tidak tentang
blog dan tulisan-tulisanku. Seberapa berkesan pun kenangan
kita waktu itu, lima tahun adalah waktu yang sangat cukup
untuk melupakannya. Bahkan, barangkali lebih dari cukup.
“Hebat ya, udah kukira. Itu mimpi kamu dari dulu, kan?
Menginspirasi orang lewat tulisan. Udah lama kayaknya aku
enggak mampir ke blog kamu, Dek. Masih yang lama?”
Sudah kuduga. Kamu pasti sudah melupakannya.
“Masih Kak, cuma sekarang ganti dot com. Udah hampir
nerbitin tiga buku, agak kurang nyaman kalau masih pakai
domain Wordpress.”
Kamu tersenyum. Sepertinya yang ini tulus.
Aku mulai terbiasa. Kukerahkan segala kemampuanku
dalam bersandirwara untuk menyembunyikan kegugupan dan
9. 9
mencoba untuk lebih cair—jangan sampai aku terlihat
canggung.
‘Kak’, sapaan itu kini terasa asing. Bukan hanya di lidah
dan bibir, tapi juga dalam pikir. Kamu bukan lagi kakak
kelasku. Sekarang kita sama. Sama-sama sudah lulus dan tentu
saja sama-sama sudah tak kuliah. Hierarki senior-junior itu
sudah sirna. Aku sekarang penulis, dan kau? Aku tak tahu apa
aktivitasmu sekarang. Sudahlah, toh aku belum punya
panggilan baru buatmu.
“Lima tahun enggak ketemu, ke mana aja Kak?”
Kalimat itu akhirnya meluncur juga. Pertanyaan yang
sudah lima tahun tertahan, tersimpan dan terkunci rapat di
bagian paling dalam dari memori otak yang biasa aku gunakan.
Pertanyaan yang mungkin, bila kamu jawab, akan membuatku
mengerti dengan keadaan yang kamu rasakan. Pertanyaan
yang mungkin, bila kamu berterus terang, mampu
merobohkan dinding prasangka yang telah terbangun
sendirinya sejak lama. Berterus terang tentang nomor yang
tiba-tiba tidak bisa dihubungi, tentang akun-akun yang
mendadak hilang, dan semua informasi yang selama ini seolah
kamu rahasiakan.
“Menurut kamu, aku ke mana?”
Kenapa kau balik bertanya?
“Ke Planet Mars mungkin, bosen hidup di bumi.”
“Bukan. Aku mati suri.”
Ini sungguh tidak lucu.
“Oke, dikubur di mana selama ini?”
“Tebak ... “
“Kak, jujur ya, aku lagi enggak punya selera untuk
10. 10
bercanda! Dan mungkin, ini pertanyaan paling serius yang
pernah aku tanyain ke Kakak selama aku ngenal Kakak.”
Nadaku meninggi tak terkendali. Rasa penasaranku hampir
kalah oleh kesal. Lima tahun aku hidup di bawah bayang-
bayang pertanyaan tentang keberadaanmu, sementara kamu
seperti menganggap enteng semua ini. Seolah-olah lima tahun
yang aku jalani dengan rasa kehilangan sekaligus penasaran ini
hanyalah cerita tentang bocah kecil yang merengek karena
tidak dibelikan mainan.
Kamu tidak mengerti, atau pura-pura tidak mengerti?
Lima tahun yang lalu kamu hilang tanpa pesan apa pun.
Ingat betul aku, kalimat terakhir yang kamu sampaikan lewat
SMS waktu itu: “Kamu pasti bisa jadi penulis hebat, Dek. Jadi
penulis yang menginspirasi banyak orang. Jangan berhenti nulis ya, pasti
bisa. Oh iya, kuliah jangan sampe dilupain :)”.
Aku masih menyimpan pesan itu. Pesan terakhir setelah
kamu sidang yudisium. Pesan terakhir sebelum kamu hilang.
Teman-temanmu tidak ada yang tahu, semua nomor
keluargamu yang kudapat dari hasil pencarianku ke sana ke
mari mendadak tidak bisa dihubungi.
Beberapa hari kemudian kucoba datangi kampung
halamanmu, tapi rumahmu kosong. Semua tetanggamu
mengaku tidak tahu. Sampai kulapor pada polisi: “Proses
pencarian masih kami lakukan,” selalu begitu jawabnya.
Entahlah, mereka benar-benar mencarimu atau tidak. Yang
jelas, aku belum juga dapat kabar tentangmu—sama sekali.
“Apa kabar kamu lima tahun ini, Dek?”
“Jawab dulu pertanyaan aku, Kak.”
“Enggak tahu harus mulai dari mana.”
11. 11
“Dari kepergian Kakak yang tiba-tiba. Yang enggak jelas
kabarnya. Habis sidang yudisium itu, Kakak ... Kakak pergi ke
mana?”
Kamu kembali diam. Menatapku dengan sorot yang tak
lagi teduh. Seperti ada ribuan kata yang tertahan dan tak
sanggup diungkapkan. Pipimu mulai basah. Semenjak
mengenalmu, rasa-rasanya aku tak pernah melihatmu
menangis seperti ini. Kamu sembunyikan di mana wajah
innocence itu? Atau ada yang mencurinya? Siapa? Apa yang
terjadi padamu selama lima tahun ini sampai kamu jadi
cengeng begini? Sebagian diriku mulai merasa bersalah.
“Aku ... selama ini tinggal di Wellington, New Zealand.”
Kamu mulai bercerita. Dan aku hanya ingin diam tertegun.
Menatap dan mendengarkanmu tanpa mau ada cerita yang
terlewat. Dan … bagaimana caranya menyembunyikan semua
ini? Bahwa duduk di hadapanmu, mendengarkan ceritamu,
aku menyerah. Menjadi orang tak berdaya yang siap menjadi
tawananmu kembali—memangnya sejak kapan aku lepas dari
penjaramu?
“Ayahku dituduh teroris. Selama semester terakhir aku
kuliah, Ayah sempet jadi buronan. Aku juga enggak tahu dia
ke mana, keluargaku juga enggak ada yang tahu. Sampai
akhirnya setelah aku sidang yudisium, Ayah datang, langsung
ngajak aku sama keluarga ikut sama dia. Handphone kami,
sekeluarga, langsung dibuang sembarangan dalam kondisi
mati. Ayah enggak banyak ngomong waktu itu, dia cuma
bilang bahwa kami bakal pergi ke tempat di mana kami bisa
hidup tenang. Sampai di Bandara, aku masih belum tahu bakal
ke mana, sampai akhirnya Ayah ngasih tiket ke kami. Ternyata,
12. 12
kami bakal ke New Zealand. Semua berkas udah diurus. Aku
coba ngabarin kamu waktu itu, tapi entahlah. Aku juga mau
coba kontak kamu lewat internet, tapi Ayah bilang, demi
keamanan, aku enggak boleh berkomunikasi sama sekali
dengan siapa pun di Indonesia. Semua akunku di internet
dihapus. Bahkan, di Wellington, aku sama sekali enggak
dibolehin bersinggungan dengan yang namanya internet. Aku
bener-bener diisolir.”
Sulit kupercaya, tapi harus. Aku tak punya pilihan.
“Sekarang, udah aman?”
“Enggak tahu. Buat aku sih aman, dan setahuku Ayah udah
terbukti enggak bersalah karena pelaku sebenarnya sudah
ditangkap, ternyata dulu memang sempat berteman dengan
Ayah. Kelihatannya, Ayah mau dijadiin kambing hitam,
dijebak. Keluargaku masih di New Zealand, Ayahku udah
punya usaha di sana. Belum tahu kapan pulang lagi ke
Indonesia.”
“Kakak?”
“Aku ke sini enggak bilang ayahku dulu, jadi enggak bisa
lama-lama, malam ini harus ke bandara untuk terbang ke New
Zealand lagi. Sekarang ayah dan ibuku pasti lagi khawatir.”
Segalanya masih sulit kupercaya. Tetapi, lagi-lagi aku tak
punya pilihan. Aku sama sekali tak punya hipotesis alternatif
tentang alasan kepergianmu yang begitu tiba-tiba.
“Jadi, Kakak bela-belain terbang jauh-jauh ke Indonesia
tanpa bilang sama Ayah Kakak, cuma untuk beberapa jam?
Buat apa?”
Kita kembali beku dalam detik yang hening. Dua cangkir
kopi di hadapan kita mulai kehilangan panasnya, bahkan
13. 13
sebelum kita sentuh. Andai mereka bisa bicara, barangkali hal
yang paling ingin mereka ucapkan adalah meminta kita untuk
saling bicara. Diam kita menjangkitkan sepi.
“Buat kamu, Dek.”
Kalimat itu kamu lontarkan begitu saja. Enteng, seperti
tanpa pretensi. Dinding pertahananku runtuh. Kalimat
terakhirmu yang amat singkat itu membawa kembali semua
kenangan-kenangan yang sempat kucoba kubur tapi tak
berhasil: tempat ketika pertama kali kamu menyapaku, prosa-
prosa rindu yang kutulis untukmu—surat-surat yang seolah
tak beralamat padahal itu jelas-jelas buatmu, juga perjumpaan-
perjumpaan kecil tak sengaja kita. Bertahun-tahun aku
berbelasungkawa dan mencoba mengubur mereka sedalam-
dalamnya. Tak sepenuhnya berhasil memang, tapi setidaknya
aku telah meninggalkan kenangan-kenangan itu di sebuah
tempat yang telah kulupa peta jalannya. Kini, kamu membawa
mereka kembali padaku, mengintervensi otakku hingga ia tak
mampu lagi melawan.
Hadirmu memanggil kembali ingatan-ingatan lamaku
tentangmu. Tentang rasa jatuh cinta luar biasa yang pernah—
dan sejujurnya masih—membuncah dalam dada. Tentang
momen-momen indah kebersamaan kita yang kuharap akan
selamanya. Juga, tentang perasaan yang telah lama kusimpan
rapat-rapat.
Aku menyerah. Pertanyaanku telah terjawab. Semua sudah
jelas. Kini, giliran aku yang makin gagu. Giliran mataku yang
berkaca-kaca. Giliran pipiku yang becek. Harus kuakui selama
ini aku merindukanmu, tapi aku tidak pernah menangis
sepedih ini. Batinku rasanya sesak oleh rasa bersalah.
14. 14
Kali ini, cuma satu kata itu yang terpikir untuk diucap.
“Maaf ...”
“Untuk apa?”
Tanyamu sambil tersenyum.
“Semuanya.”
“Loh, emangnya kamu salah apa? Masih aja suka aneh
kamu, Dek. Aku yang seharusnya minta maaf karena udah
pergi tiba-tiba. Maaf kalau udah buat kamu bingung.”
“Aku …”
Kalimatku tertahan di sana.
“Kamu sendiri belum jawab pertanyaanku. Apa kabar
kamu lima tahun ini, selain udah hampir nerbitin tiga buku?”
Aku mencoba menenangkan diri. Mengambil napas pelan-
pelan, sambil mengusap air mata dengan lengan baju.
Mencoba untuk mengimbangi kamu yang sudah mulai tenang.
“Kelihatannya?”
Aku balik bertanya.
“Makin ganteng.”
“Kakak juga.”
“Aku makin ganteng? Hei, Dek! Lima tahun di luar negeri,
aku ini masih cewek, lho!”
Aku tersenyum. Kali ini tulus meski agak kaku. Senyum
yang melengkung di atas kenyataan dan kesadaran bahwa
ternyata kamu masih ada, masih baik-baik saja, dan masih
seperti dulu.
Kamu juga tersenyum dengan manis. Senyum yang jika
sore ini kamu jadi pulang, mungkin jadi senyum terakhir yang
dipajang di depan mataku.
“Oh, iya. Ini, khusus aku bawa dari New Zealand buat
15. 15
kamu. Spesial.”
Kamu menyodorkan sebuah bungkusan.
“Apa ini, Kak?”
“Tebak ...”
“Bom?”
Kamu terkekeh.
“Bukan, ya? Pakaian kotor? Mau nitip dilondriin, Kak?”
“Emangnya kamu, enggak pernah nyuci sendiri.”
“Sekarang udah jarang ngelondri, kok. Suer!”
“Serius? Udah biasa nyuci sendiri?”
“Dicuciin Ibu.”
“Dasar, enggak berubah. Belum bisa nebak juga ya itu
isinya apa? Hmm ... aku kasih clue, deh.”
“Sebenernya enggak tertarik buat nebak. Tapi, ya udah deh,
biar seneng. Kasihan, jauh-jauh dari New Zealand”
“Heh, aku cuma mau menguji tingkat intelektualitas kamu
Dek setelah lima tahun enggak ketemu”
“Siapa takut!”
“Jadi, bungkusan ini isinya buah. Dulu, buah ini dibawa
sama Isabel Fraser dari Cina ke New Zealand. Nah, sekarang
buah ini jadi ciri khas New Zealand. Udah bisa nebak?”
“Duren Montong!”
“Dodol!”
“Dodol? Jadi ini isinya dodol? Katanya dibawa jauh-jauh
dari luar negeri. Yah, ini mah di Bandung juga seabrek.”
“Satu lagi. Dulu, kamu pernah sengaja beliin aku buah ini,
karena kamu tahu aku belum pernah nyobain sama sekali.”
Aku benar-benar terhisap ke dalam lubang hitam masa lalu.
Buah yang pernah kuberikan padamu itu … mungkinkah?
16. 16
Aku masih mengingat jelas momen itu, juga, debar jantung tak
keruan yang mengiringi prosesnya.
“Kiwi?”
“Yap! Akhirnya. Aku seneng kamu bisa jawab, meski di sisi
lain aku sedih, ternyata tingkat intelektualitas kamu turun
drastis, ya.”
“Bisa jadi iya, udah lima tahun ini enggak ada temen yang
biasa diajak debat dan olok-olokan.”
Kamu tak membalas lagi. Kita kembali membisu.
Kenangan-kenangan itu kini benar-benar hadir kembali,
bertengger dengan manis mengisi semua ruang dalam pikiran.
Ini sudah lima tahun sejak kita tak bertemu. Rinduku telah
sampai di titik renjana. Tapi, kenapa kita harus bertemu dalam
situasi seperti ini?
Aku mencoba memecah suasana dengan meraih
bungkusan plastik putih berisi buah kiwi yang sedari tadi
masih menggantung di tanganmu.
“Tunggu dulu, Dek. Karena ini aku bawa jauh-jauh,
pertama, kamu makannya harus sedikit-sedikit. Terus, jangan
lupa ditaruh di ...”
Kalimatmu terhenti sebelum selesai. Kamu tiba-tiba
membisu. Terperangah. Seperti melihat sesuatu yang tidak
biasa. Atau sesuatu yang tidak bisa kamu terima.
Dapat kulihat dengan jelas pandanganmu jatuh ke jari-jari
tanganku, yang kini melekat pada bungkusan kiwi.
“Itu cincin ...”
Aku terkesiap. Ucapanmu menyadarkanku akan statusku
saat ini. Cincin yang melingkar di jari manis tanganku ini,
adalah bukti pertunanganku dengan seseorang. Anak teman
17. 17
Bapakku yang baru saja kulamar satu bulan yang lalu.
“Kamu, udah nikah?”
Kamu melanjutkan ucapan yang tadi sempat tertahan.
Lagi, aku goyah. Dan lagi, mulutku kamu buat beku. Inilah
tema yang paling aku hindari sejak tadi, yang aku sadar betul
mau tak mau pasti akan kita bicarakan. Tema yang
membuatku tak bisa menahanmu untuk tetap di sini, dan
terpaksa harus merelakanmu pergi lagi. Tema yang mungkin
menjadi hal yang paling ingin kamu bahas, sampai-sampai
kamu nekat ke Indonesia meski untuk waktu yang sangat
singkat. Dan dari penjelasanmu tadi, kedatanganmu ke sini
sepertinya memang hanya untuk menemuiku. Khususnya,
membahas tema itu.
“Insyaallah, minggu depan. Mau kirim undangan, enggak
tau harus kirim ke mana”
“Waw ... Salut. Sama siapakah? Di mana?”
“Sama seorang perempuan.”
“Lucu. Sekalian aja kamu bilang sama Homo Sapiens, atau
sekalian makhluk bumi.”
“Anak temen Bapakku, di Bandar Lampung. Bakal seru
banget kalau di nikahanku nanti ada tamu dari luar negeri.”
Dari ekspresimu, kamu masih belum percaya. Atau
mungkin belum menerima. Dan aku, terpaksa harus
bersandiwara: pura-pura merasa ini adalah kabar baik yang
kamu akan senang ketika mendengarnya.
“Selamat ya! Wah, Dek. Enggak nyangka.”
“Enggak nyangka aku nikah?”
“Enggak nyangka secepet ini.”
“Kakak?”
18. 18
“Aku ... yang pasti enggak mau kalah sama kamu. Enak aja.
Tunggu undangan dari aku, ya ...”
“Udah ada, Kak?”
“Undangannya? Belumlah, Dek. Itu kan harus didesain
dulu, dicetak, belum lagi …”
“Calonnya.”
Mulutmu terkunci untuk kesekian kalinya. Dari sini bisa
kurasakan detak jantungmu berdebar semakin cepat. Ekspresi
wajahmu sudah sangat mewakili kegugupan yang kini sedang
menderamu. Aku paham betul ekspresi itu, tak perlu kamu
coba menyembunyikannya.
“Segera, pokoknya. Tunggu aja. Oh iya, aku baru inget.
Lima tahun enggak di Indonesia, masa aku enggak nemuin
Tasya, sahabatku, tempat curhatku yang paling setia.”
Aku yakin betul itu tidak masuk dalam rencanamu. Kamu
hanya sudah tak kuat lagi di sini. Kamu sudah tak punya daya
lagi untuk bercengkerama dengan seorang laki-laki yang
beberapa hari lagi akan menikah dengan perempuan lain. Aku
lebih yakin itu.
“Jadi, habis ini Kakak mau ke rumah Kak Tasya?”
“Iya, sekalian. Biar enggak terlalu jauh nanti malam ke
bandara, rumahnya masih di daerah Pasar Minggu, kan?”
“Masih. Dia udah nikah dan kabar terakhir yang aku
denger, baru aja punya anak. Lucu, kata orang mirip banget
sama Ibunya. Sekarang tinggal di deket rumah orang tuanya.
Dulu, kalau enggak salah kita pernah ke sana. Oh iya, Kakak
juga pasti sering ke sana.”
“Waduh ... bisa-bisanya dia. Aku makin enggak sabar nih
buat ketemu dia, pipinya masih bantal enggak ya? Hehe ….
19. 19
Pokoknya, hal pertama yang bakal aku lakuin kalau ketemu dia
nanti adalah nyubit pipi tembemnya. Yaudah, aku enggak bisa
lama-lama lagi nih kayaknya.”
“Mau dianter?”
“Enggak usah, Dek. Naik taksi aja, masih mau nostalgia
dengan taksi Indonesia nih.”
“Ada-ada aja. Enggak ada alesan yang lebih logis untuk
nolak tawaranku apa, Kak?”
“Itu udah logis banget. Ya udah, deh. Ini kiwinya jangan
lupa ditaruh di kulkas, biar tetep seger. Makannya pelan-pelan
dan hati-hati kesetrum. Aku berangkat lagi, ya. Mungkin
sekalian pamit.”
Kamu berdiri. Kita yang sedari tadi duduk berhadapan di
kedai ini berdiri. Menjauhi dua cangkir kopi yang hanya
menjadi tiket sosial untuk bisa duduk lama di sini—karena
nyatanya tak kita sentuh sama sekali.
“Hati-hati, ya. Ada nomor telepon?”
Kamu hanya diam dan tersenyum.
“Facebook? Email? Twitter? Instagram?”
“Dulu, kata Ayah, terlalu berisiko. Sampai sekarang, aku
belum buat akun-akun itu lagi.”
“Payah. Jadi, gimana aku bisa hubungin Kakak?”
“Buat apa?”
Aku terdiam sejenak. Pertanyaan yang sama bagiku, buat
apa?
“Oke, deh. Pokoknya, ini nomor teleponku. Akun
Facebook, email, dan yang lainnya masih yang lama. Ada juga
di situ.”
Aku menyerahkan kartu nama.
20. 20
“Oke, mudah-mudahan Ayah ngasih izin. Tapi,
kemungkinan susah, sih. Dia masih trauma dengan kejadian
dulu, jadi sama sekali enggak mau komunikasi dengan orang-
orang di Indonesia, termasuk ngelarang semua anggota
keluarganya untuk ngakses internet. Oh iya, maaf ya enggak
bisa dateng ke nikahan kamu, Dek. Salam aja buat ... siapa?”
“Aira. Anindita Aishwara.”
“Iya, Aira. Semoga lancar ya pernikahannya. Nanti didoain
deh, dari New Zealand.”
“Resepsinya jam satu siang Waktu Indonesia Barat. Kakak
berdoanya di bawah pohon kiwi, ya.”
“Loh, kenapa?”
“Biar keren.”
“Aneh. Udah ya, aku pergi dulu. Assalamualaikum.”
Kamu tersenyum, berbalik, lalu berjalan menjauh tanpa
sempat mendengar jawaban salam dariku. Terburu-buru.
Tampak sekali itu.
Kamu, apa yang kamu rasakan saat ini? Adakah sama
dengan yang kurasakan? Adakah lautan sesal yang
membuncah, atau semangat yang tiba-tiba redup? Harapan
yang tiba-tiba pupus?
Andai saja kamu hadir di sini satu bulan yang lalu. Andai
saja kamu tidak pernah pergi. Andai saja lima tahun lalu rasa
ini sudah terkembang jadi kata, untuk kemudian kita resmikan
dan bukan hanya lukanya yang kita rayakan.
Sebelum kamu keluar dari pintu kedai, kamu menatapku
sekali lagi sambil melambaikan tangan. Lambaian tangan yang
terakhir (?)